revitalisasi tradisi mendongeng dalam rangka mewujudkan manusia

advertisement
ISSN 0215 - 8250
639
REVITALISASI TRADISI MENDONGENG DI KELUARGA
DALAM RANGKA MEWUJUDKAN MANUSIA YANG
BER-KASUSILANING BUDI
oleh
I Wayan Suyasa
Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Pendidikan IPS, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Modernisasi bidang pendidikan dengan cara menerapkan ilmu dan
teknologi Barat beserta gagasan yang ada di belakangnya, sasarannya
adalah terwujudnya masyarakat modern disertai pula masuknya pengaruh
globalisasi ditandai dengan masuknya aliran manusia, gagasan, dan
pencitraan telah menimbulkan dampak yang bersifat antagonis. Di satu sisi,
terjadi peningkatan warga negara yang dapat dan mampu menikmati
pendidikan, di sisi lain, semakin meningkatnya kemerosotan moralitas,
krisis moral generasi muda penerus bangsa berupa tawuran antara pelajar
bahkan merambat sampai ke perguruan tinggi yang dikenal sebagai
lembaga yang menekankan rasionalitas dan
objektifitas, tindakan
kekerasan lainnya, dan merebaknya penggunaan narkoba. Ini memerlukan
resep untuk menanggulanginya. Salah satu model resepnya adalah dengan
merevitalisasi tradisi mendongeng di keluarga. Karena disadari peran
keluarga sebagai lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai moral
secara dini sangat besar untuk melahirkan suputra lewat tradisi
mendongeng. Sasarannya adalah mewujudkan manusia yang berkasusilaning budi, dengan ciri mereka selalu berusaha menggunakan rasio,
dan rasa secara kreatif yang bertanggung jawab dalam membatinkan dan
mengaktualisasikan etika sosial, etika agama, etika lingkungan dalam
kehidupan berbangsa dan benegara.
Kata kunci: revitalisasi dongeng, manusia ber-kasusilaning budi.
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
640
ABSTRACT
Modernization in education through the aplication of Western
science and tecnology with all ideas accompaying it has the goal of
realization of modern society, it is also followed up with the introduction of
global impact tha is characterized by the flux oh humans, ideas, and image
that have brought about antagonistic effects. On the one hand, there is an
increase in number of citizens with the ability and capacity to get
education, on the other hand, the degradation of morality, moral crisis
affecting young people in the from of figthing other forms of violence and
drug abuse commited by student that have swept across universities,
which are known to be institutions that put a strong emphasis on
rationality and obyectivity. This calls for a strategy to solve the problems.
One, model is through revitalizing the story telling tradition in the family.
This is based on the reason that family is a please where moral values are
educated early to bring up good children (suputra). Its goal is to bring
about good persons (manusia yang ber-kasusilaning budi), characterized by
the effort to always use reason and feeling creatively, both of which play an
imporant role in perceiving and actualizing social, religious and
environmental ethics in living as good citizens.
Key words : revitalizing story - telling, good persons
1. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk menjadi. Sebagai
makhluk sosial manusia sangat tergantung kepada orang lain. Keberadaan
orang lain di sisinya bukan sebagai saingan, tetapi membantu ia dalam
proses menjadi manusia yang utuh (Depdikbud, 1985) atau berkasusilaning budi (Atmadja, 200). Karena itu, perlu pemahaman terhadap
makna pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (Dyarkara, 1986),
dalam konteks kultural (Syam, 1980), dan melalui pendidikan, manusia
diajari kebudayaan yang berlaku sehingga ia
bisa berpartisipasi penuh
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
641
dalam masyarakatnya atau bukan menjadi manusia yang menyimpang,
melainkan menjadi manusia yang ber-kasusilaning budi.
Berkenaan dengan masalah di atas, sebagaimana diajarkan dalam
ajaran kejawen (Mulder, 1983; Magnis Suseno, 1984), menusia memiliki
empat kewajiban, yakni (1) mayu-hayu salira (berbuat baik bagi diri
pribadi maupun keluarga); (2) mamayu-hayu bangsa (bangsa dan megara);
(3) mamayu-hayu mamangsa (umat manusia), dan (4) mamayu-hayu
bawana (alam semesta). Demikian juga dalam pandangan orang Bali, tugas
(dharma) utama orang Bali adalah mewujudkan kerahayuan yang
pencapaiannya ditentukan sejauh mana manusia mampu berbuat baik dalam
hubungan dengan alam niskala (makhluk supernatural dan lingkungan alam
dengan segala isinya, yakni binatang dan tumbuh-tumbuhan (Atmadja,
2000).
Patokan apa yang baik dilakukan dalam mewujudkan kerahayuan
atau dalam mamayu-hayu salira, bangsa, mamangsa, dan bawana, adalah
sistem nilai budaya yang berlaku dalam masyarakatnya, sehingga
kekonformitasan perilaku manusia terhadap kebaikan tidak tergoyahkan.
Kekonformitasan tidak berlaku
secara langsung melainkan
lewat
perekayasaan sosial, yakni lewat pendidikan dan sosialisasi (Atmadja, 200,
Horton, 2000). Melalui pendidikan atau sosialisasi atau rekayasa sosial
generasi muda memperoleh informasi, ketrampilan, pengetahuan dan nilainilai agar mereka bisa hidup secara baik di masyarakat (Harris Moran
1990). Bahkan, tidak kalah pentingnya bahwa pendidikan amat diperlukan,
tidak saja sebagai pewarisan kebudayaan (Syam, 1980), tetapi juga sebagai
media pembentukan atau perefleksian atas kebudayaan yang mereka
miliki, secara kritis dan kreatif. Berdasarkan aneka fungsi ini, tidak
mengherankan jika para penganut fungsionalis struktural menunjukkan
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
642
bahwa pendidikan merupakan persyaratan fungsional bagi kelangsungan
hidup setiap sistem sosial (Kaplan dan Maners, 1999).
Aneka fungsi yang dimiliki oleh pendidikan
sebagai salah satu
sistem perekareyasaan sosial atau sistem pengendalian sosial bagi
kelangsungan hidup sistem sosial sangat disadari oleh pemerintah Orde
Baru, karena itu pembangunan dalam bidang pendidikan mendapat
perhatian penting dalam pembangunan bangsa dan negara, yakni dengan
membangun sarana dan prasarana pendidikan sampai ke tingkat pedesaan.
Namun, karena paradigma pembangunan dimaknai mengejar pertumbuhan,
maka pendidikan direduksi dan dianggap identik dengan perkembangan
ekonomi atau pendidikan menjadi bersifat hegemonik yang menempatkan
manusia sebagai robot pembangunan, bukan sebagai jiwa yang memiliki
kompleksitas persoalan (Kartono, 1998), pendidikan hanya sekadar
membentuk manusia yang bermental dan berorientasi pada pembangunan,
dengan jargon profesionalitas, dan kapabilitas, sehingga pendidikan bukan
pendewasaan mental dan pembekalan moralitas serta meletakkan manusia
sebagai bagian penting dari produksi, namun mereduksi manusia sebagai
objek pembangunan, yakni subjeknya adalah kapitalis (Arief, 2000).
Selain itu, karena paradigma pembangunan mengacu pada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi lewat industrialisasi kapitalistik dengan
cara menerapkan ilmu dan teknologi Barat (Fakih, 2000) dengan sasaran
terwujudnya masyarakat modern, seperti yang berlaku pada negara-negara
Barat dan disertai pula dengan masuknya pengaruh globalisasi, ditandai
dengan adanya aliran manusia, mesin, uang, citra, dan ide (Widja, 1999;
Arief, 2000; Budiman; 1987; Ohmae, 2000) dari manca negara tidak saja
memasuki daerah perkotaan juga menembus sampai ke pedesaan, akibatnya
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
643
perubahan sosial menjadi lebih cepat dalam berbagai bidang kehidupan dan
sangat kompleks serta bersifat pluralistik.
Penerapan ilmu dan teknologi Barat, baik lewat pembangunan
maupun globalisasi, mengakibatkan kemajuan luar biasa. Hal ini terlihat
dengan semakin mudahnya manusia memenuhi kebutuhan dasarnya akan
barang dan jasa. Namun di balik itu, timbul berbagai permasalahan karena
ilmu dan teknologi termasuk nilai dan sikap budaya yang
melatarbelakanginya, tidak selamanya berkesesuaian dengan apa yang
berlaku pada masyarakat Indonesia (Atmadja, 2000) atau meminjam
pendapatnya Capra (2000), Anh (1984) dan Shiva (1997) sikap dan budaya
Barat dan Timur bisa bersifat kontras.
Akibat lain dari pembangunan yang bersifat kapitalis tersebut, telah
menimbulkan kebingungan karena banyaknya pilihan, serta ketidakpuasan
dan ketidakmantapan, sebagai akibat manusia selalu dirancang oleh
berbagai pilihan yang baru akibat perkembangan ilmu dan teknologi
tersebut. Selain itu, akibat adanya ketimpangan antara negara maju dan
negara sedang berkembang, menyebabkan arus informasi itu searah, bahkan
cenderung mendominasi dan menghegemoni negara berkembang, karena
penguasaan informasi oleh negara maju, bahkan mengarah kepada intevensi
kultural (Fiiere, 1999). Bahkan, negara berkembang dibuat tidak berdaya,
dipaksa untuk memilih aneka teknologi dan gagasan yang mereka
tawarkan, yang menyebabkan terjadinya penggerogotan situasi kultural
historis aneka komunitas lokal dan digantikan dengan sistem nilai yang
dimiliki negara maju. Akibatnya negara berkembang kehilangan relatif dan
disonansi kognitif yang jika tidak disalurkan dapat menimbulkan frustasi
sosial (Atmadja, 2000 : 33). Hal ini dapat dilihat dengan membanjirnya
buku-buku cerita anak-anak berupa komik, buku cerpen, dan dominasi film
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
644
anak-anak dari manca negara ke ruang keluarga Indonesia lengkap dengan
semua gagasan yang melatarbelakanginya, telah mampu menggeser, bahkan
mengubur dongeng lokal termasuk tradisi mendongeng sebelum tidur oleh
orang tua/kakek kepada anak atau cucunya. Tradisi mendongeng menjadi
terkubur dalam-dalam, karena kemajuan teknologi komunikasi memberikan
hiburan yang beragam sehingga sangat menarik tidak saja minat anak
bahkan orang tua sendiri sehingga mereka-mereka ini sering mengorbankan
waktunya hanya untuk menikmati hiburan yang disajikan oleh televisi
sebagai hasil kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Ironisnya,
kehadiran televisi sering dipandang sebagai pengganti tugas orang tua
untuk mendongeng kepada anak sebelum tidur. Fenemoenanya, di depan
televisi disiapkan karpet, atau sofa, atau kasur, sehingga mereka bisa
menonton dengan santai bahkan sampai tertidur olehnya karena
kenyamanan yang disediakan oleh orang tua. Di sisi lain, orang tua bisa
menyibukkan dirinya dengan tugas-tugas demi mengejar karier atau artha,
atau ikut terlena oleh tayangan televisi. Demikian hebatnya budaya
kapitalis yang melahirkan masyarakat ekstasi dan konsumeris memasuki
ruang keluarga Indonesia, sehingga tidak ada lagi batas yang masih tersisa
sebagai sesuatu yang rahasia (Pilliang, 1999).
Masyarakat ekstasi, sudah merambah keluarga bisa dilihat adanya
kecenderungan perubahan peran orang tua yang lebih menekankan artha,
dan kama daripada dharma-nya. Orang tua lebih mementingkan mengejar
artha (uang, kekayaan, atau kebendaan) untuk memenuhi kesenangan
(kama) daripada melaksanakan kewajiban (dharmanya) mendidik anak
lewat mendongeng. Bahkan kesibukan mengejar artha untuk memenuhi
kama, menjadi alasan bagi orang tua untuk tidak mendongeng kepada anakanaknya (Gosong, 2001 : 7). Ironisnya, kasih sayang orang tua kepada anak
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
645
kini lebih dimaknai dengan pemuasan artha dan kama si anak, dalam
bentuk pemberian materi (uang), untuk kepentingan kama (kesenangan) si
anak daripada memberikan pendidikan lewat dialog, atau mendongeng, atau
mendidik. Hal ini, tampak ketersediaan segala macam permaian anak
buatan pabrik, play station, HP, buku-buku komik impor, dan televisi
bahkan, mungkin lebih dari satu, agar kebebasan dan kepuasan kama tidak
terganggu. Hal ini didorong oleh banyaknya pemancar televisi dengan
program tayangan yang berbeda. Termasuk, tidak adanya pendampingan
ketika si anak menonton televisi yang tayangannya banyak tidak sesuai
dengan perkembangan jiwa anak. Lebih ironis, orang tua ikut-ikutan larut
dan terbuai oleh tayangan televisi sampai larut malam bersama anaknya,
sehingga melupakan dharma-nya sebagai pendidik atau sebagai orang tua.
Di satu sisi, teknologi memang telah memberi kemudahan dan kesenangan
kepada anak termasuk orang tua, sebab lewat ketersediaan teknologi
tersebut orang tua merasa terbantu, bahkan terbebas dari dharma mendidik
(mendongeng). Bahkan, ada kecendrungan orang tua merasa tidak perlu
mendongeng lagi, karena tugas mendongeng sudah diambil alih oleh
teknologi televisi (Gosong, 2001 :7) yang banyak menayangkan cerita
anak-anak impor.
Di sisi lain. Manawadharmasatra (Puja, 1990) menyebutkan bahwa
seorang baru disebut bapak atau orang tua jika ia bisa mewujudkan 5
dharma orang tua, yakni sang ametwaken kita ( yang melahirkan kita),
sang matuling urip I kalaning bhaya (yang melindungi dari segala macam
bahaya), sang nitya maweh bhinojana (yang memberi makan atau
memelihara), sang angaskara kita ( yang mensucikan lahir bathin lewat
upacara) dan sang pangupadhyayan (yang memberi pengajaran dan
pendidikan). Jadi, mendidik merupakan suatu dharma utama sebagai orang
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
646
tua, termasuk dalam hal ini melindungi anak dari pengaruh negatif yang
ditimbulkan dari kemajuan teknologi informasi tesebut.
Fenomena yang demikian ini, menyebabkan anak-anak kehilangan
daya fantasinya, padahal daya fantasi mampu mengembangkan daya
kreativitas dalam perkembangan kepribadian anak. Selain itu, lewat buku
komik dan layar kaca kepada anak dijejali berbagai tindakan kekerasan,
akibatnya terjadi antagonisme dalam pendidikan. Di satu sisi, terjadi
kemajuan dalam bidang pendidikan dengan adanya peningkatan jumlah
anak usia sekolah yang dapat menikmati pendidikan, bahkan sampai ke
tingkat perguruan tinggi, namun di sisi lain terjadi peningkatan patologi
sosial dalam bentuk tindakan kekerasan, misalnya tawuran siswa antar
sekolah maupun dengan anak dalam satu sekolah, bahkan merambat pula
pada perguruan tinggi yang dikenal sebagai lembaga pendidikan yang
sangat menekankan rasionalitas dan objektivitas serta berpikir jernih. Selain
itu, terjadi peningkatan penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan
tindakan kekerasan lainnya di kalangan pelajar.
Kondisi yang demikian ini, memerlukan resep untuk menanggulangi
perilaku menyimpang tersebut dengan cara membatinkan moralitas dan
mengembalikan jati diri pendidikan kepada proses memanusiakan manusia
muda dalam konteks kultural (Dyarkara, 1986; Depdikbud, 1985; Syam,
1980) untuk mewujudkan manusia yang ber-kasusilaning budi. Dengan
kata lain, hal tersebut dapat meningkatkan peranan keluarga sebagai
lembaga pendidikan yang lebih menekankan kepada penanaman nilai-nilai
atau norma-norma dalam bentuk keteladanan, keserasian dan keajegan
antara perkataan serta perbuatan (perilaku). Di samping diperlukannya
keteladanan orang tua, salah satu model untuk membatinkan moralitas,
pengembangan pendidikan untuk mewujudkan manusia yang
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
647
berkasusilaning budi juga bisa lewat merevitalisasi tradisi mendongeng di
lingkungan keluarga.
Mendongeng sesungguhnya merupakan proses mensosialisasikan
nilai-nilai sehingga membatin pada diri anak. Mengikuti pendapatnya
Atmadja (1999 : 34) bahwa hanya dengan meningkatkan kasusilaning budi
manusia mampu mengatasi krisis moralitas yang mereka hadapi, sekaligus
membebaskan mereka dari lautan sanghara atau kehancuran. Atau
meminjam pendapatnya Horton (1999), mendongeng merupakan salah
satu proses mensosialisasikan nilai-nilai yang menjadi acuan
masyarakatnya, sebagai salah satu cara untuk memperkuat sistem
pengendalian sosial dan mengurangi terjadinya perilaku menyimpang di
kalangan anggota. Tulisan ini mencoba membahas pentingnya
menghidupkan tradisi mendongeng di kalangan keluarga karena
manfaatnya sangat besar dalam membatinkan nilai-nilai moral pada diri
anak. Selain itu, juga mencoba membahas masalah sasaran dan asas dari
tradisi mendongeng itu, sehingga tradisi mendongeng mejadi lebih berdaya
guna dalam menanggulangi krisis moralitas di kalangan pelajar dan
generasi muda.
2. Pemabahasan
2.1 Latar Belakang Tradisi Mendongeng
Paradigma pembangunan menitikberatkan kepada pertumbuhan,
berlaku juga dalam bidang pendidikan, akibatnya pendidikan lebih
menekankan kepada pengembangan pengetahuan (kemampuan otak) dan
mengabaikan perkembangan spiritual dan kemanusiaan itu sendiri.
Sehingga terjadi kemerosotan ahlak dan moral di segala bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara (Arief, 2000; Kartono, 1998).
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
648
Tanpa disadari dengan penguasaan ilmu dan teknologi Barat
(sebagai jargon pengembangan sumber daya manusia di era pembangunan),
dengan harapan membantu perkembangan anak, namun justru makin
menyamarkan hakikat anak sebagai pribadi yang utuh. Sejak kecil anak
sudah dijejali dengan berbagai fasilitas, seperti VCD Player, menonton
televisi secara bebas tanpa pedampingan, bahkan duduk berjam-jam di
depan layar kaca, buku-buku komik impor, dan bermacam-macam mainan
buatan pabrik. Di sisi lain, dipacu untuk mencapai target dengan melupakan
bahwa anak mempunyai dunianya sendiri.
Di pihak lain, dalam tahap perkembangan anak, pengembangan
dunia imajinasi anak sangat penting, karena dapat memacu kreativitas anak,
sedangkan komik merupakan mainan hasil pabrik sangat mematikan
imajinasi anak. Dalam rangka pengembangan imajinasi anak, pendidikan
lewat dongeng sangatlah tepat, sebab lewat dongeng ini anak diajak
berimajinasi tentang tokoh-tokoh dengan perwatakannya dalam cerita
khususnya tokoh yang diidealkan, atau tentang suasana alam yang indah
atau kejadian yang menyenangkan dan menyedihkan atau mengerikan.
Sebab dalam mendongeng, semua itu hanya digambarkan lewat ucapan
atau kata-kata, sehingga memerlukan imajinasi bagi si anak untuk
memahaminya. Hal itu berbeda dengan tayangan di layar kaca dan cerita
dalam komik impor. Selain itu, lewat mendongeng ini sesungguhnya terjadi
komunikasi dua arah (orang tua sebagai komunikator dan anak sebagai
komunikan) atau dialog ataupun komunikasi searah yang dilandasi oleh
cinta kasih yang wajar, sehingga menumbuhkan hubungan yang harmonis
dan akrab antara anak dengan orang tua. Apalagi dilakukan sambil tidur
bersama sehingga mampu menumbuhankembangkan daya kreativitas, daya
kritis dan nilai-nilai kemanusiaan si anak dalam bentuk tumbuhnya kasih
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
649
sayang yang mengarah kepada keterbukaan antara anak dengan orang tua,
dan hal ini penting dalam perkembangan kepribadian anak. Di samping itu,
lewat tradisi mendongeng ini, peran orang tua dalam merekayasa
perkembangan anak sangat besar, terutama di saat anak belum bisa
membedakan mana yang kenyataan dan mana yang hanya sekedar
khayalan. Lewat dongeng tersebut, orang tua mengenalkan dan,
menanamkan nilai-nilai sosiokultural yang berlaku di masyarakat.
Dengan meminjam pendapatnya Soekanto (1998), dan Donald
Black (1984), bahwa mengendalian sosial atau rekayasa sosial merupakan
suatu proses yang direncanakan atau tidak direncanakan bertujuan
membimbing, mempengaruhi atau memaksa warga masyarakat atau anak
didik, agar mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Tradisi mendongeng juga dapat dikategorikan sebagai
perekayasaan sosial, sebab dalam mendongeng ini orang tua dapat memilih
bahan dan topik cerita yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan
jaman, yang mampu mensubversif perkembangan anak (Depdikbud, 1985),
seperti mengembangkan semangat kewirausahawan, semangat religius atau
jiwa pengasih terhadap sesamanya dan lain-lainnya. Sebaliknya, film-film
layar kaca dan buku-buku komik impor tidak semuanya mengajarkan sopan
santun (nilai-nilai moral) yang baik dan sesuai dengan norma yang diacu
masyarakat Timur, bahkan lebih kepada hal-hal yang konyol dan membuat
anak-anak tercengang atau tertawa sepuasnya, karena memang budaya
Barat sering bertentangan dengan budaya Timur (Anh, 1984)
Mendongeng juga merupakan suatu mekanisme pengendalian sosial,
sebab lewat mendongeng orang tua dapat menyisipkan anekdot, humor
yang mendidik, sindiran ataupun kata-kata mutiara atau menyisipkan nilainilai moral yang menjadi acuan masyarakatnya. Apalagi dalam kehidupan
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
650
keseharian orang tua mampu merealisasikan tentang mana yang baik atau
boleh dilaksanakan dan mana yang tidak baik atau tidak boleh dilakukan
atau apa yang seharusnya dilakonkan sebagai anggota masyarakat untuk
mencapai tujuan hidup yakni mengembangkan anak suputra menurut
harapan keluarga Hindu di Bali (Puja, 1987) atau rukun dalam budaya Jawa
(Mulder, 1985: Hildred Geertz, 1985).
Sistem budaya juga berperan dalam proses pengendalian sosial,
karena dalam berperilaku anggota masyarakat akan selalu mengacu pada
sistem gagasan, nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
Dalam hubungan ini tampaknya perlu diacu pandangan perspektif koginitif,
bahwa kebudayaan sebagai kategori yang dipakai menyeleksi dan
mengklarifikasi pengalaman, karena itu manusia mempelajari aturan,
norma-norma yang berlaku sehingga mampu berperilaku dalam
masyarakat. Hal ini akan mewarnai peta kognitif individu. Sebagaimana
dikonsepsikan oleh Weber dalam hubungan dengan etika Protestan dan
Kapitalisme (Abdullah, 1979: Weber, 1979 :41) atau Bellah dengan religi
Tokugawa (1992; Suasono, 2000). Dalam hubungan dengan hal ini, tradisi
mendongeng tidak lain juga merupakan salah satu bentuk proses
mensosialisasikan atau menyeleksi dan mengklarifikasikan pengalaman
lewat mensubversif anak dengan nilai-nilai yang diselipkan dalam dongeng
yang telah diseleksi dan direkayasa. Gagasan-gagasan yang ada dalam
dongeng tidak terlepas dengan sistem gagasan yang diacu oleh masyarakat,
sebab dongeng merupakan kumpulan gagasan-gagasan yang dikemas
dalam alur cerita, peran tokoh, dan dialog antara tokoh (Atmadja, 1995;
Koentjaraningrat, 1990) dalam cerita lisan di kalangan pendukung dongeng
tersebut sehingga memudahkan para pendengarnya untuk memahami dan
membatinkannya.
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
651
2.2 Sasaran Kegiatan Mendongeng
Sasaran pendidikan secara umum adalah memanusiakan manusia
muda di lingkungkan manusia (Dyarkara, 1986) dalam konteks budayanya
(Syam, 1980) agar berkembang ke arah manusia ber-kasusilaning budi
(Cropley, t.th.), dalam arti berkembangnya secara optimal dan seimbang
antara aspek kognitif, apektif, dan konasi subjek didik (Tirtha, 1985) atau
mewujudkan manusia yang memiliki otak, perasaan atau rasio dan rasa
yang tajam. Hal ini juga mengandung makna bahwa di samping mereka
dituntut pandai, cerdas, tetapi juga berbudi luhur atau memiliki
kasusilaning budi. Kasusilaning budi tidak terlepas dengan kebudayaan
yang dimiliki karena kebudayaan merupakan resep dalam menentukan
kebenaran, kemuliaaan, keindahan dan dalam berperilaku (Kaplan dan
Manners 1999). Dongeng sebagai kebudayaan manusia menyimpan
berbagai gagasan-gagasan, nilai-nilai secara lisan, dan disosialisasikan
secara lisan secara turun-temurun.
Dalam rangka mewujudkan manusia yang ber-kasusilaning budi
atau manusia yang berbudaya, ada tiga lapisan kebudayaan yang perlu
dibatinkan, yakni (1) lapisan luar, yaitu seluk-beluk yang berkaitan dengan
teknologi atau kebudayaan fisik; (2) lapisan dalam, yakni sistem nilai,
lambang-lambang, pola tingkah laku, tradisi dan pranata sosial yang
mengatur cara hidup dalam kehidupan bermasyarakat; dan (3) lapisan
dasar yang terdalam, yakni ethico mythecal nucleus, yakni kompleks nilai
yang paling asasi yang merupakan central point of reference bagi orangorang yang hidup dalam satu lingkup kebudayaan dan serentak merupakan
sumber inspirasi bagi kreativitas mereka (Atmadja, 1999). Dalam rangka
mewujudkan manusia yang ber-kasusilaning budi, dan pembatinan
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
652
kebudayaan sampai ke lapisan yang terdalam (ethico mythecal nucleus)
yang mereka miliki, di sinilah perlunya revitalisasi tradisi mendongeng di
kalangan keluarga, karena lewat dongeng proses pembatinan atau
sosialisasi ethico mythecal nucleus dari generasi tua kepada generasi muda
dapat berlangsung secara wajar dan dilandasi oleh cinta kasih. Cinta kasih
sangat mempengaruhi berhasil tidaknya proses membatinkan sampai ke
tingkat ethico mythecal nucleus si anak.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan informal sering disebut
sebagai sekolah pertama bagi si anak, karena di keluargalah untuk pertama
kali anak mengenal nilai-nilai dan norma-norma, dan semuanya,
berlangsung dengan wajar tanpa dibuat-buat situasinya, dan proses
peniruannya pun berjalan secara wajar pula. Hal ini penting, karena di masa
kanak-kanak si anak belum bisa membedakan mana yang khayalan dan
mana yang realitas. Bahkan, sebagaiman dikatakan oleh Freud yang dikutip
Tirtha (1985) bahwa, pengalaman masa kanak-kanak yakni antara umur 0-5
tahun sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian individu
setelah dewasa. Karena itu, sangatlah baik di masa kanak-kanak ini anak
diberikan dongeng. Demikian juga setelah sekolah yakni antara umur 6-12
tahun masih perlu diberikan dongeng, karena masa ini perkembangan
fantasi dan rasional anak mengalami masa peka dan anak di masa ini sangat
patuh dan suka meniru peran-peran ideal yang ada dalam fantasi mereka
(Kartini-Kartono, 1981;), sebagaimana diuraikan di atas, dongeng mampu
mengembangkan imajinasi dan kreativitas anak. Mengikuti pendapatnya
Piaget ( Ronald Duska, 1982) bahwa umur 2-7 tahun sebagai fase
praoperasional merupakan masa peka fungsi simbolik, bahasa, fantasi dan
imajinasi anak.. Perkembangan fase praoperasional tersebut, sangat sesuai
dengan karakteristik dongeng yang mengisahkan tokoh-tokoh cerita dengan
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
653
berbagai sifat dan watak masing-masing. Karena itu, anak pada fase ini
sangat menyukai dongeng. Jika ini terpenuhi oleh orang tua lewat kegiatan
mendongeng sebelum tidur, dapat memberikan sumbangan yang nyata
terhadap upaya untuk menjadikan manusia yang ber-kasusilaning budi.
Apalagi orang tua mampu menghidupkan fantasi anak dengan mengubah
intonasi suara sesuai dengan tokoh yang digambarkan dalam dongeng
tersebut, menghidupkan daya khayal anak lewat penggambaran suasana
dengan sejelas-jelaskan lewat menggambarkan suasana alam seperti suara
burung, tokek, harimau, bunyi ombak dan sebagainya. Termasuk juga
membuat ekspresi wajah pada saat menceritakan tokoh tertentu dalam
suasana tertentu (sedih, gembira atau menangis).
Dengan demikian, pemberian dongeng sesuai dengan masa peka
fantasi si anak akan sangat bermanfaat dan berdaya guna bagi
perkembangan dan peningkatan moralitas si anak sekaligus memperkuat
sistem pengendalian sosial mereka, karena pengendalian sosial
sesungguhnya tidak lain usaha manusia untuk mengendalikan diri (Sura,
1985 : 25), agar sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungan sekaligus
agar mampu hidup harmonis (rukun) dengan sesamanya (Mulder, 1985;
Hildred Gertz, 1985).
2.3 Asas Mendongeng
Dalam rangka mewujudkan manusia yang memiliki kasusilaning
budi yang bersumberkan pada ethico mythecal nucleus lokal dan sekaligus
juga memberikan nuansa humanisme terhadap kapitalisme yang terlanjur
dikembangkan pada masa Orde Baru, pemilihan dongeng mutlak
memperhatikan beberapa asas misalnya: (1) asas moralitas artinya
mengandung gagasan-gagasan mengenai yang benar dan yang salah, yang
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
654
baik dan yang buruk; (2) asas agama, karena agama juga menjadi resep
berperilaku bagi manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya pandangan
bahwa agama adalah etika teonom (hukum Tuhan) yang selalu baik dan
benar dilihat dari segi deontologi dan utilitarisme (Atmadja, 1999). Karena
itu, dongeng yang beresepkan agama diharapkan mampu mengembangkan
perilaku emansipatoris, yakni membebaskan manusia dari berbagai
kecendrungan berbuat jahat atau kemiskinan moralitas yang berimplikasi
buruk terhadap hubungan mereka dengan sesama manusia dan lingkungan
alamnya, dan mampu menumbuhkan sikap solidaritas serta menerima
pluralisme agama namun tetap dalam kebersamaan (bingkai persatuan)
sesuai dengan konsep rwa bhineda dalam budaya Bali. Salah satu contoh
cerita yang bisa menunjang pengembangan pluralisme keagamaan misalnya
cerita yang bersumber dari Mahabhrata, Ramayana, Bubuksa Gagak Aking
dan yang lainnya. Hanya cara penyajiannya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak. Atau bersumber dari cerita Tantri, atau ceitera lokal
atau tradisi lisan; (3) asas rasa, tidak bisa dilepaskan dalam rangka
mewujudkan kasusialaning budi, sebab perilaku yang tampak tidak saja
harus benar, tetapi juga harus memperlihatkan hasil cipta rasa sehingga
meperlihatkan kehalusan, kesopanan, keluwesan maupun kesucian. Sebab
aspek rasa memungkinkan manusia bisa membawa dan menempatkan
dirinya dalam hubungan dengan sesamanya. Aspek rasa yang perlu
dibatinkan adalah rasa malu dan rasa bersalah. Rasa malu menekankan
individu untuk tidak berbuat salah agar tidak kehilangan muka, apalagi
pelanggaran tersebut dilihat orang lain. Sedang rasa bersalah menekankan
kewajiban manusia untuk selalu berbuat yang baik, walau tidak ada yang
menegur atau melihat pelanggaran yang dilakukan.; (4) asas rasionalitas.
Masalah benar salah, baik buruk bermoral dan tidak bermoral tidak saja
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
655
dapat diukur dari segi rasa tetapi dapat juga dijelaskan dari segi nalar atau
lewat argumentasi yang dapat diterima oleh akal sehat, sehingga moralitas
tersebut menjadi rasional dan akan melahirkan suatu kesadaran yang masuk
akal (Magnis Suseno, 1979). Asas rasionalitas ini bisa dikaitkan dengan
asas-asas lainnya seperti asas agama, dan asas moral; (5) asas kebebasan
yang bertanggung jawab. Dalam perekayasaan dongeng yang akan
disampaikan kepada anak memperhatikan asas bebas bertanggung jawab,
dalam arti dongeng tersebut mengandung nilai-nilai kebebasan disertai rasa
tanggung jawab baik lewat peran tokoh maupun dialog antar tokoh. Sebab
lewat penanaman kebebasan ini manusia mampu mengekspresikan
eksistensinya (Syam, 1980) dalam bentuk berbagai aktifitas sosial, ekonomi
dan budaya, namun tetap dilandasi oleh rasa tanggung jawab agar tidak
terjadi tindakan anarkhi. Sebab kebebasan bertanggung jawab tidak lain
kebebasan yang dilandasi oleh moralitas, agama, rasa dan rasionalitas, yang
menuntut sikap moral yang otonom, dan dewasa.
3. Penutup
Berdasarkan pemerian di atas, dapat disimpulkan bahwa
modernisasi dalam bidang pendidikan telah menimbulkan dampak yang
tidak diinginkan berupa terjadinya kemerosotan moralitas atau krisis moral
di kalangan generasi muda penerus bangsa, dan ini memerlukan
penanggulangan. Salah satu model untuk menanggulangi kemorosotan
moral ini, adalah dengan merevitalisasi tradisi mendongeng di keluarga.
Karena disadari peran keluarga sebagai lembaga pendidikan dalam
menanamkan nilai-nilai moral secara dini sangat besar untuk melahirkan
suputra. Sasaran tradisi mendongeng adalah mewujudkan manusia yang
memiliki kasusilaning budi, dengan ciri mereka
selalu berusaha
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
656
menggunakan rasio, dan rasa secara kreatif yang bertanggung jawab dalam
membatinkan dan dalam mengaktualisasikan etika sosial, etika agama, etika
lingkungan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Taufik. 1979. “Thesis Weber dan Islam di Indonesia”. Dalam
Taufik Abdullah (ed). Agama, Etos Kerja dan Perkembangan
Ekonomi. Halaman 1-39. Jakarta : LP3ES.
Agastya, I.B.G. et. el. 1979. Sasraswati Simbol Penyadaran dan
Pencerahan. Denpasar : Tata Usaha Warta Hindu Dharma.
Anh, T.T. 1983. Nilai Budaya Timur dan Barat Konflik atau Harmoni? (
J. Yap Pereira Penerjemah). Jakarta : PT. Gramedia.
Arief, Saiful. 2000. Menentang Pembangunanisme. Jogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Atmadja. N.Bawa. 1999. “Pendidikan sebagai Homonisasi dan Humanisasi
dalam Perspektif Agama Hindu”. Dalam Aneka Widya. Edisi
Khusus. September 1999. Singaraja : Lembaga Penerbitan STKIP.
Atmadja. N. Bawa. 2000. “Sasaran dan Asas Pendidikan Budi Pekerti
dalam Perspektif Budaya”. Dalam Aneka Widya. Edisi Khusus,
Sepetember 2000. Singaraja : Lembaga Penerbitan STKIP.
Atmadja. N. Bawa. 2000. Model Pendidikan Yang Membebaskan : dari
Gaya Bank ke Praksis. Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII
dan Wisuda XIII Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Singaraja.
Atmadja, N. Bawa. 2001. Ketidakseimbangan Nilai dan Sikap Budaya
Pradana dan Purusha : Sumber Kekerasan dan Solusinya. Orasi
Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Antropologi/Sosiologi
pada IKIP Negeri Singaraja.
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
657
Bellah, Robert. N. 1972. Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang.
Jakarta : :Gramedia.
Budiman, H. 1997. Pembangunan yang Selalu Gagal Modernisme dan
Krisis Rasionalitas Menurut Daniel Bell. Jogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Capra, F. 2000. Titik Balaik Peradaban
Sain. Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan. (M. Thajibi Penerjemah).
Cropley, A.J. T.Th. Pendidikan Seumur Hidup Suatu Analisis Psikhologis.
(PenerjemahM. R.Sardjan Kadir). Surabaya : Usaha Nasional.
Depdikbud. 1981. Program Akta V Wawasan Pendidikan Guru. Jakarta :
Depdikbud.
Donald Black. 1984. “Pengendalian Sosial Sebagai Variabel Dependen”
Dalam Toward A. General Of Social Control. Volume I
Fundamental, Academic Press Inc.
Duska, Ronald dan Mariellen Whelan. 1982. Perkembangan. Perkenalan
dengan Piaget dan Kohlberg. Jogyakarta: Penerbit Yayasan
Kanisius.
Draykara. 1986. Tentang Pendidikan. Jogyakarta: Penebit Kanisius
Fakih, M. 2000. “Tinjauan Kritis terhadap Revolusi Hijau”. Dalam
Juliantara (ed). Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyar
Emansipasi dan Demokrasi Mulai dari Desa. Jogyakarta : Lapera
Pustaka Utama. Halaman 3-22.
Freire, P. 1999. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan. (Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyatanto
Penerjemah). Jogyakarta : Pustaka Pelajar.
Geertz, H. 1983. Keluarga Jawa. (Hesri Penerjemah). Jakarta : Grafiti
Gosong, I Made. 2001. “Tradisi Mendongeng: Aspek Pendidikan Budi
Pekerti dan Pemerolehan Bahasa di Dalamnya”. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Budaya
Austronesia II Ketahanan dan Perubahannya Memasuki Abad ke
21. 7-8 Pebruari 2001 di Denpasar. Halaman7-9.
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
658
Harris, P.R. dan R.T. Moran. 1990. “Memahami Perbedaan-perbedaan
Budaya “. Dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat (ed.),
Komunikasi antar Budaya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Halaman 58-75.
Horton, J. Paul. 2000.Sosilogi. Jilid I Edisi Kedua. Jogyakarta : Pustaka
Pelajar
Jonson, D.P. 1086. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid I (Robert M.Z.
Lawang Penerjemah). Jakarta : PT. Gramedia.
Kaplan, D. dan A.A. Manners. 1999. Teori Budaya. (Landung Simatupang
Penerjemah). Jogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kartini, Kartono. 1981. Psikhologi Anak Badung : Alumni.
Kartini, Kartono. 1989.Menemukan Kembali Jatidiri Lewat Jalur
Pendidikan, Kaitan Pendidikan dengan Sektor Ekonomi. Bandung :
Alumni.
Koentjaraningrat, 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Bina
Aksara.
Magnis Suseno, F. 1984. Etika Jawa Telah Analisa Falsafati Tentang
Kebijakan Hidup Orang Jawa. Jakarta : Gramedi.
Mulder, N. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa,
Kelangsungan dan Perubahan Kultural. Jakarta : PT. Gramedia.
Ohmae, Kinichi. 1996. “Berakhirnya Negara Bangsa” Dalam Analisa. No.
1. Tahun XXV, Maret-April 1996. Jakarta : Centre Strategic and
Internasional Studies..
Pilliang. Y.A. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat.Realitas Kebudayaan
Menjelang Millinium Ketiga dan Matinya Postmodernisme.
Bandung : Penerbit Mizan.
Sura, I.Gde. 1985. Penegndalian Diri dan Etika. Denpasar : Tanpa
Penerbit.
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
ISSN 0215 - 8250
659
Shiva, V. 1997. Bebas dari Pembangunan Perempuan, Ekologi dan
Perjuangan Hidup di India. (Hira Jhamtani Penerjemah). Jakarta :
yayasan Obor Indonesia.
Syam, Moh. Noer. 1980. Pengantar dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya :
Usaha Nasioanl.
Tirtha. I Nyoman. 1985. Psikhologi Belajar. Singaraja : Lembaga
Penerbitan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNUD
Singaraja.
________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006
Download