1 PENGGUNAAN LAHAN: DINAMIKA DAN PERMASALAHANNYA Bahan kajian dalam MK Landuse Planning PSDAL-PDIP-PPS-FPUB-2011 Diabstraksikan oleh Orof Dr Ir soemarno MS 1. PENDAHULUAN Hakekat pembangunan di Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan bagi seluruh masyarakat secara adil, merata dan berkelanjutan. Oleh karena itu strategi pembangunan seharusnya bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi, pemerataan, keadilan dan pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan pembangunan hingga saat ini telah membuktikan bahwa kebutuhan sumberdaya lahan semakin banyak dan senantiasa menghadapi berbagai kendala yang semakin serius. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman prioritas penggunaan sumberdaya lahan dengan melibatkan secara penuh segenap warga masyarakat dengan segenap sumberdaya yang dikuasainya dan kebutuhannya. Salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh wilayah pedesaan di bagian hulu DAS Brantas dalam mengelola sumberdaya lahan adalah terbatasnya alternatif kesempatan kerja di luar sektor pertanian, sehingga pertambahan jumlah penduduk pedesaan (dan kebutuhan hidupnya) akan diikuti oleh meningkatnya tekanan atas sumberdaya lahan. Kondisi seperti ini memaksa kita untuk senantiasa mencari alternatif-alternatif khusus bagi penggunaan lahan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus melestarikan sumberdaya lahannya dan meminimumkan dampak negatif eksternalnya. Pengelolaan sumberdaya alam di daerah hulu sungai melibatkan banyak pihak dengan kepentingannya masing-masing. Dalam kondisi seperti ini diperlu-kan pendekatan sistematik untuk mengevaluasi keadaan yang optimal dengan mengorbankan sebagian kepentingan beberapa pihak lainnya. Dalam hal sumberdaya air, permasalahan yang ada berpangkal pada besarnya fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim kemarau. Konflik kepentingan tampaknya terjadi antara sektor pertanian, sektor domestik (penggunaan rumah tangga) dan sektor kepentingan pembuangan limbah. Perkembangan sektor-sektor ini di DAS Brantas Hulu telah ikut mempertajam konflik kepentingan dalam menggunakan sumberdaya air, dan pada gilirannya akan menentukan ketersediaan kualitas air dan semakin menu-runnya kualitas air di sepanjang aliran sungai Brantas bagian hulu. Pemilihan DAS Brantas Hulu sebagai fokus kajian didasarkan atas beberapa masalah penting berikut ini : a. Keberadaan bangunan serbaguna Bendungan dan Waduk Karangkates dan Sengguruh, harus dijaga kelestariannya. Bangunan ini selesai pembangun-annya pada tahun 1972 dan dengan investasi ratusan milyar rupiah. Fungsi utama bangunan-bangunan ini ialah untuk pengendalian banjir Sungai Brantas bagian tengah, irigasi sawah seluas tidak kurang dari 25.000 ha, dan PLTA dengan kapasitas ribuan GWH per tahun. b. DAS Brantas Hulu merupakan daerah tangkapan dan resepan air hujan yang sangat penting bagi daerah-daerah di bawahnya. Wilayah ini mempunyai rataan curah hujan tahunan sebesar 1700-2700 mm, sekitar 75 % terjadi pada musim hujan dan 25 % pada musim kemarau. c. DAS Brantas Hulu merupakan salah satu pusat produksi tanaman hor-tikultura, terutama kentang, kubis, wortel, bawang merah, bawang putih, kacang merah, apel, dan tanaman perkebunan seperti tebu lahan kering. Kondisi agroekologi di wilayah ini sangat mendukung bagi pola usahatani tanaman tersebut secara intensif. Namun demikian sebagian besar wilayah ini mempunyai indeks bahaya erosi yang sangat tinggi. Keadaan seperti ini telah memaksa dilakukannya berbagai upaya untuk melestarikan sumberdaya lahan, baik secara teknis, biologis, dan sosial ekonomis. 2 d. e. f. DAS Brantas Hulu merupakan salah satu pusat pengembangan dan pusat produksi susu di Jawa Timur. Kondisi agroekologinya sangat sesuai bagi kehidupan sapi perah dan bagi berbagai jenis tanaman hijauan pakan. Perkembangan Usahatani ternak sapi perah telah terjadi secara mencolok semenjak tahun 1977/1978, dan telah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap kesejahteraan penduduk setempat dan perekonomian wilayah. Sehubungan dengan hal ini daya dukung wilayah untuk menyediakan bahan hijauan pakan harus dijaga kelestarianya. DAS Brantas Hulu merupakan wilayah yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Rataan kepadatan agraris penduduk sekitar 800-1100 jiwa/km2. Rataan pertumbuhan penduduk setiap tahun sekitar 1.06 %. Sebagian penduduk memanfaatkan air sungai untuk memenuhi kebutuhan airnya sehari-hari, di beberapa titik tertentu ternyata sejumlah parameter kualitas air telah mendekati ambang batas pencemaran. Proses degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup di DAS Brantas Hulu menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini terlihat dari semakin tingginya laju sedimentasi dan pencemaran air sungai, serta semakin besarnya fluktuasi debit sungai yang memasuki Waduk Karang-kates. Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka semakin besar pula kebutuhan akan sumberdaya lahan dan air untuk keperluan pertanian dan pemukiman. 2. PENGELOLAAN LAHAN DAS BRANTAS HULU Pengelolaan sumberdaya lahan yang berasaskan konservasi ditekankan kepada usaha perlindungan, peningkatan dan manfaat bagi terwujudnya kondisi sumberdaya lahan (tanah) dan air yang serasi dan mampu memberikan manfaat secara maksimal yang berkesi nambungan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan manusia. Pengelolaan vegetasi dilakukan pada kawasan lindung yang karena kemiringannya, erodibilitas tanah dan curah hujan, memerlukan perlindungan, pengaturan, pemanfaatan dan pemeliharaan. Pada kawasan ini diperlukan penutupan vegetasi tetap antara lain berupa hutan lindung, suaka alam, kebun dan vegetasi tetap lainnya. Pengelolaan vegetasi harus dapat memberikan manfaat-manfaat ekologis seperti (I) pengendalian erosi yang efektif, (II) menurunkan puncak banjir, (III) menghasilkan air dengan kualitas yang layak. Upaya pemulihan kawasan lindung yang perlu terus ditingkatkan dan disempurnakan a.l : (a) Reboisasi pada kawasan hutan dengan penanaman atau suksesi alamiah ; (b) Penghijauan lahan di luar kawasan DAS yang berupa hutan rakyat, agroforestry, dan pola usahatani konservasi ; dan (c) Peningkatan mutu hutan dengan pengkayaan tanaman yang dapat berfungsi untuk perlindungan tanah dan air. Pengelolaan tanah meliputi perlindungan, pengaturan, pemanfaatan, dan pemeliharaan tanah sehingga fungsi produksi dan media pengatur tata air dapat dilestarikan. Kegiatan pokok dalam pengelolaan tanah adalah konservasi dan penggunaan lahan sesuai dengan tingkat kemampuannya. Berbagai macam metode dan teknik konservasi tanah dan air yang dianjurkan dewasa ini masih bersifat umum, sehingga dalam penerapannya perlu di-sesuaikan dengan keadaan aktual di masing-masing tempat. Metode teknik sipil perlu juga dikembangkan berdampingan dengan metode biologis vege-tatif. Pengelolaan air meliputi perlindungan, pengembangan dan penggunaan air untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia, dengan tujuan terwujutnya kondisi hidrologis DAS yang optimal, diperolehnya hasil air yang sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan, yaitu : jumlah cukup, kualitas air yang memenuhi persyaratan, tersedia menurut waktu dan tempat. Dalam rangka pengelolaan air melalui upaya pokok pengembangan sumber-sumber air, maka beberapa kegiatan penting adalah (I) pengamanan dan pengendalian daya rusak air terhadap sumberdaya di sekitarnya ; (II) pencegahan terjadinya dan pemulihan lahan kritis ; (III) pencegahan terhadap terjadinya pencemaran air ; (IV) pengamanan dan perlindungan bangunan pengairan, dan (V) 3 memanfaatkan dan mengembangkan sumber-sumber air. Masalah utama dalam pengelolaan sumber-daya air adalah mengusahakan keserasian antara pengembangan sumber-sumber air di daerah hilir dengan usaha-usaha men-jaga kelestarian tanah dan air serta sumbersumber air di daerah hulu sungai. (1) Pengelolaan DAS Brantas Hulu secara terpadu Beberapa alasan pokok dilakukannya pendekatan sistem dalam pengelolaan DAS Brantas Hulu adalah : a. Adanya keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan pemberdayaan aktivitas manusia dalam penggu-naannya. Hal ini merupakan akibat logis dari penerapan konsepsi ekosistem. Setiap tindakan atau perlakuan yang diambil pada suatu komponen harus sudah diperhitungkan dampak atau umpan balik terhadap atau dari komponen lainnya. b. Pengelolaan DAS mempunyai sifat interdisiplin. Berbagai jenis disiplin ilmu terlibat secara interaktif, seperti ilmu tanah, geomorfologi, hidrologi, ilmu kehutanan, ilmu-ilmu pertanian, sosiologi pedesaan dan lainnya. c. Penyelenggaraan pengelolaan DAS bersifat lintas sektoral, sehingga melibatkan berbagai instansi dan lembaga yang terkait. Berdasarkan atas ketiga hal ini di atas maka mencapai hasil akhir yang maksimal dari pengelolaan DAS maka diperlukan keterpaduan. Terpadu dalam hal ini mengandung pengertian terbinanya keserasian, keseimbangan, dan koordinasi yang efektif. Pengelolaan DAS harus dilihat sebagai totalitas yang utuh, bukan sebagai kumpulan dari keping-keping yang terpisah. Keterpaduan yang dimaksud harus tercermin dalam penyusunan konsepsi dasar, kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan di lapangan dan penilaian serta evaluasi hasilnya. (2) DAS Sebagai Satuan Pengelolaan Batas satuan pengelolaan yang jelas sangat penting bagi kegiatan pengamatan, pengukuran, dan penilaian/evaluasi. Sebagai konsekwensi dari pendekatan ekosistem maka sebagai satuan wilayah pengelolaan adalah batas ekosistem yang bersangkutan, yang biasanya merupakan batas-batas alamiah. Penarikan batas-batas seperti ini seringkali sulit dilakukan karena adanya sifat terbuka dari ekosistem dan interaksi dengan ekosistem lain. Air mempunyai kejelasan batas yang lebih mudah diamati, yaitu dalam hal wilayah geraknya. Air selalu bergerak dalam suatu daur hidrologi yang meliputi presipitasi, peresapan, dan pengalirannya yang terbatas dalam wilayah tertentu, yaitu DAS. Secara alamiah DAS dibatasi oleh punggung-punggung gunung, merupakan garis tidak putus yang menghubungkan titik-titik tertinggi di daratan. (3). Sasaran Wilayah Pengelolaan DAS Salah satu masalah utama dalam pengelolaan DAS adalah perlindungan sumberdaya lahan terhadap kerusakan. Pengelolaan DAS diperlukan karena adanya ancaman terhadap kelestarian sumberdaya lahan, pertama oleh tindakan manusia yang kemudian oleh lingkungan alam sendiri. Dengan demikian pengelolaan DAS lebih ditujukan kepada bagian dari DAS yang terbuka atau potensial terhadap ancaman kerusakan erosi dengan segala dampaknya. Faktor utama penentu erosi adalah besarnya kemiringan lapangan, disamping faktor lain seperti curah dan intensitas hujan, erodibilitas tanah, dan vegetasi. Daerah hulu sungai yang bergunung-gunung biasanya sangat peka terhadap bahaya erosi. Di daerah DAS hulu masalah utama adalah “perlindungan”. Dalam hubungan ini maka DAS dapat dibagi menjadi tiga zona/wilayah menurut besarnya kelerengan, yaitu wilayah hulu sungai (lereng 40 %, wilayah tengah dan hilir (lereng <8 %). Dengan demikian maka sasaran wilayah pengelolaan DAS untuk tujuan konservasi adalah bagian hulu sungai dan bagian tengah 4 dengan lereng lebih dari 8 % . Peranan hutan lindung sangat mutlak di daerah yang kemiringannya lebih dari 40 % dan erodibilitas tanahnya sangat tinggi. 3. MAKNA EKONOMIS DAN EKOLOGIS Dalam sistem perekonomian di DAS Brantas Hulu, Jawa Timur, bidang pertanian yang berbasis lahan masih memberikan sumbangan paling besar. Jalur utama pembangunan sektor pertanian ini adalah peningkatan komoditi pertanian yang pelaksanaannya melalui pembinaan dan pengembangan agribisnis yang meliputi kegiatan terpadu yang tidak dapat dipisahkan mulai dari penyediaan sarana produksi, pembinaan usahatani, pembinaan pascapanen, pembinaan agroindustri, dan pemasaran hasil. 3.1. Karakteristik Ekosistem Lahan Pertanian Berdasarkan kondisi geofisik dan alamiahnya, Wilayah DAS Brantas Hulu Jawa Timur dapat dibagi menjadi empat sub-wilayah, yaitu: (1). Wilayah datar yang dikategorikan sebagai daerah subur dan potensi erosi rendah, sudah berkembang sebagai tegalan dan pekarangan dengan aneka tanaman hortikultura semusim. (2). Wilayah bergelombang yang dikategorikan sebagai daerah subur dan potensi erosi medium. (3). Wilayah berbukit hingga bergunung yang dikategorikan sebagai daerah subur dan potensi erosi berat. (4). Wilayah puncak bukit/ puncak gunung. Kegiatan ekonomi dalam subsektor pertanian tanaman pangan didominasi oleh komoditi hortikultura yang memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar bagi pengelolanya. Pembagian wilayah tersebut di atas mengisyaratkan adanya potensi ekosistem lahan yang berbeda-beda dan menghendaki upaya pengelolaan yang berbeda pula. Konsepsikonsepsi tentang ekosistem lahan dan pengelolaannya, mengisyaratkan bahwa lahan di suatu wilayah merupakan suatu sitem yang kompleks terdiri atas berbagai komponen yang saling berinteraksi membentuk suatu struktur yang mantap dan perilakunya menghasilkan keluarankeluaran yang tertentu. (1). Analisis kebutuhan pengelolaan sumberdaya lahan Konsepsi teoritis tentang ekosistem lahan dan pengelolaannya mengisyaratkan adanya berbagai kebutuhan yang terlibat di dalamnya. Berbagai kebutuhan ini dapat dibuktikan dengan jalan wawancara dan diskusi dengan beberapa pihak yang terlibat langsung dengan penggunaan lahan, instansi pemerintah sebagai penentu kebijakan serta penduduk setempat sebagai pengelola sumberdaya lahan milik. Dapat dikemukakan di sini bahwa beberapa kebutuhan penting dalam pengelolaan ekosistem lahan di DAS Brantas Hulu Jawa Timur adalah sebagai berikut : a. Kebutuhan dalam hal rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air. a.1. Fluktuasi debit air sungai sepanjang tahun dalam batas-batas kenormalan (rasio debit minimum dan debit maksimum dalam setahun tidak kurang dari 1 : 40). a.2. Tersediannya air-bumi dan air-permukaan sepanjang tahun yang mencukupi kebutuhan domestik, Industri, pertanian dan ekologi. a.3. Terkendalinya erosi tanah dari lahan usaha dan sedimentasi di jaringan irigasi dan Waduk . 5 a.4. Terbinanya sikap mental penduduk sebagai insan pelestari sumberdaya lahan dan lingkungan. b. Kebutuhan untuk mencapai pendapatan wilayah dan pendapatan per kapita sesuai dengan kondisi kelayakan. b.1. Tercapainya pendapatan perkapita seluruh penduduk sesuai dengan taraf hidup layak di atas garis kemiskinan. b.2. Tercapainya produksi pertanian (dan sektor produksi primer lainnya) untuk mengamankan ketersediaan pangan bagi penduduk setempat . c. Kebutuhan dalam hal peningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan penduduk. c.1. Tersedianya kesempatan kerja di sektor pertanian sepanjang tahun dan minimal dapat memenuhi penawaran angkatan kerja domestik. c.2. Tersedianya bahan kebutuhan pokok pada jumlah dan tingkat harga yang layak bagi seluruh penduduk . d. Kebutuhan kelestarian dan daya dukung sumberdaya lahan dan lingkungan hidup. d.1. Terpeliharanya kawasan hutan dan sumberdaya hutan: hutan lindung, dan hutan produksi. d.2. Terpeliharanya daya dukung lingkungan pada tingkat layak bagi populasi ternak dan juga bagi manusia. (2). Identifikasi ekosistem lahan pertanian Proses identifikasi sistem lahan yang cermat dan sistematis akan sangat menentukan keberhasilan langkah-langkah analisis selanjutnya. Teknik diagramatis sangat membantu dalam identifikasi pengelolaan ekosistem lahan yang rumit. (a). Diagram Lingkar Sebab-akibat Pengelolaan Lahan Diagram lingkar sebab-akibat pengelolaan ekosistem lahan disajikan dalam Gambar 1. Ada enam komponen utama dalam pengelolaan ekosistem lahan. Keenam komponen utama ini saling berinteraksi secara dinamis, dimana keterlibatan manusia di dalamnya akan sangat menetukan kelestarian dan perkembangan sistem. Secara alamiah manusia dituntut untuk berupaya memenuhi kebutuhan biologisnya dengan jalan memanfaatkan sumberdaya lahan yang tersedia. Intensitas pemanfaatan sumber daya lahan ini sangat ditentukan oleh tingkat teknologi dan kebutuhan hidup manusia. Selanjutnya intensitas pemanfaatan ini juga akan menentukan besarnya manfaat yang diperoleh dan perubahan daya dukung atau kualitas sumberdaya lahan. Pada giliran selanjutnya, manfaat-manfaat tersebut akan menentukan tingkat kesejahteraan penduduk dan perubahan daya dukung akan mempengaruhi kelestarian sumber daya lahan . Kedua kondisi ini secara bersama-sama akan ikut menentukan tingkat investasi domestik dan eksternal. Peningkatan investasi ini pasti akan mendatangkan dampak sosial ekonomi dan dampak lingkungan seperti erosi, sedimentasi, pencemaran dan kemerosotan kualitas lahan . (b). Diagram Kotak Hitam Masukan-Keluaran Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari pengabstraksian ekosistem lahan seperti di atas dapat disusun suatu model kotak hitam I/O pengelolaan ekosistem lahan (Gambar 2). Dengan menggunakan diagram ini dapat diabstraksikan bahwa pengelolaan ekosistem lahan mempunyai komponen utama yang berupa masukan , keluaran , parameter, dan menejemen kendali. Sistem pengelolaan lahan masih dianggap sebagai kotak hitam, dimana struktur yang ada di dalamnya dianggap belum diketahui. Dengan melalui proses dan fenomena tertentu yang terjadi di dalam sistem lahan, maka masukan-masukan yang masuk akan diolah menjadi keluaran-keluaran sistem. Keluaran ini ada yang sesuai dengan apa yang diinginkan dan ada pula yang tidak diinginkan oleh pengelola sumberdaya lahan. Melalui mekanisme umpan balik yang dimotori oleh fungsi menejemen kendali maka keluaran yang tidak diinginkan akan diolah menjadi informasi yang akan digunakan untuk menentukan 6 kebijakan dalam menetapkan masukan-masukan pengendali, yang biasanya berupa kebijakan-kebijakan pengelolaan. (c). Diagram Struktur Ekosistem Lahan Bagan berikut ini mengabstraksikan enam subsistem penting dalam pengelolaan ekosistem lahan, dua subsistem terkait langsung dengan tingkat kebutuhan penduduk, dan empat subsistem lainnya terkait dengan daya dukung lahan. Uraian subsistem disajikan di bawah ini. 7 Pengelolaan : Sawah, Tegalan, Kebun, Pekarangan Produktivitas Lahan Hasil tanaman Pendapatan Kesempatan kerja Kehilangan tanah, Air,Bahan organik, Unsur Hara Solum tanah, Kesuburan tanah Kepekaan erosi Kesejahteraan petani dan buruhtani Agroteknologi: - pupuk, bibit - teras bangku SDA Air SDA Tanah SDA Vegetasi Investasi: Privat: saprodi tenaga publik: teras dam pengendali saluran air Gambar 1. Diagram Lingkar Sebab Akibat Pengelolaan Ekosistem Lahan (Soemarno. 2002) Masukan Lingkungan Biofisik Sosbud , Sospol, Sosek Tataguna lahan Sarana produksi Agroteknologi Kapital /tenagakerja Hasil tanaman , Ternak, Hutan Kesempatan kerja EKOSISTEM 8 LAHAN JATIM Hasil sedimen BOD,fosfat, banjir Harga saprodi sayuran,susu perah Lokasi JATIM PEMDA, BRLKT, Petani Gambar 2. Diagram Kotak Hitam Masukan-Keluaran Sistem Pengelolaan Lahan (Soemarno. 2002) 9 Masukan lingkungan Biofisik Sosbud, Sospol, Sosek Subsistem Hidrologi Masukan Agroekologis Masukan Agroteknologis Subsistem Erosi dan Sedimentasi Subsistem Lahan Subsistem Pertanian Masukan Demografis Subsistem Sosial-Ekonomi Produktivitas lahan Keluaran: Hasil padi, sayuran, kopi, susu Kes. Kerja Debit air, fosfat sedimen, BOD Kebutuhan Pangan, pemukiman,kesempatan kerja Subsistem Demografi PEMDA Jatim BRLKT Wilayah VI , Petani, Dinas Pengairan Gambar 3. Kerangka Model Konseptual Perencanaan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan (Soemarno. 2002) C.1. Subsistem Hidrologi dan Erosi-Sedimentasi Kedua subsistem ini mempunyai hubungan yang sangat erat, dan keduanya juga ber interaksi dengan subsistem produksi primer (sistem pertanian). Kedua subsistem ini mempunyai masukan alamiah berupa hujan dan faktor agroekologi lainnya yang terkait, serta masukan kebijakan berupa alokasi penggunaan lahan, teknologi konservasi tanah dan air, dan alokasi penggunaan sarana produksi. Masukan utama dari subsistem hidrologi adalah faktor-faktor agroklimat. Keadaan agroeklimat di wilayah ini dicirikan oleh tipe iklim Muson Tropis yang memiliki musim kering dan basah yang jelas. Musim hujan ber-langsung selama bulan Nopember hingga akhir Maret, dan musim kemarau mulai awal Juni hingga akhir September. Rataan curah hujan tahunan di daerah aliran berkisar secara spasial antara 2000 hingga 2500 mm. Berdasarkan sistem Oldeman (1975), daerah ini digolongkan ke dalam zone agroklimat C2 dengan empat bulan kering dan 5-6 bulan basah setiap tahun. Keluaran utama subsistem hidrologi adalah hasil air permukaan yang dapat diukur dalam bentuk debit air sungai dalam fungsi waktu. 10 Subsistem erosi-sedimentasi mempunyai keluaran utama berupa kehilangan tanah dari lahan atau hasil sedimen yang diukur di petak erosi atau di outlet sungai. Laju erosi pada lahan sangat berfluktuasi menurut waktu (musim) dan menurut tipe penggunaan lahan. Erosi pada lahan pekarangan dan lahan tegalan paling besar. Erosi dan limpasan permukaan di daerah tangkapan akan menentukan besarnya sedimen yang memasuki wduk setiap tahun. Dengan mempertimbangkan karakteristik DAS Brantas Hulu, Jawa Timur dapat diper kirakan rataan erosi tanah aktual di seluruh daerah aliran tidak kurang dari 25 ton/ha/th atau setara dengan lebih dari 2 mm/th. Secara struktural kedua subsistem ini saling bertautan dan sangat dipengaruhi oleh perilaku subsistem produksi primer. Peranan vegetasi (alam dan budidaya) sangat besar dalam fungsi transfer yang mengubah masukan sistem berupa hujan menjadi hasil air . C.2.Subsistem Sumberdaya Lahan Dalam hubungan dengan pendekatan ekosistem ini, lahan di Jawa Timur dipandang sebagai suatu sistem yang mempunyai atribut dan dimensi ganda; di dalamnya terdapat komponen-komponen yang saling berinteraksi menyusun struktur tertentu. Perilaku dinamis sumberdaya lahan ini tercermin dalam tipe penggunaan lahan, sistem perta nian, produktivitas lahan dan laju degradasi lahan . Abstraksi skematis subsistem lahan ini secara diagramatis disajikan dalam Gambar 4. Masukan-masukan utamanya berupa tanah, relief, iklim, dan teknologi/investasi. Unsur-unsur dari tanah, relief, dan iklim akan menentukan kualitas lahan dan neraca lengas lahan. Sebagian besar tanah berkembang dari bahan abu volkanik muda. Perbedaan bentuk lahan dan curah hujan mengakibatkan berkembangnya tiga zone tanah , yaitu (i) Andosol (Eutrandepts) pada lahan bergunung, (ii) Andosol dan Kambisol (Eutropepts) pada lahan berbukit, (iii) Kambisol (Inseptisols) pada dataran inter-volkanik, dan (iv) EntisolInseptisol di daerah dataran/lembah sungai. Andosol umumnya terdapat pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl. meliputi area seluas sekitar 10-15% dari seluruh lahan. Tanah ini mempunyai porositas dan permeabilitas yang tinggi, menahan banyak air tersedia, berat isinya rendah, agregasinya lemah, dan erodibilitasnya tinggi. Tingkat kesuburannya baik, pH tanah berkisar antara 5.6 hingga 6.5, kaya bahan organik dan nitrogen. Kambisol terdapat pada ketinggian di bawah 1000 m dpl., meliputi luasan sekitar 25-30% dari seluruh lahan. Tanah ini solumnya masih tebal, terksturnya berlempung, drainasenya baik, erodibilitasnya tinggi. Kesuburan ta-nahnya baik, kaya bahan orga nik dan unsur hara tersedia, pH tanah 5.5 - 6.6. Tanah ini juga terdapat di daerah yang lebih rendah, banyak dijumpai di Dataran Ngantang. Teksturnya lempung hingga lempung berliat, drainasenya cukup baik, struktur tanah porus dan mantap, kejenuhan basa tinggi, dan pH tanah 5.7-6.8. 11 Pancausaha pertanian Pupuk Bibit Terras bangku rumput gajah Pengolahan tanah, Polatanam Iklim C2, Andosol Lereng 8-25% Kesesuaian lahan Jenis tanaman: Padi, Jagung, Sayuran Kopi, Kedelai Produktivitas Tanaman dan ternak Produktivitas Lahan Hasil Tanaman Padi, Jagung, Kentang, Kopi Susu perah, Sayuran Pergiliran tanaman: . Padi-Padi-Sayuran . Jagung-Sayuran-bera . Sayuran-Sayuran-bera . Kopi+Jagung Limpasan Permukaan Kehilangan tanah, BO, hara Hasil Air Debit sungai Waduk Hasil Sedimen BOD, Fosfat, ke waduk-waduk Gambar 4. Diagram Lingkar Pemanfaatan Lahan Untuk Pertanian (Soemarno. 2002). Perilaku sistem sumberdaya lahan tersebut hingga batas-batas tertentu dapat dikendalikan oleh manusia melalui berbagai upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dalam penggunaan lahan pertanian. Usaha-usaha pengelolaan sumberdaya lahan ini dilakukan oleh pemiliknya dengan menggunakan berbagai input material dan managerial untuk memodifikasi perilaku alamiah lahan ke arah perilaku yang dapat menghasilkan produk-produk bioekonomi yang bermanfaat bagi manusia. 4. PENGELOLAAN EKOSISTEM PERTANIAN 4.1. Karakteristik dan Luasan Sistem produksi primer pada hakekatnya identik dengan land utilization type" atau sistem pertanian (farming system) dalam arti yang umum, termasuk kehutanan, perkebunan, dan peternakan. Dalam sistem ini, manusia dengan teknologi dan kapital yang dimilikinya 12 mengelola sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keluaran utama dari sistem ini berupa berbagai komoditi pertanian, material (air , sedimen, polutan atau limbah), uang dan informasi. Sedangkan masukannya dapat dibedakan menjadi sumberdaya alam, material (saprodi), pengelolaan (teknologi, tenagakerja dan skills), dan masukan informasi. a. Ekosistem Hutan Total kawasan hutan di DAS Brantas Hulu, Jawa Timur sebagian besar merupakan hutan pegunungan di bagian hulu daerah aliran sungai. Kawasan ini berupa hutan alam pegunungan (motane forest), hutan tanaman seluas, dan lahan semak-belukar. Sebagian lahan semak-belukar berada di kawasan lindung, dan lainnya berada di kawasan hutan produksi-konversi. Berdasarkan arahan penggunaan lahan ternyata terdapat kawasan hutan lindung dan kawasan penyangga. Kawasan hutan lindung sebagian besar merupakan hutan alam pegunungan, diperkirakan sekitar 50% dari kawasan ini mempunyai tingkat penutupan tajuk pohon lebih dari 50%, dan 20% mempunyai tingkat penutupan tajuk pohon kurang dari 20%. Sekitar 10% dari hutan pegunungan merupakan hutan pinus (Casuarina junghuhniana) berlokasi di puncak bukit dan lereng yang terjal. Aksesibilitas hutan pegunungan pada umumnya buruk, sehingga pengelolaan secara ekonomis sangat sulit. Pada saat sekarang kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung. Penebangan jenis-jenis pohon komersial di kawasan ini juga terjadi secara illegal. Dalam hutan alam pegunungan DAS Konto diperkirakan sekitar 25% dari jumlah pohon asli telah ditebang, tingkat pengurangan luas bidang dasar sekitar 8% setahun (Proyek Kali Konto, 1987). Hutan tanaman (man made forest) dikelola oleh Perum Perhutani KPH Malang, diperkirakan mempunyai total volume tegakan sekitar 135.000 m 3 dengan laju pertambahan tahunan sekitar 15.000 m 3 kayu (timber) dan produksi kayu bakar sekitar 3.250 m 3 setahun. Tiga jenis kayu komersial yang ditanam adalah Eucalyptus, Albizia, dan Mahogany sp. Hasil-hasil hutan seperti kayu bakar, arang dan kayu komersial dipasarkan ke luar daerah (Proyek Kali Konto, 1987). Hutan tanaman kaliandra (Calliandra callothyrsus) dikelola Perum Perhutani KPH Malang pada kawasan semak-belukar. Hutan tanaman ini dipotong setiap tahun setelah umur tiga tahun, diper-kirakan menghasilkan kayu bakar sekitar 35 m 3 per hektar per tahun (Perhutani KPH Malang). Sejumlah lahan semak-belukar tersebar pada kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi-konversi. Lahan semak-belukar ini merupakan sumber kayu bakar dan bahan hijauan pakan ternak bagi penduduk sekitarnya, sedangkan bagi Perum Perhutani lahan semak- belukar ini tidak mempunyai nilai komersial. b. Eko-Sistem Perkebunan, Kebun Campuran dan Kebun Rakyat Sistem Kebun campuran ditanami tanaman semusim yang dicampur dengan tanaman tahunan, sedangkan kebun kopi ditanami kopi sebagai tanaman utama dengan tanaman naungan dadap atau lamtoro. Biasanya kebun campuran terletak lebih dekat dengan pemukiman, karena memerlukan lebih banyak perawatan tanaman dan perlindung-an terhadap gangguan babi hutan. Tanaman semusim di kebun campuran biasanya jagung, ubikayu dan ubi-ubian lainnya, kacang-kacangan, cabai, dan sayuran. Sedangkan tanaman tahunannya dapat dikelompokkan menjadi (i) tanaman industri: kopi, cengkeh, dan vanilla; (ii) pohon buah-buahan: apel, alpokad, pisang, dan jeruk; (iii) kayu komersial: mahoni, nyampo, dan mindi; dan (iv) kayu bakar: lamtoro, dadap, akasia, dan kaliandra. Kebun kopi milik rakyat menghasilkan kopi jenis Robusta dan jenis Arabusta. Ke padatan tanaman kopi di kebun milik rakyat ini berkisar antara 600 hingga 1000 pohon per hektar. Pohon naungan yang lazim digunakan adalah dadap dan lamtoro. Tingkat pengelolaan dan produktivitas kebun kopi milik rakyat ini masih sangat beragam, demikian juga umur dan kesuburan tanaman kopi yang ada sekarang. Sekitar 25% dari total kebun kopi sudah tidak produktif lagi (umur tanaman lebih dari 15 tahun) dan sekitar 20% dari total kebun kopi masih belum berproduksi (umur tanaman kurang dari 5 tahun). Rataan produksi kebun kopi milik rakyat setiap tahun sekitar 312 kg biji kopi kering (Dinas Perkebunan Kabupaten Malang, 1991). Gambaran tentang usahatani kebun kopi rakyat disajikan dalam 13 Tabel 5. Usahatani ini biasanya berjangka waktu 10 tahun, tanaman berproduksi umur 4 hingga 10 tahun, rataan populasi tanaman 1.200 pohon per hektar. Tabel 5. Rekapitulasi Masukan-Keluaran Usahatani Kopi Rakyat di Ngantang, Kabupaten Malang Uraian Kegiatan Rataan Petani Kebutuhan tenaga kerja; HOK/th Biaya produksi; rp/ha/th Produksi; kg/ha/th Penerimaan; rp/ha/th Penerimaan lain; rp/ha/th Tenaga kerja tambahan; HOK Total penerimaan; rp/ha/th Total tenagakerja; HOK/ha/th SUmber: (Soemarno. 2002) Tingkat BPP 146.6 215.8 329 880.0 300.8 601 600.0 245 500.0 102.5 527 808.0 525.6 1 051 200.0 275 600.0 80.4 847 000.0 251.1 1 326 800.0 296.2 c. Eko-Sistem Tegalan Pengelolaan ekosistem lahan tegalan mengisyaratkan adanya tiga hal penting, yaitu (i) ketergantungan langsung kepada curah hujan, (ii) ancaman bahaya erosi dan limpasan permukaan, dan (iii) pelestarian kesuburan tanah dan bangunan terras bangku yang ada. Kondisi curah hujan merupakan determinan pokok dalam pengelolaan tegalan. Para petani menggunakan berbagai teknik untuk mengoptimalkan penggunaan air hujan di lahan tegalan. Pemilihan jenis tanaman dan pola pergiliran tanaman, terrasering, dan pengaturan jadwal dan cara pengolahan tanah merupakan tiga cara untuk memanfaatkan air hujan secara optimal. Beberapa pola pergiliran tanaman yang banyak dilakukan oleh petani lahan tegalan di DAS Brantas Hulu adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Sub DAS Konto : Kentang-Kubis Jagung-Kubis Jagung-Kac.merah Kentang-Jagung Jagung-Jagung Pinjal: Jagung-Jagung Bw.merah-Jagung Kubis-Jagung Bw.merah-Kc.merah Jagung-Bw.merah Kwayangan: Jagung-Jagung Jagung-Bw.merah K.merah-Jagung Jagung-Kac.merah Jagung-Sayuran Rataan produktivitas tanaman di lahan tegalan ini pada umumnya masih rendah dibandingkan dengan potensi genetiknya. Dari analisis usahatani dapat dikemukakan beberapa nilai produktivitas tanaman (Tabel 6). Rendahnya produktivitas tanaman tersebut diperkirakan berkaitan dengan tersedianya air dalam tanah selama pertum buhannya, dan rendahnya dosis pupuk yang digunakan. 14 Tabel 6. Produktivitas Beberapa Jenis Tanaman Jenis Tanaman Musim Tanam Jagung Kentang Kentang Kubis Kacang merah Kacang merah Bawang merah Wortel Sumber: Soemarno. 2002 MT-1 MT-1 MT-2 MT-1 MT-1 MT-1 MT-2 MT-1 Lokasi Ngantang Pujon Pujon Pujon Ngantang Pujon Pujon Pujon Produksi (kg/ha) 1 365.00 7 015.38 5 408.40 16 148.60 1 981.75 1 913.59 3 065.43 3 475.34 Sehubungan dengan kondisi hujan, lazimnya petani mengolah tanah jauh sebelum musim tanam pada awal musim hujan. Hal ini dilakukan karena (i) memungkinkan lebih banyak penetrasi air hujan pada awal musim, (ii) menghemat waktu, dan (iii) musim kemarau merupakan masa sepi kerja bagi petani yang hanya mempunyai lahan tegalan. Selama musim hujan proses erosi dan limpasan permukaan di lahan tegalan sangat intensif. Laju kedua proses ini pada hakekatnya merupakan fungsi dari (i) jumlah dan pola hujan, (ii) tipe tanah dan bentuk lahan, dan (iii) agroteknologi yang dilakukan petani, termasuk teknik-teknik konservasi tanah dan air. d. Ekosistem Sawah Total luas lahan sawah di Jawa Timur beragam dari tahun ke tahun. Sebagian dari lahan sawah ini mempunyai irigasi teknis dan semi-teknis, dan sebagian lainnya tadah hujan. Umumnya intensitas tanaman padi pada lahan sawah ini berkisar antara 2.0 dan 3.0. Beberapa macam pola pergiliran tanaman yang banyak dilakukan petani di lahan sawah ialah : Lokasi Sub DAS Konto Hulu: 1. Kubis-Kentang-Kacang merah 2. Padi-Kentang-Jagung 5. Padi-Padi-Jagung Sub DAS Pinjal: Padi-Padi-Jagung Padi-Padi-Kacang merah Padi-Bawang merah-Kubis Padi-Jagung-Bawang merah Bawang merah-Padi-Jagung 3. Padi-Kentang-Kubis 4. Kubis-Padi-Kacang merah Sub DAS Kwayangan: Padi-Padi-Jagung Padi-Bawang merah-Jagung Padi-Jagung-Kacang merah Padi-Jagung-Jagung Padi-Baw.merah-Kac.merah Rataan produktivitas padi di Kecamatan Pujon sekitar 3.800 kg/ha/musim, dan di Kecamatan Ngantang sekitar 4.200 kg/ha/musim tanam (BPP Ngantang, 1998). Di DAS Brantas Hulu, sebagian sawah pada musim hujan tidak ditanami padi tetapi ditanami sayursayuran seperti kentang, wortel, kacang merah, dan kubis. Dua alasan pokok yang dapat dikemukakan ialah (i) kondisi tanah yang sarang air dan (ii) komoditi sayuran dianggap mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi dan mudah memasarkannya. Kondisi terras bangku di lahan sawah umumnya berkualitas baik, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan tebing terras diperkuat dengan jenis-jenis rumput lapangan. Pengukuran erosi pada lahan sawah menunjukkan nilai yang jauh lebih rendah daripada tegalan dan pekarangan. 15 e. Eko-Sistem Pekarangan Pekarangan dapat diartikan sebagai sebidang lahan yang di dalamnya terletak rumah tempat-tinggal (pemukiman) yang dikuasai oleh keluarga. Ukuran luas penguasaan peka rangan sangat beragam, rataan setiap keluarga sekitar 400-750 m2 . Pekarangan mempunyai fungsi ganda bagi kehidupan keluarga, yaitu (i) sebagai tempat tinggal (pemukiman), (ii) sebagai kebun campuran dengan aneka tanaman palawija, sayur-sayuran , obat- obatan, buah-buahan, dan kayu bakar; dan (iii) sebagai tempat memelihara ternak. Di berbagai wilayah ternyata aktivitas usahatani yang utama di lahan pekarangan adalah sapi perah, sedangkan di Kecamatan Ngantang adalah usahatani kebun campuran. Tingginya intensitas kegiatan manusia di lahan pekarangan telah mengakibatkan tingginya laju erosi dan limpasan permukaan. Beberapa faktor penting yang menyebabkannya adalah (i) pemadatan permukaan tanah oleh manusia dan ternak sehingga kapasitas infiltrasinya rendah, (ii) tingkat penutupan permukaan lahan oleh vegetasi yang relatif rendah, (iii) penutupan lahan oleh atap rumah penduduk dan bangunan lainnya, (iv) penimbunan kotoran ternak di pekarangan secara terbuka, dan (v) penyaluran air hujan langsung dari halaman rumah ke jalan-jalan desa. f. Usahatani Ternak Usahatani ternak merupakan usaha sampingan yang mampu memberikan sumbangan pendapatan keluarga cukup baik. Usahatani ini dilakukan di lahan pekarangan dengan melibatkan tenagakerja dari dalam keluarga. Penyebaran jenis ternak di beberapa lokasi DAS Brantas Hulu dan total kebutuhan hijauan pakan disajikan dalam Tabel 7. Secara keseluruhan usahatani ternak sapi perah lebih dominan dibandingkan ternak lainnya, terutama di bagian hulu daerah aliran sungai. Usahatani ternak sapi perah di Jawa Timur mulai diperkenalkan sekitar tahun 1970-an melalui komunikasi inter-personal. Perkembangan usahatani ini tampaknya memberikan prospek yang baik ditinjau dari berkurangnya aktivitas penduduk merambah hutan, kegairahan menanam rumput gajah, serta tersedianya sumber pendapatan dan kesempatan kerja. Peluang-peluang positif ini tampaknya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendorong keterlibatan penduduk dalam program konservasi tanah dan air. Perkembangan selanjutnya ditandai oleh berkem bangnya koperasi susu di Kecamatan Pujon yang semula berfungsi sebagai penghubung antara peternak sapi perah dengan wilayah wilayah di sekitarnya . Sebagian besar sapi perah di wilayah Kecamatan Pujon (Sub DAS Konto Hulu) adalah Jenis Peranakan Frisian Holstein (PFH) lokal dan impor. Sapi jenis impor tersebut diterima peternak melalui Program KIK, Banpres, PUSP, dan Kredit Koperasi. Pengusahaan sapi perah di wilayah ini umumnya masih merupakan usaha sampingan. Tujuan pokok pemeliharaan sapi perah ini adalah hasil susu, sedangkan tujuan sampingannya ialah hasil rabuk kandang dan anak sapi (pedet). Perkembangan usaha sapi perah didukung sepenuhnya oleh Koperasi Susu SAE (Sinau Andandani Ekonomi). Koperasi ini mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu sebagai jembatan penghubung yang menyalurkan hasil susu ke pabrik susu NESTLE di Surabaya, dan juga ke beberapa agen susu segar di Kota Malang, Pasuruan dan Surabaya. Berbagai upaya dilakukan para peternak untuk menjaga mutu hasil susu, di antaranya ialah pemberian ransum pakan secara tepat, biasanya berupa hijauan dan konsentrat. Pemerahan susu dilakukan pagi dan sore hari oleh tukang pemerah yang mempunyai ketrampilan khusus dalam hal pemerahan susu dan masalah-masalah higienisnya. 16 Tabel 7. Penyebaran Ternak Penting di DAS Brantas Hulu Jenis Ternak Sub DAS Konto Sapi perah Sapi kerja Kambing dan Domba Total Kebutuhan 5 479.70 882.60 830.60 7 192.90 131 270.425 Sub DAS Pinjal Sub DAS Kwayangan .............. ST ................ 123.75 902.40 422.00 1 448.15 26 428.738 415.15 515.20 382.50 1 312.85 23 959.513 pakan, ton/th Sumber: Soemarno. 2002. Perkembangan populasi ternak sapi perah di wilayah ini berlangsung melalui tiga cara (i) kelahiran dari induk yang ada, (ii) penambahan dari luar daerah, dan (iii) penambahan ternak melalui program sumbangan/bantuan/kredit. Kenaikan jumlah ternak ini mengakibatkan meningkatnya kebutuhan hijauan pakan. Sumber pakan hijauan ini adalah lahan usaha pertanian dan di luar lahan usaha pertanian termasuk lahan semak-belukar, serta hijauan dari luar daerah. Perkiraan daya dukung hijauan di Sub DAS Konto Hulu dengan sistem tertutup (close-system) memberikan hasil seperti dalam Tabel 8 (Widodo, 1988). Produksi hijauan pakan ternak berfluktuasi sesuai dengan kondisi musim dalam setahun, dan jumlah produksi hijauan di lahan usahatani berhubungan erat dengan sistem pertanian dan pola tanam yang dilakukan petani. Praktek pemberian makanan kepada ternak sapi perah masih beragam di antara para peternak, biasanya jumlah hijauan pakan yang diberikan dihitung dengan satuan pikul atau keranjang atau ikat yang beratnya sangat beragam. Biasanya pakan hijauan diberikan tiga kali dalam sehari, yaitu pagi, siang, dan sore. Akan tetapi ada pula yang memberikan pakan hijauan ini secara terus menerus sepanjang hari. Pakan konsentrat biasanya dibe rikan dua kali, yaitu pagi dan sore hari. Tabel 8. Perkiraan Daya Dukung Sub DAS Konto Hulu Berdasarkan Produksi Hijauan Pakan. Jenis Daya Dukung Lahan Usahatani Luar Lahan Usahatani: 2.1. Tanpa hutan 2.2. Dengan hutan Daya dukung Aktual Daya dukung Potensial Sumber: Widodo, 1988 Hasil hijauan (ton/tahun) 71 778.09 Kesetaraan (ST) 4 916 7 123.00 128 329.00 78 901.09 200 107.38 488 8 790 5 404 13 706 Biaya-biaya produksi tersebut lazimnya dikelompokkan menjadi 10 kelompok, yaitu (i) biaya penyusutan ternak, (ii) biaya penyusutan kandang, (iii) biaya penyusutan peralatan, (iv) biaya makanan ternak (v) biaya tenaga kerja, (vi) biaya pelayanan perkawinan, (vii) biaya 17 perawatan dan pengobatan, (viii) biaya angkutan hasil, (ix) biaya angsuran kredit, dan (x) biaya lain-lain . Biasanya perhitungan biaya produksi tersebut didasarkan pada satu masa calving interval. Perhitungan biaya tenaga kerja hanya dilakukan terhadap tenagakerja luar kelu arga. Tenagakerja ini digunakan untuk aktivitas membersihkan kandang, pemerahan, memberi makanan sapi, memandikan sapi, dan perawatan sapi sehari-hari. Satuan-satuan usahatani sapi perah tersebut di atas ialah keluarga-keluarga petani-peternak. Umumnya mereka mengupah tenagakerja tetap yang berasal dari luar keluarga untuk merawat sapi sehari-hari. Tabel 9. Rekapitulasi Rataan Masukan-Keluaran Usahatani Ternak Sapi Perah pada Tingkat Peternak dan BPP Pujon (1997/1998) Uraian Kegiatan Nilai Rataan per tahun: Peternak BPP ......(rp/ST)...... Bibit 150 000 150 000 Hijauan pakan 129 600 151 750 Pakan konsentrat 150 000 195 600 Tenagakerja 200 000 250 000 Biaya lain-lain 75 000 140 000 Total biaya 704 600 887 350 Hasil susu segar 962 500 1 347 500 Hasil anakan; rata-rata per tahun 66 700 67 500 Hasil rabuk kandang 43 200 57 400 Hasil daging akhir 75 000 75 000 Total penerimaan 1 147 400 1 547 400 Pendapatan 442 800 660 050 B/C-rasio rataan 1.63 1.74 Keterangan: Diolah dari hasil survei yang dilakukan oleh KOPSAE Pujon tahun. Beberapa hal penting yang dapat dikemukakan tentang usahaternak sapi perah (1997/98) adalah : 1. Harga bibit sapi perah antara Rp 650 000 - 800 000 2. Umur produktif sekitar 56 bulan dengan 4.2 kali laktasi 3. Produksi susu 2 750 liter tiap masa laktasi 275 hari. 4. Nilai daging pada akhir umur produktif Rp 300 000. 5. Interest rate diperhitungkan sebesar 10.5% 6. Hijauan pakan 40 kg/ST/hari, dengan harga rataan setiap satu kilogram Rp 10 pada musim kemarau dan Rp 8 pada musim hujan . 7. Selama masa laktasi dan 25 hari sebelum beranak diberi makanan penguat sebanyak 5 kg/ST/hari, rataan harganya setiap kilogram sekitar Rp 90 hingga Rp 100. 8. Semua anakan jantan dan sepertiga anakan betina untuk penggemukan dengan nilai masing-masing Rp 50 000; sedangkan duapertiga anakan betina untuk breeding dengan nilai satuan Rp 150 000. Rataan nilai anakan sapi minus resiko 20%, sekitar Rp 66 700 9. Rataan nilai rabuk kandang sekitar Rp 120 setiap hari 10. Biaya tenagakerja diperkirakan setiap hari sebesar Rp 350 - Rp 450 atau setara dengan 0.5 HOK/ST. 18 4.2. Produktivitas Ekosistem Lahan Pertanian Produktivitas merupakan ukuran utama dari tingkat kleruskaan sumberdaya lahan, terutama kalau fenomena kerusakan ini masih tersembunyi. Oleh karena itu berbagai usaha dan upaya dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan tingkat produktivitas lahan yang layak dan lestari. Sebagai salah satu perwujudan dari Panca Bhakti Pertanian di Jawa Timur adalah dikeluarkannya berbagai kebijakan dan dilakukan usaha-usaha pengelolaan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi tanaman pangan. 4.2.1. Kualitas Sumberdaya Lahan Secara garis besar, kualitas sumberdaya lahan pertanian ditentukan oleh faktor faktor geomorfologi, togografi, jenis tanah, agroklimat, dan lokasi. Selanjutnya kualitas ini akan menentukan kapabilitasnya untuk memproduksi tanaman dan potensinya untuk menjadi kritis oleh faktor-faktor alam dan pengelolaan. Sekitar dua-pertiga wilayah Jawa Timur merupakan daerah pegunungan dan bukit, dan sisanya merupakan dataran rendah dan lembah-lembah sungai. 19 Tabel 11. Luas Panen, Rataan Produksi dan Produktivitas tanaman Sayuran dan Buahbuahan. No . Komoditi Sayuran 1. Bw.putih 2. Kentang 3. Kubis 4. Bw.merah 5. Lombok Luas Panen (ha) Produksi (ton) 1987 1997 1987 1997 1987 1200 5107 4948 15359 40420 4280 9034 10648 16895 34898 5977 33367 55842 74890 121719 26785 120794 143747 153802 59690 49.77 65.34 112.86 48.76 30.11 4478975 4436922 8507301 39379520 83963217 820867 1591349 20063671 99075 73412 268083 1641609 35786 66471 30896 963473 69375 122847 620805 507199 100361 60508 20218 1120409 0.18 0.21 0.63 0.14 0.01 0.16 0.09 0.16 Buah-buahan (Pohon): 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7 8 Apel Jeruk Mangga Pisang Nanas Rambutan Salak Lainnya 5582187 3563533 4273665 119462472 54739371 4238674 3306296 61717741 Sumber: Hasil analisis data sekunder. Jenis tanah di DAS Brantas Hulu Jawa Timur sebagian besar adalah Inseptisol, dan Andosol. Kedua jenis tanah ini subur dan erodibilitasnya cukup tinggi. Hasil pemantauan terhadap lahan –lahan pada areal pertanian tanaman pangan menunjukkan bahwa di DAS Brantas Hulu terdapat lahan kritis yang masih cukup luas dan perlu penanganan yang lebih seksama. 5. PERMASALAHAN PENGELOLAAN LAHAN Pembangunan daerah dan masyarakat pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya pembangunan secara nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Visi dalam pembangunan daerah adalah "pembangunan daerah untuk pemberdayaan masyarakat". Untuk itu misi yang harus dijalankan adalah dengan meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah yang dapat mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia baik yanq berasal dari pelayanan pemerintah, kapasitas sosial-ekonorni masyarakat, serta sumberdaya lain yang ada di daerah. Pembangunan daerah merupakan upaya terpadu yang menggabungkan dimensi kebijakan pengembangan masyarakat, perwujudan pemerintahan yang baik, integrasi ekonomi antar sektor, pelayanan lokal, pengelolaan sumberdaya lahan secara lestari, serta penanganan secara khusus daerah-daerah lahan kritis. 5.1. Permasalahan Pengelolaan Lahan 20 Di wilayah DAS Brantas hulu diperkirakan terdapat cukup banyak lahan kritis dan potensial kritis di luar kawasan hutan, hampir seluruhnya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering secara subsistensi oleh masyarakat pemiliknya. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan kering dan pembenahan kelembagaan penunjangnya. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam upaya penerapan dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan kritis, adalah (i) Secara teknis dapat dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan sesuai dengan kondisi agroekosistem setempat (site specific), (ii) Secara ekonomis menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi wilayah pedesaan (ecological economic), (iii) Secara sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi dan partisipasi petani (social participation), (iv) Ramah dan aman lingkungan (sustainable), (v) Mampu membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (economic linkages). Sumberdaya lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use. Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang se- suai dengan kapabilitasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar. Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan lahan kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan-persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air) . Persesuaian syarat agroekologis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemerosotan kualitas sumberdaya lahan. Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut bisa bersifat internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedimentasi di berbagai fasilitas perairan. Atas dasar problematik seperti di atas, maka evaluasi kesesuaian agroekologis lahan kering untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan kering. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini. Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitianpenelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak. Kondisi lahan kritis biasanya ditandai oleh infrastruktur fisik dan sosial yang rendah dan keterbatasan-keterbatasan akses lainnya. Keterisolasian penduduk dari sumber informasi mengakibatkan mereka kurang mampu mengembangkan wilayahnya secara mandiri. Kondisi seperti ini diperparah oleh keterbatasan kemampuan aparat pemerintah untuk menjangkau masyarakat di lahan kering yang sebagian besar relatif miskin. Pada kondisi seperti itu, siperlukan rancangan khusus sistem usahatani 21 konservasi di lahan kering untuk menciptakan produksi pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan disertai dengan dukungan pengembangan peranan wanita pedesaan, fasilitas perkreditan, jalan dan transportasi desa, sarana air bersih pedesaan dan sarana penunjang lainnya. Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material, teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas. Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendungan, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbulkannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sangat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kondisi seperti ini diperlukan campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien (1972) mengemukakan beberapa macam campur tangan pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu: (i) larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi, (v) pengaturan (regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat beragam. Kondisi sumberdaya lahan kritis yang sangat beragam dan kondisi iklim yang berfluktuasi tersebut pada kenyataannya sering menjadi kendala yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada. Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi. Dalam kondisi seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola tanam tradisional. Suatu peluang yang tampaknya cukup besar di lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa. Kedua jenis komoditas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan 22 limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama musiman. Selain itu, penelitian-penelitian ini masih belum menganalisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum dilakukan analisis kepekaan erosi dan limpasan permukaan terhadap variasi bentuk kegiatan konservasi tanah, serta belum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dampak jangka panjangnya. Tampaknya komponen teknologi sistem usahatani lahan kering yang cukup baik untuk menunjang program intensifikasi adalah ternak. Introduksi hijauan pakan ternak, baik yang berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu memberikan manfaat ganda, yaitu mengurangi bahaya erosi dan limpasan permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput setaria ternyata mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di lakan kering, karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminansia serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat teras yang baik. Usahatani domba ternyata mampu memberikan sumbagan pendapatan keluarga yang cukup besar (bisa mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor utama yang sangat berpengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan yang terkonsumsi ternak. Produksi pertanian yang berkelanjutan yang sekaligus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan alam ini akan dicapai melalui pendekatan usahatani yang menyeluruh denagn menerapkan paket teknologi "Asta-usaha". Penerapan paket teknologi yang terdiri atas penggunaan benih unggul, pengolahan tanah, pengairan, perlindungan tanaman, cara bercocok tanam, pengolahan hasil, pemasaran dan konservasi tanah ini diharapkan akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah. Dalam hubungan ini diperlukan berbagai petunjuk teknis yang tepatguna. Petunjuk teknis bagi pengembangan sistem pertanian lahan kering ini terdiri atas Usahatani konservasi dan produksi pertanian, Produksi Peternakan, Penyuluhan dan transfer informasi, Pembinaan wanita pedesaan, pengembangan lembaga keuangan pedesaan, Pembangunan prasarana jalan, dan Pengadaan fasilitas air bersih. Komponen-komponen teknologi ini dikemas dalam suatu program pembangunan pertanian lahan kering untuk meningkatkan ekonomi wilayah dan sekaligus kesejahteraan masyarakat setempat. 5.2. Problematik Teknologi Konservasi Tanah dan Air Permasalahan dan kendala bagi upaya konservasi tanah yang sering dijumpai di lahan kritis adalah (I) Kondisi lahan yang curam sehingga pengolahan tanah akan merangsang dan mempercepat proses erosi dan tanah longsor, (ii) Rendahnya rataan penghasilan petani lahan kering yang menyebabkan tidak mampu untuk membiayai kegiatan konservasi tanah, (iii) Masih terbatasnya keberdayaan petani untuk usaha konservasi tanah sebagai akibat dari keterbatasan income dan kebutuhan keluarga yang senantiasa terus mendesak, dan (iv) Keterbatasan sarana dan prasarana pengembangan sistem usahatani konservasi berbasis agroforestry. (I) (ii) (iii) (iv) Lokasi prioritas bagi kegiatan konservasi tanah harus memenuhi kriteria Terletak dalam Zone Erosi Kritis dengan luasan penggunaan lahan > 75% sebagai lahan kering; Sebagian besar diusahakan untuk usahatani kecil; Kemiringan lahan antara 8% hingga 45% dengan tebal solum kurang dari 50 cm, untuk daerah yang solumnya kurang 30 cm diarahkan untuk tanaman keras tahunan; dan Respon masyarakat pedesaan cukup tinggi. Metode konservasi tanah yang sering digunakan adalah metode sipil-teknis dan metode vegetatif. Bentuk-bentuk teknik konservasi tanah yang dicobakan dapat berupa teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras individu, teras kebun, saluran diversi, saluran 23 pembuangan air, dan penanaman tanaman penguat teras pada bibir/tampingan, tanaman penutup tampingan teras dan penanaman berjalur (strip cropping). 5.3. Resume Permasalahan dan Pemecahannya 5.3.1. Permasalahan 1. Rendahnya peran serta masyarakat disebabkan oleh kurang terpenuhinya kebutuhan jangka pendek dari hasil kegiatan penghijauan, terbukti bangunan konservasi (SPA, drop structure) dan tanaman tahunan kurang begitu mendapat perhatian dalam pemeliharaannya. 2. UP-UPSA sebagai wahana dan sarana penyuluhan usahatani konservasi dan teknologi konservasi lainnya belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam kegiatan transfer informasi kepada masyarakat sasaran . 3. Peran serta Penyuluh Lapangan kurang efektif dalam membangkitkan motivasi dan mengubah perilaku masyarakaf, karena para Penyuluh lebih banyak berperan dalam meningkatkan ketrampilan teknis dan pendekatan yang digunakan masih bertumpu pada “broadcasting systems”. 4. Keterbatasan pengetahuan kelompok tani dalam menuangkan kegiatan administrasi proyek yang agak rumit, sehingga menimbulkan berbagai kendala administrasi pelaporan kegiatan. 5. Keterbatasan kemampuan masyarakat untuk meme lihara / mengamankan hasil-hasil kegiatan penghijauan kerena keterbetasan modal dan ketersediaan tenaga kerja. 6. Sistem pendanaan kegiatan penghijauan merupakan bansus Pusat ke Tingkat II sehingga pelaksanaan di lapangan sering terlambat sebagai akibat dari persyaratan birokrasi yang beraneka ragam 5.3.2. Upaya pemecahan masalah 1. Meningkatkan peranan UP-UPSA sebagai “Kebun Teknologi dan Sekolah Lapangan Penghijauan” serta diikuti dengan peningkatan kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat, sehingga UP-UPSA betul-betul menjadi sarana yang dibutuhkan masyarakat untuk memberdayakan dirinya. 2. Materi penyuluhan harus bergam sesuai dengan kebutuhan kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, baik aspek ketrampilan maupun afektif dan dilaksanakan dengna mengadopsi pendekatan “receiving system groups”. 3. Pemilihan jenis tanaman dan teknologi pengusahaannya hendaknya mengacu pada kesesuaian agroklimat, bernilai ekonomis tinggi, cepat menghasilkan, disukai oleh masyarakat, serta mempunyai keterkaitan yang luas dengan aktivitas produktif lainnya di masyarakat. 4. Khusus dalam kaitannya dengan komoditi ekonomis berjangka panjang (seperti pohon buah-buahan dan kayu-kayuan, ternak sapi kereman) harus diadopsi pendekatan Kawasan Agribisnis Penghijauan Milik Masyarakat (KAGIMAS), yang berdasar kepada kaidah-kaidah ecological-economic. 5.4. Permasalahan pada Tingkat Lahan Pekarangan “Pekarangan” di daerah lahan kritis DAS Brantas Hulu dapat didefinisikan sebagai "sebidang lahan dengan batas-batas tertentu, yang ada bangunan tempat tinggal dan mempunyai hubungan fungsional secara ekonomi, biofisik dan sosial-budaya dengan pemiliknya". Pengertian ini mengisyaratkan betapa penting fungsi dan peranan “lahan pekarangan” bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. 24 Luas lahan pekarangan di daerah kritis ini diperkirakan mencapai sekitar 20-30% dari luas lahan pertanian yang ada, dan merupakan sumber pendapatan rumahtangga yang sangat penting Ciri-ciri pekarangan di daerah lahan kritis ini sama halnya dengan ciri lahan kering kritis di daerah lainnya, yaitu keadaan fisiografis lahan yang beragam mulai dari kelerengannya, struktur tanah, kedalaman solum, kesuburan tanah, neraca lengas tanah, serta cara-cara pengelolaan petani yang seadanya, sedikit penggunaan input produksi komersial dan dicirikan oleh adanya tatanan “multistrata systems”, strata pertama pohon kayu-kayuan/buah-buahan, strata ke dua tanaman pangan semusim, dan strata ke tiga biasanya berupa cover-crops/rumput pakan ternak. Dalam sistem campuran seperti ini biasanya produktivitas tanaman pangan (ubi kayu, jagung, kacang- kacangan dan sayuran) dan tanaman tahunan (kelapa, pete, melinjo, buah-buahan) yang dihasilkan dikategorikan rendah. Namun demikian, hal yang diutamakan adalah kesinambungan hasil produksi sepanjang tahun. Gambaran kondisi “Pekarangan” di wilayah lahan kritis DAS Brantas Hulu, Jawa Timur, mempunyai ciri-ciri ekologis sebagai berikut : Tinggi tempat antara 800 - 1200 m di atas permukaan laut, fisiografi bergelombang 0 hingga berbukit dengan kerelengan 20-35%. Suhu udara rata-rata adalah antara 21 C, dan 0 0 suhu maksimum antara 24 C serta suhu minimum sekitar 18 C. Lama penyinaran matahari diperkirakan antara 40-60% di musim penghujan sampai 70-85% di musim kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim penghujan intensitas cahaya bisa berkurang dibanding musim kemarau karena matahari sering tertutup awan. Rata-rata hujan tahunan menunjukkan kisaran antara 1.400 mm sampai 2.100 mm dengan rata-rata bulan basah (lebih 100 mm/bulan) selama 5-6 bulan/tahun. Musim penghujan umumnya terjadi antara bulan Nopember sampai dengan April. Pada periode ini jumlah hujan mencapai 80% dari total hujan tahunan yang jatuh di daerah ini sehingga limpasan hujan yang cukup deras merupakan masalah serius yang dihadapi masyarakat di daerah ini. Tata ruang pekarangan umumnya bernuansa tradisional, ditandai rumah yang menjadi satu dengan kandang ternak (kalau punya ternak), tempat pembuangan limbah ternak berdekatan dengan sumur atau rumah, tidak terdapatnya parit atau saluran pembuang air, sampah-sampah yang tidak terkumpul, sistem tanam yang rapat & seolah-olah tidak teratur, menganut pola agroforestry. Lebih lanjut ditemukan bahwa jenis tanaman yang dibudidayakan petani di lahan pekarangan sangat beragam dengan hasil yang relatif rendah namun berkesinambungan hampir sepanjang tahun. Tanaman tahunan ekonomis seperti pete, kelapa, mangga, rambutan, pisang, nangka, alpokad, pepaya, melinjo. Jenis lain berupa pohon kayu-kayuan seperti Sengon, Akasia, Kaliandra, Gliricidae, Turi (Sesbania), Kasuarina, mahoni, lamtoro gung, dan lainnya. Sedangkan tanaman pangan dan sayuran yang diusahakan adalah sayuran, jagung, kacang merah, koro-koroan, kacang-kacangan dan rerumputan pakan ternak seperti rumput gajah, rumput setaria, kolomento dan lainnya. Berbagai jenis ternak juga diupayakan seperti sapi, kambing dan ayam buras, dalam jumlah yang relatif kecil. Sebagian penduduk memelihara sapi kereman bukan milik sendiri tetapi memeliharakan ternaknya orang lain dengan sistem "gaduhan" yaitu pembagian keuntungan yang antara pemilik dan pemelihara ternak. Dari segi pendidikan dan ketrampilan maupun pengetahuan masih bersifat tradisional, hal ini ditandai bahwa kebanyakan petani-petani tersebut berpendidikan SD atau bahkan hanya sampai kelas III saja. Begitu juga halnya dengan pengetahuan tentang budidaya tanaman maupun pengolahan tanah masih tradisional, mengingat tanaman yang dibudidayakan tidak menunjukkan pertumbuhan maupun hasil yang baik. Dalam hal pengolahan lahannya petani sudah tampak mulai berupaya menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah untuk mengen dalikan proses erosi dan limpasan permukaan. Kursus- kursus ketrampilan usahatani konservasi pernah diikuti (penyuluhan dari PPL/PLP), namun untuk 25 menerapkannya secara penuh masih terkendala oleh “terbatasnya” insentif ekonomi yang dapat diperolehnya. Sistem pengelolaan lahan pekarangan sudah mulai memperhatikan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air terutama untuk tanh-tanah miring (sistem gulud, teras, rorak-rorak, saluran pembuangan air maupun saluran diversi). Namun praktek-praktek ini masih perlu penanganan lebih intensif, terarah dan berkesinambungan. Di satu sisi pada musim kemarau air kurang tersedia, pada musim penghujan air berlebihan dan membawa akibat negatif seperti runoff, erosi maupun tanah longsor. Pada lahan pekarangan yang mempunyai kelerengan 30% dengan kedalaman solum lebih 50 cm dapat digunakan untuk kombinasi tanaman tahunan dan semusim yang ditanam secara kontur dan menggunakan teras gulud atau teras bangku. Jenis-jenis tanaman yang mampu bertahan dan dapat berproduksi dengan kondisi agroklimat yang ada adalah tanaman kelapa, mangga, nangka, alpokad, mlinjo, mente, petai, pisang dan tanaman hutan seperti jati, mahoni, albizia, gliricidae, flemingia dan akasia; dan tanaman lain yang tahan adalah ubikayu, kacang tunggak, jagung, dan aneka sayuran. Sehingga pemilihan jenis tanaman yang tepat sesuai dengan kondisi lahan petani diharapkan dapat membantu penyediaan pangan, gizi dan peningkatan pendapatan walaupun di wilayah tersebut sedang dalam keadaan kemarau. Ciri-ciri pekarangan di daerah yang lebih datar, adalah keadaan fisiografis lahan yang berupa dataran berombak hingga bergelombang dengan meiringan lahan 8-15%. Cara pemanfaatan lahan adalah dengan sistem campuran (mixed cropping), ciri yang menonjol adalah campuran antara tanaman hortikutura sayuran (sebagai tanaman pokok), jagung sebagai tanaman sela, dan tanaman pagar pembatas pemilikan lahan. Dengan keadaan tersebut perlu diupayakan cara-cara pemanfaatan yang lebih intensif dengan pengembangan sistem surjan maupun penganekaragaman budidaya di wilayah tersebut seperti penggunaan berbagai jenis kultivar secara tumpangsari / tumpang sisip di bagian surjan (bidang olah di atas) dan mina padi di tabukan (bidang olah di bawah) dan dikombinasikan dengan pola tanam yang tepat. Ciri-ciri yang mempunyai kesamaan antara pemilik lahan adalah kebanyakan penempatan rumah induk yang menjadi satu kandang ternak (sapi/kambing), kamar mandi, cuci dan kakus yang kurang baik (biasanya menggunakan sungai sebagai MCK) dan kalau malam sering membakar jerami/campuran kotoran ternak untuk mengusir nyamuk. Dengan kondisi tersebut jelas kurang baik bagi kesehatan keluarga mereka, sehingga tidak sedikit yang menderita sakit sesak nafas. Melihat perkembangan wilayah maupun penduduk yang relatif lambat serta rendahnya kemampuan penduduk dalam memanfaatkan pekarangan maupun lahan mereka, dapat ditandai bahwa rendahnya modal yang ada di wilayah tersebut juga menyebabkan lambatnya pembangunan di desa tersebut. Berdasarkan uraian-uraian di atas permasalahan crucial dalam pemanfaatan lahan pekarangan yang kurang menunjang kehidupan petani pemiliknya adalah : (1). Masalah defisit lengas tanah pada musim kemarau sehingga kegiatan budidaya di lahan mereka terhenti dan tenaga kerja produktif (laki-laki/perempuan) menganggur atau mencari pekerjaan ke luar sistem. (2). Masalah kelebihan air selama musim penghujan, sehingga limpasan air menyebabkan erosi terutama untuk lahan-lahan pekarangan yang miring dan tanahnya sangat erodible. (3). Masalah cara pemanfaatan lahan pekarangan pada saat tersedia air (air hujan) kurang efisien, efektif dan bermanfaat untuk menunjang pangan, gizi dan peningkatan pendapatan pemiliknya. Hal ini terpaksa terjadi karena keterbatasan modal dan sumberdaya untuk menerapkan pengelolaan usaha yang lebih intensif. (4). Masalah sanitasi lingkungan kurang sehat yang berkaitan dengan tata ruang bangunan induk dan bangunan penunjang lainnya untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan di lahan pekarangan. 26 (5). (6). (7). Masalah sosial (persepsi, sikap dan perilaku) terutama yang menyangkut kualitas sumberdaya manusia seperti pendidikan, kesehatan, pengetahuan & ketrampilan, budaya dan tradisi yang masih dapat dioptimalkan. Keterbatasan modal, dan lemahnya posisi tawar dalam mekanisme pemasaran produk, sehingga potensi pekarangan belum dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Masalah kelembagaan dan peranannya dalam peningkatan pendapatan penduduk, peningkatan modal investasi eksternal di lahan kritis, produktivitas lahan dan keberlanjutan usaha produksi berbasis sumberdaya lahan. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan maka arah pemberdayaan /pemanfaatan ditekankan pada penyajian informasi dasar tentang kondisi agroekologis, tata ruang pekarangan, proses produksi pertanian dan pertanian di pekarangan, perilaku sosial ekonomi petani, status pangan dan gizi keluarga, pekarangan dan kemampuan daya serapnya terhadap tenaga kerja serta perilaku petani dalam melestarikan sumberdaya alam dan lingkungannya. Ini semua dapat tercakup dalam SISTEM INFORMASI PEKARANGAN . Berdasarkan sajian informasi tersebut diharapkan dapat disusun rancanganrancangan tata ruang, jasa produksi, teknologi pascapanen serta alternatif penanganannya di bidang permodalan, pengelolaan dan kelembagaan yang menunjang proses pemberdayaan ekonomi masyarakat lahan kritis. …………… bersambung ………….