POLA PENGEMBANGAN PERTANIAN PADA AREAL GAMBUT DI KABUPATEN BENGKALIS PEKANBARU, BALITBANG RIAU, 8/12/2016. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan/akumulasi bahan organik dilantai hutan. Bahan organik ini berasal dari sisa vegetasi/tumbuhan dalam kurun waktu lama. Akumulasi/penimbunan ini terjadi karena lambatnya laju proses penguraian (dekomposisi) dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik. Apalagi lahan ini selalu basah/tergenang. Lahan gambut di Indonesia dibentuk oleh tumpukan sisa vegetasi/tumbuhan tropis yang kaya akan kandungan lignin dan nitrogen. Karena lambatnya proses penguraian yang terjadi maka, dirawa gambut masih dapat dijumpai sisa-sisa akar, batang, ranting yang masih belum bisa terurai (terdekomposisi). Secara ekologis, hutan rawa gambut merupakan tempat hidup/habitat bagi spesies langka misalnya orang utan (Pongo pygmaeus) baik di Sumatera maupun Kalimantan, tempat berkembang biak ikan, cadangan air, dan keanekaragaman hayati yang tidak bisa dijumpai dihutan lainnya. Perubahan iklim merupakan kondisi global/menyeluruh yang ditandai dengan perubahan suhu dan curah hujan (atau lebih dikenal dengan perubahan musim). Penyumbang/kontributor terbesar bagi terjadinya perubahan tersebut adalah gas-gas di atmosfer yang sering disebut gas rumah kaca (green house effect) seperti karbon dioksida, metan, dan nitorus oksida yang konsentrasinya terus mengalami peningkatan. Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas sehingga suhu bumi akan semakin panas jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di atmosfer. Tingginya peningkatan konsentrasi karbondioksida disebabkan oleh aktivitas manusia terutama perubahan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil (bahan bakar minyak) untuk transportasi, pembangkit tenaga listrik dan aktivitas industri. Gas-gas yang berbahaya tersebut akan bisa tereduksi/berkurang oleh tumbuhan. Lahan gambut memiliki ciri hutan yang selalu hijau sehingga sangat efektif untuk menyerap gas-gas berbahaya yang ada di atmosfer. Gambut memiliki peran yang cukup besar sebagai penjaga iklim global. Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami kerusakan, akan mengeluarkan gas terutama CO2, N2O, dan CH4 ke udara yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Pemanasan global inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang saat ini kita rasakan. Potensi lahan untuk pengembangan pola pertanian pada areal gambut di Kabupaten Bengkalis adalah sebesar 181,766 Ha, dengan penyebaran pada Kecamatan Bantan 26,424 Ha; Bengkalis 20,714 Ha; Bukit Batu 13,741 Ha; Mandau 15,760 Ha; Pinggir 8,976 Ha; Rupat 54,178 Ha; Rupat Utara 21,577 Ha; dan Siak Kecil 20,396 Ha. Sistem tata air untuk pola pengembangan pertanian di lahan gambut adalah sistem aliran satu arah menggunakan flap-gate untuk gambut dangkal, dan sistem tabat (bendung) menggunakan stop-log untuk gambut tengahan dan dalam. Sistem ini diperlukan agar kelembaban tanah dapat dipertahankan, sedangkan untuk gambut tengahan diusulkan menggunakan kombinasi keduanya. Penelitian yang insentif terhadap tata air pada kawasan rawa gambut di Kabupaten Bengkalis sangat diperlukan, mengingat sifat lahan gambut yang rentan kekeringan. Dari segi teknis perlu dilakukan perbaikan sistem drainase yang ada saat ini dengan pemasangan pintu air guna menjaga muka air tanah sekaligus menjaga intrusi air laut sebagai jaminan pola pengembangan pertanian yang berkelanjutan. (V3) Sumber : Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center (ICRAF). Bogor Balitbang Provinsi Riau, Penelitian : Kajian Pola Pengembangan Pertanian Pada Areal Gambut Di Kabupaten Bengkalis, Tahun 2014, Pekanbaru BPS Kabupaten Bengkalis dan BAPPEDA Kabupaten Bengkalis. 2013. Bengkalis dalam angka. Bengkalis Syahza, A. 2007. Model Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Percepatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan Berbasis Agribisnis Di Daerah, Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru.