pemetaan kemampuan lahan meresapkan air hujan dan teknologi

advertisement
0
PEMETAAN KEMAMPUAN LAHAN MERESAPKAN
AIR HUJAN DAN TEKNOLOGI PENGELOLAANNYA
DALAM RANGKA MEMINIMUMKAN ANCAMAN
BANJIR DI JAWA TIMUR
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
“Hujan” pada hakekatnya merupakan rahmat dari Yang Maha
Kuasa kepada umat manusia di muka bumi untuk dapat dimanfaatkan
dan dikelola dengan sebaik-baiknya.
Kekhilafan dan kekeliruan
manusia dalam mengelola air hujan setelah sampai di permukaan bumi
mengakibatkan munculnya mudharat yang dahsyat berupa banjir,
tanah longsor, dan lainnya. Salah satu kekeliruan manusia adalah
menghalangi masuknya air hujan ke dalam tanah, sehingga air hujan
harus mengalir di permukaan sebagai limpasan permukaan. Apabila
volume air limpasan ini tidak tertampung oleh sistem drainase yang
ada, maka terjadilah banjir dengan aneka ragam kedahsyatan dan
dampak negatifnya.
Wilayah Jawa Timur mempunyai curah hujan yang sangat
beragam, yaitu antara 1000 mm – 4000 mm per tahun. Air yang jatuh
di permukaan bumi tersebut jumlahnya relatif konstan dari tahun ke
tahun, sebagian besar (70-75%) jatuh pada musim penghujan. Namun
pada saat berada di permukaan bumi, perilaku air hujan ini sangat
tergantung dari berbagai faktor eksternal, seperti kadaan geologi,
geomorfologi, karakteristik tanah dan kapabilitas lahan, vegetasi, laju
penguapan dan evapotranspirasi. Disamping itu, volume air
permukaan khususnya air sungai, ditinjau dari aspek jumlah aliran
airnya sangat dipengaruhi oleh kondisi permukaan lahan dan vegetasi
penutup yang terdapat di daerah aliran sungai (DAS). Ketersediaan
potensial air hujan tahunan di Jawa Timur adalah setara dengan debit
air sebesar 80.892,00 x 106 m3 . Potensi air permukaan 26.716,01 x 106
m3 , dan air tanah 37.073,24 x 106 m3 . Tingginya potensi air ini
mengisyaratkan adanya potensi ekonomi yang sangat besar, namun
dibalik itu juga menyimpan ancaman bahaya yang sangat dahsyat
apabila keliru dalam pengelolaannya.
Faktor penting dalam kaitannya dengan manajemen air hujan di
permukaan bumi adalah “lahan”, meliputi dimensi permukaannya
(geomorfologinya), dimensi geofisik (karakteristik tubuh tanah), serta
dimensi geologi (formasi bahan induk tanah). Secara alamiah, “lahan”
mempunyai kemampuan dan kapasitas yang berbeda-beda untuk
meresapkan dan menyimpan air hujan. Namun demikian tindakan
pengelolaan yang tidak memperhatikan karakteristik ini dapat
mengakibatkan lenyapnya kapasitas tersebut. Ada tiga aspek penting
yang berdampak pada hilangnya kemampuan dan kapasitas lahan
untuk meresapkan dan menyimpan air hujan, yaitu: (1). konversi tanah
pertanian ke non-pertanian; (2). Perkembangan kegiatan sosial-
2
ekonomi perkotaan; dan (3). Laju pertumbuhan penduduk di wilayah
pedesaan yang mengakibatkan semakin tingginya tekanan atas lahan
dan munculnya berbagai fenomena penggundulan lahan dan hutan.
Apabila konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian tidak
dapat dikendalikan, maka akan terjadi pengurangan luasan lahan
produktif di Jawa Timur yang akan berdampak langsung pada produksi
pertanian; serta berkurangnya fungsi resapan air hujan. Dengan
perkembangan kegiatan ekonomi non-pertanian dan perkembangan
perkotaan yang sangat pesat, tampaknya sangat sulit untuk
membendung konversi lahan pertanian, namun yang perlu dilakukan
adalah mengarahkan proses ini secara lebih bijaksana, dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan termasuk melestarikan fungsi
resapan air hujan.
Laju pembangunan ekonomi di wilayah perkotaan berdampak
kepada kompleksitas penggunaan lahan. Pembangunan perkotaan
diarahkan untuk dapat mewujudkan pengelolaan kota yang berkualitas;
menciptakan kawasan yang layak huni, berkeadilan, berbudaya, dan
wadah bagi peningkatan pro-duktivitas dan kreatifitas masyarakat,
serta mewujudkan pusat pelayanan sosial-ekonomi dan pemerintahan.
Permasalahan utama dalam pembangunan perkotaan adalah: (1).
semakin
meningkatnya
kebutuhan
pelayanan
kota,
(2)
terbatasnya kemampuan pengelolaan perkotaan, khususnya dalam
pengelolaan sumber pembiayaan, (3) meningkatnya masalah sosial
kemasyarakatan dan kejahatan di perkotaan, (4) meluasnya kawasan
kumuh, menurunnya kualitas lingkungan hidup di perkotaan, (5)
rendahnya pengelolaan lalulintas dan transportasi umum di perkotaan,
(6) belum mantapnya sistem penataan ruang perkotaan dan
penanganan fungsi ekologi kota. Tantangan utama yang dihadapi
dalam pembangunan perkotaan adalah meningkatkan peran kota untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat (ekonomi dan ekologi) seperti
lapangan kerja, hunian, pendidikan, kesehatan, nyaman dan pelayanan
umum lainnya bagi seluruh lapisan masyarakat. Tantangan berikutnya
adalah mempersiapkan dan menyediakan peraturan perundangundangan serta menegakkan kesadaran hukum dalam rangka
ketertiban dalam penataan ruang perkotaan, khususnya penatagunaan
tanah perkotaan, serta pelestarian fungsi resapan air hujan. Ini semua
memerlukan dukungan informasi yang akurat mengenai karakteristik
dan kapasitas lahan meresapkan air hujan.
Permasalahan utama dalam hal pembangunan permukiman di
wilayah perkotaan adalah (1) Tingginya kebutuhan tempat-tempat
usaha, dan tempat berproduksi beserta prasarana dan sarana
pendukungnya; (2) masih rendahnya kualitas pelayanan prasarana dan
sarana permukiman seperti air bersih, air limbah, persampahan,
drainase dan penanggulangan banjir, jaringan jalan dan pelestarian,
3
Ialulintas dan transportasi umum, pasar, sarana sosial, serta taman
dan jalur hijau.
Dalam hal pembangunan perumahan, secara umum penyediaan
perumahan semakin baik akan tetapi secara kuantitas dan kualitas belum
mengenai sasaran, khususnya bagi masyarakat yang benar berpendapatan
rendah dan memerlukan. Secara kualitatif sebenarnya semakin buruk karena
peningkatan penyediaan rumah justru merupakan rumah waris, hal ini
disebabkan pasangan muda yang baru menikah belum segera mampu
menyediakan rumahnya sendiri. Masalah yang dihadapi di perumahan
wilayah pedesaan, masalah pokok yang dihadapi antara lain (1)
rendahnya tingkat kesehatan perumahan wilayah pedesaan, (2)
masih rendahnya pelayanan prasarana dan sarana, seperti air
bersih dan sanitasi, jaringan jalan, irigasi, dan jaringan listrik, tidak
terkendalinya alih fungsi lahan subur menjadi non pertanian, dan (3)
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lahan dan hutan yang
berdampak negatif kepada kawasan permukiman wilayah pedesaan.
Semua permasalahan di atas mengisyaratkan betapa
pentingnya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan layanan
sosial masyarakat dengan kelestarian fungsi ekologis lahan, terutama
fungsi resapan air hujan yang senantiasa menghantui kawasan
perkotaan. Kebijakan publik penerapan teknologi ramah lingkungan
hanya akan berhasil kalau didukung oleh informasi yang akurat dan
komprehensif tentang kendala-kendala dan karakteristik sumberdaya
lahan.
Informasi ini akan lebih efektif kalau dipetakan dan
diklasifikasikan sesuai dengan kekhususan lokasi atau zone-zone
pembangunan yang ada.
1.2 Permasalahan
Akhir-akhir ini bencana banjir melanda di berbagai daerah di
Jawa Timur dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya,
baik yang bersifat material maupun non-material. Fenomena Banjir ini
seolah-olah bersifat tahunan, dan semakin tahun tampaknya semakin
serius mengancam wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu harus
dilakukan berbagai upaya menyeluruh untuk menemukan akar
masalahnya, yang mungkin saja tersebar di berbagai sektor
kehidupan, baik bio-fisik, geo-kimia, ekonomi, sosial-budaya dan
sosial-politik.
Beberapa permasalahan yang diduga terkait dengan fenomena
banjir di Jawa Timur adalah:
1. Integrasi Saluran air permukaan yang tidak bagus: Sungai – Anak
sungai – Saluran Primer/Sekunder/Tersier – Saluran pembuangan
air (SPA) – Saluran Drainase. Di berbagai lokasi sistem saluran
4
2.
3.
4.
5.
6.
7.
drainase tidak memadai secara kualitas dan secara kuantitas tidak
mampu menyalurkan volume air hujan yang melimpas di
permukaan. Selain itu integrasi antara sistem aluran drainase
buatan dengan sistem saluran drainase alami sangat lemah.
Curah hujan tinggi di berbagai daerah di Jawa Timur yang terjadi
secara bersamaan mengakibatkan besarnya debit limpasan
permukaan yang pada saat bersamaan memasuki aliran sungai,
sehingga terjadi “over capacity” yang berujung pada terjadinya
banjir
Tingginya debit air sungai di daerah hilir sebagai akibat kiriman
dari hulu DAS. Hal ini mengisyaratkan bahwa daerah hulu DAS
tidak lagi mampu meresapkan dan menyimpan air hujan dalam
tanah.
Pertumbuhan vegetasi / gulma air di sepanjang saluran air / sungai
dan pendangkalan dasar saluran /sungai. Hal ini mengisyaratkan
betapa besarnya erosi yang terjadi di sepanjang daerah aliran
sungai dan betapa besarnya limbah padat yang dibuang ke aliran
sungai.
Bangunan “rumah-rumah” di sepanjang tepian aliran sungai
mengakibatnya menurunnya kapasitas sungai untuk menyalurkan
air.
Hilangnya kapasitas permukaan tanah untuk meresapkan air hujan
akibat pengerasan dan pemadatan, serta alih fungsi penggunaan
lahan. Hal ini mengisyaratkan pentingnya pengetahuan tentang
kapabilitas tanah untuk meresapkan dan menyimpan air hujan, dan
bagaimana pengetahuan ini dapat diimplementasikan dalam
berbagai sektor pembangunan yang terkait dan dalam kehidupan
masyarakat.
Penggundulan lahan di daerah hulu aliran sungai juga menjadi
pemicu utama terjadinya erosi, tanah longsor dan banjir di
berbagai daerah.
Salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh wilayah
pedesaan di bagian hulu DAS di Jawa Timur dalam mengelola
sumberdaya lahan adalah terbatasnya alternatif kesempatan kerja di
luar sektor pertanian, sehingga pertambahan jumlah penduduk
pedesaan (dan kebutuhan hidupnya) akan diikuti oleh meningkatnya
tekanan atas sumberdaya lahan. Kondisi seperti ini memaksa kita
untuk senantiasa mencari alternatif-alternatif khusus bagi penggunaan
lahan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus
melestarikan sumberdaya lahannya dan meminimumkan dampak
negatif eksternalnya, seperti banjir di daerah hilir.
Pengelolaan sumberdaya lahan di daerah hulu sungai
melibatkan banyak pihak dengan kepentingannya masing-masing.
5
Dalam kondisi seperti ini diperlukan pendekatan sistematik untuk
mengevaluasi keadaan yang optimal dengan mengorbankan sebagian
kepentingan beberapa pihak lainnya. Dalam hal sumberdaya air,
permasalahan yang ada berpangkal pada besarnya fluktuasi debit
sungai antara musim hujan dan musim kemarau. Konflik kepentingan
tampaknya terjadi antara sektor pertanian, sektor domestik
(penggunaan rumah tangga) dan sektor kepentingan pembuangan
limbah. Perkembangan sektor-sektor ini di Jawa Timur telah ikut
mempertajam konflik kepentingan dalam menggunakan sumberdaya
air, dan pada gilirannya akan menentukan ketersediaan air dan
semakin menurunnya kualitas air di sepanjang aliran sungai. Pada sisi
lain terjadi kelebihan debit air pada musim hujan dan terjadilah banjir di
mana-mana.
Pemilihan DAS utama di Jawa Timur sebagai fokus kajian
didasarkan atas beberapa masalah penting berikut ini :
a. Keberadaan bangunan serbaguna Bendungan dan Waduk di
sepanjang aliran sungai harus dijaga kelestariannya. Bangunan ini
pembangunannya menghabiskan investasi ratusan milyar rupiah.
Fungsi utama bangunan-bangunan ini ialah untuk pengendalian
banjir di bagian tengah dan hilir sungai, irigasi lahan sawah, dan
PLTA dengan kapasitas ribuan GWH per tahun.
b. Daerah DAS umumnya merupakan daerah tangkapan dan resepan
air hujan yang sangat penting bagi daerah-daerah di bawahnya.
Wilayah ini mempunyai rataan curah hujan tahunan sebesar 2000 2700 mm, sekitar 75 % terjadi pada musim hujan dan 25 % pada
musim kemarau. Tingginya intensitas hujan pada musim hujan
menjadi ancaman banjir bagi daerah bawah.
c. Daerah aliran sungai ini merupakan pusat produksi tanaman
pangan dan hortikultura, seperti kentang, kubis, wortel, bawang
merah, bawang putih, kacang merah, apel, dan aneka tanaman
perkebunan. Kondisi agroekologi di wilayah ini sangat mendukung
bagi pola usahatani tanaman tersebut secara intensif.
Namun
demikian sebagian besar wilayah ini mempunyai indeks bahaya
erosi yang sangat tinggi. Keadaan seperti ini telah memacu
terjadinya erosi dan limpasan air hujan di permukaan tanah, dan
pada akhirnya mengakibatkan tingginya debit sungai (banjir) pada
musim hujan.
d. Daerah aliran sungai Brantas merupakan salah satu pusat
pengembangan dan pusat produksi susu di Jawa Timur. Kondisi
agroekologinya sangat sesuai bagi kehidupan sapi perah dan bagi
berbagai jenis tanaman hijauan pakan. Perkembangan Usahatani
ternak sapi perah telah terjadi secara mencolok semenjak tahun
1977/1978, dan telah memberikan sumbangan yang cukup besar
6
terhadap kesejahteraan penduduk setempat dan perekonomian
wilayah. Sehubungan dengan hal ini daya dukung wilayah untuk
menyediakan bahan hijauan pakan harus dijaga kelestarianya.
e. DAS di Jawa Timur merupakan wilayah yang kepadatan
penduduknya sangat tinggi. Rataan kepadatan agraris penduduk
sekitar 800-1100 jiwa/km2. Rataan pertumbuhan penduduk setiap
tahun sekitar 1.06 %. Sebagian penduduk memanfaatkan air
sungai untuk memenuhi kebutuhan airnya sehari-hari, di beberapa
titik tertentu ternyata sejumlah parameter kualitas air telah
mendekati ambang batas pencemaran.
f. Proses degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup di DAS
Bagian Hulu menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat.
Hal ini terlihat dari semakin tingginya laju sedimentasi dan
pencemaran air sungai, serta semakin besarnya fluktuasi debit
sungai yang memasuki Waduk. Sejalan dengan bertambahnya
jumlah penduduk, maka semakin besar pula kebutuhan akan
sumberdaya lahan dan air untuk keperluan pertanian dan
pemukiman.
g. Di bagian tengah dan bawah DAS umumnya merupakan pusatpusat aktivitas ekonomi yang dicirikan oleh tingginya kebutuhan
lahan untuk permukiman dan perumahan.
Tingginya laju
pembangunan prasarana fisik tidak disadari telah mengakibatkan
gangguan manajemen air hujan, dimana sebagian besar air hujan
terpaksa tidak mampu meresap masuk ke dalam tanah, melainkan
harus mengalir di permukaan tanah. Hal inilah yang juga dianggap
sebagai sumber utama banjir wilayah perkotaan di daerah hilir
sungai.
7
II. MAKSUD, TUJUAN dan SASARAN
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk
menjaga kelestarian sumberdaya lahan di Jawa Timur sekaligus
meminimumkan ancaman bahaya banjir dengan jalan melakukan
pemetaan fungsi resapan lahan dan manajemen air hujan.
Tujuan dilakukannya kegiatan ini ialah memberikan arahan
pengelolaan pemanfaatan dan penggunaan lahan di Jawa Timur,
dalam upaya mengurangi dan mencegah terjadinya degradasi
sumberdaya lahan dan bencana banjir di musim hujan serta ancaman
kekeringan di musim kemarau.
Adapun sasarannya adalah tersedianya Peta zonasi manajemen
air hujan, yang memuat :
(1). Macam bentuk pengelolaan lahan dan manajemen air hujan yang
terpadu dan sesuai dengan kapabilitas lahan dan sebaran hujan
(2). Kriteria teknis pengelolaan air hujan pada setiap jenis
penggunaan lahan yang ada di setiap zone
(3). Kualitas dan karakteristik tanah, geologi dan geomorfologi, yang
menjadi kendala bagi optimasi manajemen air hujan
III. RUANG LINGKUP KEGIATAN
3.1. Lingkup Wilayah
Sesuai dengan tujuan dan sasaran tersebut maka kegiatan ini
dibatasi pada empat DAS yang dominan di Jawa Timur:
1. DAS Brantas: Malang-Surabaya
2. DAS Bengawan Solo: Ponorogo-Madiun-Gresik
3. DAS Pekalen-Sampean: Bondowoso-Situbondo
4. DAS Grindulu, Pacitan-Ponorogo-Magetan
3.2. Lingkup Kegiatan
Manajemen air hujan perlu dilakukan secara terpadu.
Pengelolaan secara parsial, seperti irigasi-pertanian, perikanan/
tambak, pariwisata, pelabuhan dan industri, seringkali menimbulkan
konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang pada
akhirnya dapat menimbulkan ancaman bencana banjir dan/atau
kekeringan. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan air hujan secara
terpadu dengan tujuan untuk mengoptimalkan manfaat air ,
memelihara kelestarian lingkungan, dan meminimumkan bahaya banjir.
Mengingat lingkup pengelolaan air hujan di suatu wilayah begitu
luas dan melibatkan banyak aspek dan adanya keterbatasan
sumberdaya, maka pada kegiatan ini dibatasi pada upaya-upaya
8
pengelolaan yang ada kaitannya dengan tanah dan lahan yang
mempunyai kapasitas menyimpan air hujan. Untuk itu lingkup kegiatan
yang akan dilakukan ini adalah:
a.
melakukan identifikasi permasalahan degradasi lingkungan
yang timbul sebagai akibat dari manajemen air hujan yang tidak
optimal;
b.
mengkaji kapabilitas lahan dan karakteristik tanah yang ada
kaitannya dengan kemampuan meresapkan dan menyimpan air
hujan;
c.
Melakukan kajian identifikasi teknologi yang perlu diterapkan
dalam upaya pengelolaan air hujan secara optimal sesuai dengan
kapabilitas lahan;
d.
Menyusun rekomendasi teknologi manajemen air hujan pada
setiap zone yang memaksimumkan manfaat dan meminimumkan
ancaman bencana.
3.3. Hasil Penelitian
1. Peta zonasi kapabilitas tanah meresapkan air hujan sekala
1:250.000 untuk Jawa Timur
2. Peta zonasi kapabilitas tanah meresapkan air hujan sekala
1:50.000 untuk lokasi – lokasi yang dianggap kritis dan rawan banjir
3. Teknologi manajemen air hujan pada masing-masing zone: tekniksipil, biologi, agroteknik, dan fisiko-kimia.
4. Teknologi konservasi tanah dan rehabilitasi lahan pada masingmasing zone.
5. Rekomendasi penggunaan dan pengelolaan lahan pada setiap
zone: Pertanian, Non-pertanian, Perumahan-permukiman, dan
lainnya.
9
IV. KERANGKA KONSEP
4.1. Sistem Pengelolaan Lahan di Daerah Aliran Sungai
Pengelolaan sumberdaya lahan yang berasaskan konservasi
ditekankan kepada usaha perlindungan, peningkatan dan manfaat bagi
terwujudnya kondisi sumberdaya lahan (tanah) dan air yang serasi dan
mampu memberikan manfaat secara maksimal yang berkesi
nambungan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan manusia.
Pengelolaan vegetasi dilakukan pada kawasan hutan yang
karena kemiringannya, erodibilitas tanah dan curah hujan, memerlukan
perlindungan, pengaturan, pemanfaatan dan pemeliharaan. Pada
kawasan ini diperlukan penutupan vegetasi tetap antara lain berupa
hutan lindung, suaka alam, kebun dan vegetasi tetap lainnya.
Pengelolaan vegetasi harus dapat memberikan manfaat-manfaat
ekologis seperti (I) pengendalian erosi yang efektif, (II) menurunkan
puncak banjir, (III) menghasilkan air dengan kualitas yang layak.
Upaya pemulihan kawasan hutan yang perlu terus ditingkatkan
dan disempurnakan a.l : (a) Reboisasi pada kawasan hutan dengan
penanaman atau suksesi alamiah ; (b) Penghijauan lahan di luar
kawasan DAS yang berupa hutan rakyat, agroforestry, dan pola
usahatani konservasi ; dan (c) Peningkatan mutu hutan dengan
pengkayaan tanaman yang dapat berfungsi untuk perlindungan tanah
dan air.
Pengelolaan tanah meliputi perlindungan, pengaturan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan tanah sehingga fungsi produksi dan
media pengatur tata air dapat dilestarikan. Kegiatan pokok dalam
pengelolaan tanah adalah konservasi dan penggunaan lahan sesuai
dengan tingkat kemampuannya.
Berbagai macam metode dan teknik konservasi tanah dan air
yang dianjurkan dewasa ini masih bersifat umum, sehingga dalam
penerapannya perlu disesuaikan dengan keadaan aktual di masingmasing tempat. Metode teknik sipil perlu juga dikembangkan
berdampingan dengan metode biologis vege-tatif. Pengelolaan air
meliputi perlindungan, pengembangan dan penggunaan air untuk
kepentingan dan kesejahteraan manusia, dengan tujuan terwujutnya
kondisi hidrologis DAS yang optimal, diperolehnya hasil air yang sesuai
dengan kebutuhan dan persyaratan, yaitu : jumlah cukup, kualitas air
yang memenuhi persyaratan, tersedia menurut waktu dan tempat.
Dalam rangka pengelolaan air melalui upaya pokok pengembangan
sumber-sumber air, maka beberapa kegiatan penting adalah (I)
pengamanan dan pengendalian daya rusak air terhadap sumberdaya
di sekitarnya ; (II) pencegahan terjadinya dan pemulihan lahan kritis ;
(III) pencegahan terhadap terjadinya pencemaran air ; (IV)
10
pengamanan dan perlindungan bangunan pengairan, dan (V)
memanfaatkan dan mengembangkan sumber-sumber air. Masalah
utama dalam pengelolaan sumber-daya air adalah mengusahakan
keserasian antara pengembangan sumber-sumber air di daerah hilir
dengan usaha-usaha men-jaga kelestarian tanah dan air serta sumbersumber air di daerah hulu sungai.
4.1.1. Pengelolaan DAS secara terpadu
Beberapa alasan pokok dilakukannya “pendekatan sistem”
dalam pengelolaan DAS adalah :
a. Adanya keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan
sumberdaya lahan dan pemberdayaan aktivitas manusia dalam
penggu-naannya. Hal ini merupakan akibat logis dari penerapan
konsepsi ekosistem. Setiap tindakan atau perlakuan yang diambil
pada suatu komponen harus sudah diperhitungkan dampak atau
umpan balik terhadap atau dari komponen lainnya.
b. Pengelolaan DAS mempunyai sifat interdisiplin. Berbagai jenis
disiplin ilmu terlibat secara interaktif, seperti ilmu tanah,
geomorfologi, hidrologi, ilmu kehutanan, ilmu-ilmu pertanian,
sosiologi pedesaan dan lainnya.
c. Penyelenggaraan pengelolaan DAS bersifat lintas sektoral,
sehingga melibatkan berbagai instansi dan lembaga yang terkait.
Berdasarkan atas ketiga hal ini di atas maka mencapai hasil
akhir yang maksimal dari pengelolaan DAS maka diperlukan
keterpaduan. Terpadu dalam hal ini mengandung pengertian
terbinanya keserasian, keseimbangan, dan koordinasi yang efektif.
Pengelolaan DAS harus dilihat sebagai totalitas yang utuh, bukan
sebagai kumpulan dari keping-keping yang terpisah. Keterpaduan yang
dimaksud harus tercermin dalam penyusunan konsepsi dasar,
kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan di lapangan dan penilaian
serta evaluasi hasilnya.
4.1.2. Perspektif DAS Sebagai Satuan Pengelolaan
Batas satuan pengelolaan yang jelas sangat penting bagi
kegiatan pengamatan, pengukuran, dan penilaian/evaluasi. Sebagai
konsekwensi dari pendekatan ekosistem maka sebagai satuan wilayah
pengelolaan adalah batas ekosistem yang bersangkutan, yang biasanya merupakan batas-batas alamiah. Penarikan batas-batas seperti ini
seringkali sulit dilakukan karena adanya sifat terbuka dari ekosistem
dan interaksi dengan ekosistem lain.
11
Air mempunyai kejelasan batas yang lebih mudah diamati, yaitu
dalam hal wilayah geraknya. Air selalu bergerak dalam suatu daur
hidrologi yang meliputi presipitasi, peresapan, dan pengalirannya yang
terbatas dalam wilayah tertentu, yaitu DAS. Secara alamiah DAS
dibatasi oleh punggung-punggung gunung, merupakan garis tidak
putus yang menghubungkan titik-titik tertinggi di daratan.
4.1.3. Sasaran Wilayah Pengelolaan DAS
Salah satu masalah utama dalam pengelolaan DAS adalah
perlindungan sumberdaya lahan terhadap kerusakan dan sumberdaya
air. Pengelolaan DAS diperlukan karena adanya ancaman terhadap
kelestarian sumberdaya lahan dan ancaman banjir , pertama oleh
tindakan manusia yang kemudian oleh lingkungan alam sendiri.
Dengan demikian pengelolaan DAS lebih ditujukan kepada bagian dari
DAS yang terbuka atau potensial terhadap ancaman kerusakan erosi
dengan segala dampaknya. Faktor utama penentu erosi adalah
besarnya kemiringan lapangan, disamping faktor lain seperti curah dan
intensitas hujan, erodibilitas tanah, dan vegetasi. Daerah hulu sungai
yang bergunung-gunung biasanya sangat peka terhadap bahaya erosi.
Di daerah hulu
masalah utama adalah “perlindungan”. Dalam
hubungan ini maka DAS dapat dibagi menjadi tiga zona/wilayah
menurut besarnya kelerengan, yaitu wilayah hulu sungai (lereng 40 %,
wilayah tengah dan hilir (lereng <8 %). Dengan demikian maka
sasaran wilayah pengelolaan DAS untuk tujuan konservasi adalah
bagian hulu sungai dan bagian tengah dengan lereng lebih dari 8 % .
Peranan hutan lindung sangat mutlak di daerah yang kemiringannya
lebih dari 40 % dan erodibilitas tanahnya sangat tinggi.
4.2. KESEIMBANGAN MAKNA EKONOMIS DAN EKOLOGIS
Dalam sistem perekonomian Jawa Timur, bidang pertanian yang
berbasis lahan masih memberikan sumbangan paling besar. Jalur
utama pembangunan sektor pertanian ini adalah peningkatan komoditi
pertanian
yang pelaksanaannya melalui pembinaan dan
pengembangan agribisnis yang meliputi kegiatan terpadu yang tidak
dapat dipisahkan mulai dari penyediaan sarana produksi, pembinaan
usahatani, pembinaan pascapanen, pembinaan agroindustri, dan
pemasaran hasil.
4.2.1. Karakteristik Ekosistem Lahan Pertanian
Berdasarkan kondisi geofisik dan alamiahnya, Wilayah DAS di
Jawa Timur dapat dibagi menjadi empat sub-wilayah, yaitu:
12
(1). Wilayah datar yang dikategorikan sebagai daerah subur dan
potensi erosi rendah, sudah berkembang sebagai tegalan dan
pekarangan dengan aneka tanaman hortikultura semusim.
(2). Wilayah bergelombang yang dikategorikan sebagai daerah subur
dan potensi erosi medium.
(3). Wilayah berbukit hingga bergunung yang dikategorikan sebagai
daerah subur dan potensi erosi berat.
(4). Wilayah puncak bukit/ puncak gunung.
Kegiatan ekonomi dalam subsektor pertanian tanaman pangan
didominasi oleh komoditi hortikultura yang memberikan sumbangan
pendapatan yang cukup besar bagi pengelolanya. Pembagian wilayah
tersebut di atas mengisyaratkan adanya potensi ekosistem lahan yang
berbeda-beda dan menghendaki upaya pengelolaan yang berbeda
pula. Konsepsi-konsepsi tentang ekosistem lahan dan pengelolaannya,
mengisyaratkan bahwa lahan di suatu wilayah merupakan suatu sitem
yang kompleks terdiri atas berbagai komponen yang saling berinteraksi
membentuk suatu struktur yang mantap dan perilakunya menghasilkan
keluaran-keluaran yang tertentu.
(1). Analisis kebutuhan pengelolaan lahan
Konsepsi teoritis tentang ekosistem lahan dan pengelolaannya
mengisyaratkan adanya berbagai kebutuhan yang terlibat di dalamnya.
Berbagai kebutuhan ini dapat dibuktikan dengan jalan wawancara dan
diskusi dengan beberapa pihak yang terlibat langsung dengan
penggunaan lahan, instansi pemerintah sebagai penentu kebijakan
serta penduduk setempat sebagai pengelola sumberdaya lahan milik.
Dapat dikemukakan di sini bahwa beberapa kebutuhan penting dalam
pengelolaan ekosistem lahan di DAS Jawa Timur adalah sebagai
berikut :
a. Kebutuhan dalam hal rehabilitasi lahan dan konservasi tanah
dan air.
a.1. Fluktuasi debit air sungai sepanjang tahun dalam batas-batas
kenormalan (rasio debit minimum dan debit maksimum dalam
setahun tidak kurang dari 1 : 40).
a.2. Tersediannya air-bumi dan air-permukaan sepanjang tahun
yang mencukupi kebutuhan domestik, Industri, pertanian dan
ekologi.
a.3. Terkendalinya erosi tanah dari lahan usaha dan sedimentasi
di jaringan irigasi dan Waduk .
a.4. Terbinanya sikap mental penduduk sebagai insan pelestari
sumberdaya lahan dan lingkungan.
b. Kebutuhan untuk mencapai pendapatan wilayah dan pendapatan
per kapita sesuai dengan kondisi kelayakan.
13
b.1. Tercapainya pendapatan perkapita seluruh penduduk sesuai
dengan taraf hidup layak di atas garis kemiskinan.
b.2. Tercapainya produksi pertanian (dan sektor produksi primer
lainnya) untuk mengamankan ketersediaan pangan bagi
penduduk setempat .
c. Kebutuhan dalam hal peningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
penduduk.
c.1. Tersedianya kesempatan kerja di sektor pertanian sepanjang tahun dan minimal dapat memenuhi penawaran
angkatan kerja domestik.
c.2. Tersedianya bahan kebutuhan pokok pada jumlah dan tingkat
harga yang layak bagi seluruh penduduk .
d. Kebutuhan kelestarian dan daya dukung sumberdaya lahan
dan lingkungan hidup.
d.1. Terpeliharanya kawasan hutan dan sumberdaya hutan: hutan
lindung, dan hutan produksi.
d.2. Terpeliharanya daya dukung lingkungan pada tingkat layak
bagi populasi ternak dan juga bagi manusia.
(2). Karakteristik ekosistem lahan pertanian
Proses identifikasi sistem lahan yang cermat dan sistematis
akan sangat menentukan keberhasilan langkah-langkah
analisis
selanjutnya. Teknik diagramatis sangat membantu dalam identifikasi
pengelolaan ekosistem lahan yang rumit.
(a). Diagram Lingkar Sebab-akibat Pengelolaan Lahan
Diagram lingkar sebab-akibat pengelolaan ekosistem lahan disajikan dalam Gambar 1. Ada enam komponen utama dalam pengelolaan
ekosistem lahan. Keenam komponen utama ini saling berinteraksi
secara dinamis, dimana keterlibatan manusia di dalamnya akan sangat
menetukan kelestarian dan perkembangan sistem. Secara alamiah
manusia dituntut untuk berupaya memenuhi kebutuhan biologisnya
dengan jalan memanfaatkan sumberdaya lahan yang tersedia.
Intensitas pemanfaatan sumber daya lahan ini sangat ditentukan oleh
tingkat teknologi dan kebutuhan hidup manusia. Selanjutnya intensitas
pemanfaatan ini juga akan menentukan besarnya manfaat yang
diperoleh dan perubahan daya dukung atau kualitas sumberdaya
lahan. Pada giliran selanjutnya, manfaat-manfaat tersebut akan
menentukan tingkat kesejahteraan penduduk dan perubahan daya
dukung akan mempengaruhi kelestarian sumber daya lahan . Kedua
kondisi ini secara bersama-sama akan ikut menentukan
tingkat
investasi domestik dan eksternal. Peningkatan investasi ini pasti akan
14
mendatangkan dampak sosial ekonomi dan dampak lingkungan seperti
erosi, sedimentasi, pencemaran dan kemerosotan kualitas lahan .
(b). Diagram Input-output
Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari pengabstraksian
ekosistem lahan seperti di atas dapat disusun suatu model kotak hitam
I/O pengelolaan ekosistem lahan (Gambar 2). Dengan menggunakan
diagram ini dapat diabstraksikan bahwa pengelolaan ekosistem lahan
mempunyai komponen utama yang berupa masukan , keluaran ,
parameter, dan menejemen kendali. Sistem pengelolaan lahan masih
dianggap sebagai kotak hitam, dimana struktur yang ada di dalamnya
dianggap belum diketahui. Dengan melalui proses dan fenomena
tertentu yang terjadi di dalam sistem lahan, maka masukan-masukan
yang masuk akan diolah menjadi keluaran-keluaran sistem. Keluaran
ini ada yang sesuai dengan apa yang diinginkan dan ada pula yang
tidak diinginkan oleh pengelola sumberdaya lahan. Melalui mekanisme
umpan balik yang dimotori oleh fungsi menejemen kendali maka
keluaran yang tidak diinginkan akan diolah menjadi informasi yang
akan digunakan untuk menentukan kebijakan dalam menetapkan
masukan-masukan pengendali, yang biasanya berupa kebijakankebijakan pengelolaan.
(c). Diagram Struktur Ekosistem Lahan
Bagan berikut ini mengabstraksikan enam subsistem penting
dalam pengelolaan ekosistem lahan, dua subsistem terkait langsung
dengan tingkat kebutuhan penduduk, dan empat subsistem lainnya
terkait dengan daya dukung lahan. Uraian subsistem disajikan di
bawah ini.
Pengelolaan :
Sawah, Tegalan,
Kebun, Pekarangan
Produktivitas
Lahan
Hasil tanaman
Pendapatan
Kesempatan kerja
Kehilangan tanah,
Air,Bahan organik,
Unsur Hara
15
Solum tanah,
Kesuburan tanah
Kepekaan erosi
Kesejahteraan
petani dan
buruhtani
Agroteknologi:
- pupuk, bibit
- teras bangku
SDA Air
SDA Tanah
SDA Vegetasi
Investasi:
Privat:
saprodi
tenaga
publik:
teras
dam pengendali
saluran air
Gambar 1. Diagram Lingkar Sebab Akibat Pengelolaan Ekosistem Lahan
16
Masukan Lingkungan Biofisik
Sosbud , Sospol, Sosek
Tataguna lahan
Sarana produksi
Agroteknologi
Kapital /tenagakerja
Hasil tanaman ,
Ternak, Hutan
Kesempatan kerja
EKOSISTEM
LAHAN JATIM
Hasil sedimen
BOD,polutan,
banjir
Harga saprodi
sayuran,susu perah
Lokasi JATIM
PEMDA, BRLKT, Petani
Gambar 2. Diagram Kotak Hitam Masukan-Keluaran Sistem Pengelolaan Lahan
17
Masukan lingkungan Biofisik
Sosbud, Sospol, Sosek
Subsistem
Hidrologi
Masukan
Agroekologis
Masukan
Agroteknologis
Subsistem
Erosi dan
Sedimentasi
Subsistem
Lahan
Subsistem
Pertanian
Masukan
Demografis
Subsistem
Sosial-Ekonomi
Produktivitas
lahan
Keluaran:
Hasil padi, sayuran,
kopi, susu
Kes. Kerja
Debit air, banjir
sedimen, BOD
Kebutuhan
Pangan, pemukiman,kesempatan kerja
Subsistem
Demografi
PEMDA Jatim
BRLKT Wilayah VI ,
Petani, Dinas Pengairan
Gambar 3. Kerangka Model Konseptual Perencanaan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan
C.1. Subsistem Hidrologi dan Erosi-Sedimentasi
Kedua subsistem ini mempunyai hubungan yang sangat erat,
dan keduanya juga ber interaksi dengan subsistem produksi primer
(sistem pertanian). Kedua subsistem ini mempunyai masukan
alamiah berupa hujan dan faktor agroekologi lainnya yang terkait, serta
masukan kebijakan berupa alokasi penggunaan lahan, teknologi
konservasi tanah dan air, dan alokasi penggunaan sarana produksi.
Masukan utama dari subsistem hidrologi adalah faktor-faktor
agroklimat. Keadaan agroeklimat di wilayah ini dicirikan oleh tipe iklim
Muson Tropis yang memiliki musim kering dan basah yang jelas.
18
Musim hujan ber-langsung selama bulan Nopember hingga akhir
Maret, dan musim kemarau mulai awal Juni hingga akhir September.
Rataan curah hujan tahunan di daerah aliran berkisar secara spasial
antara 2000 hingga 2500 mm. Berdasarkan sistem Oldeman (1975),
daerah ini digolongkan ke dalam zone agroklimat C 2 dengan empat
bulan kering dan 5-6 bulan basah setiap tahun. Keluaran utama
subsistem hidrologi adalah hasil air permukaan yang dapat diukur
dalam bentuk debit air sungai dalam fungsi waktu.
Subsistem erosi-sedimentasi mempunyai keluaran utama
berupa kehilangan tanah dari lahan atau hasil sedimen yang diukur di
petak erosi atau di outlet sungai. Laju erosi pada lahan sangat
berfluktuasi menurut waktu (musim) dan menurut tipe penggunaan
lahan. Erosi pada lahan pekarangan dan lahan tegalan paling besar.
Erosi dan limpasan permukaan di daerah tangkapan akan menentukan
besarnya sedimen yang memasuki wduk setiap tahun.
Dengan mempertimbangkan karakteristik DAS Jawa Timur
dapat diper kirakan rataan erosi tanah aktual di seluruh daerah aliran
tidak kurang dari 25 ton/ha/th atau setara dengan lebih dari 2 mm/th.
Secara struktural kedua subsistem ini saling bertautan dan sangat
dipengaruhi oleh perilaku subsistem produksi primer.
Peranan
vegetasi (alam dan budidaya) sangat besar dalam fungsi transfer yang
mengubah masukan sistem berupa hujan menjadi hasil air .
C.2.Subsistem Sumberdaya Lahan
Dalam hubungan dengan pendekatan ekosistem ini, lahan di
Jawa Timur dipandang sebagai suatu sistem yang mempunyai atribut
dan dimensi ganda; di dalamnya terdapat komponen-komponen yang
saling berinteraksi menyusun struktur tertentu. Perilaku dinamis
sumberdaya lahan ini tercermin dalam tipe penggunaan lahan, sistem
perta nian, produktivitas lahan dan laju degradasi lahan . Abstraksi
skematis subsistem lahan ini secara diagramatis disajikan dalam
Gambar 4. Masukan-masukan utamanya berupa tanah, relief, iklim,
dan teknologi/investasi. Unsur-unsur dari tanah, relief, dan iklim akan
menentukan kualitas lahan dan neraca lengas lahan. Sebagian besar
tanah berkembang dari bahan abu volkanik muda. Perbedaan bentuk
lahan dan curah hujan mengakibatkan berkembangnya tiga zone tanah
, yaitu (i) Andosol (Eutrandepts) pada lahan bergunung, (ii) Andosol
dan Kambisol (Eutropepts) pada lahan berbukit, (iii) Kambisol
(Inseptisols) pada dataran inter-volkanik, dan (iv) Entisol-Inseptisol di
daerah dataran/lembah sungai.
Andosol umumnya terdapat pada ketinggian lebih dari 1.000 m
dpl. meliputi area seluas sekitar 10-15% dari seluruh lahan. Tanah ini
mempunyai porositas dan permeabilitas yang tinggi, menahan banyak
air tersedia, berat isinya rendah, agregasinya lemah, dan
19
erodibilitasnya tinggi. Tingkat kesuburannya baik, pH tanah berkisar
antara 5.6 hingga 6.5, kaya bahan organik dan nitrogen.
Kambisol terdapat pada ketinggian di bawah 1000 m dpl.,
meliputi luasan sekitar 25-30% dari seluruh lahan. Tanah ini solumnya
masih tebal, terksturnya berlempung, drainasenya baik, erodibilitasnya
tinggi. Kesuburan ta-nahnya baik, kaya bahan orga nik dan unsur hara
tersedia, pH tanah 5.5 - 6.6. Tanah ini juga terdapat di daerah yang
lebih rendah, banyak dijumpai di Dataran. Teksturnya lempung hingga
lempung berliat, drainasenya cukup baik, struktur tanah porus dan
mantap, kejenuhan basa tinggi, dan pH tanah 5.7-6.8.
20
Pancausaha
pertanian
Pupuk
Bibit
Terras bangku
rumput gajah
Pengolahan tanah,
Polatanam
Iklim C2,
Andosol
Lereng
8-25%
Kesesuaian lahan
Jenis tanaman:
Padi, Jagung, Sayuran
Kopi, Kedelai
Produktivitas
Tanaman
dan ternak
Produktivitas
Lahan
Hasil Tanaman
Padi, Jagung,
Kentang, Kopi
Susu perah,
Sayuran
Gambar 4.
Pergiliran tanaman:
. Padi-Padi-Sayuran
. Jagung-Sayuran-bera
. Sayuran-Sayuran-bera
. Kopi+Jagung
Limpasan
Permukaan
Kehilangan
tanah, BO,
hara
Hasil Air
Debit sungai
Waduk
Hasil Sedimen
BOD, Fosfat,
ke waduk-waduk
Diagram Lingkar Pemanfaatan Sumberdaya Lahan
Untuk Pertanian.
Perilaku sistem sumberdaya lahan tersebut hingga batas-batas
tertentu dapat dikendalikan oleh manusia melalui berbagai upaya
intensifikasi dan ekstensifikasi dalam penggunaan lahan pertanian.
Usaha-usaha pengelolaan sumberdaya lahan ini dilakukan oleh
pemiliknya dengan menggunakan berbagai input material dan
managerial untuk memodifikasi perilaku alamiah lahan ke arah perilaku
yang dapat menghasilkan produk-produk bioekonomi yang bermanfaat
bagi manusia.
21
4.3. PERMASALAHAN Pengelolaan Lahan dan Air
Di wilayah DAS Jawa Timur diperkirakan terdapat cukup banyak
lahan kritis dan potensial kritis di luar kawasan hutan, hampir
seluruhnya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering
secara subsistensi oleh masyarakat pemiliknya. Salah satu masalah
utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang
sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi
sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak
diperlukan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan
kering dan pembenahan kelembagaan penunjangnya. Lima syarat
yang harus dipenuhi dalam upaya penerapan dan pengembangan
teknologi pengelolaan lahan kritis, adalah
(i) Secara teknis dapat dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan
sesuai dengan kondisi agroekosistem setempat (site specific),
(ii) Secara ekonomis menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi
wilayah pedesaan (ecological economic),
(iii) Secara sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong
motivasi dan partisipasi petani (social participation),
(iv) Ramah dan aman lingkungan (sustainable),
(v) Mampu membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah secara berkelanjutan (economic linkages).
Sumberdaya lahan dan air mempunyai peranan sangat penting
bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia
secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup
dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use. Dengan
peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering
terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang
memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan
penggunaan lahan kurang se- suai dengan kapabilitasnya. Dalam
hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang
mempengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan
terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan
(iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila
kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan
pasar. Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu
sistem pengelolaan lahan kering (seperti misalnya usahatani
konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan-persyaratan agroekologis
(terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air) . Persesuaian syarat
agroekologis menjadi landasan pokok dalam pengembangan
komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini
22
bukan hanya akan menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan
mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemerosotan kualitas
sumberdaya lahan. Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering di
bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut bisa bersifat internal seperti
kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti
sedimentasi di berbagai fasilitas perairan.
Atas dasar problematik seperti di atas, maka evaluasi
kesesuaian agroekologis lahan kering untuk penggunaan pertanian
masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi
perencanaan sistem pengelolaan lahan kering. Beberapa metode dan
prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini.
Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara
langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk
mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga
saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspekaspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk
memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan
metode eksperimental di lapangan yang sangat tergantung pada
musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang
cukup banyak. Kondisi lahan kritis biasanya ditandai oleh infrastruktur
fisik dan sosial yang rendah dan keterbatasan-keterbatasan akses
lainnya. Keterisolasian penduduk dari sumber informasi mengakibatkan mereka kurang mampu mengembangkan wilayahnya secara
mandiri. Kondisi seperti ini diperparah oleh keterbatasan kemampuan
aparat pemerintah untuk menjangkau masyarakat di lahan kering yang
sebagian besar relatif miskin. Pada kondisi seperti itu, siperlukan
rancangan khusus sistem usahatani konservasi di lahan kering untuk
menciptakan produksi pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan disertai dengan dukungan pengembangan peranan wanita
pedesaan, fasilitas perkreditan, jalan dan transportasi desa, sarana air
bersih pedesaan dan sarana penunjang lainnya.
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang
berupa material, teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi
akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa
hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah
dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air,
dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan.
Limbah ini biasanya diangkut ke luar dari sistem produksi dan
menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas. Biasanya sistem
produksi pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek eksternal
yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah.
Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan
pengairan seperti bendungan, waduk dan jaringan irigasi, efek
23
eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat
mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek
eksternalitas banjir tersebut, namun hasilnya masih belum memadai.
Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja
untuk mengalokasikan eksternalitas. Sehingga produsen pertanian di
daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbulkannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas
tersebut relatif sangat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan
penerimaan usahatani. Dalam kondisi seperti ini diperlukan campur
tangan kebijakan pemerintah.
Davies dan Kamien (1972)
mengemukakan beberapa macam campur tangan pemerintah untuk
mengendalikan efek eksternalitas, yaitu:
(i) larangan,
(ii) pengarahan,
(iii) kegiatan percontohan,
(iv) pajak atau subsidi,
(v) pengaturan (regulasi),
(vi) denda atau hukuman, dan
(vii) tindakan pengamanan.
Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan
dengan degradasi lahan dan banjir yang pengaruhnya dapat terjadi
terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai
efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas
pengusahaan lahan yang pada kenyataannya sangat beragam.
Kondisi sumberdaya lahan kritis yang sangat beragam dan
kondisi iklim yang berfluktuasi tersebut pada kenyataannya sering
menjadi kendala yang menentukan tingkat efektivitas implementasi
teknologi pengelolaan yang ada. Khusus dalam hal konservasi tanah
dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas
hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi. Dalam kondisi
seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan
intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya
intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar,
pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan
tanaman tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman
rumput/tanaman hijauan pakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam
1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung +
kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau
kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam
memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada
pola tanam tradisional. Suatu peluang yang tampaknya cukup besar di
24
lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa. Kedua
jenis komoditas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan
kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl
ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara
signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek
konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai
diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup
banyak dan harus mengikuti irama musiman. Selain itu, penelitianpenelitian ini masih belum menganalisis hasil-hasil erosi dan limpasan
permukaan secara terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum
dilakukan analisis kepekaan erosi dan limpasan permukaan terhadap
variasi
bentuk
kegiatan
konservasi
tanah,
serta
belum
memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan
dampak
jangka
panjangnya. Tampaknya komponen teknologi sistem usahatani lahan
kering yang cukup baik untuk menunjang program intensifikasi adalah
ternak. Introduksi hijauan pakan ternak, baik yang berupa rumput
maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu memberikan manfaat
ganda, yaitu mengurangi bahaya erosi dan limpasan permukaan, serta
menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput setaria ternyata
mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di lakan
kering, karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak
ruminansia serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat
teras yang baik. Usahatani domba ternyata mampu memberikan
sumbagan pendapatan keluarga yang cukup besar (bisa mencapai
35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor utama yang sangat
berpengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan yang
terkonsumsi ternak.
Produksi pertanian yang berkelanjutan yang sekaligus
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan alam ini akan dicapai
melalui pendekatan usahatani yang menyeluruh denagn menerapkan
paket teknologi "Asta-usaha". Penerapan paket teknologi yang terdiri
atas penggunaan
benih unggul, pengolahan tanah, pengairan,
perlindungan tanaman, cara bercocok tanam, pengolahan hasil,
pemasaran dan konservasi tanah ini diharapkan
akan mampu
menjawab tantangan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah.
Dalam hubungan ini diperlukan berbagai petunjuk teknis yang
tepatguna. Petunjuk teknis bagi pengembangan sistem pertanian
lahan kering ini terdiri atas Usahatani konservasi dan produksi
pertanian, Produksi Peternakan, Penyuluhan dan transfer informasi,
Pembinaan wanita pedesaan, pengembangan lembaga keuangan
pedesaan, Pembangunan prasarana jalan, dan Pengadaan fasilitas air
bersih. Komponen-komponen teknologi ini dikemas dalam suatu
25
program pembangunan pertanian lahan kering untuk meningkatkan
ekonomi wilayah dan sekaligus kesejahteraan masyarakat setempat.
4.3.1. Problematik Teknologi Konservasi Tanah dan Air
Permasalahan dan kendala bagi upaya konservasi tanah yang
sering dijumpai di lahan kritis adalah
(I) Kondisi lahan yang curam sehingga pengolahan tanah akan
merangsang dan mempercepat proses erosi dan tanah longsor,
(ii) Rendahnya rataan penghasilan petani lahan kering yang
menyebabkan tidak mampu untuk membiayai kegiatan konservasi
tanah,
(iii) Masih terbatasnya keberdayaan petani untuk usaha konservasi
tanah sebagai akibat dari keterbatasan income dan kebutuhan
keluarga yang senantiasa terus mendesak, dan
(iv) Keterbatasan sarana dan prasarana pengembangan sistem
usahatani konservasi berbasis agroforestry.
Lokasi prioritas bagi kegiatan konservasi tanah harus memenuhi
kriteria
(I) Terletak dalam Zone Erosi Kritis dengan luasan penggunaan
lahan > 75% sebagai lahan kering;
(ii) Sebagian besar diusahakan untuk usahatani kecil;
(iii) Kemiringan lahan antara 8% hingga 45% dengan tebal solum
kurang dari 50 cm, untuk daerah yang solumnya kurang 30 cm
diarahkan untuk tanaman keras tahunan; dan
(iv) Respon masyarakat pedesaan cukup tinggi.
Metode konservasi tanah yang sering digunakan
adalah
metode sipil-teknis dan metode vegetatif.
Bentuk-bentuk teknik
konservasi tanah yang dicobakan dapat berupa teras bangku, teras
gulud, teras kredit, teras individu, teras kebun, saluran diversi, saluran
pembuangan air, dan penanaman tanaman penguat teras pada
bibir/tampingan, tanaman penutup tampingan teras dan penanaman
berjalur (strip cropping).
4.3.2. Permasalahan LAHAN KRITIS dan Pemecahannya
a. Permasalahan
1. Rendahnya peran serta masyarakat disebabkan oleh kurang
terpenuhinya kebutuhan jangka pendek dari hasil kegiatan
penghijauan, terbukti bangunan konservasi (SPA, drop structure)
26
2.
3.
4.
5.
6.
dan tanaman tahunan kurang begitu mendapat perhatian dalam
pemeliharaannya.
UP-UPSA sebagai wahana dan sarana penyuluhan usahatani
konservasi dan
teknologi konservasi lainnya belum dapat
dimanfaatkan secara optimal dalam kegiatan transfer informasi
kepada masyarakat sasaran .
Peran serta Penyuluh Lapangan kurang efektif dalam
membangkitkan motivasi dan mengubah perilaku masyarakaf,
karena para Penyuluh lebih banyak berperan dalam meningkatkan
ketrampilan teknis dan pendekatan yang digunakan masih
bertumpu pada “broadcasting systems”.
Keterbatasan pengetahuan kelompok tani dalam menuangkan
kegiatan administrasi proyek yang agak rumit, sehingga
menimbulkan berbagai kendala administrasi pelaporan kegiatan.
Keterbatasan kemampuan masyarakat untuk meme lihara /
mengamankan
hasil-hasil
kegiatan
penghijauan
kerena
keterbetasan modal dan ketersediaan tenaga kerja.
Sistem pendanaan kegiatan penghijauan merupakan bansus Pusat
ke Tingkat II sehingga pelaksanaan di lapangan sering terlambat
sebagai akibat dari persyaratan birokrasi yang beraneka ragam
b. Upaya pemecahan masalah
1. Meningkatkan peranan UP-UPSA sebagai “Kebun Teknologi dan
Sekolah Lapangan Penghijauan” serta diikuti dengan peningkatan
kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat, sehingga UP-UPSA
betul-betul menjadi sarana yang dibutuhkan masyarakat untuk
memberdayakan dirinya.
2. Materi penyuluhan harus bergam sesuai dengan kebutuhan
kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, baik aspek
ketrampilan maupun afektif dan dilaksanakan dengna mengadopsi
pendekatan “receiving system groups”.
3. Pemilihan jenis tanaman dan teknologi pengusahaannya hendaknya
mengacu pada kesesuaian agroklimat, bernilai ekonomis tinggi,
cepat menghasilkan, disukai oleh masyarakat, serta mempunyai
keterkaitan yang luas dengan aktivitas produktif lainnya di
masyarakat.
4. Khusus dalam kaitannya dengan komoditi ekonomis berjangka
panjang (seperti pohon buah-buahan dan kayu-kayuan, ternak sapi
kereman) harus diadopsi pendekatan Kawasan Agribisnis
27
Penghijauan Milik Masyarakat (KAGIMAS), yang berdasar kepada
kaidah-kaidah ecological-economic.
c. Permasalahan pada Tingkat Lahan Pekarangan
“Pekarangan” di daerah lahan kritis dapat didefinisikan sebagai
"sebidang lahan dengan batas-batas tertentu, yang ada bangunan
tempat tinggal dan mempunyai hubungan fungsional secara ekonomi,
biofisik dan sosial-budaya dengan pemiliknya". Pengertian ini
mengisyaratkan betapa penting fungsi dan peranan “lahan
pekarangan” bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Luas lahan
pekarangan di daerah kritis ini diperkirakan mencapai sekitar 20-30%
dari luas lahan pertanian yang ada, dan merupakan sumber
pendapatan rumahtangga yang sangat penting
Ciri-ciri pekarangan di daerah lahan kritis ini sama halnya
dengan ciri lahan kering kritis di daerah lainnya, yaitu keadaan fisiografis lahan yang beragam mulai dari kelerengannya, struktur tanah,
kedalaman solum, kesuburan tanah, neraca lengas tanah, serta caracara pengelolaan petani yang seadanya, sedikit penggunaan input
produksi komersial dan dicirikan oleh adanya tatanan “multistrata
systems”, strata pertama pohon kayu-kayuan/buah-buahan, strata ke
dua tanaman pangan semusim, dan strata ke tiga biasanya berupa
cover-crops/rumput pakan ternak. Dalam sistem campuran seperti ini
biasanya produktivitas tanaman pangan (ubi kayu, jagung, kacangkacangan dan sayuran) dan tanaman tahunan (kelapa, pete, melinjo,
buah-buahan) yang
dihasilkan dikategorikan rendah. Namun
demikian, hal yang diutamakan adalah kesinambungan hasil produksi
sepanjang tahun.
Gambaran kondisi “Pekarangan” di wilayah lahan kritis Jawa
Timur, mempunyai ciri-ciri ekologis sebagai berikut :
Tinggi tempat antara 800 - 1200 m di atas permukaan laut, fisiografi
bergelombang hingga berbukit dengan kerelengan 20-35%. Suhu
0
0
udara rata-rata adalah antara 21 C, dan suhu maksimum antara 24 C
0
serta suhu minimum sekitar 18 C.
Lama penyinaran matahari
diperkirakan antara 40-60% di musim penghujan sampai 70-85% di
musim kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim penghujan
intensitas cahaya bisa berkurang dibanding musim kemarau karena
matahari sering tertutup awan.
Rata-rata hujan tahunan menunjukkan kisaran antara 1.400 mm
sampai 2.100 mm dengan rata-rata bulan basah (lebih 100 mm/bulan)
selama 5-6 bulan/tahun. Musim penghujan umumnya terjadi antara
bulan Nopember sampai dengan April. Pada periode ini jumlah hujan
28
mencapai 80% dari total hujan tahunan yang jatuh di daerah ini
sehingga limpasan hujan yang cukup deras merupakan masalah serius
yang dihadapi masyarakat di daerah ini.
Tata ruang pekarangan umumnya bernuansa tradisional,
ditandai rumah yang menjadi satu dengan kandang ternak (kalau
punya ternak), tempat pembuangan limbah ternak berdekatan dengan
sumur atau rumah, tidak terdapatnya parit atau saluran pembuang air,
sampah-sampah yang tidak terkumpul, sistem tanam yang rapat &
seolah-olah tidak teratur, menganut pola agroforestry. Lebih lanjut
ditemukan bahwa jenis tanaman yang dibudidayakan petani di lahan
pekarangan sangat beragam dengan hasil yang relatif rendah namun
berkesinambungan hampir sepanjang tahun. Tanaman tahunan
ekonomis seperti pete, kelapa, mangga, rambutan, pisang, nangka,
alpokad, pepaya, melinjo. Jenis lain berupa pohon kayu-kayuan
seperti Sengon, Akasia, Kaliandra, Gliricidae, Turi (Sesbania),
Kasuarina, mahoni, lamtoro gung, dan lainnya. Sedangkan tanaman
pangan dan sayuran yang diusahakan adalah sayuran, jagung,
kacang merah, koro-koroan, kacang-kacangan dan rerumputan pakan
ternak seperti rumput gajah, rumput setaria, kolomento dan lainnya.
Berbagai jenis ternak juga diupayakan seperti sapi, kambing dan
ayam buras, dalam jumlah yang relatif kecil. Sebagian penduduk
memelihara sapi kereman bukan milik sendiri tetapi memeliharakan
ternaknya orang lain dengan sistem "gaduhan" yaitu pembagian
keuntungan yang antara pemilik dan pemelihara ternak.
Dari segi pendidikan dan ketrampilan maupun pengetahuan
masih bersifat tradisional, hal ini ditandai bahwa kebanyakan petanipetani tersebut berpendidikan SD atau bahkan hanya sampai kelas III
saja. Begitu juga halnya dengan pengetahuan tentang budidaya
tanaman maupun pengolahan tanah masih tradisional, mengingat
tanaman yang dibudidayakan tidak menunjukkan pertumbuhan
maupun hasil yang baik. Dalam hal pengolahan lahannya petani
sudah tampak mulai berupaya menerapkan kaidah-kaidah konservasi
tanah untuk mengen dalikan proses erosi dan limpasan permukaan.
Kursus- kursus ketrampilan usahatani konservasi pernah diikuti
(penyuluhan dari PPL/PLP), namun untuk menerapkannya secara
penuh masih terkendala oleh “terbatasnya” insentif ekonomi yang
dapat diperolehnya.
Sistem pengelolaan lahan pekarangan sudah mulai memperhatikan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air terutama untuk tanhtanah miring (sistem gulud, teras, rorak-rorak, saluran pembuangan air
maupun saluran diversi). Namun praktek-praktek ini masih perlu
penanganan lebih intensif, terarah dan berkesinambungan. Di satu sisi
pada musim kemarau air kurang tersedia, pada musim penghujan air
29
berlebihan dan membawa akibat negatif seperti runoff, erosi maupun
tanah longsor.
Pada lahan pekarangan yang mempunyai kelerengan 30%
dengan kedalaman solum lebih 50 cm dapat digunakan untuk
kombinasi tanaman tahunan dan semusim yang ditanam secara kontur
dan menggunakan teras gulud atau teras bangku.
Jenis-jenis tanaman yang mampu bertahan dan dapat berproduksi dengan kondisi agroklimat yang ada adalah tanaman kelapa,
mangga, nangka, alpokad, mlinjo, mente, petai, pisang dan tanaman
hutan seperti jati, mahoni, albizia, gliricidae, flemingia dan akasia; dan
tanaman lain yang tahan adalah ubikayu, kacang tunggak, jagung, dan
aneka sayuran. Sehingga pemilihan jenis tanaman yang tepat sesuai
dengan kondisi lahan petani diharapkan dapat membantu penyediaan
pangan, gizi dan peningkatan pendapatan walaupun di wilayah
tersebut sedang dalam keadaan kemarau.
Ciri-ciri pekarangan di daerah yang lebih datar, adalah keadaan
fisiografis lahan yang berupa dataran berombak hingga bergelombang
dengan meiringan lahan 8-15%. Cara pemanfaatan lahan adalah
dengan sistem campuran (mixed cropping), ciri yang menonjol adalah
campuran antara tanaman hortikutura sayuran (sebagai tanaman
pokok), jagung sebagai tanaman sela, dan tanaman pagar pembatas
pemilikan lahan.
Dengan keadaan tersebut perlu diupayakan cara-cara
pemanfaatan yang lebih intensif dengan pengembangan sistem surjan
maupun penganekaragaman budidaya di wilayah tersebut seperti
penggunaan berbagai jenis kultivar secara tumpangsari / tumpang sisip
di bagian surjan (bidang olah di atas) dan mina padi di tabukan (bidang
olah di bawah) dan dikombinasikan dengan pola tanam yang tepat.
Ciri-ciri yang mempunyai kesamaan antara pemilik lahan adalah
kebanyakan penempatan rumah induk yang menjadi satu kandang
ternak (sapi/kambing), kamar mandi, cuci dan kakus yang kurang baik
(biasanya menggunakan sungai sebagai MCK) dan kalau malam
sering membakar jerami/campuran kotoran ternak untuk mengusir
nyamuk. Dengan kondisi tersebut jelas kurang baik bagi kesehatan
keluarga mereka, sehingga tidak sedikit yang menderita sakit sesak
nafas.
Melihat perkembangan wilayah maupun penduduk yang relatif
lambat serta rendahnya kemampuan penduduk dalam memanfaatkan
pekarangan maupun lahan mereka, dapat ditandai bahwa rendahnya
modal yang ada di wilayah tersebut juga menyebabkan lambatnya
pembangunan di desa tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas permasalahan crucial dalam
pemanfaatan lahan pekarangan yang kurang menunjang kehidupan
petani pemiliknya adalah :
30
(1). Masalah defisit lengas tanah pada musim kemarau sehingga
kegiatan budidaya di lahan mereka terhenti dan tenaga kerja
produktif (laki-laki/perempuan) menganggur atau mencari
pekerjaan ke luar sistem.
(2). Masalah kelebihan air selama musim penghujan, sehingga
limpasan air menyebabkan erosi terutama untuk lahan-lahan
pekarangan yang miring dan tanahnya sangat erodible.
(3). Masalah cara pemanfaatan lahan pekarangan pada saat tersedia
air (air hujan) kurang efisien, efektif dan bermanfaat untuk
menunjang pangan, gizi dan peningkatan pendapatan pemiliknya.
Hal ini terpaksa terjadi karena keterbatasan modal dan
sumberdaya untuk menerapkan pengelolaan usaha yang lebih
intensif.
(4). Masalah sanitasi lingkungan kurang sehat yang berkaitan dengan
tata ruang bangunan induk dan bangunan penunjang lainnya
untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan di lahan
pekarangan.
(5). Masalah sosial (persepsi, sikap dan perilaku) terutama yang
menyangkut kualitas sumberdaya manusia seperti pendidikan,
kesehatan, pengetahuan & ketrampilan, budaya dan tradisi yang
masih dapat dioptimalkan.
(6). Keterbatasan modal, dan lemahnya posisi tawar dalam
mekanisme pemasaran produk, sehingga potensi pekarangan
belum dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
(7). Masalah kelembagaan dan peranannya dalam peningkatan
pendapatan penduduk, peningkatan modal investasi eksternal di
lahan kritis, produktivitas lahan dan keberlanjutan usaha produksi
berbasis sumberdaya lahan.
V. METODOLOGI
5.1. Tahapan Pekerjaan
Kegiatan Pemetaan ini dilakukan melalui tahapan sebagai
berikut :
a.
Tahap Persiapan, meliputi kegiatan persiapan administrasi,
persiapan finansial dan persiapan teknis;
b. Kajian pustaka dan penyusunan kerangka konsep dan operasional;
c. Tahap pengumpulan data, meliputi pengumpulan data-data tentang
kondisi wilayah, bentang lahan, karakteristik tanah, serta sebaran
hujan
31
d. Tahap analisis sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi yang
dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah;
e. Tahap rekomendasi meliputi zonasi kapabilitas tanah dan teknologi
manajemen air hujan pada masing-masing zone tersebut di Jawa
Timur .
5.2. Metode Analisis
Studi ini juga memanfaatkan hasil-hasil studi lain mengenai
pengelolaan lahan dan konservasi air hujan, misalnya LREP (Land
Resource Evaluation and Planning). Untuk itu, perlu dilakukan review
terhadap hasil-hasil studi tersebut.
Selain itu, mengingat batas
topografi dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya,
Pelaksana kegiatan perlu menentukan terlebih dahulu batasan DAS
yang menjadi wilayah studi.
Satuan analisis adalah satuan peta yang dibentuk berdasarkan
informasi geologi dan geomorfologi. Obyek analisis pada satuan peta
ini meluputi karakteristik permukaan lahan dan karakteristik tubuh
tanah dan bahan induk tanah (formasi geologi). Karakteristik tanah
dibatasi pada kapasitas infiltrasi, perkolasi dan dinamika air tanah.
5.3. Pemetaan
Pemetaan kondisi lahan dilakukan dengan menggunakan
pendekatan fisiografik yang mendasarkan pada proses geomorfik di
muka bumi. Pengumpulan data dilaksanakan dengan metode survei
yang diawali dengan kerja laboratorium untuk mempersiapkan peta kerja
lapangan.
5.3.1. Bahan dan Alat
Pemetaan ini dilakukan di lokasi penelitian pada skala 1 : 50.000,
oleh karena itu bahan-bahan penunjang (foto udara, peta dan data
lainnya) yang perlu digunakan yang meliput wilayah contoh ini.
a. Peta-Peta
Sebagai bahan acuan atau pengujian di lapangan digunakan peta
dasar dan berbagai peta bantu lainnya
a. Peta Topografi skala 1 : 250.000 terbitan Bakosurtanal
b. Peta Penggunaan Lahan skala 1: 250.000
c. Peta Administrasi, sampai tingkat kecamatan publikasi BPN
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan peta, terutama
peta sementara dan draft peta akhir antara lain adalah:
a. Kertas Kalkir/
d. Plastik Mika
polyester paper
e.
pen OHP
32
b. Tinta Cina
c. Raster
f. isolasi
g. lain-lain
b. Peralatan yang diperlukan
Alat yang digunakan untuk kegiatan pemetaan antara lain adalah
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Stereoskop cermin dan saku,
Zoom transfercope,
Berbagai alat bantu untuk interpretasi foto udara,
Lettering set (raphidograph, sablon, dll)
Planimeter,
Pantograph,
Berbagai alat untuk penggambaran peta
c. Metode Pelaksanaan
Pekerjaan pemetaan dilakukan dengan metode survei yang
dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu: (1) Persiapan, (2)
Penyiapan peta dasar, (3) Interpretasi, (4) Penggambaran peta
sementara, (5) Pengujian lapangan, (6) Interpretasi ulang, revisi peta
dan generalisasi peta dan (7) penggambaran peta arahan kapabilitas
lahan meresapkan air hujan.
Tahap Persiapan
Meliputi pengurusan perijinan, pengadaan peta-peta dan data
penunjang yang diperlukan.
Penyiapan Peta Dasar
Peta dasar dibuat berdasarkan format dan isi yang mengacu
pada peta topografi skala 1 : 250.000 (Jawa Timur). Unsur-unsur yang
disajikan pada peta dasar merupakan unsur terpilih yang erat
kaitannya dengan tujuan pemetaan.
Interpretasi.
Analisis klasifikasi parameter peta mengikuti klasifikasi yang
berlaku sesuai dengan ciri ekosistem yang dikaji. Klasifikasi
menggunakan proses geomorfik sebagai dasar pengelompokan,
pembagian lebih lanjut menggunakan parameter lainnya. Sehingga
delineasi pada peta menghasilkan keseragaman dalam proses, litologi,
relief, lereng dan tingkat penorehannya. Dengan demikian dalam
interpretasi sebelum mendelineasi batas satuan peta perlu mendeteksi,
mengidentifikasi, menganalisis dan mengklasifikasi proses geomorfik,
relief, lereng dan torehan sebagai elemen-elemen landform.
Analisis landuse menggunakan analisis elemen dengan
menggunakan rona, tekstur, pola, ukuran, bentuk, tinggi, bayangan,
33
situs, dan asosiasinya. Kunci-kunci interpretasi diperoleh melalui
orientasi lapangan sebelum dilaksanakan interpretasi.
Pengujian Lapangan
Kegiatan pengujian hasil interpretasi foto udara dilakukan
dengan kunjungan lapangan terhadap semua satuan peta yang telah
didapat. Pengujian lapang ini dilakukan untuk melengkapi hasil
interpretasi sementara dan sekaligus memperbaiki batas-batas yang
kurang relevan dengan fakta di lapangan.
Penggambaran Peta Akhir.
Berdasarkan hasil revisi peta generalisasi yang dilakukan
selanjutnya dibuat peta rekomendasi sekala Jawa Timur 1:250.000.
Peta disajikan pada skala 1 : 50.000 untuk lokasi-lokasi yang dianggap
kritis.
5.4. Lokasi Kegiatan
Lokasi kegiatan yaitu:
N Jawa Timur
o
1. DAS Brantas
2. DAS Bengawan Solo
3. DAS Pekalen-Sampean
4. DAS Grindulu
Kabupaten
Malang,
Blitar,
Tulungagung,
Kediri,
Nganjuk,
Jombang,
Sidoarjo, Surabaya
Ponorogo, Madiun, Bojonegoro,
Lamongan, Gresik
Situbondo, Bondowoso, Lumajang,
Jember
Pacitan, Ponorogo, Magetan
34
Download