peran media massa dalam proses sosialisasi

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
SOSIOLOGI
KOMUNIKASI
Media Massa Dan Proses
Sosialisasi
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Hubungan
Masyarakat
Tatap Muka
11
Kode MK
Disusun Oleh
85005
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom
Abstract
Kompetensi
Media massa berperan dalam
membentuk tatanan nilai-nilai dalam
masyarakat serta berfungsi sebagai
agen sosialisasi, sebagaimana agenagen sosialisasi lain seperti keluarga,
usia sebaya, dan institusi pendidikan.
Memahami dan menjelaskan proses
sosialisasi
Pembahasan
Sebagai saluran informasi, media massa menyediakan beragam pengetahuan yang
diperlukan oleh setiap orang. Fungsi strategis demikian menjadikan media massa sebagai
agen sosialisasi yang berkontribusi pada pembentukan tatanan nilai-nilai kebudayaan bagi
masyarakat.
Media massa memberikan inspirasi bagi kebanyakan orang. Dalam hal mengelola
keuangan rujukannya dapat ditemukan melalui kolom investasi yang dikelola media cetak,
Kompas. Bagi pecinta makan dapat memuaskan hasrat kulinernya dengan mengklik
www.kulinerjakarta.com. Pengaruh media lainnya dapat kita amati pada perkembangan
istilah-istilah bahasa yang sedang nge-trend yang bisa kita pakai dalam praktik berbahasa
dengan teman untuk membangun jarak sosial (social distance) informal yang sumbernya
didapat lewat BBM (blackberry messanger). Tentunya masih banyak contoh lainnya perihal
transformasi pesan-pesan media massa dalam aktifitas kehidupan manusia. Media massa
mengarahkan audience untuk memiliki cara berpendapat maupun berperilaku dalam
keadaan inilah kita dapat memberikan definisi jika media massa disebut sebagai agen yang
mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang diperlukan manusia atau sosialisasi.
PENGERTIAN SOSIALISASI
Sering kali kita menyamakan interaksi sosial sebagai sosialisasi. Kedua istilah ini
merupakan konsep yang berbeda pengertiannya. Interaksi sosial dipahami sebagai aktifitas
perjumpaan dinamis yang menghubungkan antara satu orang dengan satu orang lainnya,
satu orang dengan beberapa orang, dan antara beberapa orang dengan beberapa orang
lainnya (Gillin & Gillin, Cultural Sociologi dalam Soekanto, 2007:55). Interaksi sosial sebagai
prasyarat bagi terjadinya proses sosialisasi, sebab melalui hubungan dinamis antar setiap
orang
memungkinkan
aktifitas
penananam
nilai-nilai
kehidupan
atau
sosialisasi
dimungkinkan. Jika demikian, sosialisasi dapat diartikan :
Proses yang dilalui seseorang sejak dilahirkan hingga meninggal dunia, suatu
proses yang menjadikan seseorang dapat berpartisipasi di dalam masyarakat
(Berger, Invitation to Sociology, 1978 dalam Sunarto, 1993:27)
Berger
melalui
konsep
sosialisasinya
menerangkan
jika
manusia
berbeda
hakekatnya dengan mahluk bukan manusia khususnya hewan. Hewan dalam perkara
memenuhi kebutuhannya dikendalikan insting yang menjadikan mahluk ini tidak memerlukan
2015
2
Sosiologi Komunikasi
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kehadiran sesamanya dalam pemenuhan kebutuhan. Lain halnya dengan manusia, yang
sejak awal kelahirannya memerlukan manusia lain oleh sebab kondisi fisiknya relatif lemah
tidak seperti hewan. Untuk itu manusia diperlengkapi oleh Sang Pencipta, otak
(kebudayaan)
yang
memiliki kemampuan mengorganisir
ketidakberdayaan
fisiknya
menghadapi situasi lingkungan alam bahkan manusia lainnya. Semisal contoh, manusia
dalam kelompoknya dapat menemukan sumber pangan yang dapat dikonsumsi dan bahan
makanan yang dapat digunakan sebagai obat. Lambat laun pengalaman yang dibiasakan ini
dijadikan sebagai pedoman oleh orang banyak dan menjadi kebudayaan khasnya.
Gambaran keadaan lingkungan alam yang berbeda-beda menyebabkan setiap
masyarakat mengembangkan kebudayaan yang tidak sama. Jika satu kelompok etnis
pedalaman menjadikan cita rasa manis sebagai dominasi rasa masakannya maka pada
masyarakat pesisir, rasa asin dan pedas mencari ciri-ciri masakan khasnya. Kebiasaan
mengkonsumsi masakan kuat akan rasa asin ketika mencicip makanan dominan manis
tentunya selera makan menjadi berkurang. Seseorang yang lahir dari orangtua Tionghoa,
memiliki preferensi menikah dengan gadis atau pria dari etnik yang sama. Soal selera
makan maupun idealisasi pasangan kawin adalah satu contoh kebiasaan-kebiasaan
anggota masyarakat yang dibiasakan atau disosialisasi semenjak kecil. Setiap gagasan,
sikap, hingga realisasinya pada perilaku terhadap sesuatu hal merupakan bagian dari
proses sosialisasi. Nadine Liu cenderung suka makanan asin hingga bisa disimpulkan kalau
orangtuanya ataupun lingkungan keluarganya memperkenalkan rasa ini lebih dominan
daripada citarasa makanan lainnya. Ketika Nadine Liu memutuskan menikah dengan lakilaki
yang
bukan dari golongan etniknya, maka
ia mengurungkan
niatnya
dan
mempertimbangkan mencari pria Tionghoa untuk dijadikan suami sebagaimana diinginkan
kelompok sosialnya. Seseorang sewajarnya menikah dulu sebelum melakukan hubungan
seksual dan masyarakat mengatur hal ini melalui sosialisasi dan ketika terdapat anggota
masyarakat tidak menjalankan tindakan sosial yang diharapkan, maka dapat dikatakan
anggota masyarakat tersebut melakukan penyimpangan sosial atau non-konformis.
Pengalaman Nadine Liu mewakili pengalaman keseharian kita, bahwa kita
diharuskan konformitas dengan harapan masyarakat. Perilaku konformis adalah tindakan
yang perlu dilakukan oleh setiap orang dalam rangka menjadikan kehidupan bersama
berlangsung harmonis. Kelangsungan ini dapat diwujudkan melalui proses sosialisasi yang
menjadikan setiap orang memahami kebiasaan yang dicita-citakan kelompoknya.
Dalam proses sosialisasi hal utama yang diajarkan adalah pengetahuan menyangkut
status dan peran (role). Melalui pengetahuan status dan peran maka seseorang diharapkan
2015
3
Sosiologi Komunikasi
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dapat menempatkan peribadinya sesuai dengan keberadaan status dan peran lawan
komunikasinya. Pemahaman demikian adalah pengetahuan utama bagi manusia dalam
rangkaiannya membekali dirinya untuk dapat bergaul dengan berbagai pelapisan
masyarakat. Secara permanen individu memiliki status yang diperoleh dari Tuhan atau kita
sebut sebagai ascribed status, yang diwakili melalui status seks, ras dan etnis, keanggotaan
kekerabatan, usia, dan agama. Achieved status merupakan status individu yang diperoleh
melalui hasil usahanya, kategorinya dapat berbentuk status pendidikan, ekonomi, dan
pekerjaan.
Pada Modul Kedua dengan pokok bahasan Teori-Teori Sosiologi Komunikasi telah
dibahas kerangka teori George Herbert Mead yang menerangkan tentang Paradigma
Interaksi Simbolik. Berkait dengan sosialisasi, Mead menjelaskan proses sosialisasi
memungkinkan individu mendapatkan keterampilan berkomunikasi atau interaksi sosial.
Pengetahuan komunikasi berisikan informasi menyangkut status dan peran, ketika
seseorang telah diajarkan pengetahuan ini oleh agen-agen sosialisasi maka setiap individu
dapat menempatkan diri sesuai harapan masyarakat. Kemampuan menempatkan diri
dikatakan Mead sebagai pengambilan peranan (role taking), dengan proses-prosesnya
berupa :
(1). Tahap Play Stage
Proses ini berlangsung ketika individu mulai mengenal dunia. Lingkungan keluarga inti
dan keluarga luas turut mengembangkan diri manusia (self). Individu muda ini mulai
belajar mengamati status dan peran orang-orang yang ada disekitar kehidupan
awalnya. Mengenali status ‘ayah’ sebagai laki-laki dengan peran gendernya sebagai
pencari nafkah, mengenali status ‘ibu’ sebagai perempuan yang berperan dalam segi
domestik. Pada fase play stage, anak memperaktekkan peranan orang yang diamatinya
dengan membawanya ke dalam dunia permainan bersama peer group-nya. Ada yang
berperan sebagai ayah atau ibu, menjadi dokter atau perawat, petugas pemadam
kebakaran, polisi, dan status maupun peran lainnya. Tentunya, dalam fase peniruan ini
belum sepenuhnya anak memahami makna setiap status peran yang dimainkan.
(2). Tahap Game Stage
Pada bagian tahapan ini, seorang anak telah mulai mengenali status peran dirinya
maupun orang-orang lainnya. Anak kecil tahu persis ia akan dimarahi ibunya ketika
berkata bohong dan ia akan melakukan hal yang sama pada orang lain ketika
didapatinya bersikap curang.
2015
4
Sosiologi Komunikasi
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
(3). Tahap Significant Other
Umumnya tahapan ini dilalui anak ketika telah mengenal lingkungan sosialisasi lebih
luas. Melalui institusi pendidikan formal, seseorang akan menjumpai agen-agen
sosialisasi lainnya yang memberikan keterampilan lebih luas untuk merealisasikan
kemampuan berkomunikasinya atau keterampilan mengambil peranan (generalized
other). Pembentukan diri manusia telah terbentuk pada proses ini yang dikatakan Mead,
individu telah mempunyai diri.
(Mead, Mind, Self, Society; From The Stand Point of The Social Behavioris, 1972 dalam
Soenarto, 1993:28)
AGEN SOSIALISASI
Sosialisasi sebagai proses pengenalan status dan peran manusia demikian berfungsi
strategis dalam menciptakan keterampilan individu membangun hubungan komunikasi
dengan individu lainnya. Sebab tanpa proses sosialisasi, seseorang tidak akan memiliki
kemampuan berhubungan dengan manusia lain secara konformis. Ketika terdapat individu
tidak konformis terhadap keberadaan individu lain maka dapat dibayangkan keadaan
masyarakat yang disintegrasi. Guna memelihara integrasi kehidupan bersama maka
terdapat agen-agen sosialisasi yang berperan mendistribusikan pengetahuan interaksi sosial
yang ideal, yaitu; keluarga, teman bermain, institusi pendidikan formal, dan media massa.
Keluarga sebagai agen sosialisasi terpenting dalam periode awal kehidupan manusia
di dunia, sebabnya keluarga berperan sebagai agen pertama yang memperkenalkan aturan
simbolik dalam sistem sosialnya. Teman bermain atau dapat disebut proses sosialisasi
berupa game stage, tahapan ini seseorang dikenalkan dengan agen-agen sosialisasi
sebaya yang mengajarkan mekanisme berinteraksi sosial. institusi pendidikan formal atau
lembaga sekolah berperan mengajari seseorang aturan kemandirian (independence),
prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifitas (specificity) yang akan
berguna kelak dikehidupan bermasyarakat atau saat kita berinteraksi dengan orang lain
(generalized other).
PERAN MEDIA MASSA DALAM PROSES SOSIALISASI
Media
massa
merupakan
lembaga
yang
dalam
operasionalisasi
kerjanya
mewujudkan informasi melalui saluran komunikasi massa baik dalam bentuk media cetak,
elektronik, maupun media dotcom. Melalui pesan-pesan yang disampaikan ke dalam iklan
komersial, siaran berita perekonomian - terorisme - perang, infotainment, film atau opera
2015
5
Sosiologi Komunikasi
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sabun sering dikaitkan mendorong terjadinya perubahan dalam cara pandang dan perilaku
masyarakatnya.
Ketika televisi belum dikenal meluas seperti sekarang, orang biasanya tidur malam
sesudah makan malam sekitar jam sembilan dan dapat bangun pagi untuk berangkat
berkerja. Sesudah ada televisi, banyak orang menonton televisi atau menunggu sinetron
hingga selesai ditayangkan hingga larut malam, dan kebiasaan ini merubah pola rutin
masyarakat. Anak-anak kita lebih konsen ketika menonton televisi dibanding harus belajar
mempersiapkan pelajaran esok hari di sekolah dengan orangtua yang tampaknya tidak
terlalu pusing dengan keadaan ini. Pada kasus lainnya, tengah malam adalah saat bagi
kebanyakan orang untuk berinteraksi dengan kawan-kawannya dalam sosial media hingga
masuk waktu subuh.
Contoh kecil media elektronik berupa televisi dan internet merupakan realitas komunikasi
massa
kontemporer
yang
mengorganisasi
kegiatan
orang
banyak
dewasa
kini.
Sebagaimana disampaikan Jalaludin Rahkmat, bahwa keberadaan radio transistor di
pedesaan mengurangi waktu penduduk untuk mengobrol dengan tetangga atau berkunjung
ke rumah kerabat, video recorder mengurangi frekuensi orang menonton film di bioskop,
terminal komputer mempersingkat waktu rapat atau menghilangkan rutinitas perjumpaan
dengan orang lain secara tatap muka (Rakhmat dalam Ibrahim, 1997:200).
Pencapaian perkembangan teknologi informasi komunikasi massa turut membentuk
perkembangan cara hidup yang semula tidak dikenal dan kemudian menjadi gaya hidup
yang umum dilakukan. Media massa selaku agen sosialisasi sekunder memperkenalkan
kepada masyarakat tentang nilai-nilai atau pandangan hidup baru. Nilai-nilai yang
ditawarkan sebenarnya merupakan hasil dari proses konversi komunikasi masyarakat yang
ditangkap lembaga media lantas didistribusikan kembali ke masyarakat setelah melalui
proses seleksi realitas tangan kedua (second hand reality). Kehidupan sistem sosial suatu
masyarakat bergantung dengan sistem komunikasi politik yang dipelihara pemerintahnya
yang tentunya implementasinya berkaitan dengan pola-pola sosialisasi yang akan diterima
oleh warganegaranya. Ketika sistem politik berlangsung dalam ideologi demokrasi maka
masyarakat akan memiliki pandangan hidup yang menjunjung prinsip kesetaraan. Akan
berbeda halnya pada masyarakat dengan perangkat suprastruktur yang otoritarian maka
yang tercipta adalah suatu keadaan masyarakat dengan ciri-ciri nilai sosialisasi yang tidak
demokratis. Ciri-ciri ideologi negara akan terasa pada setiap agen-agen sosialisasi lainnya,
tidak terbatas pada media komunikasi massanya namun menyeluruh pada agen keluarga,
teman bermain, dan institusi pendidikan formal. Namun terangnya, media massa ibarat
2015
6
Sosiologi Komunikasi
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
cermin besar yang merefleksikan gambaran umum nilai-nilai sistem sosial masyarakat yang
secara langsung dibentuk oleh keberadaan ideologi suatu negara.
Menyadari perkembangan revolusi teknologi informasi dan komunikasi dalam
komunikasi massa, maka agen sosialisasi berupa media massa memegang kendali terhadap
dinamika komunikasi masyarakat secara meluas. Peran agen sosialiasi berupa keluarga
atau institusi pendidikan dalam sekolah secara lambat laun mengambil porsi besar dalam
memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan baru. Sebabnya, agen ini menawarkan saluran
komunikasinya dalam berbagai media yang semakin mudah diakses oleh setiap orang dan
dalam berbagai batasan usia. Namun perlu dipahami, jika media massa selaku agen
sosialisasi skunder tidak sepenuhnya memegang kendali atas perubahan gaya hidup
masyarakat kita.
Keluarga selaku agen sosialisasi primer adalah agen utama yang
memperkenalkan pada manusia baru tentang padangan hidup atau sistem sosial yang
menjadi idealisasi masyarakat dan media massa, teman bermain, institusi pendidikan formal
berlaku sebagai agen-agen sosialisasi kedua yang memperkuat atau mengaburkan
pandangan hidup yang sedari awal telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga inti dan
keluarga luas.
Asumsi mendasar tentang dampak sosialisasi yang potensial dari media tampak
dalam kebijakan pengendalian media, keputusan oleh media itu sendiri, serta harapan yang
dianut orangtua dalam kaitannya dengan penggunaan media oleh anak-anak mereka. Aspek
yang kontradiktif, dalam asumsi media sebagai agen sosialisasi adalah besarnya perhatian
yang ditujukan pada media sebagai sarana desosialisasi, yang menantang dan
mengganggu pembentukan nilai yang dilakukan orangtua, pendidik dan badan pengendalian
sosial lainnya.
Logika yang mendasari proposisi bahwa media memang mensosialisasi atau
mendesosialisasi adalah pandangan tentang sosialisasi sebagai upaya mengajarkan norma
dan nilai yang mapan melalui pujian dan hukuman simbolis bagi berbagai jenis perilaku.
Pandangan lain adalah bahwa hal itu merupakan proses belajar dimana kita mempelajari
cara berperilaku dalam situasi tertentu dan mempelajari harapan yang sesuai dengan peran
atau status tertentu dalam masyarakat. Studi tentang penggunaan media oleh anak-anak
(misalnya wolfe dan Fiske, 1949; Himmelweit et al., 1958; Brown, 1976; Boble,1975 dalam
McQuail,1987:251) menegaskan kecenderungan anak-anak untuk mempelajari kehidupan
dan mengaitkannya dengan pengalaman mereka sendiri. Studi tentang isi juga memusatkan
perhatian pada penyajian citra kehidupan sosial secara sistematis yang benar-benar dapat
membentuk harapan dan aspirasi anak-anak.
2015
7
Sosiologi Komunikasi
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
McCron,1976 (dalam McQuail,1987:251) mengacu pada perbedaan teori yang
pokok, dimana satu bagian menekankan sifat norma dan nilai sosial yang konsensual dan
pada bagian lain memandang media sama dengan badan pengendalian sosial lainnya yang
cenderung berusaha menawarkan nilai-nilai kelas yang berpengaruh terhadap kelompok
rendahan. Perspektif yang disebut kemudian menekankan konflik masyarakat yang utama
dan kemungkinan timbulnya perubahan melalui penolakan dan perundingan arti kembali.
Dalam pandangan ini media tidak bersifat pro-sosial atau tidak pula anti sosial, tetapi
cenderung mendukung nilai-nilai tatanan yang telah mapan dan mungkin kelas yang
berkuasa. Dalam rumusan yang manapun, teori umum yang menyatakan bahwa media
menimbulkan dampak sosialisasi, sukar diragukan. Teori umum itu hanya ditemukan secara
tidak langsung dalam bukti empiris, yang terutama menyangkut isi dan penggunaan.
Peran media sebagai sarana edukasi publik harus ditanamkan terhadap semua
bidang kehidupan. Hanya saja, seringkali media massa juga memiliki bahasa yang seragam
ketika mengungkap tema tertentu. Mereka beragam dalam menyajikan bentuk acara, namun
isinya seragam tentang fenomena tertentu. Dari sisi yang memberikan pendidikan yang baik
kepada masyarakat, namun dipihak lain kekuatan media dapat menarik keuntungan dari
segmen yang menjadi rubrikasi khusus media massa tersebut.
Sebut saja, potret kemiskinan di negeri ini dilirik produsen media massa sebagai seni
yang menarik untuk dikaryakan di televisi. Pemilik media, mencoba mewujudkan adanya
nilai seni dengan citra tinggi dibalik rendahnya selera hidup orang-orang miskin. Akhirnya
satu persatu program berbau kemiskinan dikemas oleh produsen media sedemikian rupa
dengan harapan mampu meningkatkan rating.
Acara-acara tersebut, umumnya menampilkan kehidupan orang-orang miskin.
Harapannya dapat memancing rasa iba hingga tetesan airmata para penonton televisi.
Tayangan tersebut bukannya tidak positif, namun posisinya menyedihkan karena orang
miskin kerap menjadi objek. Orang miskin didesain untuk meningkatkan rating. Televisi
sebagai media massa yang dianggap paling sempurna diantara media massa lain
menjadikan kemiskinan sebagai objek yang bisa dijual kepada khalayak bahkan pada awalawal program semacam ini muncul mampu menaikkan rating. Tidak ada yang mengetahui
bahwa maksud dalam pembuatan program reality show kemiskinan seperti saat ini, namun
yang bisa dilihat adalah program acara ini mampu mendatangkan keuntungan berlipat-lipat
bagi pemilik media. Iklan yang masuk disela-sela acara reality show inilah yang membawa
keuntungan yang menggiurkan bagi pemilik media.
2015
8
Sosiologi Komunikasi
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Media massa juga tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam mengontrol persoalan
yang terjadi di masyarakat. Berbagai sajian informasi yang terungkap banyak yang bernada
kontrol sosial. Misalnya berita-berita kriminal, bisa menjadi salah satu media kontrol
masyarakat yang menggambarkan masih adanya kasus kriminalitas di tanah air, maka
masyarakat perlu mewaspadai kemungkinan-kemungkinan terjadinya tindak kriminalitas
yang bisa sewaktu-waktu menimpa masyarakat.
Di sisi yang lain, dominasi pesan yang disampaikan melalui kemasan dalam program
media massa juga bisa menggiring persepsi masyarakat dan kemudian menganggap
kriminalitas merupakan peristiwa yang wajar muncul ditengah masyarakat yang sedang
mengalami stagnasi ekonomi.
2015
9
Sosiologi Komunikasi
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Berger, Peter L. 1993. Invitation to Sociology; A Humanistic Perspective, 1978, dalam
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
McQuail, Denis. 1987. Mass Communication Theory = Teori Komunikasi Massa:Suatu
pengantar. Jakarta : Erlangga
Mead, George Herbet. 1993. Mind, Self, Society; From The Stand Point of The Social
Behavioris, 1972, dalam Kamanto Soenarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Penerbit
fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Wazis, Kun. 2012. Media Massa dan Konstruksi Realitas. Malang : Aditya Media Publishing
Rakhmat, Jajaluddin. 1997. Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi,
dalam Idi Subandy Ibrahim, Lifestyle Ecstasy; Kebudayaan Pop dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
2015
10
Sosiologi Komunikasi
Yuliawati, S.Sos., M.Ikom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download