MAKALAH PERANCANGAN DAN MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) SERAYU DI JAWA TENGAH Oleh RABIATUL ADAWIYAH 115100900111017 ISTIANAH HIDAYANI 115100901111005 SUNARSIH 115100901111007 ARIDHA PUTRI 115100907111002 CHARISTA DEWA 115100907111005 PROGRAM STUDI TEKNIK SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 1. Deskripsi DAS Serayu terletak dibagian selatan Jawa Tengah. Sungai Serayu dari hulu hingga hilir mempunyai luas 3.718 km2 dan secara geografis terletak pada koordinat 07o05‘ s.d. 07o4‘ LS dan 108o56‘ s.d. 110o05‘ BT. Adapun batas-batas wilayah DAS Serayu yaitu sebelah timur berbatasan dengan Rangkaian Gunung api Sumbing dan Gunung api Sindoro, sebelah utara berbatasan dengan Pegunungan Besar, pegunungan Rogojembangan, Gunung api Slamet, sebelah selatan berbatasan dengan Pegunungan Serayu Selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Perbukitan yang melintang sepanjang perbatasan Banyumas dan Cilacap. Gambar 1. Peta Admisnitrasi DAS Serayu Sumber : Rencana Induk Pengelolaan Lingkungan Hidup SWS Serayu Tahun 2003 Secara garis besar karakteristik morfologi Sungai Serayu, dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir. 1. Bagian hulu yaitu sungai yang terletak di Mata Air Tuk Bimo, Desa Dieng Kecamatan Kejajar yang memiliki ciri-ciri: Arus deras. Tebing sungai curam. Kemiringan dasar sungai besar. Diameter material besar. Erosi vertikal. Dasar sungai penuh batu 2. Bagian tengah yaitu Desa Pucang Kecamatan Bawang memiliki ciri-ciri: Arus tidak terlalu deras. Tebing sungai tidak terlalu curam. Kemiringan dasar sungai sedang. Diameter material sungai sedang. Erosi vertikal ke arah lateral. Kondisi air tenang dan dalam 3. Bagian hilir yaitu bagian Muara Sungai Serayu terletak di pantai dekat Gunung Srandil Cilacap, tepatnya Desa Selarang, mempunyai ciri-ciri: Arus tidak deras. Tebing sungai landai. Kemiringan dasar sungai kecil. Diameter material sungai kecil-kecil (pasti halus). Erosi lateral A. Karakteristik Lingkungan Fisik Potensi sumberdaya air tidak lepas dari karakteristik lingkungan fisik yang terdiri dari jenis dan formasi batuan penyusun, relief atau topografi, jenis tanah serta pemanfaatan lahan. Masing-masing karakteristik lingkungan fisik tersebut akan mempengaruhi potensi sumberdaya air yang dapat terlihat dari kuantitas maupun kualitas air di tiap daerah. Karakteristik lingkungan fisik DAS Serayu secara umum dibahas pada sub-bab berikut: • Kondisi Geologi Secara regional, DAS Serayu merupakan bagian dari geantiklinal Pulau Jawa yang mengalami amblesan di bagian tengah sehingga terbentuk graben. Pada bagian yang ambles tersebut kemudian ditumbuhi oleh gunung api yang ada di DAS Serayu berjajar dari barat ke timur mulai dari Gunungapi Slamet, Besar, Rogojembangan, Bisma, hingga komples Sindoro-Sumbing. Celah antara sisa geantiklinal di bagian selatan dan deretan gunungapi inilah yang kemudian membentuk lembah Sungai Serayu. Proses-proses selanjutnya yang berupa pengangkatan, amblesan, pensesaran dan pelipatan terus berlangsung hingga membentuk sebaran satuan-satuan geologis seperti sekarang ini. Sungai Serayu bagian hilir yang berorientasi timur-barat diperkirakan terkontrol oleh adanya struktur yang cenderung berorientasi timur barat. Beberapa sungai lain cabang dari Sungai Serayu sebelum bersatu di sekitar Kota Banyumas seperti Sungai Pekacangan, Genteng, Klawing, dan Sapi arah alirannya kurang lebih sejajar dengan oritentasi timur barat. Proses pelipatan dan pensesaran yang terjadi sebagai akibat dari bekerjanya tenaga-tenaga tekntonik telah mengontrol arah aliran sungai. Kontrol struktur juga nampak jelas pada sungai Tajum dan Sungai Tenggulun, sebelum bersatu dengan Sungai Serayu juga berorientasi barat-timur. Kelokan-kelokan sungai dengan bentuk lembah menyerupai huruf U yang lebar pada bagian hulu Sungai Kerawu yang kemudian berubah menjadi sempit dan lurus pada bagian bawahnya juga merupakan salah satu bukti dari kontrol struktur geologi. • Kondisi Geomorfologi Morfologi DAS Serayu tersusun atas satuan-satuan kerucut gunung api, rangkaian pegunungan, rangkaian perbukitan, dan dataran. Gunungapi-gunungapi di DAS Serayu merupakan gunung api komposit yang tersusun atas batuan berlapis dengan material yang berbeda-beda ukuran butirnya juga susunan mineralogi batuannya. Namun demikian, secara umum batuan vulkanik di daerah penelitian secara mineralogis termasuk golongan menengah (intermedier) atau bersifat andesitis. Morfologi pegunungan terdapat di bagian utara DAS Serayu yang sebenarnya merupakan kompleks gunungapi-gunungapi tua yang telah rusak bentuknya oleh proses-proses geomorfologi yang bekerja berikutnya. Pegunungan di DAS Serayu mempunyai bentuk-bentuk dan kemiringan lereng yang bervariasi. Wilayah perbukitan DAS Serayu sebagian besar terletak di sekitar tubuh Sungai Serayu yang mengalir dari timur ke Barat. Batuan penyusunnya umumnya merupakan batuan sedimen dengan tekstur halus, beberapa tempat ada sisipan aglomerat, dan bereaksi yang telah lapuk. Pada bagian-bagian tertentu yang lapisan batuannya searah dengan kemiringan sudut lereng merupakan daerah yang rawan terhadap gerakan massa batuan/tanah. Daerah dataran terletak pada bagian tengah dari DAS Serayu yang mencakup wilayah Kota Purwokerto, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara. Beberapa tempat dari wilayah dataran yang terbentuk atas endapan aluvial yang tua telah mengalami pengikisan kembali menjadi dataran bergelombang dengan lembahlembah sungai diantaranya. Daerah dataran di DAS Serayu merupakan daerah yang potensial karena tersusun atas material aluvium yang berasal dari Gunungapi Slamet, Sumbing, dan Sindoro. Menurut asal mulanya satuan-satuan bentuk lahan di DAS Serayu dapat dikelompokkan ke dalam 6 (enam) satuan morfologi, yaitu: a. Satuan bentuk lahan asal proses struktural. Bentuk-bentuk lahan struktural di DAS Serayu mencakup wilayah dengan morfologi pegunungan mulai kompleks Gunung Besar di sebelah barat hingga mendekati kompleks Gunung Rogojambangan di sebelah timur. Satuan bentuklahan struktural yang berupa perbukitan lipatan yang terdapat di sebelah timur kota Purbalingga tersusun atas material lempungan dan mempunyai kembang kerut tinggi. Proses rayapan tanah (soil creep) seringkali terjadi, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai rentang kelembapan tanah tinggi. b. Satuan bentuk lahan asal proses kegunungapian. Satuan bentuk lahan asal proses kegunungapian terdapat pada sekitar pusat erupsi dari gunung api-gunung api Sumbing, Sindoro, Slamet, Bisma dan Rogojembangan. Kerucut gunungapi dengan bentukan bekas kawah merupakan penciri utama dari bentuklahan asal proses kegunungapian. Proses kegunungapian yang saat ini masih nampak berlangsung ada di Gunung api Slamet. Pada gunung api yang lain hanya menyisakan kegiatan post volkanik berupa uap belerang (solfatara) di kawasan Dieng, puncak Sumbing dan Sindoro serta beberapa mata air panas. c. Satuan bentuk lahan asal proses fluvial. Satuan bentuk lahan asal proses fluvial merupakan satuan bentuklahan yang materialnya tersusun atas endapan sungai dan atau oleh air yang mengalir yang disebut dengan aluvium. Bentuk lahan fluvial di DAS Serayu yang luas terdapat di sepanjang aliran Sungai Serayu, Klawing, dan Tajum. d. Satuan bentuk lahan asal proses laut. Satuan bentuk lahan asal proses laut (marine) terdapat di sekitar garis pantai. Bentuk lahan ini dibentuk oleh aktivitas gelombang yang mengendapkan kembali material yang dibawa oleh aliran air sungai ke laut. Bentuk lahan asal proses laut terdapat memanjang sejajar dengan garis pantai. Material penyusun dari bentuklahan asal proses laut adalah pasir lepas yang sangat porus sehinggi nampak sebagai padang gersang ketika musim kemarau. e. Satuan bentuk lahan asal proses angin. Sebagian besar dari bentuk lahan asal proses laut di DAS Serayu telah rusak oleh pengaruh kegiatan manusia berupa penambangan bijih besi. Proses alami yang kemudian berkembang pada material sisa penambangan adalah proses angin yang membentuk bentuklahan gumuk pasir dengan berbagai bentuk. Bentuk-bentuk gumuk pasir yang diketemukan di lapangan umumnya adalah longitudinal dengan orientasi menyudut terhadap garis pantai. f. Satuan bentuk lahan asal proses denudasional. Satuan bentuk lahan asal proses denudasional awal mulanya dapat berasal dari bentuklahan asal prosesproses geomorfologik yang lain. Oleh karena proses denudasi (penelanjangan) yang dikarenakan oleh pengikisan oleh air dan pelongsoran berlangsung sangat intensif sehingga menghapuskan ciri morfologis bentukan asalnya. Bentuk lahan denudasional di daerah penelitian tersebar luas di seluruh wilayah Pegunungan Serayu Selatan yang bermaterial penyusun batuan endapan laut. • Kondisi Tanah Satuan-satuan tanah yang ada di DAS Serayu menurut Mangunsukardjo (1984) adalah sebagai berikut : 1. Aluvial Tanah aluvial berasal dari proses pengendapan dengan periode yang berbeda. Macam-macam tanah aluvial di DAS Serayu adalah Aluvial Hidromorf, Aluvial Kelabu Kekuningan dan Aluvial Coklat Kelabu Gelap. 2. Regosol Tanah Regosol berasal dari bahan induk yang baru diendapkan atau karena ada proses-proses geomorfologi yang bekerja intensif sehingga proses pembentukan tanah tidak berlangsung. Regosol di DAS Serayu berkembang di tepian pantai dan di kerucut Gunung api Slamet, Sumbing, dan Sindoro. 3. Litosol Litosol merupakan tanah yang tipis dengan solum < 50 cm dan mengalami kontak langsung dengan batuan induk yang keras yang ada di bawahnya. 4. Andosols Andosols merupakan tanah yang terbentuk dari bahan induk abu gunung api. Tanah ini berwarna hitam kelam seperti arang sebagai akibat dari pelapukan dari material abu gunungapi yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan tingkat pelapukan ini adalah sebagai akibat dari suhu yang cenderung sejuk-dingin dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun. 5. Latosol Latosol merupakan tanah yang telah berkembang dibawah pengaruh iklim yang basah dengan membetuk profil tanah yang dalam. Latosol terbentuk pada bahan induk volkanik yang terletak pada kondisi relief yang memungkinkan terbentuknya drainase baik. Latosol merupakan tanah yang potensial untuk pengembangan pertanian, namun juga menyimpan potensi erosi yang besar sebagai akibat dari posisinya pada lereng-lereng perbukitan dan pegunungan. 6. Grumusol Grumusol merupakan tanah lempungan yang mempunyai daya kembang kerut tinggi sebagai akibat dari adanya tipe lempung smectite. Lempung tipe ini adalah spesifik terbentuk di bawah iklim tropik. Persebaran Grumusol di daerah kajian terdapat di bagian hilir dari Sungai Klawing, Pekacangan dan Merawu. 7. Podsolik Merah Kuning (PMK) Podsolik Merah Kuning (PMK) merupakan tanah yang telah berkembang sangat lanjut dengan hanya menyisakan unsur-unsur resisten dan sedikit unsur besi yang memberikan warna merah kekuningan PMK merupakan tanah yang kurang produktif sebagai akibat dari miskinnya kandungan unsur hara dan tingkat kelolosan air yang tinggi. Hidrologi Dari perhitungan debit andalan selama 9 tahun diperoleh debit maksimum 344,20 m3/detik yang terjadi pada bulan Januari dan debit minimum 20,25 m3/detik yang terjadi pada bulan Agustus. Debit andalan merupakan debit ideal yang diharapkan pada Sungai Serayu, debit ini tidak memperhitugkan debit lain yang masuk dan keluar Sungai Serayu, karena hanya merupakan debit di satu titik pemantauan yaitu Bendung Gerak Serayu. Oleh karena itu dibuat neraca kesetimbangan air untuk melihat debit yang masuk dan keluar Sungai Serayu. Neraca air Sungai Serayu yang dimaksud adalah perbandingan antara ketersediaan air Sungai Serayu dengan seluruh kebutuhan air yang ada di lima kabupaten yang dilewatinya. Hasil perhitungan dan analisis neraca air ini didasarkan pada data sekunder dengan anggapan hanya pada kebutuhan air irigasi di Bendung Gerak Serayu, Waduk PLTA Garung dan Waduk PLTA Mrica-Jendral Sudirman saja selama satu tahun. Dari perhitungan debit andalan selama 9 tahun diperoleh debit maksimum 344,20 m3/detik yang terjadi pada bulan Januari dan debit minimum 20,25 m3/detik yang terjadi pada bulan Agustus. Debit andalan merupakan debit ideal yang diharapkan pada Sungai Serayu, debit ini tidak memperhitugkan debit lain yang masuk dan keluar Sungai Serayu, karena hanya merupakan debit di satu titik pemantauan yaitu Bendung Gerak Serayu. Oleh karena itu dibuat neraca kesetimbangan air untuk melihat debit yang masuk dan keluar Sungai Serayu. Neraca air Sungai Serayu yang dimaksud adalah perbandingan antara ketersediaan air Sungai Serayu dengan seluruh kebutuhan air yang ada di lima kabupaten yang dilewatinya. Hasil perhitungan dan analisis neraca air ini didasarkan pada data sekunder dengan anggapan hanya pada kebutuhan air irigasi di Bendung Gerak Serayu, Waduk PLTA Garung dan Waduk PLTA Merica-Jendral Sudirman saja selama satu tahun. • Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di DAS Serayu dibedakan 10 kelas penggunaan lahan yaitu hutan primer, sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, sawah, semak/belukar, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Penggunaan lahan di DAS Serayu sebagian besar merupakan tegalan/ladang yang mencakup kawasan seluas 141.485,95 Ha atau meliputi 38,19 %. Penggunaan lahan terbesar kedua adalah sawah seluas 74.826,29 Ha atau 20,20 %. Selanjutnya kebun campuran seluas 47.085,99 Ha atau 12,71 %. B. Potensi Sumberdaya Air Potensi ketersediaan air memang perlu mendapat perhatian serius sebagai dasar pemikiran untuk setiap usaha pengembangan. Dalam hal ketersediaan air, yang perlu dikemukakan adalah seberapa besar kemampuan Sungai Serayu dalam memenuhi berbagai kebutuhan air di 5 Kabupaten, mulai dari hulu ke hilir adalah: Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas hingga Kabupaten Cilacap. Untuk mengetahui hal itu perlu dilakukan analisis keandalan debit Sungai Serayu di Bendung Gerak Serayu untuk tingkat keandalan 80%. a. Debit Sungai Serayu Debit andalan adalah debit minimum sungai untuk kemungkinan terpenuhi yang sudah ditentukan agar dapat dipenuhi untuk kebutuhan air. Untuk keperluan perencanaan kemungkinan terpenuhi ditetapkan 80% (kemungkinan debit sungai lebih rendah dari debit andalan 20%). Debit Sungai Serayu dicatat melalui alat pencatat muka air otomatis (AWLR) yang dipasang di Bendung Gerak Serayu dan pintu pengambilan bendung Gerak Serayu. Pemilihan Bendung Gerak Serayu sebagai stasiun yang digunakan sebagai tempat pengukuran debit andalan mengingat bahwa bendung ini berfungsi sebagai pengalir air untuk aktivitas irigasi. Data debit Sungai Serayu yang disajikan pada tabel di bawah merupakan data debit pada tahun 1999 hingga tahun 2004. Data ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya debit andalan Sungai Serayu (Terlampir). Dari data Tabel dapat diketahui bahwa debit maksimum rerata bulanan di sungai Serayu dalah 60 m2/detik yang terjadi pada bulan Januari, Februari, dan Maret. Debit minimum rerata bulanan sebesar 11 m3/detik, terjadi di bulan Agustus dan September. Serta debit tahunan rerata mencapai 402 m3/detik. b. Kualitas Air Sungai Serayu Sumber : Tugas Akhir Ahmad Munir, 2009 1. Proses pengelolaan dan sistemnya a. Pengelola BPDAS Serayu Opak Progo Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Serayu Opak Progo merupakan Unit Pelaksana teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Departemen Kehutanan. BPDAS Serayu Opak Progo bertugas melaksanakan pembangunan sektor kehutanan khususnya yeng berkaitan dengan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kepala BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Serayu Opak Progo, C. Kukuh Sutoto menjelaskan bahwa BPDAS bertugas meningkatkan dan mempertahankan daya dukung DAS agar air yang diperlukan manusia terjaga dengan baik, karena DAS merupakan ekosistem yang semakin menurun kualitasnya dipicu oleh pemanfaatan sumber daya alam yang semakin besar. DAS perlu dikelola karena DAS pada dasarnya merupakan rumah berbagai ekosistem, dimana daerah itu memiliki sumber daya alam yang terbatas, banyak kepentingan dalam pemanfaatan DAS dan faktor eksternal lain yang mempengaruhi. Kepala Bappeda Kulon Progo, Agus Langgeng Basuki menjelaskan bahwa rencana pengelolaan DAS ini dilakukan oleh tim yang sepenuhnya difasilitasi oleh Balai Pengelolaan DASSOP (Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo). Tim ini akan didampingi oleh tenaga ahli, yaitu Prof. Totok Gunawan dari Fakultas Geografi UGM. Proses kegiatan dan produk yang dihasilkan tim ini antara lain terangkum dalam dua buah buku tentang Rencana Pengelolaan DAS secara Terpadu. Pengelolaan DAS terpadu ini meliputi keterpaduan dalam proses perencanaan, program pelaksanaan, program kegiatan antar pemerintah pusat, daerah serta stakeholder lain, keterpaduan pelaksanaan program/monitoring, dan dalam pengendalian penanggulangan bencana erosi, banjir dan kekeringan. Beberapa kegiatan berikut untuk pengelolaan dan pemeliharaan, 1. Festival Serayu Banjarnegara Merwat Peradaban Serayu. Festival yang dilaksanakan tanggal 24 – 31 Agustus diisi dengan berbagai kegiatan, antaralain Banjarnegara Expo, Banjarnegara Hijau (Penghijauan di tepi Sungai Serayu), serta kegiatan budaya dan perlombaan. 2. Hari Menanam Pohon Indonesia 3. Lokakarya Pembangunan Wilayah Berbasis Daerah Aliran Sungai 4. Forum DAS (Strengthening Community-Based Forest and Watershed Management) Kurangnya kesadaran masyarakat di dalam melestarikan hutan dan menggalakkan konservasi tanah dan air merupakan di antara beberapa penyebab yang memberikan kontribusi terhadap permasalahan ini. Rehabilitasi lahan yang mengalami kerusakan mungkin kurang berhasil tanpa partisipasi masyarakat untuk memerangi kerusakan lingkungan yang cepat ini dan berkurangnya kualitas jasa ekosistem ini. Satu pendekatan untuk keberhasilan memperkuat pengelolaan hutan dan sumbersumber air (DAS) berbasis masyarakat adalah untuk mengembangkan suatu model konservasi pengelolaan DAS dan sumberdaya hutan yang diprakarsai oleh masyarakat lokal di suatu tempat tertentu/terpilih. Idealnya, untuk tipe DAS di Indonesia yang tersebar tidak merata di 7 (tujuh) pulau besar, yang terpisahkan oleh laut dan tersebar 33 provinsi – model yang dikembangkan untuk proyek SCBFWM ini harus dipilih secara seksama berdasarkan atas tipologi DAS di kawasan tersebut. 5. Evaluasi a. Monev Kinerja DAS b. Bangunan SPAS Satuan Pengamat Aliran Sungai (SPAS) merupakan suatu bangunan yang dilengkapi peralatan (Automatic Water Level Recorder/AWLR) untuk mengamati out put fluktuasi hasil air (termasuk di dalamnya debit air, sedimen yang terbawa aliran) pada titik pelepasan DAS. Data hasil pengamatan melalui SPAS dapat digunakan sebagai alat untuk mengetahui kondisi tata air DAS (baik buruknya kondisi suatu DAS) Berikut Sebaran Bangunan SPAS diwilayah BPDAS Serayu Opak (Sumber: http://bpdas-serayuopakprogo.dephut.go.id/kegiatan/evaluasi/bangunan-spas) 2. Peta beserta data-datanya Peta WS Serayu – Bogowonto 1. Kode Wilayah Sungai : 02.12.A3 2. Status : WS Strategis Nasional 3. Status Kewenangan : Pemerintah Pusat 4. Propinsi : Jawa Tengah Kabupaten Banjarnegara , Kabupaten Banyumas , Kabupaten 5. Kabupaten : Cilacap , Kabupaten Kebumen , Kabupaten Purbalingga , Kabupaten Purworejo , Kabupaten Wonosobo Das Bogowonto, Das Cokroyasan, Das Wawar, Das Lukulo, 6. : DAS Das Telomoyo, Das Mangli, Das Jintung, Das Watu Gumulung, Das Jemenar, Das Majingklak, Das Suwuk, Das Ijo, Das Tipar, Das Serayu, Das Donan 7. DAS Terbesar : DAS Serayu 8. Luas DAS : - 9. Luas Wilayah Sungai : 3. Kerusakan yang telah terjadi 7.370,77 km2 Dataran tinggi Dieng merupakan kawasan di wilayah perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Temanggung. Kawasan tersebut memiliki kurang lebih 20.161 hektar hutan Negara yang dikelola Perhutani dan 19.472 hektar hutan rakyat. Wilayah ini berada pada ketinggian antara 1.500 sampai dengan 2.095 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lebih dari antara 1540% dan dibeberapa wilayah >40%. Dataran tinggi Dieng adalah bagian hulu DAS Serayu dan merupakan sentra produksi sayuran dataran tinggi Jawa Tengah. Curah hujan di dataran tinggi Dieng termasuk tinggi, yaitu 3.917 mm/tahun. Curah hujan yang tinggi ditambah dengan intensitasnya yang tinggi merupakan penyebab utama tingginya laju erosi dan penurunan produktivitas tanah di daerah tersebut. Terlebih lagi, budidaya yang dilakukan pada lahan berlereng tersebut tanpa upaya pencegahan erosi. Petani di dataran tinggi Dieng umumnya berusaha tani sayuran pada bedengan-bedengan dengan kemiringan lahan di atas 30% tanpa upaya-upaya melestarikan lahan atau mengendalikan erosi. Bedengan-bedengan tersebut dibuat searah dan sepanjang lereng tanpa upaya memperpendek atau memotong panjang lereng. Kebiasaan menanam sayuran seperti itu bertujuan untuk menciptakan kondisi aerasi atau drainase dan kelembaban tanah yang baik. Hal ini dikarenakan kondisi aerasi tanah yang buruk dapat membahayakan pertumbuhan tanaman sayuran. Pada umumnya, petani di sana membuat bedengan atau guludan searah lereng pada teras-teras bangku, namun tanpa upaya menstabilkan teras tersebut, sehingga pada bibir dan tampingan teras cenderung mengalami longsor. Teras bangku tersebut umumnya miring keluar sehingga erosi atau longsor masih mungkin terjadi. Selain itu, pada ujung luar teras (talud) tidak ditanami tanaman penguat teras dan permukaan tanah pada tampingan teras juga terbuka atau bersih tidak ada tanaman. Akibat dari erosi tersebut, sedimentasi di DAS semakin meluas serta terjadi penurunan kesuburan di dataran tinggi Dieng. Hal ini dikarenakan hara tanah yang terkandung di lapisan teratas tanah hanyut terseret arus air. Miskinnya hara tanah otomatis akan berakibat pada penurunan produktivitas lahan pertanian KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN KERUSAKAN LAHAN Dataran tinggi Dieng memiliki kemiringan antara 25-40% bahkan di beberapa wilayah >40%, dengan jenis tanah Andosol dan curah hujan rata-rata >3.000 mm/tahun. Dengan demikian dataran tinggi Dieng memiliki kelas lereng curam dengan jenis tanah yang peka terhadap erosi serta curah hujan sangat tinggi. Dataran tinggi Dieng berada pada ketinggian lebih dari 2.000 m dpl, merupakan cagar budaya yang berupa candi-candi Hindu, merupakan jalur pengaman Daerah Aliran Sungai dan merupakan hulu Sungai Serayu. Berdasarkan kondisi tersebut maka Dataran Tinggi Dieng ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung yang meliputi kawasan yang memberi perlindungan kawasan dibawahnya dan kawasan cagar budaya. Alokasi ruang di wilayah ini adalah untuk hutan lidung dan sebagai kawasan resapan air, serta sebagai daerah konservasi peninggalan budaya yang berupa candi-candi Hindu. Secara visual nampak bahwa lahan di kawasan tersebut mempunyai lapisan olah yang sangat tipis dimana terlihat adanya batu-batu yang nampak di permukaan tanah. Padahal berdasarkan sumber yang berasal dari penduduk disekitar daerah tersebut, batu-batu itu dahulu tidak nampak. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pengikisan lapisan olah yang disebabkan oleh adanya run off yang tinggi pada saat hujan. Run off yang tinggi karena tidak adanya penguat pada lapisan tanah atas karena tidak adanya tanaman keras maupun tanaman penutup tanah, terlebih lagi lahan tersebut adalah lahan miring dengan tersering yang buruk. Pola tanam yang monokultur dan terus menerus sepanjang tahun juga menjadi penyebab semakin tingginya intensitas pengolahan tanah yang berakibat pada semakin mudahnya tanah tererosi. Kondisi ini jelas merupakan faktor yang menjadi pemicu semakin berkurangnya tingkat kesuburan tanah bahkan lebih parah lagi terjadinya degradasi lahan yang semakin tinggi. Erosi juga mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas air di telaga yang banyak terdapat di kawasan Dieng diantaranya adalah Telaga Cebong di Desa Sembungan serta Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Desa Dieng. Pendangkalan yang terjadi di telagatelaga tersebut menyebabkan penurunan debit air pada musim kemarau. Pada musim dimana tidak ada hujan maka air telaga juga digunakan untuk mengairi ladang kentang mereka. Sehingga kondisi telaga semakin lama semakin rusak dan pemenuhan kebutuhan air untuk konsumsi rumah tangga pun berkurang. Selain itu kualitas air pun menjadi sangat buruk karena air menjadi keruh oleh banyaknya kandungan pupuk kandang dan sisa bahan kimia dari pupuk dan pestisida. Selain mengakibatkan bertambah luasnya lahan kritis, erosi yang tinggi juga berakibat pada sedimentasi di daerah hilir. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa Dieng merupakan hulu sungai Serayu, dengan beberapa anak sungainya, yang bermuara di Waduk Panglima Besar Jenderal Sudirman. Erosi dan sedimentasi yang cukup tinggi dari Daerah Aliran Sungai Serayu dan Merawu masih menjadi persoalan bagi Bendungan Panglima Besar Sudirman (PLTA Mrica) di Kabupaten Banjarnegara. Erosi dan sedimentasi yang tinggi menurunkan volume waduk. Selama 15 tahun volume waduk berkurang sekitar 43%. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap fungsi waduk sebagai sumber pembangkit listrik, baik dari kapasitas daya yang dihasilkan maupun dari jangka waktu operasi waduk itu karena semakin berkurangnya debit air waduk. Jika hal itu dibiarkan, waduk tersebut akan tertutup sedimentasi. Bila waduk tertutup sedimentasi, PLTA Mrica tak bisa lagi dioperasikan. Besarnya erosi yang terjadi di dataran tinggi Dieng yang jauh melebihi besarnya erosi yang masih diperbolehkan, menunjukkan telah demikian tingginya degradasi lingkungan di dataran tinggi Dieng. Bila kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya upaya konservasi, maka pada beberapa tahun yang akan datang tidak ada lagi tanaman yang dapat tumbuh di sana karena tidak ada lagi lapisan olah yang mengandung bahan organik, sehingga yang muncul tidak hanya permasalahan lingkungan namun juga permasalahan ekonomi dan sosial yang semakin kompleks. Hal ini dikarenakan ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi terhadap lahan, sehingga apabila lahan tidak dapat lagi berproduksi maka akan hilanglah sumber mata pencaharian mereka. 4. Penanganan yang telah dilakukan Untuk mencapai keberlanjutan produktivitas lahan perlu dilakukan tindakan konservasi tanah dan air. Hal tersebut dapat dicapai dengan menerapkan teknologi konservasi tanah secara vegetatif dan mekanik. Konservasi tanah vegetatif mencakup semua tindakan konservasi yang menggunakan tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legum yang menjalar, semak atau perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan, serta tumbuh-tumbuhan lain, yang ditujukan untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan pada lahan pertanian. Tindakan konservasi tanah vegetatif tersebut sangat beragam, mulai dari pengendalian erosi pada bidang olah atau lahan yang ditanami dengan tanaman utama, sampai dengan stabilisasi lereng pada bidang olah, saluran pembuangan air (SPA), maupun jalan kebun. Konservasi tanah mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan kelas kemampuan tanah. Teknik konservasi tanah ini dikenal pula dengan sebutan metode sipil teknis. Untuk mencapai hasil maksimum dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan, sebaiknya tindakan konservasi tanah vegetatif dan mekanik dikombinasikan sesuai dengan karakteristik lahan. Pada umumnya, petani di dataran tinggi Dieng telah membuat bedengan atau guludan searah lereng pada bidang-bidang teras bambu. Namun, sangat disayangkan bahwa teras bangku tersebut umumnya miring ke luar, sehingga erosi atau longsor masih mungkin terjadi. Selain itu, pada bagian ujung luar teras (talud) tidak ditanami tanaman penguat teras dan permukaan tanah pada tampingan teras juga terbuka atau bersih tidak ada tanaman. Jika melihat tingkat erosi yang sangat tinggi di kawasan tersebut, usaha yang dilakukan petani di sana masih belum sesuai dengan kaidah konservasi. Teras bangku tidak sesuai untuk tanah yang mudah tererosi pada daerah berlereng curam serta curah hujan yang cukup tinggi. Teras gulud menurut kaidah konservasi lebih efektif untuk menahan erosi pada lahan yang demikian dengan biaya pembangunan yang relatif lebih murah dibandingikan dengan teras bangku. Untuk membantu mengurangi erosi, bedengan juga perlu dibuat searah dengan garis kontur. Untuk meningkatkan efektivitas teras yang dibuat, perlu ditanami tanaman penguat teras pada bibir dan tampingan teras. Rumput Bede (Brachiaria decumbens) dan Rumput Bahia (Paspalum notatum) merupakan contoh dari tanaman penguat teras yang terbukti efektif mengurangi tingkat erosi pada lahan yang curam. Dengan dilakukannya penanaman tanaman penguat teras tersebut, juga akan didapat nilai tambah lainnya dari teras yang dibuat, yaitu sebagai sumber pakan ternak dan bahan organik tanah. Pembangunan teras juga dapat dikombinasikan dengan pembangunan rorak untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi, serta pembangunan saluran teras yang berada tepat di atas guludan. Saluran teras dibuat agar air yang mengalir dari bidang olah dapat dialirkan secara aman ke SPA (saluran pembuangan air). Lahan di dataran tinggi Dieng telah mengalami kerusakan akibat besarnya erosi yang terjadi di kawasan tersebut. Erosi tersebut dikarenakan karakteristik dari dataran tinggi Dieng yang berlereng dengan struktur tanah yang mudah lepas serta curah hujan yang relatif tinggi, ditambah dengan praktek pertanian yang dilaksanakan oleh petani sangat tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Petani menanam tanaman kentang secara intensif pada bedengan yang dibuat searah lereng pada teras bangku yang miring ke luar, serta tanpa ditanami tanaman penguat teras. Untuk menanggulangi masalah tersebut, perlu dilakukan upaya konservasi yang mengkombinasikan upaya secara vegetatif dan mekanik. Teras gulud memiliki efektivitas menahan erosi yang tinggi sehingga sangat cocok untuk mengurangi masalah erosi pada lahan tersebut. Namun, teras gulud juga haru diperkuat dengan tanaman penguat teras berupa tanaman Rumput Bede (Brachiaria decumbens) dan Rumput Bahia (Paspalum notatum). Untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi, perlu dibangun rorak pada bidang olah dan saluran peresapan. Selain itu, agar air yang mengalir dari bidang olah dapat dialirkan secara aman ke SPA (saluran pembuangan air), teras gulud perlu dilengkapi dengan saluran teras yang dibangun tepat di atas guludan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Das Serayu. Dilihat 1 Oktober 2013. <http://ppejawa.com/ekoregion/dasserayu/> Annonim. 2013. <http://www.scbfwm.org/2013/08/26/festival-serayu-banjarnegara-menuju- kabupaten-berbasis-konservasi.html> Balai DAS, 2011. <http://bpdas-serayuopakprogo.dephut.go.id/kegiatan/kelembagaan/harimenanam-pohon-indonesia> Hajroon, 2011. Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah Di Dataran Tinggi Dieng dan LangkahLangkah Teknis Penanggulangannya. Dilihat 1 Oktober 2013. < http://meelaisme.wordpress.com/tag/teknologi-konservasi-sumberdaya-lahan-2/> Purnama, Setyawan. 2010. Jurnal Vol.8 No.3 : Potensi Sumberdaya Air DAS Serayu. Hal.291302 No.ISSN : 2085-3866. Jakarta. Munir, Ahmad. 2009. Tugas Akhir Mahasiswa : Karakteristik Daerah aliran Sungai (DAS) Serayu Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Kondisi Fisik, Sosial serta Ekonomi. Depok. LAMPIRAN