II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Selulosa, Enzim Selulase, dan Mikroba Selulolitik Selulosa merupakan polimer glukosa linear yang seragam dengan ikatan β- 1-4 glikosidik. Beberapa rantai molekul selulosa yang paralel dapat saling berikatan melalui ikatan hidrogen intermolekuler membentuk suatu mikrofibril. Beberapa mikrofibril kemudian membentuk fibril dan akhirnya menjadi serat selulosa yang bersifat tidak larut (Gambar 1). (a) Gambar 1 (b) (c) Unit dasar dan struktur supramolekuler dari selulosa: (a) unit dasar dengan ikatan β-(1-4)-glikosidik, (b) ikatan intramolekuler hidrogen dalam selulosa kristalin alami antara O-3-H dan O-5’, dan antara O-2-H dan O-6’, (c) Model fibril tepi dari struktur supramolekul selulosa (Klemm et al. 1998). Setiap molekul selulosa tersusun atas unit-unit glukosa. diperkirakan mencapai lebih dari 10.000 unit. Pada kayu. fibril-fibril selulosa tersebut membentuk struktur kristal, terbungkus oleh lignin yang berfungsi sebagai pelindung selulosa. Sifat fisik dan kimia dari selulosa yang demikian menyebabkan selulosa berfungsi sebagai komponen struktural utama dinding sel tumbuhan (Knabner 2002). Selulosa juga merupakan bagian terbesar dari komponen lignoselulosa tumbuhan. Kandungan selulosa tumbuhan tingkat tinggi tidak tetap, tetapi bervariasi menurut umur dan jenis tumbuhan. Konsentrasinya berkisar antara 15-45% dari bobot kering tumbuhan dan pada rerumputan yang masih muda kandungan selulosa relatif sedikit, berkisar 15% dari bobot kering tumbuhan (Hardjo et al. 1989). Enzim selulase merupakan kelompok enzim yang mampu memutus ikatan β1-4 glikosidik dalam molekul selulosa, selodekstrin, selobiosa, dan turunan selulosa. 4 Pada umumnya enzim ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok tergantung spesifisitas dalam menghidrolisa selulosa, yaitu endoglukanase (EC 3.2.1.4), eksoglukanase (EC 3.2.1.91), dan β-glukosidase (EC 3.2.1.21). Ketiga kelompok enzim ini bekerjasama menghidrolisa selulosa yang tidak dapat larut menjadi glukosa, sehingga aktivitas gabungan ketiga enzim ini dapat diukur dengan memantau jumlah glukosa yang dihasilkan. Endoglukanase merupakan komponen selulase yang selalu ditemukan pada mikroorganisme selulolitik baik cendawan maupun bakteri. Enzim ini memiliki afinitas yang tinggi terhadap turunan selulosa tersebut dengan aksi endo dan bereaksi secara acak pada serat selulosa yang memiliki kristalinitas rendah. Enzim ini lebih dikenal dengan nama CMC-ase dikarenakan aktivitas yang tinggi pada substrat CMC. CMC-ase merupakan salah satu enzim dalam komplek selulase, menghasilkan selodekstrin, selobiosa, dan glukosa. Aktivitas enzim ini menyebabkan penurunan viskositas substrat yang dapat larut, karena itu pengukuran penurunan viskositas larutan CMC merupakan metode yang sering digunakan untuk menentukan aktivitas endoglukanase (Ilmen et al. 1997; Darwis et al. 1997). Eksoglukanase merupakan kelompok enzim yang lebih dikenal dengan selobiohidrolase. selobiosa. Enzim ini menghasilkan produk hidrolisa utamanya adalah Enzim ini bereaksi sebagai eksoenzim dan melepaskan selobiosa sebagai produk utama dari selulosa kristal. Enzim ini menghidrolisa selooligomer (selotetraosa dan seloheksosa) menjadi selobiosa tetapi tidak dapat menghidrolisa selobiosa. Umumnya bakteri hanya memiliki selobiohidrolase (eksoglukanase) yang mampu memecah selooligomer, pNPC atau phosphoric swoolen cellulose (Takasima et al. 1996). β-glukosidase merupakan enzim hidrolitik bereaksi terhadap berbagai senyawa dengan ikatan β-D-glikosidik. Enzim ini tidak menghidrolisis CMC atau selulosa tetapi menghidrolisa selooligosakarida, pNPG, dan selobiosa menjadi glukosa yang merupakan sumber karbon yang dapat digunakan dengan mudah untuk pertumbuhan cendawan. Berdasarkan substrat yang dihidrolisa enzim ini dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: selobiose, ekso-β-1.4 glukan-glukohidrolase, dan aril-β-glukosidase. Selobiase merupakan enzim yang dapat menghidrolisa 5 selobiosa menjadi glukosa, ekso-β-1.4-glukan–glukosidase adalah enzim yang dapat menghidrolisis p-nitrofenil-β-D-glukosida (Irawadi 1991). Enzim selulase berperan penting dalam proses biodegradasi tumbuhan berlignoselulosa. Enzim ini dapat dihasilkan oleh cendawan dan bakteri selulolitik. Di bidang industri, enzim selulase telah ditemukan aplikasi terbarunya dalam produksi dan proses kimia makanan dan industri bahan seperti pabrik kertas rayon dan selopan. Selain itu enzim selulase telah dimanfaatkan secara intensif untuk ekstraksi komponen penting dari sel-sel tumbuhan, perbaikan nilai nutrisi pakan ternak, dan preparasi protoplas tumbuhan dalam bidang penelitian genetika (Kader et al. 1999). Substrat selulosa di alam berada dalam bentuk kristalin dan amorf. Mikroorganisme memproduksi banyak enzim untuk mendegradasi substrat, seperti untuk degradasi bahan-bahan sel tumbuhan. Sistem ini dikenal sebagai sistem enzim (Lynd et al. 2002). Berbeda hal nya substrat selulosa sintetik yang hanya dihidrolisis oleh satu tipe enzim selulase berikut ini: carboxymethyl cellulose dan trinitrophenyl Cm-cellulose dihidrolisis oleh endoglukanase, methylumbelliferyl-β-Dcellobiose (MUC) dan p-nitrophenyl-β-D-cellobioside (pNPC) dihidrolisis oleh eksoglukanase serta methylumbelliferyl-β-D-glycopyranaside (MUG) dan p- nitrophenyl-β-D-glycopyranisede (pNPG) dihirolisis oleh β-glikosidase (Coral et al. 2002). Di samping itu beberapa kelompok bakteri selulolitik telah ditemukan berperan penting dalam degradasi limbah padat kota yaitu dari familia Bacillaceae dan beberapa genera Cellulomonas, Clostridium, Microbacterium, Eubacterium, dan Lactobacillus (Pourcher et al. 2001). Mikroba selulolitik seperti halnya bakteri dan cendawan menghasilkan seperangkat enzim yang menghidrolisa selulosa kristal secara sinergis menjadi oligosakarida yang lebih kecil dan akhirnya menjadi glukosa yang berfungsi sebagai sumber karbon dan unsur hara bagi pertumbuhan mikroba tersebut. Enzim yang berperan dalam proses hidrolisis tersebut adalah selulase yang dihasilkan mikroorganisme sebagai respon terhadap adanya selulosa pada lingkungan hidupnya dan proses tersebut berlangsung jika terjadi kontak antara enzim selulase dan permukaan selulosa. Selain berperan penting dalam perombakan karbon, mikroorganisme selulolitik juga ada yang mampu menyerang patogen tumbuhan atau cendawan antagonis (Ilmen et al. 1997). 6 Aktivitas mikroba selulolitik secara umum dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, suhu, aerasi, kelembaban, pH, keberadaan karbohidrat, dan proporsi relatif lignin dalam residu. Pada pH rendah cendawan lebih berperan aktif dalam merombak selulosa dan prosesnya relatif lebih cepat pada kisaran pH 5.0. Beberapa bakteri penghasil selulase termasuk dalam genus sebagai berikut: Acetobacter, Bacillus, Cellulomonas, Cythopaga, Pseudomonas, Sarcina, dan Vibrio. Beberapa hasil penelitian menunjukkan beberapa bakteri yang dapat digunakan untuk menghasilkan enzim selulase antara lain: Pseudomonas flurescent var cellulose, Cellulomonas fimi, Bacillus subtilis, Clostridium thermocellum, Acetobacter xylinum (Heck et al. 2002). 2.2 Xilan dan Xilanase Xilan merupakan komplek heteropolisakarida yang terdiri atas tulang punggung residu xilosa dihubungkan oleh ikatan β-1.4 glikosidik. Xilan terikat secara kovalen pada lignin dan melalui ikatan hidrogen pada selulosa. menjadi homoxilan linier, arabinoxilan, glukoronoxilan. Xilan dapat dibedakan Selain xilosa, xilan juga dapat mengandung arabinosa, asam glukoronat, asam asetat, asam ferulat, dan asam ρ-koumarat sebagai rantai samping (Beg et al. 2001; Saha 2003). Xilan adalah komponen utama penyusun polisakarida hemiselulosa, pada tumbuhan kandungannya mencapai sekitar 30-35% berat kering total. Xilan dari rumput-rumputan, sereal, kayu keras, dan lunak berbeda dalam komposisi. Birchwood xylan tersusun oleh 89.3% xilosa, 1% arabinosa, 1.4% glukosa, dan 8.3% asam anhidrouronik. Rice bran xylan mengandung 46% xilosa, 44.9% arabinosa, 6.1% galaktosa, 1.9% glukosa, dan 1.1% asam anhidrounik. Wheat arabino xylan tersusun oleh 65.8% xilosa, 33.5% arabinosa, 0.1% manosa, 0.1% galaktosa, dan 0.3% glukosa. Corn fiber xylan adalah salah satu komplek heteroxilan yang terdiri atas ikatan (1.4) residu xilosa dengan komposisi 48-58% xilosa, 33-35% arabinosa, 5-11% galaktosa, dan 3-6% asam glukoronat (Saha 2003). Hidrolisis xilan diperlukan beberapa enzim berbeda yaitu endo-1.4-β-xilanase yang menghidrolisis struktur dasar xilan secara acak menjadi xilooligosakarida, 1.4β-D- xilosidase yang memutus xilooligosakarida menjadi xilosa. Gugus penyusun samping xilan akan dibebaskan oleh α-L-arabinofuranosidase, α-D-glukorodase, dan 7 asetil xilan esterase menjadi arabinosa, glukuronat, dan asetat (Subraminayan dan Prema 2002). Enzim endo-β-xilanase (EC.3.2.1.8) sebagian besar dihasilkan oleh mikroba seperti bakteri, cendawan, dan beberapa diantaranya berasal dari hewan. Endoxilanase mampu memutus ikatan β-1-4 pada bagian dalam rantai xilan secara teratur. Enzim β-xilosidase (EC.3.2.1.37) menghidrolisis 1.4-β-xilooligosakarida dari ujung non–pereduksi dan melepaskan xilosa. Xilosa selain merupakan hasil hidrolisis juga merupakan inhibitor bagi enzim β-xilosidase. Sebagian besar enzim β-xilosidase yang berhasil dimurnikan masih menunjukkan adanya aktivitas transferase yang menyebabkan enzim ini kurang dapat digunakan dalam industri penghasil xilosa (Richana 2002). Enzim α-L-arabinofuranosidase (EC.3.2.1.55) menghidrolisis ujung non-pereduksi antara ikatan α-L-arabinofuranosida dengan berbagai polisakarida yang mengandung arabinofuranosa (Debeche et al. 2002). Enzim ini merupakan bagian dari glikosida hidrolase yang berperan dalam proses degradasi hemiselulosa seperti arabinoxilan, arabinogalaktan, dan L-arabinan. Adanya substituen L-arabinofuranosida dalam struktur xilan dapat secara kuat menghambat aktivitas endo-xilanase dan β-xilosidase yang berakibat menghalangi degradasi total dari polimer xilan (Shallom et al. 2002). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa xilanase juga bermanfaat untuk biokonversi limbah pertanian terutama untuk hidrolisis xilan menjadi xilooligosakarida dan hidrolisis xilooligosakarida menjadi xilosa (Vasquez et al. 2000). 2.3 Pengomposan Pengomposan adalah dekomposisi oksidatif-biologi dari penyusun bahan– bahan organik dalam limbah di bawah keadaan yang terkendali (Sharma et al. 1997). Sebagai sebuah proses biologi, pengomposan memerlukan keadaan yang khusus seperti suhu, kelembaban, aerasi, pH, dan rasio C/N. Produk utama dari pengomposan secara aerobik adalah CO2, air, ion mineral, dan bahan organik stabil yang sering disebut humus. Proses pengomposan sendiri meliputi tiga proses berbeda yaitu proses awal dimana komponen-komponen yang mudah terdegradasi didekomposisi, kemudian fase termofilik yaitu fase dimana bahan-bahan seperti selulosa didegradasi melalui aktivitas oksidasi mikroorganisme, dan terakhir adalah 8 fase maturasi dan stabilisasi. Pengomposan merupakan proses komplek, melibatkan bahan-bahan organik, organisme (mikroba), faktor fisik (lingkungan) sehingga terjadi proses transformasi kimia, biologi, dan fisik di bawah keadaan lingkungan yang berubah dengan hasil akhir kompos (Gambar 2). mbar 1. Tahapan dalam proses pengomposan (Rynks et al 1992). Gambar 2 Tahapan dalam proses pengomposan (Rynks et al. 1992). Limbah organik pertanian dalam jumlah besar merupakan bahan pokok pengomposan sekaligus sebagai sumber pupuk organik potensial (Pramono et al. 2003). Salah satu indikator pengomposan adalah munculnya suhu termofil pada bahan organik yang sedang dikomposkan. Dengan suhu antara 65-70 oC sudah dianggap cukup untuk mensterilisasi bahan yang dikomposkan. Berbagai bibit penyakit dapat dimatikan selama proses berlangsung sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah kompos higienis, jika diaplikasikan di lapangan tidak akan memberikan dampak merugikan bagi lingkungan. Oleh karena itu sangat penting mengetahui perbedaan kompos muda (belum matang) dan kompos matang. Untuk kompos muda sebagian kompos masih bersifat fitotoksik. Humifikasi bahan organik yang tidak lengkap menghasilkan molekul-molekul intermediat yang masih bersifat racun bagi tumbuhan dan menyebabkan terjadinya kekurangan nitrogen. Fungsi kompos sebagai amandemen tanah adalah mirip pupuk kimia yaitu memperkaya tanah akan N, P, K namun pengaruh prinsipnya adalah untuk merangsang stabilisasi fisik, biologi, kimia tanah, dan keseimbangan elemen-elemen mineral. Humus adalah produk akhir humifikasi di mana senyawa-senyawa yang berasal dari lignin, polisakarida, senyawa-senyawa nitrogen diubah menjadi bahanbahan stabil (Tuomela et al. 2000). 9 Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengomposan adalah sebagai berikut: 1) Ukuran bahan yang dikomposkan, semakin kecil partikel maka semakin banyak jumlahnya dan semakin luas pula jumlah permukaan yang dicerna oleh mikroorganisme. 2) Suhu dan tinggi tumpukan, metabolisme mikroorganisme dalam tumpukan menimbulkan energi dalam bentuk panas. Panas yang terperangkap di dalam tumpukan akan meningkatkan suhu tumpukan. 3) Ketersediaan oksigen dan pembalikan, kadar mengakibatkan oksigen ideal mikroorganisme mikroorgaisme anaerobik. adalah aerobik 10%-18%, mati dan kekurangan akan oksigen tergantikan oleh Aerasi sangat diperlukan untuk mengurangi kadar air yang tinggi pada bahan organik yang akan dikomposkan dan untuk menjaga agar pada proses pengomposan selalu ada udara segar dan kondisi anaerob dapat dihindari. 4) Rasio karbon-nitrogen (C/N), digunakan untuk mendapatkan degradasi biologis dari bahan-bahan organik yaitu apakah limbah tersebut baik atau tidak untuk dijadikan kompos serta untuk menunjukkan umur dan kematangan kompos. 5) Kadar air dan udara pada tumpukan kompos, kadar air atau kelembaban ideal adalah antara 40%-60% dengan kadar terbaik adalah 50%. Kisaran tersebut harus dipertahankan untuk memperoleh jumlah populasi mikroorganisme terbesar karena semakin besar populasinya maka makin cepat proses dekomposisi. 6) Derajat keasaman, pada awal proses pengomposan derajat keasaman akan selalu turun karena sejumlah mikroba akan mengubah sampah organik menjadi asam organik. pH ideal dalam proses pengomposan adalah antara 6-8 dengan tingkat masih diterima adalah pH 5.0 (Rochaeni et al. 2003). 2.4 Rasio C/N (Karbon/Nitrogen) Rasio karbon-nitrogen bahan organik merupakan faktor yang sangat penting dalam percepatan pengomposan. Transformasi bahan organik untuk pupuk yang melibatkan aktivitas mikroorganisme sangat tergantung pada kadar karbon dan nitrogen yang terdapat di dalam bahan. Rasio karbon nitrogen optimal untuk proses pengomposan yaitu berkisar antara 30-40, tetapi proses pengomposan dapat berlangsung lebih baik jika rasio karbon nitrogen antara 25-35. Rasio C/N optimum untuk pengomposan adalah 30-35, mikroorganisme menggunakan 30 bagian karbon untuk setiap bagian nitrogen. (Rochaeni et al. 2003). Rasio C/N setelah menjadi kompos adalah 10-20 10 Bahan organik dengan rasio C/N tinggi akan menurunkan aktivitas biologi mikroba yang terlibat. Beberapa siklus aktivitas mikroba dapat terjadi untuk mendegradasi bahan yang mengandung karbon. Nitrogen yang telah dimobilisasi akan didaur ulang yaitu dengan matinya beberapa mikroba untuk mereduksi kandungan karbon pada residu-residu organik. Oleh karena itu, proses dekomposisi yang sempurna akan berlangsung dalam waktu lama. Secara umum semakin tinggi rasio C/N dari bahan organik maka semakin lambat proses dekomposisi. Sebaliknya dalam kondisi nisbah C/N rendah walaupun proses dekomposisi berlangsung, beberapa nitrogen yang tidak dapat diasimilasi akan hilang akibat proses volatilisasi sebagai amoniak atau denitrifikasi. Pada kondisi nilai C/N rendah dan kondisi yang sesuai, amoniak akan dioksidasi lebih lanjut menjadi nitrit dan nitrat. Selama pengomposan akan terjadi penurunan nilai nisbah C/N akibat terbentuknya CO2, sementara nilai N cenderung konstan (Dalzel et al. 1987).