0 PEMETAAN KEMAMPUAN LAHAN MERESAPKAN AIR HUJAN DAN TEKNOLOGI PENGELOLAANNYA DALAM RANGKA MEMINIMUMKAN ANCAMAN BANJIR DI JAWA TIMUR 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang “Hujan” pada hakekatnya merupakan rahmat dari Yang Maha Kuasa kepada umat manusia di muka bumi untuk dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Kekhilafan dan kekeliruan manusia dalam mengelola air hujan setelah sampai di permukaan bumi mengakibatkan munculnya mudharat yang dahsyat berupa banjir, tanah longsor, dan lainnya. Salah satu kekeliruan manusia adalah menghalangi masuknya air hujan ke dalam tanah, sehingga air hujan harus mengalir di permukaan sebagai limpasan permukaan. Apabila volume air limpasan ini tidak tertampung oleh sistem drainase yang ada, maka terjadilah banjir dengan aneka ragam kedahsyatan dan dampak negatifnya. Wilayah Jawa Timur mempunyai curah hujan yang sangat beragam, yaitu antara 1000 mm – 4000 mm per tahun. Air yang jatuh di permukaan bumi tersebut jumlahnya relatif konstan dari tahun ke tahun, sebagian besar (70-75%) jatuh pada musim penghujan. Namun pada saat berada di permukaan bumi, perilaku air hujan ini sangat tergantung dari berbagai faktor eksternal, seperti kadaan geologi, geomorfologi, karakteristik tanah dan kapabilitas lahan, vegetasi, laju penguapan dan evapotranspirasi. Disamping itu, volume air permukaan khususnya air sungai, ditinjau dari aspek jumlah aliran airnya sangat dipengaruhi oleh kondisi permukaan lahan dan vegetasi penutup yang terdapat di daerah aliran sungai (DAS). Ketersediaan potensial air hujan tahunan di Jawa Timur adalah setara dengan debit air sebesar 80.892,00 x 106 m3 . Potensi air permukaan 26.716,01 x 106 m3 , dan air tanah 37.073,24 x 106 m3 . Tingginya potensi air ini mengisyaratkan adanya potensi ekonomi yang sangat besar, namun dibalik itu juga menyimpan ancaman bahaya yang sangat dahsyat apabila keliru dalam pengelolaannya. Faktor penting dalam kaitannya dengan manajemen air hujan di permukaan bumi adalah “lahan”, meliputi dimensi permukaannya (geomorfologinya), dimensi geofisik (karakteristik tubuh tanah), serta dimensi geologi (formasi bahan induk tanah). Secara alamiah, “lahan” mempunyai kemampuan dan kapasitas yang berbeda-beda untuk meresapkan dan menyimpan air hujan. Namun demikian tindakan pengelolaan yang tidak memperhatikan karakteristik ini dapat mengakibatkan lenyapnya kapasitas tersebut. Ada tiga aspek penting yang berdampak pada hilangnya kemampuan dan kapasitas lahan untuk meresapkan dan menyimpan air hujan, yaitu: (1). konversi tanah pertanian ke non-pertanian; (2). Perkembangan kegiatan sosial- 2 ekonomi perkotaan; dan (3). Laju pertumbuhan penduduk di wilayah pedesaan yang mengakibatkan semakin tingginya tekanan atas lahan dan munculnya berbagai fenomena penggundulan lahan dan hutan. Apabila konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian tidak dapat dikendalikan, maka akan terjadi pengurangan luasan lahan produktif di Jawa Timur yang akan berdampak langsung pada produksi pertanian; serta berkurangnya fungsi resapan air hujan. Dengan perkembangan kegiatan ekonomi non-pertanian dan perkembangan perkotaan yang sangat pesat, tampaknya sangat sulit untuk membendung konversi lahan pertanian, namun yang perlu dilakukan adalah mengarahkan proses ini secara lebih bijaksana, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan termasuk melestarikan fungsi resapan air hujan. Laju pembangunan ekonomi di wilayah perkotaan berdampak kepada kompleksitas penggunaan lahan. Pembangunan perkotaan diarahkan untuk dapat mewujudkan pengelolaan kota yang berkualitas; menciptakan kawasan yang layak huni, berkeadilan, berbudaya, dan wadah bagi peningkatan pro-duktivitas dan kreatifitas masyarakat, serta mewujudkan pusat pelayanan sosial-ekonomi dan pemerintahan. Permasalahan utama dalam pembangunan perkotaan adalah: (1). semakin meningkatnya kebutuhan pelayanan kota, (2) terbatasnya kemampuan pengelolaan perkotaan, khususnya dalam pengelolaan sumber pembiayaan, (3) meningkatnya masalah sosial kemasyarakatan dan kejahatan di perkotaan, (4) meluasnya kawasan kumuh, menurunnya kualitas lingkungan hidup di perkotaan, (5) rendahnya pengelolaan lalulintas dan transportasi umum di perkotaan, (6) belum mantapnya sistem penataan ruang perkotaan dan penanganan fungsi ekologi kota. Tantangan utama yang dihadapi dalam pembangunan perkotaan adalah meningkatkan peran kota untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (ekonomi dan ekologi) seperti lapangan kerja, hunian, pendidikan, kesehatan, nyaman dan pelayanan umum lainnya bagi seluruh lapisan masyarakat. Tantangan berikutnya adalah mempersiapkan dan menyediakan peraturan perundangundangan serta menegakkan kesadaran hukum dalam rangka ketertiban dalam penataan ruang perkotaan, khususnya penatagunaan tanah perkotaan, serta pelestarian fungsi resapan air hujan. Ini semua memerlukan dukungan informasi yang akurat mengenai karakteristik dan kapasitas lahan meresapkan air hujan. Permasalahan utama dalam hal pembangunan permukiman di wilayah perkotaan adalah (1) Tingginya kebutuhan tempat-tempat usaha, dan tempat berproduksi beserta prasarana dan sarana pendukungnya; (2) masih rendahnya kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman seperti air bersih, air limbah, persampahan, drainase dan penanggulangan banjir, jaringan jalan dan pelestarian, 3 Ialulintas dan transportasi umum, pasar, sarana sosial, serta taman dan jalur hijau. Dalam hal pembangunan perumahan, secara umum penyediaan perumahan semakin baik akan tetapi secara kuantitas dan kualitas belum mengenai sasaran, khususnya bagi masyarakat yang benar berpendapatan rendah dan memerlukan. Secara kualitatif sebenarnya semakin buruk karena peningkatan penyediaan rumah justru merupakan rumah waris, hal ini disebabkan pasangan muda yang baru menikah belum segera mampu menyediakan rumahnya sendiri. Masalah yang dihadapi di perumahan wilayah pedesaan, masalah pokok yang dihadapi antara lain (1) rendahnya tingkat kesehatan perumahan wilayah pedesaan, (2) masih rendahnya pelayanan prasarana dan sarana, seperti air bersih dan sanitasi, jaringan jalan, irigasi, dan jaringan listrik, tidak terkendalinya alih fungsi lahan subur menjadi non pertanian, dan (3) kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lahan dan hutan yang berdampak negatif kepada kawasan permukiman wilayah pedesaan. Semua permasalahan di atas mengisyaratkan betapa pentingnya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan layanan sosial masyarakat dengan kelestarian fungsi ekologis lahan, terutama fungsi resapan air hujan yang senantiasa menghantui kawasan perkotaan. Kebijakan publik penerapan teknologi ramah lingkungan hanya akan berhasil kalau didukung oleh informasi yang akurat dan komprehensif tentang kendala-kendala dan karakteristik sumberdaya lahan. Informasi ini akan lebih efektif kalau dipetakan dan diklasifikasikan sesuai dengan kekhususan lokasi atau zone-zone pembangunan yang ada. 1.2 Permasalahan Akhir-akhir ini bencana banjir melanda di berbagai daerah di Jawa Timur dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, baik yang bersifat material maupun non-material. Fenomena Banjir ini seolah-olah bersifat tahunan, dan semakin tahun tampaknya semakin serius mengancam wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu harus dilakukan berbagai upaya menyeluruh untuk menemukan akar masalahnya, yang mungkin saja tersebar di berbagai sektor kehidupan, baik bio-fisik, geo-kimia, ekonomi, sosial-budaya dan sosial-politik. Beberapa permasalahan yang diduga terkait dengan fenomena banjir di Jawa Timur adalah: 1. Integrasi Saluran air permukaan yang tidak bagus: Sungai – Anak sungai – Saluran Primer/Sekunder/Tersier – Saluran pembuangan air (SPA) – Saluran Drainase. Di berbagai lokasi sistem saluran 4 2. 3. 4. 5. 6. 7. drainase tidak memadai secara kualitas dan secara kuantitas tidak mampu menyalurkan volume air hujan yang melimpas di permukaan. Selain itu integrasi antara sistem aluran drainase buatan dengan sistem saluran drainase alami sangat lemah. Curah hujan tinggi di berbagai daerah di Jawa Timur yang terjadi secara bersamaan mengakibatkan besarnya debit limpasan permukaan yang pada saat bersamaan memasuki aliran sungai, sehingga terjadi “over capacity” yang berujung pada terjadinya banjir Tingginya debit air sungai di daerah hilir sebagai akibat kiriman dari hulu DAS. Hal ini mengisyaratkan bahwa daerah hulu DAS tidak lagi mampu meresapkan dan menyimpan air hujan dalam tanah. Pertumbuhan vegetasi / gulma air di sepanjang saluran air / sungai dan pendangkalan dasar saluran /sungai. Hal ini mengisyaratkan betapa besarnya erosi yang terjadi di sepanjang daerah aliran sungai dan betapa besarnya limbah padat yang dibuang ke aliran sungai. Bangunan “rumah-rumah” di sepanjang tepian aliran sungai mengakibatnya menurunnya kapasitas sungai untuk menyalurkan air. Hilangnya kapasitas permukaan tanah untuk meresapkan air hujan akibat pengerasan dan pemadatan, serta alih fungsi penggunaan lahan. Hal ini mengisyaratkan pentingnya pengetahuan tentang kapabilitas tanah untuk meresapkan dan menyimpan air hujan, dan bagaimana pengetahuan ini dapat diimplementasikan dalam berbagai sektor pembangunan yang terkait dan dalam kehidupan masyarakat. Penggundulan lahan di daerah hulu aliran sungai juga menjadi pemicu utama terjadinya erosi, tanah longsor dan banjir di berbagai daerah. Salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh wilayah pedesaan di bagian hulu DAS di Jawa Timur dalam mengelola sumberdaya lahan adalah terbatasnya alternatif kesempatan kerja di luar sektor pertanian, sehingga pertambahan jumlah penduduk pedesaan (dan kebutuhan hidupnya) akan diikuti oleh meningkatnya tekanan atas sumberdaya lahan. Kondisi seperti ini memaksa kita untuk senantiasa mencari alternatif-alternatif khusus bagi penggunaan lahan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus melestarikan sumberdaya lahannya dan meminimumkan dampak negatif eksternalnya, seperti banjir di daerah hilir. Pengelolaan sumberdaya lahan di daerah hulu sungai melibatkan banyak pihak dengan kepentingannya masing-masing. 5 Dalam kondisi seperti ini diperlukan pendekatan sistematik untuk mengevaluasi keadaan yang optimal dengan mengorbankan sebagian kepentingan beberapa pihak lainnya. Dalam hal sumberdaya air, permasalahan yang ada berpangkal pada besarnya fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim kemarau. Konflik kepentingan tampaknya terjadi antara sektor pertanian, sektor domestik (penggunaan rumah tangga) dan sektor kepentingan pembuangan limbah. Perkembangan sektor-sektor ini di Jawa Timur telah ikut mempertajam konflik kepentingan dalam menggunakan sumberdaya air, dan pada gilirannya akan menentukan ketersediaan air dan semakin menurunnya kualitas air di sepanjang aliran sungai. Pada sisi lain terjadi kelebihan debit air pada musim hujan dan terjadilah banjir di mana-mana. Pemilihan DAS utama di Jawa Timur sebagai fokus kajian didasarkan atas beberapa masalah penting berikut ini : a. Keberadaan bangunan serbaguna Bendungan dan Waduk di sepanjang aliran sungai harus dijaga kelestariannya. Bangunan ini pembangunannya menghabiskan investasi ratusan milyar rupiah. Fungsi utama bangunan-bangunan ini ialah untuk pengendalian banjir di bagian tengah dan hilir sungai, irigasi lahan sawah, dan PLTA dengan kapasitas ribuan GWH per tahun. b. Daerah DAS umumnya merupakan daerah tangkapan dan resepan air hujan yang sangat penting bagi daerah-daerah di bawahnya. Wilayah ini mempunyai rataan curah hujan tahunan sebesar 2000 2700 mm, sekitar 75 % terjadi pada musim hujan dan 25 % pada musim kemarau. Tingginya intensitas hujan pada musim hujan menjadi ancaman banjir bagi daerah bawah. c. Daerah aliran sungai ini merupakan pusat produksi tanaman pangan dan hortikultura, seperti kentang, kubis, wortel, bawang merah, bawang putih, kacang merah, apel, dan aneka tanaman perkebunan. Kondisi agroekologi di wilayah ini sangat mendukung bagi pola usahatani tanaman tersebut secara intensif. Namun demikian sebagian besar wilayah ini mempunyai indeks bahaya erosi yang sangat tinggi. Keadaan seperti ini telah memacu terjadinya erosi dan limpasan air hujan di permukaan tanah, dan pada akhirnya mengakibatkan tingginya debit sungai (banjir) pada musim hujan. d. Daerah aliran sungai Brantas merupakan salah satu pusat pengembangan dan pusat produksi susu di Jawa Timur. Kondisi agroekologinya sangat sesuai bagi kehidupan sapi perah dan bagi berbagai jenis tanaman hijauan pakan. Perkembangan Usahatani ternak sapi perah telah terjadi secara mencolok semenjak tahun 1977/1978, dan telah memberikan sumbangan yang cukup besar 6 terhadap kesejahteraan penduduk setempat dan perekonomian wilayah. Sehubungan dengan hal ini daya dukung wilayah untuk menyediakan bahan hijauan pakan harus dijaga kelestarianya. e. DAS di Jawa Timur merupakan wilayah yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Rataan kepadatan agraris penduduk sekitar 800-1100 jiwa/km2. Rataan pertumbuhan penduduk setiap tahun sekitar 1.06 %. Sebagian penduduk memanfaatkan air sungai untuk memenuhi kebutuhan airnya sehari-hari, di beberapa titik tertentu ternyata sejumlah parameter kualitas air telah mendekati ambang batas pencemaran. f. Proses degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup di DAS Bagian Hulu menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini terlihat dari semakin tingginya laju sedimentasi dan pencemaran air sungai, serta semakin besarnya fluktuasi debit sungai yang memasuki Waduk. Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka semakin besar pula kebutuhan akan sumberdaya lahan dan air untuk keperluan pertanian dan pemukiman. g. Di bagian tengah dan bawah DAS umumnya merupakan pusatpusat aktivitas ekonomi yang dicirikan oleh tingginya kebutuhan lahan untuk permukiman dan perumahan. Tingginya laju pembangunan prasarana fisik tidak disadari telah mengakibatkan gangguan manajemen air hujan, dimana sebagian besar air hujan terpaksa tidak mampu meresap masuk ke dalam tanah, melainkan harus mengalir di permukaan tanah. Hal inilah yang juga dianggap sebagai sumber utama banjir wilayah perkotaan di daerah hilir sungai. 7 II. MAKSUD, TUJUAN dan SASARAN Kegiatan ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kelestarian sumberdaya lahan di Jawa Timur sekaligus meminimumkan ancaman bahaya banjir dengan jalan melakukan pemetaan fungsi resapan lahan dan manajemen air hujan. Tujuan dilakukannya kegiatan ini ialah memberikan arahan pengelolaan pemanfaatan dan penggunaan lahan di Jawa Timur, dalam upaya mengurangi dan mencegah terjadinya degradasi sumberdaya lahan dan bencana banjir di musim hujan serta ancaman kekeringan di musim kemarau. Adapun sasarannya adalah tersedianya Peta zonasi manajemen air hujan, yang memuat : (1). Macam bentuk pengelolaan lahan dan manajemen air hujan yang terpadu dan sesuai dengan kapabilitas lahan dan sebaran hujan (2). Kriteria teknis pengelolaan air hujan pada setiap jenis penggunaan lahan yang ada di setiap zone (3). Kualitas dan karakteristik tanah, geologi dan geomorfologi, yang menjadi kendala bagi optimasi manajemen air hujan III. RUANG LINGKUP KEGIATAN 3.1. Lingkup Wilayah Sesuai dengan tujuan dan sasaran tersebut maka kegiatan ini dibatasi pada empat DAS yang dominan di Jawa Timur: 1. DAS Brantas: Malang-Surabaya 2. DAS Bengawan Solo: Ponorogo-Madiun-Gresik 3. DAS Pekalen-Sampean: Bondowoso-Situbondo 4. DAS Grindulu, Pacitan-Ponorogo-Magetan 3.2. Lingkup Kegiatan Manajemen air hujan perlu dilakukan secara terpadu. Pengelolaan secara parsial, seperti irigasi-pertanian, perikanan/ tambak, pariwisata, pelabuhan dan industri, seringkali menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang pada akhirnya dapat menimbulkan ancaman bencana banjir dan/atau kekeringan. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan air hujan secara terpadu dengan tujuan untuk mengoptimalkan manfaat air , memelihara kelestarian lingkungan, dan meminimumkan bahaya banjir. Mengingat lingkup pengelolaan air hujan di suatu wilayah begitu luas dan melibatkan banyak aspek dan adanya keterbatasan sumberdaya, maka pada kegiatan ini dibatasi pada upaya-upaya 8 pengelolaan yang ada kaitannya dengan tanah dan lahan yang mempunyai kapasitas menyimpan air hujan. Untuk itu lingkup kegiatan yang akan dilakukan ini adalah: a. melakukan identifikasi permasalahan degradasi lingkungan yang timbul sebagai akibat dari manajemen air hujan yang tidak optimal; b. mengkaji kapabilitas lahan dan karakteristik tanah yang ada kaitannya dengan kemampuan meresapkan dan menyimpan air hujan; c. Melakukan kajian identifikasi teknologi yang perlu diterapkan dalam upaya pengelolaan air hujan secara optimal sesuai dengan kapabilitas lahan; d. Menyusun rekomendasi teknologi manajemen air hujan pada setiap zone yang memaksimumkan manfaat dan meminimumkan ancaman bencana. 3.3. Hasil Penelitian 1. Peta zonasi kapabilitas tanah meresapkan air hujan sekala 1:250.000 untuk Jawa Timur 2. Peta zonasi kapabilitas tanah meresapkan air hujan sekala 1:50.000 untuk lokasi – lokasi yang dianggap kritis dan rawan banjir 3. Teknologi manajemen air hujan pada masing-masing zone: tekniksipil, biologi, agroteknik, dan fisiko-kimia. 4. Teknologi konservasi tanah dan rehabilitasi lahan pada masingmasing zone. 5. Rekomendasi penggunaan dan pengelolaan lahan pada setiap zone: Pertanian, Non-pertanian, Perumahan-permukiman, dan lainnya. 9 IV. KERANGKA KONSEP 4.1. Sistem Pengelolaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Pengelolaan sumberdaya lahan yang berasaskan konservasi ditekankan kepada usaha perlindungan, peningkatan dan manfaat bagi terwujudnya kondisi sumberdaya lahan (tanah) dan air yang serasi dan mampu memberikan manfaat secara maksimal yang berkesi nambungan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan manusia. Pengelolaan vegetasi dilakukan pada kawasan hutan yang karena kemiringannya, erodibilitas tanah dan curah hujan, memerlukan perlindungan, pengaturan, pemanfaatan dan pemeliharaan. Pada kawasan ini diperlukan penutupan vegetasi tetap antara lain berupa hutan lindung, suaka alam, kebun dan vegetasi tetap lainnya. Pengelolaan vegetasi harus dapat memberikan manfaat-manfaat ekologis seperti (I) pengendalian erosi yang efektif, (II) menurunkan puncak banjir, (III) menghasilkan air dengan kualitas yang layak. Upaya pemulihan kawasan hutan yang perlu terus ditingkatkan dan disempurnakan a.l : (a) Reboisasi pada kawasan hutan dengan penanaman atau suksesi alamiah ; (b) Penghijauan lahan di luar kawasan DAS yang berupa hutan rakyat, agroforestry, dan pola usahatani konservasi ; dan (c) Peningkatan mutu hutan dengan pengkayaan tanaman yang dapat berfungsi untuk perlindungan tanah dan air. Pengelolaan tanah meliputi perlindungan, pengaturan, pemanfaatan, dan pemeliharaan tanah sehingga fungsi produksi dan media pengatur tata air dapat dilestarikan. Kegiatan pokok dalam pengelolaan tanah adalah konservasi dan penggunaan lahan sesuai dengan tingkat kemampuannya. Berbagai macam metode dan teknik konservasi tanah dan air yang dianjurkan dewasa ini masih bersifat umum, sehingga dalam penerapannya perlu disesuaikan dengan keadaan aktual di masingmasing tempat. Metode teknik sipil perlu juga dikembangkan berdampingan dengan metode biologis vege-tatif. Pengelolaan air meliputi perlindungan, pengembangan dan penggunaan air untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia, dengan tujuan terwujutnya kondisi hidrologis DAS yang optimal, diperolehnya hasil air yang sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan, yaitu : jumlah cukup, kualitas air yang memenuhi persyaratan, tersedia menurut waktu dan tempat. Dalam rangka pengelolaan air melalui upaya pokok pengembangan sumber-sumber air, maka beberapa kegiatan penting adalah (I) pengamanan dan pengendalian daya rusak air terhadap sumberdaya di sekitarnya ; (II) pencegahan terjadinya dan pemulihan lahan kritis ; (III) pencegahan terhadap terjadinya pencemaran air ; (IV) 10 pengamanan dan perlindungan bangunan pengairan, dan (V) memanfaatkan dan mengembangkan sumber-sumber air. Masalah utama dalam pengelolaan sumber-daya air adalah mengusahakan keserasian antara pengembangan sumber-sumber air di daerah hilir dengan usaha-usaha men-jaga kelestarian tanah dan air serta sumbersumber air di daerah hulu sungai. 4.1.1. Pengelolaan DAS secara terpadu Beberapa alasan pokok dilakukannya “pendekatan sistem” dalam pengelolaan DAS adalah : a. Adanya keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan pemberdayaan aktivitas manusia dalam penggu-naannya. Hal ini merupakan akibat logis dari penerapan konsepsi ekosistem. Setiap tindakan atau perlakuan yang diambil pada suatu komponen harus sudah diperhitungkan dampak atau umpan balik terhadap atau dari komponen lainnya. b. Pengelolaan DAS mempunyai sifat interdisiplin. Berbagai jenis disiplin ilmu terlibat secara interaktif, seperti ilmu tanah, geomorfologi, hidrologi, ilmu kehutanan, ilmu-ilmu pertanian, sosiologi pedesaan dan lainnya. c. Penyelenggaraan pengelolaan DAS bersifat lintas sektoral, sehingga melibatkan berbagai instansi dan lembaga yang terkait. Berdasarkan atas ketiga hal ini di atas maka mencapai hasil akhir yang maksimal dari pengelolaan DAS maka diperlukan keterpaduan. Terpadu dalam hal ini mengandung pengertian terbinanya keserasian, keseimbangan, dan koordinasi yang efektif. Pengelolaan DAS harus dilihat sebagai totalitas yang utuh, bukan sebagai kumpulan dari keping-keping yang terpisah. Keterpaduan yang dimaksud harus tercermin dalam penyusunan konsepsi dasar, kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan di lapangan dan penilaian serta evaluasi hasilnya. 4.1.2. Perspektif DAS Sebagai Satuan Pengelolaan Batas satuan pengelolaan yang jelas sangat penting bagi kegiatan pengamatan, pengukuran, dan penilaian/evaluasi. Sebagai konsekwensi dari pendekatan ekosistem maka sebagai satuan wilayah pengelolaan adalah batas ekosistem yang bersangkutan, yang biasanya merupakan batas-batas alamiah. Penarikan batas-batas seperti ini seringkali sulit dilakukan karena adanya sifat terbuka dari ekosistem dan interaksi dengan ekosistem lain. 11 Air mempunyai kejelasan batas yang lebih mudah diamati, yaitu dalam hal wilayah geraknya. Air selalu bergerak dalam suatu daur hidrologi yang meliputi presipitasi, peresapan, dan pengalirannya yang terbatas dalam wilayah tertentu, yaitu DAS. Secara alamiah DAS dibatasi oleh punggung-punggung gunung, merupakan garis tidak putus yang menghubungkan titik-titik tertinggi di daratan. 4.1.3. Sasaran Wilayah Pengelolaan DAS Salah satu masalah utama dalam pengelolaan DAS adalah perlindungan sumberdaya lahan terhadap kerusakan dan sumberdaya air. Pengelolaan DAS diperlukan karena adanya ancaman terhadap kelestarian sumberdaya lahan dan ancaman banjir , pertama oleh tindakan manusia yang kemudian oleh lingkungan alam sendiri. Dengan demikian pengelolaan DAS lebih ditujukan kepada bagian dari DAS yang terbuka atau potensial terhadap ancaman kerusakan erosi dengan segala dampaknya. Faktor utama penentu erosi adalah besarnya kemiringan lapangan, disamping faktor lain seperti curah dan intensitas hujan, erodibilitas tanah, dan vegetasi. Daerah hulu sungai yang bergunung-gunung biasanya sangat peka terhadap bahaya erosi. Di daerah hulu masalah utama adalah “perlindungan”. Dalam hubungan ini maka DAS dapat dibagi menjadi tiga zona/wilayah menurut besarnya kelerengan, yaitu wilayah hulu sungai (lereng 40 %, wilayah tengah dan hilir (lereng <8 %). Dengan demikian maka sasaran wilayah pengelolaan DAS untuk tujuan konservasi adalah bagian hulu sungai dan bagian tengah dengan lereng lebih dari 8 % . Peranan hutan lindung sangat mutlak di daerah yang kemiringannya lebih dari 40 % dan erodibilitas tanahnya sangat tinggi. 4.2. KESEIMBANGAN MAKNA EKONOMIS DAN EKOLOGIS Dalam sistem perekonomian Jawa Timur, bidang pertanian yang berbasis lahan masih memberikan sumbangan paling besar. Jalur utama pembangunan sektor pertanian ini adalah peningkatan komoditi pertanian yang pelaksanaannya melalui pembinaan dan pengembangan agribisnis yang meliputi kegiatan terpadu yang tidak dapat dipisahkan mulai dari penyediaan sarana produksi, pembinaan usahatani, pembinaan pascapanen, pembinaan agroindustri, dan pemasaran hasil. 4.2.1. Karakteristik Ekosistem Lahan Pertanian Berdasarkan kondisi geofisik dan alamiahnya, Wilayah DAS di Jawa Timur dapat dibagi menjadi empat sub-wilayah, yaitu: 12 (1). Wilayah datar yang dikategorikan sebagai daerah subur dan potensi erosi rendah, sudah berkembang sebagai tegalan dan pekarangan dengan aneka tanaman hortikultura semusim. (2). Wilayah bergelombang yang dikategorikan sebagai daerah subur dan potensi erosi medium. (3). Wilayah berbukit hingga bergunung yang dikategorikan sebagai daerah subur dan potensi erosi berat. (4). Wilayah puncak bukit/ puncak gunung. Kegiatan ekonomi dalam subsektor pertanian tanaman pangan didominasi oleh komoditi hortikultura yang memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar bagi pengelolanya. Pembagian wilayah tersebut di atas mengisyaratkan adanya potensi ekosistem lahan yang berbeda-beda dan menghendaki upaya pengelolaan yang berbeda pula. Konsepsi-konsepsi tentang ekosistem lahan dan pengelolaannya, mengisyaratkan bahwa lahan di suatu wilayah merupakan suatu sitem yang kompleks terdiri atas berbagai komponen yang saling berinteraksi membentuk suatu struktur yang mantap dan perilakunya menghasilkan keluaran-keluaran yang tertentu. (1). Analisis kebutuhan pengelolaan lahan Konsepsi teoritis tentang ekosistem lahan dan pengelolaannya mengisyaratkan adanya berbagai kebutuhan yang terlibat di dalamnya. Berbagai kebutuhan ini dapat dibuktikan dengan jalan wawancara dan diskusi dengan beberapa pihak yang terlibat langsung dengan penggunaan lahan, instansi pemerintah sebagai penentu kebijakan serta penduduk setempat sebagai pengelola sumberdaya lahan milik. Dapat dikemukakan di sini bahwa beberapa kebutuhan penting dalam pengelolaan ekosistem lahan di DAS Jawa Timur adalah sebagai berikut : a. Kebutuhan dalam hal rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air. a.1. Fluktuasi debit air sungai sepanjang tahun dalam batas-batas kenormalan (rasio debit minimum dan debit maksimum dalam setahun tidak kurang dari 1 : 40). a.2. Tersediannya air-bumi dan air-permukaan sepanjang tahun yang mencukupi kebutuhan domestik, Industri, pertanian dan ekologi. a.3. Terkendalinya erosi tanah dari lahan usaha dan sedimentasi di jaringan irigasi dan Waduk . a.4. Terbinanya sikap mental penduduk sebagai insan pelestari sumberdaya lahan dan lingkungan. b. Kebutuhan untuk mencapai pendapatan wilayah dan pendapatan per kapita sesuai dengan kondisi kelayakan. 13 b.1. Tercapainya pendapatan perkapita seluruh penduduk sesuai dengan taraf hidup layak di atas garis kemiskinan. b.2. Tercapainya produksi pertanian (dan sektor produksi primer lainnya) untuk mengamankan ketersediaan pangan bagi penduduk setempat . c. Kebutuhan dalam hal peningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan penduduk. c.1. Tersedianya kesempatan kerja di sektor pertanian sepanjang tahun dan minimal dapat memenuhi penawaran angkatan kerja domestik. c.2. Tersedianya bahan kebutuhan pokok pada jumlah dan tingkat harga yang layak bagi seluruh penduduk . d. Kebutuhan kelestarian dan daya dukung sumberdaya lahan dan lingkungan hidup. d.1. Terpeliharanya kawasan hutan dan sumberdaya hutan: hutan lindung, dan hutan produksi. d.2. Terpeliharanya daya dukung lingkungan pada tingkat layak bagi populasi ternak dan juga bagi manusia. (2). Karakteristik ekosistem lahan pertanian Proses identifikasi sistem lahan yang cermat dan sistematis akan sangat menentukan keberhasilan langkah-langkah analisis selanjutnya. Teknik diagramatis sangat membantu dalam identifikasi pengelolaan ekosistem lahan yang rumit. (a). Diagram Lingkar Sebab-akibat Pengelolaan Lahan Diagram lingkar sebab-akibat pengelolaan ekosistem lahan disajikan dalam Gambar 1. Ada enam komponen utama dalam pengelolaan ekosistem lahan. Keenam komponen utama ini saling berinteraksi secara dinamis, dimana keterlibatan manusia di dalamnya akan sangat menetukan kelestarian dan perkembangan sistem. Secara alamiah manusia dituntut untuk berupaya memenuhi kebutuhan biologisnya dengan jalan memanfaatkan sumberdaya lahan yang tersedia. Intensitas pemanfaatan sumber daya lahan ini sangat ditentukan oleh tingkat teknologi dan kebutuhan hidup manusia. Selanjutnya intensitas pemanfaatan ini juga akan menentukan besarnya manfaat yang diperoleh dan perubahan daya dukung atau kualitas sumberdaya lahan. Pada giliran selanjutnya, manfaat-manfaat tersebut akan menentukan tingkat kesejahteraan penduduk dan perubahan daya dukung akan mempengaruhi kelestarian sumber daya lahan . Kedua kondisi ini secara bersama-sama akan ikut menentukan tingkat investasi domestik dan eksternal. Peningkatan investasi ini pasti akan 14 mendatangkan dampak sosial ekonomi dan dampak lingkungan seperti erosi, sedimentasi, pencemaran dan kemerosotan kualitas lahan . (b). Diagram Input-output Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari pengabstraksian ekosistem lahan seperti di atas dapat disusun suatu model kotak hitam I/O pengelolaan ekosistem lahan (Gambar 2). Dengan menggunakan diagram ini dapat diabstraksikan bahwa pengelolaan ekosistem lahan mempunyai komponen utama yang berupa masukan , keluaran , parameter, dan menejemen kendali. Sistem pengelolaan lahan masih dianggap sebagai kotak hitam, dimana struktur yang ada di dalamnya dianggap belum diketahui. Dengan melalui proses dan fenomena tertentu yang terjadi di dalam sistem lahan, maka masukan-masukan yang masuk akan diolah menjadi keluaran-keluaran sistem. Keluaran ini ada yang sesuai dengan apa yang diinginkan dan ada pula yang tidak diinginkan oleh pengelola sumberdaya lahan. Melalui mekanisme umpan balik yang dimotori oleh fungsi menejemen kendali maka keluaran yang tidak diinginkan akan diolah menjadi informasi yang akan digunakan untuk menentukan kebijakan dalam menetapkan masukan-masukan pengendali, yang biasanya berupa kebijakankebijakan pengelolaan. (c). Diagram Struktur Ekosistem Lahan Bagan berikut ini mengabstraksikan enam subsistem penting dalam pengelolaan ekosistem lahan, dua subsistem terkait langsung dengan tingkat kebutuhan penduduk, dan empat subsistem lainnya terkait dengan daya dukung lahan. Uraian subsistem disajikan di bawah ini. Pengelolaan : Sawah, Tegalan, Kebun, Pekarangan Produktivitas Lahan Hasil tanaman Pendapatan Kesempatan kerja Kehilangan tanah, Air,Bahan organik, Unsur Hara 15 Solum tanah, Kesuburan tanah Kepekaan erosi Kesejahteraan petani dan buruhtani Agroteknologi: - pupuk, bibit - teras bangku SDA Air SDA Tanah SDA Vegetasi Investasi: Privat: saprodi tenaga publik: teras dam pengendali saluran air Gambar 1. Diagram Lingkar Sebab Akibat Pengelolaan Ekosistem Lahan 16 Masukan Lingkungan Biofisik Sosbud , Sospol, Sosek Tataguna lahan Sarana produksi Agroteknologi Kapital /tenagakerja Hasil tanaman , Ternak, Hutan Kesempatan kerja EKOSISTEM LAHAN JATIM Hasil sedimen BOD,polutan, banjir Harga saprodi sayuran,susu perah Lokasi JATIM PEMDA, BRLKT, Petani Gambar 2. Diagram Kotak Hitam Masukan-Keluaran Sistem Pengelolaan Lahan 17 Masukan lingkungan Biofisik Sosbud, Sospol, Sosek Subsistem Hidrologi Masukan Agroekologis Masukan Agroteknologis Subsistem Erosi dan Sedimentasi Subsistem Lahan Subsistem Pertanian Masukan Demografis Subsistem Sosial-Ekonomi Produktivitas lahan Keluaran: Hasil padi, sayuran, kopi, susu Kes. Kerja Debit air, banjir sedimen, BOD Kebutuhan Pangan, pemukiman,kesempatan kerja Subsistem Demografi PEMDA Jatim BRLKT Wilayah VI , Petani, Dinas Pengairan Gambar 3. Kerangka Model Konseptual Perencanaan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan C.1. Subsistem Hidrologi dan Erosi-Sedimentasi Kedua subsistem ini mempunyai hubungan yang sangat erat, dan keduanya juga ber interaksi dengan subsistem produksi primer (sistem pertanian). Kedua subsistem ini mempunyai masukan alamiah berupa hujan dan faktor agroekologi lainnya yang terkait, serta masukan kebijakan berupa alokasi penggunaan lahan, teknologi konservasi tanah dan air, dan alokasi penggunaan sarana produksi. Masukan utama dari subsistem hidrologi adalah faktor-faktor agroklimat. Keadaan agroeklimat di wilayah ini dicirikan oleh tipe iklim Muson Tropis yang memiliki musim kering dan basah yang jelas. 18 Musim hujan ber-langsung selama bulan Nopember hingga akhir Maret, dan musim kemarau mulai awal Juni hingga akhir September. Rataan curah hujan tahunan di daerah aliran berkisar secara spasial antara 2000 hingga 2500 mm. Berdasarkan sistem Oldeman (1975), daerah ini digolongkan ke dalam zone agroklimat C 2 dengan empat bulan kering dan 5-6 bulan basah setiap tahun. Keluaran utama subsistem hidrologi adalah hasil air permukaan yang dapat diukur dalam bentuk debit air sungai dalam fungsi waktu. Subsistem erosi-sedimentasi mempunyai keluaran utama berupa kehilangan tanah dari lahan atau hasil sedimen yang diukur di petak erosi atau di outlet sungai. Laju erosi pada lahan sangat berfluktuasi menurut waktu (musim) dan menurut tipe penggunaan lahan. Erosi pada lahan pekarangan dan lahan tegalan paling besar. Erosi dan limpasan permukaan di daerah tangkapan akan menentukan besarnya sedimen yang memasuki wduk setiap tahun. Dengan mempertimbangkan karakteristik DAS Jawa Timur dapat diper kirakan rataan erosi tanah aktual di seluruh daerah aliran tidak kurang dari 25 ton/ha/th atau setara dengan lebih dari 2 mm/th. Secara struktural kedua subsistem ini saling bertautan dan sangat dipengaruhi oleh perilaku subsistem produksi primer. Peranan vegetasi (alam dan budidaya) sangat besar dalam fungsi transfer yang mengubah masukan sistem berupa hujan menjadi hasil air . C.2.Subsistem Sumberdaya Lahan Dalam hubungan dengan pendekatan ekosistem ini, lahan di Jawa Timur dipandang sebagai suatu sistem yang mempunyai atribut dan dimensi ganda; di dalamnya terdapat komponen-komponen yang saling berinteraksi menyusun struktur tertentu. Perilaku dinamis sumberdaya lahan ini tercermin dalam tipe penggunaan lahan, sistem perta nian, produktivitas lahan dan laju degradasi lahan . Abstraksi skematis subsistem lahan ini secara diagramatis disajikan dalam Gambar 4. Masukan-masukan utamanya berupa tanah, relief, iklim, dan teknologi/investasi. Unsur-unsur dari tanah, relief, dan iklim akan menentukan kualitas lahan dan neraca lengas lahan. Sebagian besar tanah berkembang dari bahan abu volkanik muda. Perbedaan bentuk lahan dan curah hujan mengakibatkan berkembangnya tiga zone tanah , yaitu (i) Andosol (Eutrandepts) pada lahan bergunung, (ii) Andosol dan Kambisol (Eutropepts) pada lahan berbukit, (iii) Kambisol (Inseptisols) pada dataran inter-volkanik, dan (iv) Entisol-Inseptisol di daerah dataran/lembah sungai. Andosol umumnya terdapat pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl. meliputi area seluas sekitar 10-15% dari seluruh lahan. Tanah ini mempunyai porositas dan permeabilitas yang tinggi, menahan banyak air tersedia, berat isinya rendah, agregasinya lemah, dan 19 erodibilitasnya tinggi. Tingkat kesuburannya baik, pH tanah berkisar antara 5.6 hingga 6.5, kaya bahan organik dan nitrogen. Kambisol terdapat pada ketinggian di bawah 1000 m dpl., meliputi luasan sekitar 25-30% dari seluruh lahan. Tanah ini solumnya masih tebal, terksturnya berlempung, drainasenya baik, erodibilitasnya tinggi. Kesuburan ta-nahnya baik, kaya bahan orga nik dan unsur hara tersedia, pH tanah 5.5 - 6.6. Tanah ini juga terdapat di daerah yang lebih rendah, banyak dijumpai di Dataran. Teksturnya lempung hingga lempung berliat, drainasenya cukup baik, struktur tanah porus dan mantap, kejenuhan basa tinggi, dan pH tanah 5.7-6.8. 20 Pancausaha pertanian Pupuk Bibit Terras bangku rumput gajah Pengolahan tanah, Polatanam Iklim C2, Andosol Lereng 8-25% Kesesuaian lahan Jenis tanaman: Padi, Jagung, Sayuran Kopi, Kedelai Produktivitas Tanaman dan ternak Produktivitas Lahan Hasil Tanaman Padi, Jagung, Kentang, Kopi Susu perah, Sayuran Gambar 4. Pergiliran tanaman: . Padi-Padi-Sayuran . Jagung-Sayuran-bera . Sayuran-Sayuran-bera . Kopi+Jagung Limpasan Permukaan Kehilangan tanah, BO, hara Hasil Air Debit sungai Waduk Hasil Sedimen BOD, Fosfat, ke waduk-waduk Diagram Lingkar Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Untuk Pertanian. Perilaku sistem sumberdaya lahan tersebut hingga batas-batas tertentu dapat dikendalikan oleh manusia melalui berbagai upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dalam penggunaan lahan pertanian. Usaha-usaha pengelolaan sumberdaya lahan ini dilakukan oleh pemiliknya dengan menggunakan berbagai input material dan managerial untuk memodifikasi perilaku alamiah lahan ke arah perilaku yang dapat menghasilkan produk-produk bioekonomi yang bermanfaat bagi manusia. 21 4.3. PERMASALAHAN Pengelolaan Lahan dan Air Di wilayah DAS Jawa Timur diperkirakan terdapat cukup banyak lahan kritis dan potensial kritis di luar kawasan hutan, hampir seluruhnya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering secara subsistensi oleh masyarakat pemiliknya. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan kering dan pembenahan kelembagaan penunjangnya. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam upaya penerapan dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan kritis, adalah (i) Secara teknis dapat dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan sesuai dengan kondisi agroekosistem setempat (site specific), (ii) Secara ekonomis menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi wilayah pedesaan (ecological economic), (iii) Secara sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi dan partisipasi petani (social participation), (iv) Ramah dan aman lingkungan (sustainable), (v) Mampu membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (economic linkages). Sumberdaya lahan dan air mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use. Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang se- suai dengan kapabilitasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar. Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan lahan kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan-persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air) . Persesuaian syarat agroekologis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini 22 bukan hanya akan menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemerosotan kualitas sumberdaya lahan. Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut bisa bersifat internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedimentasi di berbagai fasilitas perairan. Atas dasar problematik seperti di atas, maka evaluasi kesesuaian agroekologis lahan kering untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan kering. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini. Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspekaspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak. Kondisi lahan kritis biasanya ditandai oleh infrastruktur fisik dan sosial yang rendah dan keterbatasan-keterbatasan akses lainnya. Keterisolasian penduduk dari sumber informasi mengakibatkan mereka kurang mampu mengembangkan wilayahnya secara mandiri. Kondisi seperti ini diperparah oleh keterbatasan kemampuan aparat pemerintah untuk menjangkau masyarakat di lahan kering yang sebagian besar relatif miskin. Pada kondisi seperti itu, siperlukan rancangan khusus sistem usahatani konservasi di lahan kering untuk menciptakan produksi pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan disertai dengan dukungan pengembangan peranan wanita pedesaan, fasilitas perkreditan, jalan dan transportasi desa, sarana air bersih pedesaan dan sarana penunjang lainnya. Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material, teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas. Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendungan, waduk dan jaringan irigasi, efek 23 eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas banjir tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas. Sehingga produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbulkannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sangat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kondisi seperti ini diperlukan campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien (1972) mengemukakan beberapa macam campur tangan pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu: (i) larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi, (v) pengaturan (regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi lahan dan banjir yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataannya sangat beragam. Kondisi sumberdaya lahan kritis yang sangat beragam dan kondisi iklim yang berfluktuasi tersebut pada kenyataannya sering menjadi kendala yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada. Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi. Dalam kondisi seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola tanam tradisional. Suatu peluang yang tampaknya cukup besar di 24 lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa. Kedua jenis komoditas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama musiman. Selain itu, penelitianpenelitian ini masih belum menganalisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum dilakukan analisis kepekaan erosi dan limpasan permukaan terhadap variasi bentuk kegiatan konservasi tanah, serta belum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dampak jangka panjangnya. Tampaknya komponen teknologi sistem usahatani lahan kering yang cukup baik untuk menunjang program intensifikasi adalah ternak. Introduksi hijauan pakan ternak, baik yang berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu memberikan manfaat ganda, yaitu mengurangi bahaya erosi dan limpasan permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput setaria ternyata mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di lakan kering, karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminansia serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat teras yang baik. Usahatani domba ternyata mampu memberikan sumbagan pendapatan keluarga yang cukup besar (bisa mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor utama yang sangat berpengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan yang terkonsumsi ternak. Produksi pertanian yang berkelanjutan yang sekaligus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan alam ini akan dicapai melalui pendekatan usahatani yang menyeluruh denagn menerapkan paket teknologi "Asta-usaha". Penerapan paket teknologi yang terdiri atas penggunaan benih unggul, pengolahan tanah, pengairan, perlindungan tanaman, cara bercocok tanam, pengolahan hasil, pemasaran dan konservasi tanah ini diharapkan akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah. Dalam hubungan ini diperlukan berbagai petunjuk teknis yang tepatguna. Petunjuk teknis bagi pengembangan sistem pertanian lahan kering ini terdiri atas Usahatani konservasi dan produksi pertanian, Produksi Peternakan, Penyuluhan dan transfer informasi, Pembinaan wanita pedesaan, pengembangan lembaga keuangan pedesaan, Pembangunan prasarana jalan, dan Pengadaan fasilitas air bersih. Komponen-komponen teknologi ini dikemas dalam suatu 25 program pembangunan pertanian lahan kering untuk meningkatkan ekonomi wilayah dan sekaligus kesejahteraan masyarakat setempat. 4.3.1. Problematik Teknologi Konservasi Tanah dan Air Permasalahan dan kendala bagi upaya konservasi tanah yang sering dijumpai di lahan kritis adalah (I) Kondisi lahan yang curam sehingga pengolahan tanah akan merangsang dan mempercepat proses erosi dan tanah longsor, (ii) Rendahnya rataan penghasilan petani lahan kering yang menyebabkan tidak mampu untuk membiayai kegiatan konservasi tanah, (iii) Masih terbatasnya keberdayaan petani untuk usaha konservasi tanah sebagai akibat dari keterbatasan income dan kebutuhan keluarga yang senantiasa terus mendesak, dan (iv) Keterbatasan sarana dan prasarana pengembangan sistem usahatani konservasi berbasis agroforestry. Lokasi prioritas bagi kegiatan konservasi tanah harus memenuhi kriteria (I) Terletak dalam Zone Erosi Kritis dengan luasan penggunaan lahan > 75% sebagai lahan kering; (ii) Sebagian besar diusahakan untuk usahatani kecil; (iii) Kemiringan lahan antara 8% hingga 45% dengan tebal solum kurang dari 50 cm, untuk daerah yang solumnya kurang 30 cm diarahkan untuk tanaman keras tahunan; dan (iv) Respon masyarakat pedesaan cukup tinggi. Metode konservasi tanah yang sering digunakan adalah metode sipil-teknis dan metode vegetatif. Bentuk-bentuk teknik konservasi tanah yang dicobakan dapat berupa teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras individu, teras kebun, saluran diversi, saluran pembuangan air, dan penanaman tanaman penguat teras pada bibir/tampingan, tanaman penutup tampingan teras dan penanaman berjalur (strip cropping). 4.3.2. Permasalahan LAHAN KRITIS dan Pemecahannya a. Permasalahan 1. Rendahnya peran serta masyarakat disebabkan oleh kurang terpenuhinya kebutuhan jangka pendek dari hasil kegiatan penghijauan, terbukti bangunan konservasi (SPA, drop structure) 26 2. 3. 4. 5. 6. dan tanaman tahunan kurang begitu mendapat perhatian dalam pemeliharaannya. UP-UPSA sebagai wahana dan sarana penyuluhan usahatani konservasi dan teknologi konservasi lainnya belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam kegiatan transfer informasi kepada masyarakat sasaran . Peran serta Penyuluh Lapangan kurang efektif dalam membangkitkan motivasi dan mengubah perilaku masyarakaf, karena para Penyuluh lebih banyak berperan dalam meningkatkan ketrampilan teknis dan pendekatan yang digunakan masih bertumpu pada “broadcasting systems”. Keterbatasan pengetahuan kelompok tani dalam menuangkan kegiatan administrasi proyek yang agak rumit, sehingga menimbulkan berbagai kendala administrasi pelaporan kegiatan. Keterbatasan kemampuan masyarakat untuk meme lihara / mengamankan hasil-hasil kegiatan penghijauan kerena keterbetasan modal dan ketersediaan tenaga kerja. Sistem pendanaan kegiatan penghijauan merupakan bansus Pusat ke Tingkat II sehingga pelaksanaan di lapangan sering terlambat sebagai akibat dari persyaratan birokrasi yang beraneka ragam b. Upaya pemecahan masalah 1. Meningkatkan peranan UP-UPSA sebagai “Kebun Teknologi dan Sekolah Lapangan Penghijauan” serta diikuti dengan peningkatan kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat, sehingga UP-UPSA betul-betul menjadi sarana yang dibutuhkan masyarakat untuk memberdayakan dirinya. 2. Materi penyuluhan harus bergam sesuai dengan kebutuhan kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, baik aspek ketrampilan maupun afektif dan dilaksanakan dengna mengadopsi pendekatan “receiving system groups”. 3. Pemilihan jenis tanaman dan teknologi pengusahaannya hendaknya mengacu pada kesesuaian agroklimat, bernilai ekonomis tinggi, cepat menghasilkan, disukai oleh masyarakat, serta mempunyai keterkaitan yang luas dengan aktivitas produktif lainnya di masyarakat. 4. Khusus dalam kaitannya dengan komoditi ekonomis berjangka panjang (seperti pohon buah-buahan dan kayu-kayuan, ternak sapi kereman) harus diadopsi pendekatan Kawasan Agribisnis 27 Penghijauan Milik Masyarakat (KAGIMAS), yang berdasar kepada kaidah-kaidah ecological-economic. c. Permasalahan pada Tingkat Lahan Pekarangan “Pekarangan” di daerah lahan kritis dapat didefinisikan sebagai "sebidang lahan dengan batas-batas tertentu, yang ada bangunan tempat tinggal dan mempunyai hubungan fungsional secara ekonomi, biofisik dan sosial-budaya dengan pemiliknya". Pengertian ini mengisyaratkan betapa penting fungsi dan peranan “lahan pekarangan” bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Luas lahan pekarangan di daerah kritis ini diperkirakan mencapai sekitar 20-30% dari luas lahan pertanian yang ada, dan merupakan sumber pendapatan rumahtangga yang sangat penting Ciri-ciri pekarangan di daerah lahan kritis ini sama halnya dengan ciri lahan kering kritis di daerah lainnya, yaitu keadaan fisiografis lahan yang beragam mulai dari kelerengannya, struktur tanah, kedalaman solum, kesuburan tanah, neraca lengas tanah, serta caracara pengelolaan petani yang seadanya, sedikit penggunaan input produksi komersial dan dicirikan oleh adanya tatanan “multistrata systems”, strata pertama pohon kayu-kayuan/buah-buahan, strata ke dua tanaman pangan semusim, dan strata ke tiga biasanya berupa cover-crops/rumput pakan ternak. Dalam sistem campuran seperti ini biasanya produktivitas tanaman pangan (ubi kayu, jagung, kacangkacangan dan sayuran) dan tanaman tahunan (kelapa, pete, melinjo, buah-buahan) yang dihasilkan dikategorikan rendah. Namun demikian, hal yang diutamakan adalah kesinambungan hasil produksi sepanjang tahun. Gambaran kondisi “Pekarangan” di wilayah lahan kritis Jawa Timur, mempunyai ciri-ciri ekologis sebagai berikut : Tinggi tempat antara 800 - 1200 m di atas permukaan laut, fisiografi bergelombang hingga berbukit dengan kerelengan 20-35%. Suhu 0 0 udara rata-rata adalah antara 21 C, dan suhu maksimum antara 24 C 0 serta suhu minimum sekitar 18 C. Lama penyinaran matahari diperkirakan antara 40-60% di musim penghujan sampai 70-85% di musim kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim penghujan intensitas cahaya bisa berkurang dibanding musim kemarau karena matahari sering tertutup awan. Rata-rata hujan tahunan menunjukkan kisaran antara 1.400 mm sampai 2.100 mm dengan rata-rata bulan basah (lebih 100 mm/bulan) selama 5-6 bulan/tahun. Musim penghujan umumnya terjadi antara bulan Nopember sampai dengan April. Pada periode ini jumlah hujan 28 mencapai 80% dari total hujan tahunan yang jatuh di daerah ini sehingga limpasan hujan yang cukup deras merupakan masalah serius yang dihadapi masyarakat di daerah ini. Tata ruang pekarangan umumnya bernuansa tradisional, ditandai rumah yang menjadi satu dengan kandang ternak (kalau punya ternak), tempat pembuangan limbah ternak berdekatan dengan sumur atau rumah, tidak terdapatnya parit atau saluran pembuang air, sampah-sampah yang tidak terkumpul, sistem tanam yang rapat & seolah-olah tidak teratur, menganut pola agroforestry. Lebih lanjut ditemukan bahwa jenis tanaman yang dibudidayakan petani di lahan pekarangan sangat beragam dengan hasil yang relatif rendah namun berkesinambungan hampir sepanjang tahun. Tanaman tahunan ekonomis seperti pete, kelapa, mangga, rambutan, pisang, nangka, alpokad, pepaya, melinjo. Jenis lain berupa pohon kayu-kayuan seperti Sengon, Akasia, Kaliandra, Gliricidae, Turi (Sesbania), Kasuarina, mahoni, lamtoro gung, dan lainnya. Sedangkan tanaman pangan dan sayuran yang diusahakan adalah sayuran, jagung, kacang merah, koro-koroan, kacang-kacangan dan rerumputan pakan ternak seperti rumput gajah, rumput setaria, kolomento dan lainnya. Berbagai jenis ternak juga diupayakan seperti sapi, kambing dan ayam buras, dalam jumlah yang relatif kecil. Sebagian penduduk memelihara sapi kereman bukan milik sendiri tetapi memeliharakan ternaknya orang lain dengan sistem "gaduhan" yaitu pembagian keuntungan yang antara pemilik dan pemelihara ternak. Dari segi pendidikan dan ketrampilan maupun pengetahuan masih bersifat tradisional, hal ini ditandai bahwa kebanyakan petanipetani tersebut berpendidikan SD atau bahkan hanya sampai kelas III saja. Begitu juga halnya dengan pengetahuan tentang budidaya tanaman maupun pengolahan tanah masih tradisional, mengingat tanaman yang dibudidayakan tidak menunjukkan pertumbuhan maupun hasil yang baik. Dalam hal pengolahan lahannya petani sudah tampak mulai berupaya menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah untuk mengen dalikan proses erosi dan limpasan permukaan. Kursus- kursus ketrampilan usahatani konservasi pernah diikuti (penyuluhan dari PPL/PLP), namun untuk menerapkannya secara penuh masih terkendala oleh “terbatasnya” insentif ekonomi yang dapat diperolehnya. Sistem pengelolaan lahan pekarangan sudah mulai memperhatikan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air terutama untuk tanhtanah miring (sistem gulud, teras, rorak-rorak, saluran pembuangan air maupun saluran diversi). Namun praktek-praktek ini masih perlu penanganan lebih intensif, terarah dan berkesinambungan. Di satu sisi pada musim kemarau air kurang tersedia, pada musim penghujan air 29 berlebihan dan membawa akibat negatif seperti runoff, erosi maupun tanah longsor. Pada lahan pekarangan yang mempunyai kelerengan 30% dengan kedalaman solum lebih 50 cm dapat digunakan untuk kombinasi tanaman tahunan dan semusim yang ditanam secara kontur dan menggunakan teras gulud atau teras bangku. Jenis-jenis tanaman yang mampu bertahan dan dapat berproduksi dengan kondisi agroklimat yang ada adalah tanaman kelapa, mangga, nangka, alpokad, mlinjo, mente, petai, pisang dan tanaman hutan seperti jati, mahoni, albizia, gliricidae, flemingia dan akasia; dan tanaman lain yang tahan adalah ubikayu, kacang tunggak, jagung, dan aneka sayuran. Sehingga pemilihan jenis tanaman yang tepat sesuai dengan kondisi lahan petani diharapkan dapat membantu penyediaan pangan, gizi dan peningkatan pendapatan walaupun di wilayah tersebut sedang dalam keadaan kemarau. Ciri-ciri pekarangan di daerah yang lebih datar, adalah keadaan fisiografis lahan yang berupa dataran berombak hingga bergelombang dengan meiringan lahan 8-15%. Cara pemanfaatan lahan adalah dengan sistem campuran (mixed cropping), ciri yang menonjol adalah campuran antara tanaman hortikutura sayuran (sebagai tanaman pokok), jagung sebagai tanaman sela, dan tanaman pagar pembatas pemilikan lahan. Dengan keadaan tersebut perlu diupayakan cara-cara pemanfaatan yang lebih intensif dengan pengembangan sistem surjan maupun penganekaragaman budidaya di wilayah tersebut seperti penggunaan berbagai jenis kultivar secara tumpangsari / tumpang sisip di bagian surjan (bidang olah di atas) dan mina padi di tabukan (bidang olah di bawah) dan dikombinasikan dengan pola tanam yang tepat. Ciri-ciri yang mempunyai kesamaan antara pemilik lahan adalah kebanyakan penempatan rumah induk yang menjadi satu kandang ternak (sapi/kambing), kamar mandi, cuci dan kakus yang kurang baik (biasanya menggunakan sungai sebagai MCK) dan kalau malam sering membakar jerami/campuran kotoran ternak untuk mengusir nyamuk. Dengan kondisi tersebut jelas kurang baik bagi kesehatan keluarga mereka, sehingga tidak sedikit yang menderita sakit sesak nafas. Melihat perkembangan wilayah maupun penduduk yang relatif lambat serta rendahnya kemampuan penduduk dalam memanfaatkan pekarangan maupun lahan mereka, dapat ditandai bahwa rendahnya modal yang ada di wilayah tersebut juga menyebabkan lambatnya pembangunan di desa tersebut. Berdasarkan uraian-uraian di atas permasalahan crucial dalam pemanfaatan lahan pekarangan yang kurang menunjang kehidupan petani pemiliknya adalah : 30 (1). Masalah defisit lengas tanah pada musim kemarau sehingga kegiatan budidaya di lahan mereka terhenti dan tenaga kerja produktif (laki-laki/perempuan) menganggur atau mencari pekerjaan ke luar sistem. (2). Masalah kelebihan air selama musim penghujan, sehingga limpasan air menyebabkan erosi terutama untuk lahan-lahan pekarangan yang miring dan tanahnya sangat erodible. (3). Masalah cara pemanfaatan lahan pekarangan pada saat tersedia air (air hujan) kurang efisien, efektif dan bermanfaat untuk menunjang pangan, gizi dan peningkatan pendapatan pemiliknya. Hal ini terpaksa terjadi karena keterbatasan modal dan sumberdaya untuk menerapkan pengelolaan usaha yang lebih intensif. (4). Masalah sanitasi lingkungan kurang sehat yang berkaitan dengan tata ruang bangunan induk dan bangunan penunjang lainnya untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan di lahan pekarangan. (5). Masalah sosial (persepsi, sikap dan perilaku) terutama yang menyangkut kualitas sumberdaya manusia seperti pendidikan, kesehatan, pengetahuan & ketrampilan, budaya dan tradisi yang masih dapat dioptimalkan. (6). Keterbatasan modal, dan lemahnya posisi tawar dalam mekanisme pemasaran produk, sehingga potensi pekarangan belum dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. (7). Masalah kelembagaan dan peranannya dalam peningkatan pendapatan penduduk, peningkatan modal investasi eksternal di lahan kritis, produktivitas lahan dan keberlanjutan usaha produksi berbasis sumberdaya lahan. V. METODOLOGI 5.1. Tahapan Pekerjaan Kegiatan Pemetaan ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : a. Tahap Persiapan, meliputi kegiatan persiapan administrasi, persiapan finansial dan persiapan teknis; b. Kajian pustaka dan penyusunan kerangka konsep dan operasional; c. Tahap pengumpulan data, meliputi pengumpulan data-data tentang kondisi wilayah, bentang lahan, karakteristik tanah, serta sebaran hujan 31 d. Tahap analisis sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah; e. Tahap rekomendasi meliputi zonasi kapabilitas tanah dan teknologi manajemen air hujan pada masing-masing zone tersebut di Jawa Timur . 5.2. Metode Analisis Studi ini juga memanfaatkan hasil-hasil studi lain mengenai pengelolaan lahan dan konservasi air hujan, misalnya LREP (Land Resource Evaluation and Planning). Untuk itu, perlu dilakukan review terhadap hasil-hasil studi tersebut. Selain itu, mengingat batas topografi dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, Pelaksana kegiatan perlu menentukan terlebih dahulu batasan DAS yang menjadi wilayah studi. Satuan analisis adalah satuan peta yang dibentuk berdasarkan informasi geologi dan geomorfologi. Obyek analisis pada satuan peta ini meluputi karakteristik permukaan lahan dan karakteristik tubuh tanah dan bahan induk tanah (formasi geologi). Karakteristik tanah dibatasi pada kapasitas infiltrasi, perkolasi dan dinamika air tanah. 5.3. Pemetaan Pemetaan kondisi lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan fisiografik yang mendasarkan pada proses geomorfik di muka bumi. Pengumpulan data dilaksanakan dengan metode survei yang diawali dengan kerja laboratorium untuk mempersiapkan peta kerja lapangan. 5.3.1. Bahan dan Alat Pemetaan ini dilakukan di lokasi penelitian pada skala 1 : 50.000, oleh karena itu bahan-bahan penunjang (foto udara, peta dan data lainnya) yang perlu digunakan yang meliput wilayah contoh ini. a. Peta-Peta Sebagai bahan acuan atau pengujian di lapangan digunakan peta dasar dan berbagai peta bantu lainnya a. Peta Topografi skala 1 : 250.000 terbitan Bakosurtanal b. Peta Penggunaan Lahan skala 1: 250.000 c. Peta Administrasi, sampai tingkat kecamatan publikasi BPN Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan peta, terutama peta sementara dan draft peta akhir antara lain adalah: a. Kertas Kalkir/ d. Plastik Mika polyester paper e. pen OHP 32 b. Tinta Cina c. Raster f. isolasi g. lain-lain b. Peralatan yang diperlukan Alat yang digunakan untuk kegiatan pemetaan antara lain adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Stereoskop cermin dan saku, Zoom transfercope, Berbagai alat bantu untuk interpretasi foto udara, Lettering set (raphidograph, sablon, dll) Planimeter, Pantograph, Berbagai alat untuk penggambaran peta c. Metode Pelaksanaan Pekerjaan pemetaan dilakukan dengan metode survei yang dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu: (1) Persiapan, (2) Penyiapan peta dasar, (3) Interpretasi, (4) Penggambaran peta sementara, (5) Pengujian lapangan, (6) Interpretasi ulang, revisi peta dan generalisasi peta dan (7) penggambaran peta arahan kapabilitas lahan meresapkan air hujan. Tahap Persiapan Meliputi pengurusan perijinan, pengadaan peta-peta dan data penunjang yang diperlukan. Penyiapan Peta Dasar Peta dasar dibuat berdasarkan format dan isi yang mengacu pada peta topografi skala 1 : 250.000 (Jawa Timur). Unsur-unsur yang disajikan pada peta dasar merupakan unsur terpilih yang erat kaitannya dengan tujuan pemetaan. Interpretasi. Analisis klasifikasi parameter peta mengikuti klasifikasi yang berlaku sesuai dengan ciri ekosistem yang dikaji. Klasifikasi menggunakan proses geomorfik sebagai dasar pengelompokan, pembagian lebih lanjut menggunakan parameter lainnya. Sehingga delineasi pada peta menghasilkan keseragaman dalam proses, litologi, relief, lereng dan tingkat penorehannya. Dengan demikian dalam interpretasi sebelum mendelineasi batas satuan peta perlu mendeteksi, mengidentifikasi, menganalisis dan mengklasifikasi proses geomorfik, relief, lereng dan torehan sebagai elemen-elemen landform. Analisis landuse menggunakan analisis elemen dengan menggunakan rona, tekstur, pola, ukuran, bentuk, tinggi, bayangan, 33 situs, dan asosiasinya. Kunci-kunci interpretasi diperoleh melalui orientasi lapangan sebelum dilaksanakan interpretasi. Pengujian Lapangan Kegiatan pengujian hasil interpretasi foto udara dilakukan dengan kunjungan lapangan terhadap semua satuan peta yang telah didapat. Pengujian lapang ini dilakukan untuk melengkapi hasil interpretasi sementara dan sekaligus memperbaiki batas-batas yang kurang relevan dengan fakta di lapangan. Penggambaran Peta Akhir. Berdasarkan hasil revisi peta generalisasi yang dilakukan selanjutnya dibuat peta rekomendasi sekala Jawa Timur 1:250.000. Peta disajikan pada skala 1 : 50.000 untuk lokasi-lokasi yang dianggap kritis. 5.4. Lokasi Kegiatan Lokasi kegiatan yaitu: N Jawa Timur o 1. DAS Brantas 2. DAS Bengawan Solo 3. DAS Pekalen-Sampean 4. DAS Grindulu Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Jombang, Sidoarjo, Surabaya Ponorogo, Madiun, Bojonegoro, Lamongan, Gresik Situbondo, Bondowoso, Lumajang, Jember Pacitan, Ponorogo, Magetan 34