bab ii tinjauan pustaka

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Onggok
Onggok merupakan limbah padat agroindustri pembuatan tepung tapioka. Onggok dapat
dijadikan sebagai sumber karbon karena masih mengandung pati sebanyak 75% dari bobot kering
yang tidak terekstrak. Akan tetapi, kandungan protein kasarnya tergolong rendah, yaitu 1.04% dari
bobot kering. Banyaknya onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan tepung tapioka berkisar 1530% dari bobot bahan bakunya dengan kadar air 20% (Nuraini, Sabrina, dan Latif, 2008). Onggok
juga termasuk limbah organik yang banyak mengandung karbohidrat, protein, dan gula seperti
glukosa, arabinosa, xilosa, dekstran, dan manosa. Senyawa organik tersebut dapat dijadikan sebagai
substrat bakteri penghasil gas metan untuk proses fermentasi menjadi biogas. Berikut ini beberapa
pengujian karakteristik onggok dari penelitian terdahulu yang dapat dilihat pada tabel 1.
Komponen
Air
Abu
Serat kasar
Protein
Lemak
Karbohidrat
Tabel 1. Komposisi Onggok (% Berat Kering)
Tjiptadi (1982)
Anonim (1984)
16.7
13.4
8.5
4.9
8.1
11.1
6.4
0.6
0.3
0.2
71.1
79.8
Sjofjan (1996)
17.3
1.8
12.1
2.8
4.5
75.6
Komposisi atau karakteristik onggok berbeda antara yang satu dengan lainnya. Perbedaan
hasil analisis proksimat ini sangat bergantung pada varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi
tapioka, efisiensi proses ekstraksi pati tapioka, dan penanganan onggok. Sedangkan banyaknya jumlah
limbah industri tapioka atau onggok dipengaruhi oleh kategori industri (semakin modern semakin
besar pula onggok yang dihasilkan jika dibandingkan dengan yang tradisional), proses pengolahan
(dilakukannya pengupasan kulit atau tidak), pola pembuangan onggok (melalui kolam penampungan
atau langsung dibuang ke lingkungan), serta pemanfaatan onggok (mengalami proses pengolahan
selanjutnya atau tidak). Pemanfaatan kembali limbah padat oleh industri tradisional sebesar 21.14 %
sedangkan pemanfaatan onggok oleh industri modern sebesar 2.60 %. (Anonim, 1984). Onggok relatif
tahan lama dalam keadaan kering dibandingkan dalam keadaan basah yang sangat mudah ditumbuhi
oleh kapang dan terjadi pembusukan (Damarjati, 1985).
Gambar 1. Struktur Sel Ligniselulosa.
Sumber : http:www.sigmaaldrich.com/enzymes.html
3 Sifat fisik onggok hasil samping tepung tapioka diantaranya adalah sukar larut dalam air dan
sulit dicerna oleh pencernaan manusia. Hal itu dikarenakan onggok mengandung senyawa partikel
yang disebut ligniselulosa. Ligniselulosa merupakan senyawa polimer sakarida kompleks semi kristal
yang tersusun atas lignin, hemiselulosa, dan selulosa. Senyawa tersebut membentuk satu kesatuan
yang kuat dan menjadi bahan dasar dinding sel suatu tumbuhan. Lignin merupakan senyawa yang
menyelimuti dan mengeraskan dinding sel, sedangkan hemiselulosa bagian senyawa matriks yang
berada diantara mikrofibril-mikrofibril selulosa, dan selulosa merupakan senyawa kerangka yang
menyusun hingga 50% bagian kayu. Peran ketiga komponen ini saling bersinergi sebagai bahan
penguat yang saling memperbaiki ikatan satu sama lainnya. Kandungan komponen senyawa
ligniselulosa berbeda-beda bergantung pada sumber biomassanya seperti pada tabel 2 yang
menunjukkan kandungan senyawa ligniselulosa pada limbah pertanian.
Tabel 2. Kandungan Ligniselulosa Pada Beberapa Biomassa Limbah Pertanian (% Berat kering).
Jenis Limbah
Bagasse
Tongkol Jagung
Jerami
Tandan Kosong Kelapa Sawit
Onggok
Sumber : Sun dan Cheng (2002)
Lignin
25.0
15.0
15.0
32.5
25.0
Hemiselulosa
25.0
35.0
50.0
33.8
25.0
Selulosa
50.0
45.0
30.0
46.5
45.0
Lignin memiliki struktur molekul yang sangat berbeda dengan polisakarida karena tersusun
atas senyawa aromatik dari unit monomer fenil propana yang diantaranya terdapat monolignol sinapil,
koniferil alkohol, dan p-komaril alkohol dengan ikatan yang berbeda pula antar karbonnya. Gugus
Arylgycerol-B-aryl ether sebagai ikatan utama, sedangkan gugus phenolic-hydroxyl, methoxyl,
hydroxyl, dan benzyl alcohol sebagai ikatan tambahan yang mempengaruhi reaktifitas lignin dalam
berinteraksi dengan mikrofibril selulosa sehingga lignin memiliki bobot molekul yang tinggi, struktur
bercabang membentuk tiga dimensi, dan bersifat hidrofobik atau tidak larut dalam air (Ermawar,
Yanto, Fitria, dan Hermiati, 2006). Konsentrasi lignin terbesar terdapat pada lamela tengah dan akan
semakin mengecil pada lapisan dinding sekunder atau membran plasma.
Gambar 2. Gugus Struktur dan Fungsional Polimer Lignin (Del Campo, 2006)
4 Polimerisasi lignin terjadi karena bergabungnya satu monomer dengan monomer lainnya
yang sedang tumbuh atau disebut polimerisasi ekor. Radikal penoksi yang bermacam-macam
menyebabkan lignin bercabang dan membentuk struktur tiga dimensi. Polimerisasi lignin diawali oleh
dehidrogenasi enzimatik monolignol. Monolignol dioksidasi oleh peroksida lakase menjadi radikal
penoksi yang sangat reaktif tetapi dapat distabilkan dengan penambahan air atau gugus hidroksil.
Reaksi tersebut menghasilkan banyak tipe ikatan dengan ikatan yang paling dominan adalah gugus
Arylgycerol-B-aryl ether (Gullichcen dan Paulapuro, 2004). Monolignol tersebut disintesis melalui
jalur fenil-propanoid yang diinisiasi dari deaminasi fenilalanin oleh enzim fenilalanin ammonia-liase.
(1)
(2)
(3)
Gambar 3. Unit Fenil Propana Penyusun Lignin. (1) p-komaril alkohol, (2) koniferil alkohol,
(3) sinapil alkohol (Gullichcen dan Paulapuro, 2004)
Enzim-enzim yang berkaitan dengan biosintesis lignin diantaranya phenylalanine ammonia–
lyase (PAL),CoA-o-methyltransferase (CoAoMT), 4-coumarate CoA ligase (4CL), cinnamoyl-CoA
reductase (CCR), dan cinnamyl alcohol dehydrogenase (CAD) (Hambali, 2007). Enzim-enzim
tersebut terlibat di dalam jalur biosintesis lignin yang dimulai dari konversi fenilalanin hingga
pembentukan monolignol seperti pada gambar 4.
Phenyilalanine
Thyrosine
Gambar 4. Jalur Biosintesis Monolignol Lignin (Fengel dan Wegener, 1995)
5 Hemiselulosa merupakan istilah yang umum bagi senyawa polisakarida yang larut dalam
alkali. Empat gula utama, yaitu glukosa, mannosa, xilosa, dan arabinosa merupakan komponen utama
penyusun senyawa hemiselulosa. Rantai utamanya terdiri atas satu jenis homopolimer, yaitu xilan.
Xilan merupakan polimer dari xilosa yang diikat oleh ikatan β-1,4-glikosidik. Rantai xilan dapat
bercabang dan berbentuk amorf sehingga mudah dimasuki pelarut. Dengan demikian, molekul
hemiselulosa memiliki karakteristik senyawa yang lebih mudah menyerap air, tidak tahan panas,
bersifat plastis, mempunyai permukaan kontak antar molekul yang lebih luas dari selulosa, dan
ikatannya lemah sehingga mudah dihidrolisis (Oshima, 1965).
(2)
(1) Gambar 5. (1) Monomer Penyusun Hemiselulosa, (2) Struktur Hemiselulosa (Sjostrom, 1995)
Reaksi yang terjadi untuk mendegradasi xilan, dibutuhkan kerja sama dari beberapa enzim
hidrolitik. Dua enzim yang berperan penting untuk memecah xilan menjadi xilosa adalah endo-1,4-βxylanase dan xylan 1,4-β-xylosidase. Endo-1,4-β-xylanase bekerja dalam merusak ikatan non kovalen
pada struktur polimer hemiselulosa sehingga diperoleh xilan individu kemudian xilan tersebut kembali
dipecah menjadi monosakarida dengan bantuan enzim xylan 1,4-β-xylosidase sehingga menghasilkan
xilosa dan arabinosa. Jika reaksi masih terjadi maka akan dihasilkan turunan dari xilosa, yaitu furfural
seperti pada gambar 6. Furfural merupakan produk yang tidak diharapkan karena dapat menghambat
proses degradasi senyawa lainnya. Hal itu dapat terjadi jika proses degradasi dilakukan melalui
hidrolisis asam (Fengel dan Wegener, 1995).
.
Gambar 6. Struktur Hemiselulosa dan Turunannya (Fengel dan Wegener, 1995)
6 Selulosa merupakan polimer linear glukan dengan struktur rantai yang seragam karena setiap
glukosanya diikat oleh β-1,4-glikosidik dengan gugus hidroksil. Keteraturan ini menyebabkan adanya
ikatan hidrogen yang kuat antar molekulnya sehingga selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi
serta tidak larut dalam kebanyakan pelarut. Proses polimerisasi yang terjadi pada senyawa ini adalah
selobiosa atau dua molekul glukosa menyatu dengan mengeliminasi satu molekul air diantara gugus
hidroksil pada atom karbon 1 dan 4 yang memiliki sifat pereduksi. Beberapa molekul selobiosa
tersebut bergabung menjadi mikrofibril berbentuk kristal kemudian mikrofibril bersatu menjadi fibril
yang akhirnya menjadi serat selulosa.
Gambar 7. Struktur Selulosa.
Sumber : http:www.sigmaaldrich.com/enzymes.html
Gugus hidroksil yang membentuk selulosa dapat berinteraksi dengan gugus -O, -S, dan -N
membentuk ikatan hidrogen sehingga senyawa ini bersifat hidrofilik. Hal ini lah yang dapat
menjelaskan bahwa walaupun strukturnya keras dan kuat, selulosa dapat dipecah menjadi senyawa
sederhana melalui proses selulolitik. Selulolitik adalah proses pemecahan selulosa menjadi senyawa
atau unit-unit glukosa yang lebih kecil. Karena molekul selulosa terikat kuat antar satu molekul
dengan molekul lainnya, selulolitik relatif sulit bila dibandingkan dengan pemecahan polisakarida
lainnya. Proses selulolitik terjadi pada sistem pencernaan sebagian hewan memamah biak ruminansia
untuk mencerna makanan mereka yang mengandung selulosa. Proses selulolitik dapat terjadi dengan
bantuan enzim selulase. Reaksi yang terjadi dalam pemecahan selulosa melibatkan tiga tahap, yaitu
pemotongan ikatan non-kovalen struktur kristal selulosa menjadi selulosa individu, penghidrolisisan
selulosa individu menjadi selobiosa, dan penghidrolisisan selobiosa menjadi glukosa (Astuti, 2003).
7 2.2 Perlakuan Pendahuluan (Pretreatment)
Pretreatment bertujuan untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa, serta mengurangi
kritalinitas selulosa. Pretreatment dapat dilakukan secara fisik, fisiko-kimia, kimia, biologis, maupun
kombinasi diantaranya (Sun dan Cheng, 2002).
1. Perlakuan pendahuluan secara fisik dapat dilakukan dengan pencacahan mekanik,
penggilingan, serta penepungan untuk mengurangi kritalinitas dan memperkecil ukuran.
2. Perlakuan pendahuluan secara fisiko-kimia, antara lain dengan melakukan steam explosion,
ammonia fiber explosion, dan CO2 exlposion. Pada metode ini partikel biomassa dipaparkan
pada suhu dan tekanan tinggi, kemudian tekanannya diturunkan secara cepat sehingga bahan
mengalami dekompresi eksplosif.
3. Perlakuan pendahuluan secara kimia, diantaranya adalah ozonolisis, hidrolisis asam,
hidrolisis alkali, delignifikasi oksidatif, dan proses organosolv
4. Perlakuan secara biologi. Pada metode ini digunakan mikroorganisme, seperti khamir
pelapuk cokelat, khamir pelapuk putih, khamir pelunak untuk degradasi ligniselulosa, serta
bakteri maupun kapang penghasil enzim yang dapat memutus ikatan ligniselulosa.
Perlakuan pendahuluan biomassa ligniselulosa yang telah banyak digunakan adalah hidrolisis
asam encer karena sudah dalam tahap komersialisasi. Akan tetapi, metode ini memiliki kekurangan
diantaranya berpotensi menghasilkan produk samping seperti furfural atau hidroksi metal furfural
(gipsum) yang dapat menghambat proses degradasi. Sedangkan metode lainnya baik secara fisik
maupun biologis sudah banyak dilakukan dan beberapa masih dalam tahap pengembangan.
Beragamnya bahan ligniselulosa membuat tidak ada satupun metode perlakuan pendahuluan yang
berlaku secara umum karena berbeda bahan baku akan memerlukan perlakuan pendahuluan yang
berbeda pula (Samsuri, 2007).
Pada penelitian yang dilakukan oleh zam tahun 2010 mengenai pretreatment pada biomassa
limbah pertanian ditambahkan campuran inokulum yang terdiri atas 8.5 x 105 sel (CFU/ml)
Saccharomyces sp, 8.7 x 106 sel (CFU/ml) Lactobacillus sp, Actynomycetes (+), Pseudomonas sp (+),
dan 7.5 x 105 sel (CFU/ml) Aspergillus sp pada kisaran konsentrasi 10-20 gram dalam 100 gram total
padatan atau 10-20%. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui optimasi konsentrasi inokulum yang
ditambahkan dalam mendegradasi limbah atau biomassa yang mengandung ligniselulosa dari suatu
proses produksi (Zam, 2010).
Tabel 3. Total Plate Count Optimasi Konsentrasi Inokulum
Jumlah sel (CFU/ml)
Konsentrasi
Hari ke10%
15%
0
1
2
3
4
5
6
7
Laju pertumbuhan (sel/jam)
Sumber : Zam, 2010
3.34 x 10
1.77 x 1010
2.03 x 1011
1.00 x 1011
2.07 x 1011
2.24 x 1011
2.24 x 1011
2.48 x 1011
4.80 x 10
5.43 x 1010
1.05 x 1011
9.25 x 1010
1.31 x 1011
1.79 x 1011
1.82 x 1011
1.79 x 1011
20%
6.46 x 107
1.16 x 1011
1.18 x 1011
9.01 x 1010
1.64 x 1011
1.04 x 1011
1.08 x 1011
9.95 x 1010
0,098
0,096
0,095
7
7
8 Konsentrasi inokulum yang mencukupi merupakan salah satu syarat agar proses degradasi
dapat berlangsung dengan optimum. Kesesuaian antara rasio inokulum dan komposisi substrat juga
dapat mempengaruhi proses degradasi limbah ligniselulosa (Mishra, 2001). Kurang baiknya
pertumbuhan dan degradasi limbah pada konsentrasi inokulum 15% dan 20% diduga karena
konsentrasi tersebut terlalu banyak sehingga medium kurang memadai untuk pertumbuhan bakteri
tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya kompetisi antar bakteri, sehingga pertumbuhan dan proses
degradasi menjadi rendah. Persaingan dalam penggunaan substrat mengakibatkan pertumbuhan kultur
menjadi kurang baik karena pertambahan jumlah sel atau biomassa menjadi rendah (Astuti, 2003).
Optimasi lanjutan dari penelitian tersebut, seperti yang ditunjukkan pada tabel 4 penurunan
COD pada konsentrasi inokulum 20% dan 30% tidak jauh berbeda dengan konsentrasi inokulum 10%.
Menurut zam (2010), hal itu karena terjadinya kompetisi antar populasi pada perlakuan sehingga
bakteri-bakteri beradaptasi menggunakan substrat selain karbon, seperti asam lemak dan senyawa
lainnya yang terdapat dalam limbah tersebut. Penggunaan senyawa-senyawa lain mengakibatkan
kenaikan COD yang cukup tinggi, sedangkan degradasi biomassanya menjadi rendah.
Jika terdapat lebih dari satu pengguna substrat dalam satu kultur, maka kemungkinan
mikroorganisme untuk termutasi akan lebih besar. Akibat dari mutasi ini, mikroorganisme akan
memiliki kemampuan untuk memanfaatkan substrat lainnya untuk pertumbuhan (Black, 1999).
Konsentarsi inokulum yang ditambahkan juga berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan untuk
proses pretreatment. Data pada tabel 3, laju pertumbuhan untuk konsentrasi inokulum 10% sebesar
0.098 dengan perhitungan kinetik laju pertumbuhan mikroorganisme maka diperoleh waktu generasi
yang dibutuhkan adalah 10 jam. Dengan kata lain, pada waktu tersebut mikroorganisme akan tumbuh
lebih banyak lagi dengan syarat substrat pada media masih mencukupi.
Tabel 4. Penurunan COD Hasil Optimasi Inokulum
Konsentrasi Inokulum
COD awal (g/100ml)
COD akhir (g/100ml)
10%
91.437
34.975
20%
91.437
35.960
30%
91.437
36.945
Sumber : Zam, 2010
2.3 Penguraian Senyawa Ligniselulosa
Lignin merupakan bagian terkeras dari ligniselulosa karena sifatnya sebagai pelindung
memiliki konsentrasi yang tinggi pada bagian lamela tengah, artinya senyawa ligniselulosa tidak akan
terurai sebelum merusak ikatan ligninnya. Ikatan antar molekul lignin yang utama adalah ArylgycerolB-aryl ether, termasuk senyawa eter yang memiliki gugus fungsi mengandung oksigen pada posisi
benziliknya. Gugus tersebut sensitif terhadap media asam sehingga lignin akan mengalami kondensasi
dan mengendap. Akan tetapi sebagain lignin akan larut pada tahap penguraian selanjutnya (Munir,
2005). Bakteri yang dapat menghasilkan asam pada penelitian ini adalah Lactobacillus sp sebagai
penghasil asam laktat. Asam laktat merupakan asam karboksilat yang dapat ditemukan hampir pada
seluruh jenis organisme sebagai agen utama dalam degradasi ligniselulosa.
9 Pada saat tahap awal penguraian, enzim-enzim yang dikeluarkan oleh bakteri maupun khamir
seperti selulase terlalu besar untuk melewati pori-pori dinding sel yang ukurannya lebih kecil.
Kalsium yang merupakan unsur penyusun pada lamela tengah dalam bentuk kalsium pektat, diikat
oleh asam sehingga merusak integritas dinding sel yang menyebabkan terbukanya pori untuk
memberikan kesempatan pada enzim lignolitik bereaksi. Sedangkan enzim spesifik yang dapat
mengurai senyawa lignin diantaranya adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP),
dan lakase (Munir, 2005).
Lignin peroksidase pertama kali ditemukan pada khamir Phanerochaete chrysosporium.
Umumnya merupakan khamir basidiomiset dan dikelompokkan menjadi khamir busuk cokelat dan
busuk putih. Enzim yang dihasilkan dari organisme tersebut dimulai saat LiP mengkatalis senyawa
aromatik fenolik, mengoksidasi senyawa amina, aromatik eter dan aromatik posiklik menjadi gula.
Mangan peroksidase (MnP) mengoksidasi senyawa fenolik menjadi radikal fenoksi oleh oksidasi
Mn(II) menjadi Mn(III) dengan H2O2 sebagai oksidannya. Lakase mengoksidasi senyawa non-fenolik
menjadi radikal fenoksil, diamin, dan senyawa inorganik (Agustina, 2009). Proses pemecahan lignin
menghasilkan senyawa fenolik bukan monosakarida karena rantainya tersusun atas fenil-propana atau
senyawa aromatik seperti pada gambar 8.
Gambar 8. Penguraian Lignin Oleh Enzim Lignin Peroksidase
Penguraian senyawa selulosa dapat dilakukan dengan bantuan mikroorganisme yang dapat
mensekresikan kompleks enzim selulase. Enzim tersebut digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu
endoglukanase, selobiohidrolase, dan β-glukosidase. Endoglukanase memiliki afinitas yang tinggi dan
bereaksi secara acak pada serat selulosa berkristalinitas rendah atau amorf sehingga substrat dapat
larut karena menurunnya viskositas. Selobiohidrolase merupakan istilah untuk enzim yang
menghasilkan selobiosa. Enzim ini beraksi sebagai eksoenzim dan melepaskan selobiosa dari selulosa
kristal. Enzim ini mengurai selulosa dari polimer yang tidak tereduksi dan memiliki aksi yang terbatas
terhadap selulosa karena fokus pada pemecahan selulosa berbentuk kristal. Sedangkan β-glukosidase
bereakasi terhadap berbagai senyawa berikatan β-1,4-glikosidik menjadi glukosa yang merupakan
sumber karbon untuk proses pemanfaatan selanjutnya (Fikrinda, 2000).
Mikroba selulolitik memecah selulosa secara intraselular saat terjadi kontak antara sel
dengan permukaan selulosa sebagai substrat untuk melakukan metabolismenya. Aktivitas enzim
selulase akan lebih tinggi bila medium pertumbuhannya mengandung selulosa dibandingkan glukosa
sebagai sumber karbon. Derajat polimerisasi selulosa berkisar 15.000- 27.000. Hal itu menandakan
bahwa glukosa yang terkandung didalamnya juga berada pada kisaran yang sama, artinya setiap
selulosa yang terurai akan menghasilkan hingga 27.000 glukosa. Mekanisme penguraian selulosa
secara intraselular pada bakteri selulolitik dimulai dari daerah amorf oleh endoglukanase secara acak
sehingga membentuk rantai yang terbuka bagi aktivitas selobiohidrolase. Aktivitasnya mampu
10 membebaskan unit selobiosa dari ujung rantai selulosa. Endoglukanase selanjutnya memotong lapisan
kedua dan seterusnya dari serat selulosa yang diikuti aktivitas selobiohidrolase. Kemudian, selobiosa
yang terbentuk diurai kembali oleh enzim β-glukosidase membentuk glukosa melalui pemutusan
ikatan β-1,4 glukosida. Mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim tersebut diantaranya dari
genus Acetobacter, Clostridium, Psedomonas, dan Vibrio (Fikrinda, 2000).
Sama halnya dengan selulosa, senyawa hemiselulosa dapat dipecah menjadi monomer xilosa
dengan bantuan enzim β-glukosidase karena hemiselulosa memiliki ikatan yang sama dengan selulosa,
yaitu β-1,4-glikosidik di setiap molekulnya. Xilan merupakan polimer dari xilosa atau gula pentosa
(C5) yang memiliki rantai 150-200 unit. Xilan lebih cepat diurai oleh mikroba dibandingkan selulosa
karena ikatanya yang cenderung lemah. Ikatan tersebut dapat diputus dengan bantuan enzim xilanase
hasil metabolisme khamir seperti Aspergilus sp dan bakteri dari golongan Actinomycetes seperti
Streptomyces sp. Kedua mikroorganisme tersebut mampu menghasilkan enzim didalam tubuh dari
substrat berupa hemiselulosa yang kontak pada permukaan selnya. Xilanase diklasifikasikan
berdasarkan substrat yang dicerna, terdiri atas β-xyloxidase, eksoxilanase, dan endoxilanase. Enzim βxyloxidase, yaitu xilanase yang mampu mengurai xilo-oligosakarida rantai pendek menjadi xilosa.
Endoxilanase mampu memutus ikatan β-1,4 pada bagian dalam rantai xilan secara teratur. Ikatan yang
diputus, ditentukan berdasarkan panjang rantai subtrat, derajat percabangan, dan pola pemutusan dari
enzim tersebut. Xilase umumnya protein kecil dengan berat molekul antara 15.000-30.000 dalton dan
stabil pada pH netral. Untuk Streptomyces sp tumbuh dengan baik pada pH 4.5-8, suhu 36oC
sedangkan khamir karena termasuk khemoorganoheterotrof maka dapat tumbuh pada kondisi anaerob
dan memperoleh energi dengan mengoksidasi bahan organik. Aspergillus sp tumbuh pada suhu 2430oC dan pH 4.5-6 (Saha, 2003).
2.4 Produk Utama Hasil Pretreatment
Produk atau hasil pretreatment onggok menggunakan mikroorganisme jenisnya beragam
namun memiliki kesamaan, yaitu menghasilkan senyawa gula sederhana dalam bentuk monosakarida,
kecuali hasil degradasi senyawa lignin yang merupakan senyawa aromatik bukan karbohidrat
sedangkan untuk hemiselulosa menghasilkan gula baik dalam bentuk heksosa (C6) seperti glukosa,
mannosa, dan galaktosa, juga pentosa (C5) seperti arabinosa dan xilosa, sementara selulosa
menghasilkan glukosa. Semua senyawa gula tersebut adalah yang paling sederhana yang dapat dicerna
oleh mikroorganisme sebagai substrat untuk melakukan metabolismenya lebih lanjut agar
menghasilkan produk yang diinginkan seperti substrat pembuatan biogas dalam kondisi anaerob
menghasilkan gas metan dari bakteri metanogenisis.
11 2.4.1 Glukosa
Glukosa(C6H12O6, berat molekul 180.18) adalah heksosa atau monosakarida yang
mengandung enam atom karbon. Glukosa merupakan aldehida yang mengandung gugus -CHO.
Lima karbon dan satu oksigennya membentuk cincin yang disebut cincin piranosa, Bentuk paling
stabil untuk aldosa berkarbon enam. Dalam cincin ini, tiap karbon terikat pada gugus samping
hidroksil dan hydrogen, kecuali atom kelimanya yang terikat pada atom karbon keenam di luar
cincin membentuk suatu gugus CH2OH (Siagian, 2011)
Gambar 9. Bentuk Rantai D-glukosa
Banyaknya glukosa yang diperoleh bergantung pada seberapa panjang rantai pada
polisakaridanya. Semakin panjang maka glukosa yang diperoleh akan semakin banyak. Akan
tetapi, dalam suatu pendegradasian senyawa tidak semuanya dapat diurai secara sempurna.
Glukosa memiliki keunggulan atau sifat fisik dan kimianya, yaitu tidak mudah bereaksi secara
nonspesifik dengan gugus amino suatu protein dengan cara mereduksinya. Reaksi ini dikenal
dengan glikosilasi yang dapat merusak fungsi berbagai enzim. Hal ini disebabkan karena glukosa
berada dalam bentuk isomer siklik yang kurang reaktif. Glukosa juga larut dalam air karena
mampu berikatan dengan ikatan hidrogen pada gugus hidroksinya.
2.4.2 Manosa
Manosa adalah gula aldehida yang dihasilkan dari oksidasi manitol dan memiliki sifatsifat umum yang serupa dengan glukosa. Senyawa dengan rumus kimia C6H14O6 memiliki lima
rantai karbon dan gugus eter sehingga membuat senyawa ini mempunyai sifat rasa manis, tidak
berbau, berbentuk serbuk, mudah larut dalam air dan basa, serta sukar larut dalam etanol dan eter
(Almatsier, 2004).
(1) (2) (3)
Gambar 10. (1) D-Mannosa, (2) L-Mannosa, (3) Siklik Mannosa
Mannosa merupakan gula alkohol isomer optik dari sorbitol dan ,merupakan gula yang
paling mahal yang digunakan sebagai pengisi tablet, terutama pada tablet hisap serta memberikan
rasa dingin ketika dihisap. Senyawa ini biasa digunakan untuk formulasi tablet multivitamin,
tidak higroskopis, rendah kalori karena manisnya mannosa 0,5-0,7 dari manisnya sukrosa
(Pasaribu, 2006).
12 2.4.3 Xilosa
Xilosa merupakan suatu gula pentosa, yaitu monosakarida dengan lima atom karbon dan
memiliki gugus aldehida. Xilosa sering disebut gula kayu karena merupakan senyawa gula yang
pertama kali diisolasi dari kayu. Xilosa memiliki rumus molekul (HOCH2(CH(OH))3CHO.
Karakteristik xilosa yang mengandung lima atom karbon dan adanya gugus spesifik, yaitu
karbonil bebas, memberikan sifat xilosa dapat dimanfaatkan sebagai reducing sugar (Almatsier,
2004).
(1) (2) (3) Gambar 11. (1) D-Xilosa (2) L-Xilosa (3) Siklik D-Xilosa
Gula yang diperoleh dari hidrogenasi xilan dengan bantuan mikroorganisme ini memiliki
banyak kegunaan. Kegunaan yang paling sering dimanfaatkan dan dikembangkan secara industri
adalah sebagai bahan sintesis xilitol. Xilitol merupakan gula alkohol golongan pentitol yang
memiliki lima atom karbon dan lima gugus karbonil. Xilitol mengandung 9.6 kalori dalam
takaran 5 ml untuk meningkatkan kesehatan tulang (Mattila, 2002).
2.4.4 Arabinosa
Arabinosa merupakan salah satu senyawa karbohidrat golongan monosakarida
aldopentosa dengan lima atom karbon yang mengandung satu gugus aldehid dan empat gugus
alkohol. Formulanya adalah C5H10O5 dengan berat molekul 150. D-arabinosa mempunyai
konfigurasi yang sama dengan D-gliseraldehid, perbedaannya pada rotasi optik spesifik [α].
Campuran kesetimbangan dari anomer D-arabinosa (α dan β) memiliki rotasi spesifik -105,0o. Darabinosa merupakan gula pereduksi yang dapat mereduksikan Fehling maupun Tollens karena
mempunyai gugus –OH laktol bebas. Struktur arabinosa dapat dilihat dengan proyeksi Fischer
sebagai berikut
Gambar 12. Struktur Fischer Senyawa Arabinosa
Dalam proyeksi ini arabinosa terdapat dalam dua enansiomer yaitu D-arabinosa dan Larabinosa, tetapi isomer yang umum terdapat di alam adalah D-arabinosa. Suatu monosakarida
berisomer D atau L bergantung pada posisi gugus hidroksil pada atom karbon asimetris terjauh
dari gugus aldehid atau keton. Pada arabinosa atom C asimetris terjauh terdapat pada atom C
nomor 4. Jika gugus –OH berada di sebelah kanan maka penamaannya memiliki bentuk isomer
D, tetapi jika mengarah ke kiri dikatakan berisomer L (Almatsier, 2004).
13 
Download