MODUL PERKULIAHAN PRODUKSI NON-BERITA TELEVISI Media Televisi Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Broadcasting Tatap Muka 01 Kode MK Disusun Oleh Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Abstrak Kompetensi Media televisi merupakan bagian dari Ilmu Komunikasi. Persisnya sebagai dasar saluran komunikasi massa dengan keluarbiasan teknologi dan identitas industri padat modal. Mahasiswa memahami sejarah, metafora, dan realitas media televisi, khususnya di Tanah Air. Pada akhirnya, hal ini membawa seluruh uraian pada keberadaan kegiatan produksi program-program non-berita televisi. Media Televisi dalam Ilmu Komunikasi Kata komunikasi (communication) berasal dari bahasa Latin communis yang berarti ”sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti ”membuat sama” (to make common). Berbicara tentang definisi komunikasi, seperti ditulis oleh Deddy Mulyana, tidak ada definisi yang benar atau yang salah. Seperti juga model atau teori, definisi juga harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan mengevaluasinya.1 Kata kunci dari batasan-batasan itu adalah membuat sama. Pelaku komunikasi menyampaikan gagasannya berbentuk pesan dengan harapan bisa diartikan sama oleh penerima pesan. Penggambaran proses komunikasi itu terbilang masih sederhana menurut unsur-unsur yang terangkum di dalamnya. Hakikat batasan itu sebatas pada tujuan atau motif, belum menyinggung soal cara, teknik, alat perantara, dan faktor-faktor penunjang lain. Pada 1976, Frank Dance dan Carl Larson mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan dan menemukan tiga dimensi konseptual penting yang mendasari definisidefinisi komunikasi. Dimensi pertama adalah tingkat observasi (level of observation) atau derajat keabstrakannya, mencakup proses yang menghubungkan satu sama lain bagian terpisah dunia kehidupan (umum) dan alat mengirimkan pesan melalui medium tertentu (khusus). Dimensi kedua adalah kesengajaan (intentionality), mencakup pengiriman dan penerimaan pesan yang disengaja atau tidak disengaja. Dimensi ketiga adalah penilaian normatif, mencakup penyertaan keberhasilan atau kecermatan dan sebagian lain tidak mengikutkan masalah itu.2 Dimensi-dimensi yang dipaparkan Dance dan Larson menjelaskan secara akurat keberadaan ilmu komunikasi masa kini. Tiga dimensi yang dikemukakannya itu sudah cukup menjelaskan adanya hubungan dan proses di antara pelaku komunikasi (dimensi pertama), unsur-unsur pesan dan medium (dimensi pertama), bentuk dan proses komunikasi (dimensi kedua), serta unsur efek dan penunjang keberhasilan hubungan komunikasi (dimensi ketiga). Hubungan dan proses di antara para pelaku, oleh John R. Wenburg dan William W. Wilmot, juga Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken, dipertegas melalui tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi 1 2 Mulyana, Deddy. 2009. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, Hlm 46. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ibid, Hlm. 60. 13 2 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sebagai tindakan satu-arah, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai transaksi.3 Komunikasi sebagai tindakan satu arah diperlihatkan dalam pidato atau seseorang yang berbicara secara dominan kepada lawan bicaranya. Komunikator menjejalkan pesan kepada komunikan, tanpa memberikan kesempatan kepada komunikan untuk menyampaikan umpan balik sebagai efek nyata dalam proses komunikasi. Komunikasi sebagai interaksi dan transaksi ditunjukkan dengan pertukaran pesan secara langsung, berkesinambungan, dan tanpa ada penundaan dalam penyampaian umpan balik. Diskusi dua orang atau lebih di sebuah ruangan untuk membahas sebuah gagasan menunjukkan proses komunikasi secara interaksi dan transaksi itu. Situasi ini, oleh Karl Erik Rosengen, dalam arti sempit diartikan sebagai upaya saling memengaruhi (mutual influence).4 Sedangkan dalam komunikasi transaksional, komunikasi diangap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal ataupun nonverbalnya. Pemahaman ini mirip dengan ”definisi berorientasi-penerima” (receiver-oriented definition) yang dikemukakan oleh Burgoon,5 yang menekankan variabel-variabel berbeda, yakni penerima dan makna pesan bagi penerima. Unsur pesan seperti dipaparkan di atas dipertajam dengan batasan yang disampaikan oleh Bernard Berelson dan Gary A. Steiner, ”Komunikasi: transmisi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol—kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.”6 Batasan tersebut mengungkap ragam gagasan dan bentuk-bentuk pengungkapannya yang berupa simbol-simbol. Batasan ini makin memperjelas bentuk pesan yang bukan sekadar kata-kata yang diucapkan secara lisan atau tulisan, tapi juga ekspresi wajah dan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal yang bisa dimaknai oleh penerima pesan. Ketika pesan itu digagas, komunikator tidak sekadar berucap, berperilaku, dan bersikap tapi didahulu proses alih sandi seperti disinggung Raymond S. Ross, ”Komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dan pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator.”7 3 Ibid, Hlm. 67. Ibid, Hlm. 72. 5 Ibid, Hlm. 75. 6 Ibid, Hlm. 68. 7 Ibid, Hlm. 69. 4 13 3 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Untuk memahami hakikat proses komunikasi dengan lebih jelas, saya lebih memilih model komunikasi yang diperlihatkan Joseph R. Dominic, yang memperlihatkan proses komunikasi dengan unsur-unsur yang lebih lengkap dibandingkan Formula Lasswell. Model tersebut menggambarkan proses komunikasi dengan delapan unsur, yakni source (komunikator), encoding (alih sandi), message (pesan), channel (saluran), receiver (komunikan), decoding (alih sandi ulang), effect (umpan balik atau dampak), dan noise (hambatan).8 Saya juga merasa perlu mengungkapkan batasan komunikasi terkait televisi seperti dikemukakan oleh John Fiske. Komunikasi adalah berbicara satu sama lain: ia bisa televisi; ia bisa juga penyebaran informasi ia bisa gaya rambut kita; atau pun kritik sastra; daftar ini tak ada habis-habisnya.9 Batasan yang dikemukakan oleh John Fiske ini memperlihatkan ruang luas bernama ilmu komunikasi yang tidak lagi terkurung dalam batasan sempit: sekadar manusia menyampaikan pesan kepada manusia lain, dengan pesan berupa verbal atau nonverbal. Namun, bentuk pesan itu telah bermetamorfosis dalam berbagai rupa dan dalam berbagai bungkus dan di dalamnya juga termasuk pesan berupa televisi, serta pesanpesan yang dihidangkannya setiap detik ke hadapan pemirsa. John Fiske merinci asumsi-asumsi tentang ilmu komunikasi: Saya berasumsi bahwa semua komunikasi melibatkan tanda (signs) dan kode (codes). Tanda adalah artefak atau tindakan yang merujuk pada sesuatu yang lain di luar tanda itu sendiri, yakni tanda, menandakan konstruk. Kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan yang menentukan bagaimana tanda-tanda itu mungkin berhubungan satu sama lain. Saya juga berasumsi bahwa tanda-tanda dan kode-kode itu ditransmisikan atau dibuat tersedia pada yang lain: dan bahwa pentransmisian atau penerimaan tanda/kode/komunikasi adalah praktik hubungan sosial. Saya berasumsi bahwa komunikasi adalah sentral bagi kehidupan budaya kita: tanpa komunikasi kebudayaan dari jenis apa pun akan mati. Konsekuensinya, studi komunikasi melibatkan studi kebudayaan yang dengannya ia terintegrasi. 8 9 Morissan dan Wardhany, Andy Cory. 2009. Teori Komunikasi, Hlm. 17. Jakarta: Ghalia Indonesia. Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Hlm. 7. Yogyakarta: Jalasutra. 13 4 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Adapun yang mendasari asumsi-asumsi tersebut adalah definisi umum tentang komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan”.10 Interaksi sosial melalui pesan sebagai definisi atas seluruh paparan John Fiske itu menjadi konsep kunci tentang studi yang dapat dipertanggungjawabkan, tanda dan kode, transmisi tanda dan kode, dan komunikasi sebagai sentral bagi kehidupan budaya manusia. Asumsi-asumsi di atas makin mempertegas perluasan batasan ilmu komunikasi yang tak sebatas pesan verbal dan nonverbal, namun juga dilengkapi kandungan pesan dan proses pengalihannya, hingga wilayah budaya yang melingkari studi tersebut. Ibnu Hamad memilah pesan yang disebutnya sebagai wacana (discourse) dalam bentuk text (wacana berupa tulisan, gambar), talk (wacana berupa lisan, percakapan), act (wacana berupa tindakan, gerakan), dan artifact (wacana berupa bangunan, tata letak).11 Pemilahan wacana dalam keempat bentuk itu, menurut saya, merupakan bentuk jejak-jejak pesan dalam proses komunikasi yang menjadi bagian penting dalam penelitian ilmu komunikasi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, keberadaan jejak-jejak pesan itulah yang membuat sebuah penelitian berada di wilayah ilmu komunikasi—apa pun objek penelitiannya. Dalam konteks ini, tentu saja, terkait media televisi. Media Televisi di Tanah Air Cikal bakal televisi adalah piringan pemindai yang ditemukan oleh insinyur berkebangsaan Jerman bernama Paul Nipkow (1860-1940). Peralatan Nipkow itu dipakai dari 1923 sampai 1925 didalam sistem televisi percobaan. Pada 1926, ilmuwan Skotlandia bernama John Logie Baird (1888-1946) menyempurnakan metode pemindaian itu. Pada 1923, insinyur kelahiran Rusia bernama Vladimir Zworykin (1889-1982) dan warga Amerika Serikat bernama Philo T. Farnsworth (1906-1971) membangun sistem pemindai elektronik yang menjadi protipe kamera modern.12 Pesawat televisi pertama yang bisa dipakai umum kali pertama di Inggris pada 1923 dan di Amerika Serikat pada 1938. Setelah Perang Dunia II selesai, peningkatan teknologi 10 11 12 13 Ibid, Hlm. 8. Hamad, Ibnu. 2010. Komunikasi sebagai Wacana, Hlm. 44. Jakarta: La Tofi Enterprise. Ibnu Hamad juga menjelaskan perbedaan wacana (discourse dengan “d” kecil yang sekadar teks dan Discouse dengan “D” besar yang mentautkan hubungan teks dengan konteks, termasuk dominasi kekuasaan dan ideologi). Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media, Hlm. 1-10. Yogyakarta: Jalasutra. 5 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dan masyarakat yang semakin sejahtera membuat permintaan televisi meningkat. Pesawat televisi yang terjual mencapai satu juta unit. Di Amerika Serikat, pada awalnya didirikan enam stasiun televisi dan masing-masing hanya melakukan siaran beberapa jam setiap harinya. Menjelang 1948, 34 stasiun mengudara sepanjang hari di 21 kota besar. Sekitar akhir 1950-an jaringan televisi nasional didirikan di hampir setiap negara industri. Ketika abad ke-20 hampir berakhir, televisi memasuki Galaksi Digital dengan munculnya televisi digital—televisi yang dipancarkan dalam bentuk digital (berbasis komputer). Dengan semakin bertambah banyaknya televisi kabel pada 1960-an dan layanan Satelit Siaran Pancaran Langsung (DBS) pada 1990-an, semakin banyak tersedia saluran dan jenis siaran diseluruh dunia.13 “Orang cenderung menggunakan surat kabar, radio, dan televisi untuk menghubungkan diri mereka sendiri dengan masyarakat, namun menggunakan buku dan film untuk sejenak melarikan diri dari realitas (escape from reality). Orang yang berpendidikan lebih baik cenderung menggunakan media cetak; mereka yang kurang berpendidikan cenderung ke media elektronik dan visual. Buku merupakan medium yang paling banyak digunakan untuk memperbaiki pemahaman seseorang tentang dirinya,” jelas Katz, Gurevitch, dan Hass (1973) tentang model hubungan.14 Menurut saya, Model Hubungan Media ala Katz, Gurevitch, dan Hass tersebut bukan hanya memberikan gambaran keluarbiasaan masing-masing media massa tapi juga memperlihatkan “keluarbiasaan” media televisi dengan segmen khalayaknya yang dari kalangan menengah ke bawah. Persisnya, khalayak yang melepaskan diri dari kepenatan hidup dan segala keletihannya. Dalam konteks ini, maka sangat bisa dimaklumi, media televisi dalam waktu singkat bisa berkembang dengan pesat dan menjadi tumpuan masyarakat di belahan mana pun. “Sekitar 3,5 milyar jam dihabiskan warga Desa Global untuk menonton televisi; warga Inggris rata-rata menggunakan lebih dari sepertiga jam terjaganya untuk menonton televise; dan warga AS rata-rata dua kali lebih banyak dibandingkan warga Ingris untuk menonton televisi,” papar John Storey, mengutip hasil penelitian Kubey dan Csikszentmihalyi pada1990.15 13 Ibid, Hlm. 13-14. Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Hlm. 30-31. Yogyakarta: Jalasutra. 15 Storey, John. 2010. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode: Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Hlm. 11. Yogyakarta: Jalasutra. 14 13 6 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Di Indonesia, kehadiran media televisi mulai dipikirkan setelah Indonesia terpilih menjadi tuan rumah penyelenggara Asian Games IV yang dibuka pada 24 Agustus 1962. Pada 1961, Menteri Penerangan pada masa itu R. Maladi sebagai penggagas utama berharap, agar kehadiran media televisi di pesta olahraga itu dapat dipergunakan sebagai langkah awal dari pembangunan media televisi nasional. Usulan itu didukung oleh Presiden Soekarno yang memutuskan untuk memasukkannya dalam proyek pembangunan sarana Asian Games IV di bawah pimpinan Letnan Jendral TNI Suprayogi. Keputusan itu diwujudkan melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 20/SKM/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T) pada 25 Juli 1961.16 Setelah stasiun dan pemancar televisi selesai dibangun pada 22 Agustus 1962, media televisi yang disebut sebagai Televisi Republik Indonesia (TVRI) melakukan tugasnya untuk menyiarkan Asian Games IV dari 24 Agustus 1962 sampai 4 September 1962. Pada saat itu, siaran yang dilakukan terbatas hanya untuk Kota Jakarta Raya dan sekitarnya. Kepres No. 318/1962 tentang pengintegrasian TVRI ke dalam Yayasan Gelora Bung Karno menjadi langkah awal TVRI sebagai media televisi nasional. Studio-1 TVRI diresmikan pada 11 Oktober 1962 dengan Sus Salamun sebagai penyiar “on air” wanita pertama.17 Dari sisi khalayak, gejala ketergantungan khalayak di Tanah Air terhadap televisi bukan hanya terjadi pada masa sekarang. Ketika TVRI mengudara untuk kali pertama pada 1962 itu, masyarakat di Tanah Air sudah langsung kepincut dan jatuh cinta kepada teknologi termutakhir pada saat itu, televisi. Namun, sekadar kepincut dan jatuh cinta memang belum cukup memadai untuk memiliki kedekatan dengan “keajaiban“ televisi karena hal itu membutuhkan sedikit modal untuk merentangkan kebersamaan dengan produk teknologi tersebut. Hanya kalangan masyarakat (yang memiliki uang lebih) yang berkesempatan dekat dengan televisi. Artinya, bagi yang mampu, ya mereka sudah bisa menjadi bagian dari rutinitas yang dihidangkan media televisi. Sedangkan bagi kalangan masyarakat yang masih berjuang untuk urusan perut dan pakaian masih harus bersabar menunggu kesempatan. Yang pasti, keinginan untuk “bergantung” terhadap rutinitas televisi itu telah ada. Sampai mendekati tahun 70-an, sebagian besar masyarakat di Tanah Air belum benar-benar akrab dengan acara-acara televisi. Perlu “perjuangan khusus” bagi mereka yang sudah tergila-gila pada acara-acara TVRI, satu-satunya stasiun televisi yang mengudara pada waktu itu. Dalam artian, ia mesti rajin berkunjung ke para tetangga yang telah memiliki pesawat televisi. Namun, ketika harga pesawat televisi menjadi lebih murah, 16 Pustaka LP3ES Indonesia. 2006. Jurnalisme Liputan 6: Antara Peristiwa dan Ruang Publik, Hlm. 27. Jakarta: LP3ES. 17 Ibid, Hlm. 28. 13 7 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id masyarakat pun dengan suka cita menghadirkan produk teknologi itu dalam ruang-ruang rumahnya. Gegap-gempita kepemilikan pesawat televisi, bahkan hingga setiap rumah memiliki lebih dari satu pesawat televisi, mempercepat pula alur ikatan kuat antara khalayak di Tanah Air dan program televisi. “Pada 1970-an, siaran TVRI terutama terbatas pada Pulau Jawa, yang didiami sekitar 62% penduduk Indonesia. Pada 1974, 90,81% pesawat televisi yang terdaftar, ada di Jawa. Separuhnya terdaftar di Jakarta. Peluncuran satelit Palapa pada 1976 membawa masuk pulau-pulau lain yang diiami sekitar 38% penduduk Indonesia ke dalam jangkauan TVRI,” jelas Philip Ketley terkait pekembangan pertelevisian di Tanah Air.18 Televisi swasta pertama, Rajawali Citra Televisi (RCTI) milik Bambang Trihatmodjo, melakukan siaran secara terbatas dengan menggunakan decoder mulai 24 Agustus 1989. Setahun kemudian, Surya Citra Televisi (SCTV) milik Henry Pribadi (pengusaha yang dekat dengan Soeharto) dan Sudwikatmono (adik tiri Soeharto) bersiaran di Surabaya, Jawa Timur, mulai 24 Agustus 1990. Dalam perkembangannya, Halimah Trihatmodjo (menantu Soeharto) juga masuk dalam daftar pemegang saham SCTV. Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) milik Siti Hardiyanti Rukmana (putri Soeharto) beroperasi mulai Desember 2000 dengan fasilitas transmisi milik TVRI—sekarang TPI berganti nama menjadi Media Nusantara Citra (MNC) setelah sahamnya dikuasai MNC Group. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) milik Salim Group mulai beroperasi mulai 1995. Sedangkan Andalas Televisi (ANTV) milik keluarga Bakrie bersiaran mulai 1993 di Lampung.19 Pemunculan stasiun Indosiar beberapa waktu kemudian menjadi catatan khusus bagi saya. Tanpa terasa, stasiun itu begitu banyak menorehkan warna ke atas kanvas dunia pertelevisian di Tanah Air. Pertama, dari sisi teknologi. Kalau sebelumnya, khalayak dimanjakan oleh stasiun swasta pertama RCTI dan SCTV dengan sajian gambar yang jernih dan tata suara yang stereo, maka Indosiar langsung menggebrak dengan kualitas NICAMnya. Suatu terobosan baru dalam penyajian siaran secara teknikal, yang diwujudkan dengan kecemerlangan video dan audio. Maka yang terasa, khalayak bukan cuma disuguhi sebuah alternatif saluran, tapi sebuah bahan perbandingan. Bahwa setiap televisi memiliki kualitas siaran yang berbeda-beda, yaitu berkaitan dengan technical field strength. Gebrakan Indosiar dengan NICAM-nya, tentu saja membangkitkan kompetisi dari segi teknik. Setelah RCTI yang diikuti SCTV menggeber kehebatan tata suara stereo-nya 18 19 13 Kitley, Philip.2000. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca, Hlm. 50. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Sudibyo, Agus, 2009. Politik Media dan Pertarungan Wacana, Hlm, 15-16. Yogyakarta: LKiS. 8 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dan penayangan program secara bilingual (Indosiar juga melakukan langkah ini), maka RCTI terus membuat terobosan lain. Usai siaran tele-text (seperti juga TVRI dan juga segera hadir Indosiar-text) meramaikan khasanah udara kita, program tiga dimensi pun dipromosikan secara gencar. Meski saat ini cuma kartun animasi Remi yang menayang dengan kualitas 3-D, barangkali, program 3-D bisa disebutkan sebagai hasil klimaks persaingan antarstasiun dari sisi teknologi pada 1995. Bagaimana dengan stasiun televisi lain? Inovasi dan penambahan kekuatan daya pemancar pun menjadi fokus utama para pengelola stasiun televisi lain, seiring dengan penambahan jumlah stasiun transmisinya di seluruh pelosok Tanah Air. Hal ini suatu bukti, Indosiar sebagai stasiun terbungsu pada saat itu, biar bagaimana pun, telah membangunkan kesiagaan para pengelola stasiun televisi untuk memperbaiki kualitas teknik siarannya. Karena, pada akhirnya, pemirsa pun cendrung akan memilih stasiun dengan kualitas siaran terbaik saja. Tak jauh dari sisi hardware, penuangan warna dari sisi software pun dilakukan stasiun milik Salim Grup itu. Terjadinya demam telecinele atau program Mandarin laga, diawali sukses penayangan trilogi Chin Yung, The Return of Condor Heroes. Bukan itu saja, wabah serial silat ini pun ditandai sebuah sukses pola penayangan di prime time, yaitu stripping. Begitu pedang Yoko dan golok Thio Bu Kie sukses diudarakan secara stripping, maka televisi lain pun berlomba-lomba membeli program serial atau lepas Mandarin. Bahkan, untuk serial, ANTV dan SCTV turut menyemarakkan slot prime time-nya secara stripping pula! Pada intinya, semua ini hanyalah merupakan fenomena persaingan dalam memanjakan pemirsa kita. Para pengelola stasiun televisi saling memutar otak di balik "dapur"nya, agar pemirsa bisa mereka ikat sekuat-kuatnya. Persaingan dari sisi software ini dipekuat lagi dengan promosi besar-besaran setiap program. Dan bukan lagi ditayangkan di slot promo stasiun yang bersangkutan. Tapi, hampir setiap minggu kita menyaksikan iklan setengah halaman di media cetak digeber habis-habisan oleh para PR stasiun televisi swasta kita. Sebegitu besarkah gonjang-ganjing yang terjadi di "dapur" stasiun televisi kita pada 1995 itu? Bisa jadi begitu. Ada tiga alasan yang mendasari kegelisahan yang menimpa para pengelola stasiun televisi swasta kita. Pertama, dari sisi hardware. Investasi untuk mengelola sebuah stasiun memang membutuhkan dana yang tak kepalang, untuk penyiapan sarana hardware-nya. Hal ini didasarkan kondisi geografis Indonesia yang 13 9 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dikelilingi lautan, dijembatani gunung-gunung, plus terangkai dalam suasana kepulauan, membuat gelombang siaran dari pemancar televisi tidak gampang menyentuh para pemilik pesawat televisi. Solusinya, stasiun televisi memiliki memiliki banyak stasiun transmisi dan dengan daya pancar yang memadai. Bahkan sedapat mungkin, pengambilan gelombang bisa dilakukan melalui transponder satelit. Sehingga, kualitas siaran bisa lebih terjamin dan bisa menjangkau lebih banyak pelosok. Kesenjangan penyiapan sarana hardware pada pengelola stasiun televisi kita, biar bagaimana pun, merupakan pekerjaan rumah yang selalu menggantung. Dan, hal ini menjadi awal kegelisahan itu. Persaingan di udara membuat para peramu acara menjadi kalah sebelum bertanding. Karena, diyakini, para media planner agensi pun telah menghitung perolehan pemirsa potensial dari stasiun yang bersangkutan. Kedua, dari sisi software. Menu siaran televisi yang menelan banyak slot tayang memang membutuhkan banyak ragam acara yang berkualitas, secara teknis atau isi. Untuk memproduksi sendiri program yang dihidangkan, tentu saja tersangkut ketidaksiapan sumber daya manusia dan segala prasarana atau sarananya. Pada akhirnya, para programmer di stasiun televisi menggantungkan masalah itu pada para distributor dan pengelola rumah produksi (production house). Masalah pun timbul, sampai kapan para pengelola televisi bergantung pada kedua sumber tersebut? Dengan lima stasiun swasta dan TVRI, upaya pencarian program berkualitas dan terpopuler menjadi bentuk persaingan yang tak seimbang. Karena berkait juga dengan sisi dana hanya beberapa stasiun saja yang bisa berakusisi dengan distributor terkemuka, sehingga mereka bisa mendapatkan film-film sekelas Mad Max, Crocodile Dundee, Robocop, House of Spirit atau film-film mandarin terbaru seperti Master Wong in Drunken Fist (The Last Hero in China). Hal ini sangat nyata terlihat, bagaimana dari lima televisi swasta, terjadi ketidakmerataan perolehan program-program yang populer di masyarakat dan diminati. Sayangnya, kelima stasiun itu sendiri justru memaksakan diri untuk memperebutkan segmen yang sama. Maka, apa lagi yang terjadi, selain ketimpangan. Untuk bergantung pada pengelola rumah produksi pun, kita telah sama-sama tahu kualitas dan kuantitas yang bisa dihidangkan. Sangat sedikit para pengelola production house yang bisa menyajikan program sesuai dengan standar broadcasting, secara teknik atau isi. Maka yang terjadi, produk-produk seperti telenovela atau serial silat Mandarin pun ramai dipancarkan, dengan "kelebihan" telah didubbing dalam bahasa Indonesia! Ketiga, dari sisi penikmat atau pemirsa. Kegelisahan berikutnya, tentu tak lepas dari 13 10 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sisi penikmat program itu sendiri alias para pemirsa. Tingkat kemanjaan pemirsa kita memang makin menjadi-jadi. Setelah RCTI melepas decoder-nya, kesempatan untuk "berkuasa" memang terbuka sekali. Mereka telah dihadapkan banyak pilihan program, dengan hanya imbalan, menikmati juga slot komersial televisi yang bersangkutan. Itu pun belum tentu dilakukan. Karena, saat commercial break berlangsung, mereka pun bisa leluasa menekan remote control-nya untuk memantau acara di stasiun lain. Akibatnya, perhitungan soal jumlah pemirsa potensial suatu program pun senantiasa berubah-ubah. Akibatnya, hampir setiap waktu lahirlah trend. Sayangnya, para pengelola televisi pun mesti dihanyutkan kecenderungan itu. Ketika serial silat diminati, ramai-ramai para broadcaster memborong dan menayangkan serial silat. Saat telenovela jadi primadona, maka berbondong-bondong semua stasiun menayangkan telenovela. Bakan, ketika movie India memiliki rating tinggi, nyaris seluruh stasiun, termasuk RCTI dan SCTV yang mengharamkan irama dangdut, menggeber program Sungai Gangga itu. Harapannya, pemirsa dari berbagai segmen bisa diraih. Sepanjang 2000-2001 lahir dan beroperasi lima TV swasta nasional, Metro TV, TV7, Trans TV, Lativi (sekarang menjadi TVone), dan Global TV. Mereka mencoba bersaing dengan lima TV swasta yang sudah eksis terlebih dahulu. Seiring dengan terbuka gerbang reformasi, televisi swasta lokal juga bermunculan di berbagai daerah. TVRI pada perkembangannya, setelah beralih status menjadi perseroan terbatas, juga mulai menerima iklan komersial.20 Sejak awal pemunculannya, pendirian stasiun televisi merupakan keluarbiasaan teknologi, usaha dengan modal besar, dan pelibatan sumber daya manusia dalam jumlah besar. Pada masa itu, kekuatan politik belum menjadi aspek yang diperhitungkan—karena pemunculanya di alam liberal. Karena itu, ”ideologi” ekonomi politik yang menjadi pilar utama menjadi hal yang tak terbantahkan dan akan terus bermetamorfosis (dari segi bentuk dan ambisi-ambisi), tapi tidak akan pernah bergeser dengan motivasi dasar sebagai upaya meraih keuntungan. Kasus agak berbeda terjadi di Indonesia—seperti juga negara berkembang lain, yang melibatkan pemerintah dalam pendirian stasiun televisi. ”Ideologi” politik sebagai kekuatan utama di belakang media memang tak bisa dipungkiri, hingga stasiun televisi menjadi alat propaganda pemerintah. Di sisi lain, pemikiran tentang peraihan sumbersumber pendanaan baru pun harus dilakukan untuk menunjang kuantitas dan kualitas 20 13 Ibid, Hlm. 33-34. 11 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id program. Sikap ”malu-malu kucing” ini terjadi dalam sejarah perjalanan TVRI yang pernah memiliki slot khusus untuk menayangkan iklan. Dan ”regulasi” yang berhubungan dengan ”ideologi” ekonomi di balik media makin terbuka lebar setelah stasiun televisi swasta muncul. Penjelasan ini mempertegas benang merah ”ideologi” ekonomi politik media tempo doeloe dan sekarang, bahkan negara maju dan negara berkembang. Khususnya, dengan Indonesia. Tingkat sejarah menjadi bukti pemancangan ”ideologi” ekonomi politik media sudah terbuka lebar—setidaknya sejak RCTI bersiaran secara terbatas dan makin menjadijadi ketika diizinkan bersiaran secara nasional—hingga era reformasi bergulir dan ”mengawal” reformasi dalam dunia penyiaran. Ikhtisar “Komunikasi adalah berbicara satu sama lain: ia bisa televisi; ia bisa juga penyebaran informasi ia bisa gaya rambut kita; atau pun kritik sastra; daftar ini tak ada habis-habisnya,” jelas John Fiske. Batasan ini memperlihatkan ruang luas bernama ilmu komunikasi yang tidak lagi terkurung dalam batasan sempit: sekadar manusia menyampaikan pesan kepada manusia lain, dengan pesan berupa verbal atau nonverbal. Namun, bentuk pesan itu telah bermetamorfosis dalam berbagai rupa dan dalam berbagai bungkus dan di dalamnya juga termasuk pesan berupa televisi, serta pesan-pesan yang dihidangkannya setiap detik ke hadapan pemirsa. Aspek sejarah membuktikan bahwa pendirian media televisi sangat berkaitan dengan teknologi dan padat modal (demi pemenuhan kebutuhan hardware, software, dan brainware). Kondisi itu membuat media televisi senantiasa berdekatan dengan kekuatan modal besar, determinisme ekonomi, dan kapitalisme. Pada bagian ini, saya juga harus mengingatkan keberadaan kegiatan produksi non-berita televisi yang meliputi program talk show, variety show, musik, hingga drama. Melalui program-program itulah, khalayak di rumah bisa mendapati “keluarbiasaan” pesan-pesan media televisi. Dan, keberadaan software dan brainware dalam penjabaran di atas juga menunjukkan wilayah kerja produksi non-berita televisi, yakni kegiatan para brainware-nya dalam memproduksi software televisi.[] 13 12 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra. Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Halim, Syaiful. 2012. Reportase & Produksi Berita TV. Tangerang: Matahati Production. __________. 2012. Postkomodifikasi Media & Cultural Studies. Tangerang: Matahati Production. Hamad, Ibnu. 2010. Komunikasi sebagai Wacana. Jakarta: La Tofi Enterprise. Kitley, Philip.2000. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Morissan dan Wardhany, Andy Cory. 2009. Teori Komunikasi, Hlm. 17. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mulyana, Deddy. 2009. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, Hlm 46. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pustaka LP3ES Indonesia. 2006. Jurnalisme Liputan 6: Antara Peristiwa dan Ruang Publik. Jakarta: LP3ES. Storey, John. 2010. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode: Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. 11. Yogyakarta: Jalasutra. Sudibyo, Agus, 2009. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS. 13 13 Produksi Non-Berita Televisi Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id