Hubungan Agama dan Negara

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
KEWARGANEGARAAN
Hubungan Agama dan Negara
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komputer, dll
Sistem Informasi, dll
On-Line
13
Kode MK
Disusun Oleh
9003
Efan Setiadi, S.Kom, SH, MH
Abstract
Kompetensi
Banyak agama memiliki narasi, simbol,
dan sejarah suci yang dimaksudkan
untuk menjelaskan makna hidup
dan/atau
menjelaskan
asal
usul
kehidupan
atau
alam
semesta.
Indonesia merupakan Negara yang
multi religi. Pada pembahasan dalam
modul ini akan dijelaskan mulai dari
pendahuluan, pendapat beberapa para
ahli,
penjelasan
tentang
praktik
keagamaan dan kelompok agama yang
ada di Indonesia, sampai dengan
penjelasan mengenai hubungan Islam
dan Negara modern secara teoritis.
Mahasiswa
diharapkan
mampu
memahami dan mendeskripsikan apa
sebenarnya peran negara dalam semua
agama yang ada di Indonesia dan
sebaliknya, kemudian mahasiswa dapat
memahami segala perbedaan yang ada
dan mampu menjadikan perbedaan
tersebut
dalam
implementasinya
menjadi sebuah keharmonisan.
Hubungan Agama dan Negara
Pendahuluan
A
gama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan
pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari
kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang
dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan
atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang
memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut
beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.
Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang
apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci.
Praktek agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa
atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan
pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya
manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi.
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau
kadang-kadang mengatur tugas;Namun, dalam kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda
dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" Émile Durkheim
juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat
global 2012 melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan 36% tidak
beragama, termasuk 13% yang ateis, dengan penurunan sembilan persen pada keyakinan
agama dari tahun 2005.Rata-rata, wanita lebih religius daripada laki-laki. Beberapa orang
mengikuti beberapa agama atau beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang sama,
terlepas dari apakah…. atau tidak prinsip-prinsip agama mereka mengikuti tradisional yang
memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme, milanarisme, akulturasi dan adaptasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata
"agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi".Kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latinreligio dan berakar pada
kata kerjareligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan.
2016
2
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut filologMax Müller, akar kata bahasa Inggris "religion", yang dalam bahasa Latin
religio, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya "takut akan Tuhan atau dewa-dewa,
merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan" (kemudian selanjutnya Cicero
menurunkan menjadi berarti "ketekunan"). Max Müller menandai banyak budaya lain di
seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang memiliki struktur
kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang disebut agama kuno hari ini,
mereka akan hanya disebut sebagai "hukum".
Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai "agama", tetapi
mereka mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan beberapa tidak
memiliki kata untuk mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai contoh, dharma kata
Sanskerta, kadang-kadang diterjemahkan sebagai "agama", juga berarti hukum. Di seluruh
Asia Selatan klasik, studi hukum terdiri dari konsep-konsep seperti penebusan dosa melalui
kesalehan dan upacara serta tradisi praktis. Medieval Jepang pada awalnya memiliki serikat
serupa antara "hukum kekaisaran" dan universal atau "hukum Buddha", tetapi ini kemudian
menjadi sumber independen dari kekuasaan.
Tidak ada setara yang tepat dari "agama" dalam bahasa Ibrani, dan Yudaisme tidak
membedakan secara jelas antara, identitas keagamaan nasional, ras, atau etnis. Salah satu
konsep pusat adalah "halakha", kadang-kadang diterjemahkan sebagai "hukum",yang
memandu praktek keagamaan dan keyakinan dan banyak aspek kehidupan sehari-hari.
Penggunaan istilah-istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau Islam yang juga
didasarkan pada sejarah tertentu dan kosakata.Definisi tentang agama di sini sedapat
mungkin sederhana dan meliputi. Definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit maupun terlalu
longgar, tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui
penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang
mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agamaagama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya
menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar bisaa di luar dirinya. Sesuatu yang luar
bisaa itu tentu berasal dari sumber yang luar bisaa juga. Dan sumber yang luar bisaa itu ada
bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God,
Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha
Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.
2016
3
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara
menghambakan diri, yaitu:
a. Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari
Tuhan, dan
b. Menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dan lain-lain yang diyakini berasal dari
Tuhan.
Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam
pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu
paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut
agama.
Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh
aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita
makan, bagaimana kita bergaul, bersosialisasi, bagaimana kita beribadah, bagaimana kita
berpolitik, bernegara dan berbangsa dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara
agama.
Definisi Menurut Beberapa Ahli
D
i Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui
resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budhisme, dan
Khonghuchu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui
secara resmi disebut “religi”.
Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia
dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus,
agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan
yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan
memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.
Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan
mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan
di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang
ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, Juga menjadi pendorong serta
pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.
2016
4
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Diskursus dan Praktik Keagamaan
Peta tentang persebaran dan populasi agama di dunia dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Kategori
Beberapa ahli mengklasifikasikan agama baik sebagai agama universal yang mencari
penerimaan di seluruh dunia dan secara aktif mencari anggota baru, atau agama etnis yang
diidentifikasi dengan kelompok etnis tertentu dan tidak mencari orang baru untuk bertobat
pada agamanya. Yang lain-lain menolak perbedaan, menunjukkan bahwa semua praktek
agama, apa pun asal filosofis mereka, adalah etnis karena mereka berasal dari suatu
budaya tertentu.
Pada abad ke-19 dan ke-20, praktek akademik perbandingan agama membagi keyakinan
agama ke dalam kategori yang didefinisikan secara filosofis disebut "agama-agama dunia".
Namun, beberapa sarjana baru-baru ini telah menyatakan bahwa tidak semua jenis agama
yang harus dipisahkan oleh filosofi yang saling eksklusif, dan selanjutnya bahwa kegunaan
menganggap praktek ke filsafat tertentu, atau bahkan menyebut praktik keagamaan tertentu,
ketimbang budaya, politik, atau sosial di alam, yang terbatas. Keadaan saat studi psikologis
tentang sifat religiusitas menunjukkan bahwa lebih baik untuk merujuk kepada agama
sebagai sebagian besar fenomena invarian yang harus dibedakan dari norma-norma budaya
(yaitu " agama ").
Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi agama menjadi tiga
kategori :
a. agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada yang transkultural, agama
internasional;
b. agama pribumi, yang mengacu pada yang lebih kecil, budaya-tertentu atau kelompok
agama-negara tertentu, dan
c. gerakan-gerakan keagamaan
baru,
yang
mengacu
pada
agama
baru
ini
dikembangkan.
2. Kelompok agama
Daftar gerakan-gerakan keagamaan yang masih aktif yang diberikan di sini merupakan
upaya untuk meringkas pengaruh regional dan filosofis yang paling penting pada
2016
5
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
masyarakat lokal, tetapi tidak berarti keterangan lengkap dari setiap umat beragama, juga
tidak menjelaskan elemen yang paling penting dari religiusitas individu.
Kelima kelompok agama terbesar menurut jumlah penduduk dunia, diperkirakan mencapai 5
miliar orang, yaitu Kristen, Islam, Budha, Hindu (dengan angka relatif untuk Buddha dan
Hindu tergantung pada sejauh mana sinkretisme) dan agama tradisional rakyat Cina.
Agama dan kepercayaan yang dicantumkan di bawah ini merupakan agama dan
kepercayaan dengan jumlah pemeluk yang signifikan di seluruh dunia. Beberapa komunitas
di berbagai belahan dunia juga memeluk berbagai aliran kepercayaan yang dianggap
sebagai golongan minoritas dan belum dipaparkan.
3. Kekerasan
Perang Salib adalah serangkaian dari kampanye militer berjuang terutama antara
KristenEropa dan Muslim. Ditampilkan di sini adalah adegan pertempuran dari Perang Salib
Pertama.
Charles Selengut mengkarakterisasikan frase "agama dan kekerasan" sebagai "gemuruh",
menyatakan bahwa "agama dianggap menentang kekerasan dan kekuatan untuk
perdamaian dan rekonsiliasi. Ia mengakui, bagaimanapun, bahwa" sejarah dan kitab suci
agama-agama di dunia memberitahu cerita kekerasan dan perang karena mereka berbicara
tentang perdamaian dan cinta."
Hector Avalos berpendapat bahwa, karena agama mengklaim kemurahan ilahi untuk diri
mereka sendiri, dan melawan kelompok lain, hal kebenaran ini mengarah pada kekerasan
karena konflik klaim untuk sebuah keunggulan, berdasarkan alasan banding yang
diverifikasi kepada Tuhan, yang kemudian tidak dapat diadili secara obyektif.
Kritik agama dari Christopher Hitchens dan Richard Dawkins melangkah lebih jauh dan
menyatakan bahwa agama luar bisaa merugikan kepada masyarakat dengan menggunakan
kekerasan untuk mempromosikan tujuan mereka, dengan cara yang didukung dan
dimanfaatkan oleh para pemimpin mereka.
Regina Schwartz berpendapat bahwa semua agama monoteistik secara inheren kekerasan
karena suatu eksklusivisme yang pasti mendorong kekerasan terhadap mereka yang
dianggap orang luar. Lawrence Wechsler menegaskan bahwa Schwartz tidak hanya
menyatakan bahwa agama-agama Ibrahim memiliki warisan kekerasan, tetapi warisan
sebenarnya genosida di alam.
2016
6
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Byron Bland menegaskan bahwa salah satu alasan yang paling menonjol untuk
"kebangkitan sekuler dalam pemikiran Barat" adalah reaksi terhadap kekerasan agama dari
abad 16 dan 17. Dia menegaskan bahwa " sekuler adalah cara hidup dengan perbedaan
agama yang telah menghasilkan begitu banyak horor. Dalam sekularitas, entitas politik
memiliki surat perintah untuk membuat keputusan independen dari kebutuhan untuk
menegakkan versi tertentu ortodoksi agama. Memang, mereka mungkin bertentangan
dengan keyakinan tertentu yang dipegang teguh jika dibuat untuk kepentingan
kesejahteraan bersama. Dengan demikian, salah satu tujuan penting dari sekuler adalah
untuk membatasi kekerasan."
Richard Dawkins telah menyatakan bahwa kekejaman Stalin dipengaruhi bukan oleh
atheisme tetapi dengan dogmatis Marxisme, dan menyimpulkan bahwa sementara Stalin
dan Mao kebetulan adalah atheis, mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan mereka
dalam nama ateisme. Pada kesempatan lain , Dawkins telah membalas argumen bahwa
Adolf Hitler dan Josef Stalin yang antireligius dengan respon bahwa Hitler dan Stalin juga
sama tumbuh kumis, dalam upaya untuk menunjukkan argumen yang menyesatkan.
Sebaliknya, Dawkins berpendapat dalam The God Delusion bahwa "Yang penting bukanlah
apakah Hitler dan Stalin adalah ateis, namun apakah ateisme secara sistematis
mempengaruhi orang untuk melakukan hal-hal buruk. Tidak ada bukti terkecil tentang hal
itu." Dawkins menambahkan bahwa Hitler sebenarnya, berulang kali menegaskan keyakinan
yang kuat dalam agama Kristen, tetapi kekejaman nya tidak lebih disebabkan teisme
ketimbang Stalin atau Mao adalah untuk ateisme mereka. Dalam semua tiga kasus ini,
menurutnya, tingkat pelaku 'religiusitas adalah insidental. D'Souza menjawab bahwa
seorang individu tidak perlu secara eksplisit memanggil ateisme dalam melakukan
kekejaman jika sudah tersirat dalam pandangannya, seperti halnya dalam Marxisme.
4. Sains
Ilmu agama, menurut praktisi agama, bisa diperoleh dari para pemimpin agama, teks-teks
suci, kitab suci, atau wahyu pribadi. Beberapa agama melihat pengetahuan seperti terbatas
dalam lingkup dan sebatas cocok untuk menjawab pertanyaan, yang lain melihat
pengetahuan agama sebagai memainkan peran yang lebih terbatas, sering sebagai
pelengkap pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan fisik. Penganut berbagai
agama agama sering mempertahankan bahwa pengetahuan agama yang diperoleh melalui
teks-teks suci atau wahyu adalah mutlak dan sempurna dan dengan demikian menciptakan
sebuah kosmologi agama yang menyertainya, meskipun bukti seperti yang sering disebut
tautologis dan umumnya terbatas pada teks-teks agama dan wahyu yang membentuk dasar
dari keyakinan mereka.
2016
7
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sebaliknya, metode ilmiah kemajuan pengetahuan dengan menguji hipotesis untuk
mengembangkan teori-teori melalui penjelasan fakta atau evaluasi oleh eksperimen dan
dengan demikian hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan kosmologi tentang alam semesta
yang dapat diamati dan diukur. Ini mengembangkan teori-teori dunia yang paling sesuai
dengan bukti-bukti fisik yang diamati. Semua pengetahuan ilmiah tunduk pada perbaikan di
kemudian, atau bahkan penolakan langsung, dalam menghadapi bukti tambahan yang
mendukung. Teori-teori ilmiah yang memiliki dominan besar terhadap bukti yang
menguntungkan sering diperlakukan sebagai de facto verities dalam bahasa umum, seperti
teori relativitas umum dan seleksi alam untuk menjelaskan masing-masing mekanisme
gravitasi dan evolusi.
Mengenai agama dan ilmu pengetahuan, Albert Einstein menyatakan (1940): "Untuk ilmu
pengetahuan hanya bisa memastikan apa yang ada, tapi tidak apa yang seharusnya, dan di
luar pertimbangan nilai domainnya dari segala macam tetap diperlukan. Agama, di sisi lain,
hanya berurusan dengan evaluasi pemikiran dan tindakan manusia, tidak dapat dibenarkan
berbicara tentang fakta-fakta dan hubungan antara fakta...Kini, meski alam agama dan ilmu
pengetahuan dalam diri mereka ditandai dengan jelas keluar dari satu sama lain, namun ada
di antara dua hubungan timbal balik yang kuat dan dependensi. Meskipun agama bahwa
mungkin yang menentukan tujuan, dan bagaimanapun belajar dari ilmu pengetahuan, dalam
arti yang luas, apa yang diartikan akan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuantujuan yang telah ditetapkan."
5. Hewan kurban
Hewan kurban adalah ritual pembunuhan dan korban binatang untuk menenangkan atau
mempertahankan nikmat dengan dewa. Bentuk-bentuk pengorbanan yang dipraktekkan
dalam banyak agama di seluruh dunia dan telah muncul historis di hampir semua budaya.
6. Sekularisme dan tidak beragama
Ranjit Singh mendirikan pemerintahan sekuler di wilayah Punjab pada awal abad ke19.Istilah "ateis" (tidak mempercayai pada setiap dewa atau tuhan) dan "agnostik"
(keyakinan namun dalam ketidaktahuan tentang keberadaan/eksistensi dewa atau tuhan),
meskipun secara khusus bertentangan dengan para teistik (misalnya Kristen, Yahudi, dan
Muslim) dalam ajaran agama, menurut definisi tidak berarti kebalikan dari "agama". Ada
agama (termasuk agama Buddha dan Taoisme) yang pada kenyataannya mengelompokkan
beberapa pengikut mereka sebagai agnostik, ateis, atau nonteistik. Kebalikan sebenarnya
dari "agama" adalah kata "tidak beragama". Tidak beragama menggambarkan absen
2016
8
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
terhadap agama apapun, sedangkan anti-agama menggambarkan oposisi aktif atau
keengganan terhadap agama pada umumnya.
Agama menjadi urusan pribadi secara lebih dalam budaya Barat, diskusi masyarakat
menjadi lebih terfokus pada makna politik dan ilmiah, dan sikap keagamaan (dominan
Kristen) yang semakin dilihat sebagai tidak relevan untuk kebutuhan dunia Eropa. Di sisi
politik, Ludwig Feuerbach merombak keyakinan Kristen dalam terang humanisme, membuka
jalan bagi karakterisasi terkenal Karl Marx tentang agama sebagai "candu rakyat".
Sementara itu, dalam komunitas ilmiah, T.H. Huxley pada tahun 1869 menciptakan istilah
"agnostik" istilah-kemudian diadopsi oleh tokoh-tokoh seperti Robert Ingersoll-bahwa,
sementara secara langsung bertentangan dengan dan novel untuk tradisi Kristen, diterima
dan bahkan memeluk di beberapa agama lain. Kemudian, Bertrand Russell mengatakan
kepada dunia Mengapa Saya Bukan seorang Kristen, yang dipengaruhi beberapa penulis
kemudian untuk membahas memisahkan diri mereka dari asuhan agama mereka sendiri
dari Islam ke Hindu.
Beberapa ateis juga membangun agama parodi, misalnya, Gereja SubGenius atau Monster
Spageti Terbang, yang memparodikan argumen ketika waktu yang sama yang digunakan
oleh perancangan cerdas teori Kreasionisme. Agama Parodi juga dapat dianggap sebagai
pendekatan postmodernisme dengan agama. Misalnya, di Discordianisme, mungkin sulit
untuk mengetahui apakah bahkan ini "serius" ketika pengikutnya tidak hanya mengambil
bagian dalam sebuah lelucon yang lebih besar. Lelucon ini, pada gilirannya, dapat menjadi
bagian dari jalan besar menuju pencerahan, dan seterusnya ad infinitum.
7. Kritik agama
Kritik agama memiliki sejarah panjang, akan kembali setidaknya sejauh abad ke-5 SM.
Selama zaman klasik, ada kritikus agama di Yunani kuno, seperti Diagoras "ateis" dari
Melos, dan di abad ke-1 SM di Roma, dengan Titus Lucretius Carus's De Rerum Natura.
Selama Abad Pertengahan dan terus ke masa Renaissance, kritikus potensial terhadap
agama dianiaya dan sebagian besar dipaksa untuk tetap diam. Ada kritikus terkenal seperti
Giordano Bruno, yang dibakar di tiang karena tidak setuju dengan otoritas keagamaan.
Pada abad ke-17 dan ke-18 dengan Pencerahan, pemikir seperti David Hume dan Voltaire
mengkritik agama.Pada abad ke-19, Charles Darwin dan teori evolusi menyebabkan
meningkatnya skeptisisme tentang agama. Thomas Huxley, Jeremy Bentham, Karl Marx,
Charles Bradlaugh, Robert Ingersol, dan Mark Twain telah tercatat dalam abad ke-19 dan
kritikus awal abad ke-20. Pada abad ke-20, Bertrand Russell, Sigmund Freud, dan lain-lain
2016
9
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
terus mengkritik agama.Sam Harris, Daniel Dennett, Richard Dawkins, Victor J. Stenger,
dan almarhum Christopher Hitchens adalah kritikus aktif selama akhir abad 20 dan awal
abad ke-21.
Kritikus menganggap agama sudah menjadi usang, berbahaya bagi individu (misalnya
pencucian otak anak-anak, iman kesembuhan, mutilasi alat kelamin perempuan, sunat),
merugikan masyarakat (misalnya perang suci, terorisme, pemborosan sumber daya),
menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, untuk melakukan kontrol sosial, dan untuk
mendorong tindakan asusila (misalnya pengorbanan darah, diskriminasi terhadap kaum
homoseksual dan perempuan, dan bentuk-bentuk tertentu dari kekerasan seksual seperti
perkosaan). Sebuah kritik utama dari banyak agama adalah bahwa dari mereka
membutuhkan keyakinan yang tidak rasional, tidak ilmiah, atau tidak masuk akal, karena
keyakinan agama dan tradisi tidak memiliki dasar ilmiah atau rasional.
Beberapa kritikus modern, seperti Bryan Caplan, menahan agama yang tidak memiliki
utilitas dalam masyarakat manusia; mereka mungkin menganggap agama sebagai irasional
pemenang Nobel Perdamaian Shirin Ebadi telah berbicara untuk menentang negara-negara
Islam yang tidak demokratis karena membenarkan "tindakan menindas" dalam nama Islam
8. Kerjasama antar agama
Karena agama tetap diakui dalam pemikiran Barat sebagai dorongan universal, banyak
praktisi agama bertujuan untuk bersatu dalam dialog antaragama, kerja sama, dan
perdamaian agama. Dialog utama yang pertama adalah Parlemen Agama-agama Dunia
pada 1893 Chicago World Fair, yang tetap penting bahkan saat ini baik dalam menegaskan
" nilai-nilai universal " dan pengakuan keanekaragaman praktek antar budaya yang berbeda.
Abad ke-20 terutama telah bermanfaat dalam penggunaan dialog antar agama sebagai cara
untuk memecahkan konflik etnis, politik, atau bahkan agama, dengan rekonsiliasi KristenYahudi mewakili reverse lengkap dalam sikap banyak komunitas Kristen terhadap orang
Yahudi.
Inisiatif antaragama terbaru termasuk " A Common Word ", diluncurkan pada tahun 2007
dan difokuskan pada membawa para pemimpin Muslim dan Kristen bersama-sama bersatu,
yang "C1 World Dialogue",yang " Common Ground " inisiatif antara Islam dan Buddhisme,
dan PBB disponsori " World Interfaith Harmony Week ".
9. Cara Beragama
Dalam praktiknya, cara beragama dapat dibedakan sebagai berikut:
2016
10
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama
nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara
agama tradisional pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal
keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya
atau masyarakatnya. Cara ini bisaanya mengikuti cara beragamanya orang yang
berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam
beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau
masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika
memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat
meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal
yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu
mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan
pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang
beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati
(perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan
menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).
Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu
agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari
Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan,
mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
E
nam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam,
Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Sebelumnya,
pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan
agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman
Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran
agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga
penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya
termasuk sedikit.
2016
11
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal
demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk
Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun
demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu
perkembangan agama-agama tersebut.
Tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di
Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri
Dalam Negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya
menyatakan kelima agama tersebut. SK tersebut kemudian dianulir pada masa Presiden
Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang
Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.
Lalu bagaimana
hubungan Negara dan agama dewasa ini?
Adalah hal yang sangat
penting membicarakan hubungan Negara dengan agama. Apalagi di Indonesia merupakan
Negara yang multi religi.Interaksi Negara dan agama, khusus dalam kasus agama Islam.
Hubungan keduanya masih menjadi perdebatan panjang dan intensif di kalangan para pakar
muslim. Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, yang ditulis Ubaedillah & Abdul Rojak
(2013: 31-34), Pendidikan kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi, HAM,
dan Masyarakat Madani, mengatakan,” Perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu
abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini.” Karena menurut Azra, ketegangan
perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang
agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan Negara (dawlah). Berbagai
eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep
dan kultur politik masyarakat Muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah
Negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak Negara Muslim telah berkembang
secara beragam.Perkembangan wacana demokrasi di kalangan negara-negara Muslim
dewasa ini semakin menambah marak perdebatan Islam dan Negara.
Perdebatan Islam dan Negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah
system kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehidupan manusia,
termasuk persoalan politik.Dari pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini
pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik
(dawlah).Arguemntasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad SAW berperan ganda, sebagai seorang pemimpin
2016
12
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
agama sekaligus sebagai kepala Negara yang memimpin sebuah system pemeintah awal
Islam yang oleh kebanyakan pakar, sangat modern di masanya.
Posisi ganda Nabi Muhammad SAWdi kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli
Secara garus besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan
Negara, atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk
Negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad SAW tak seorang pun dapat
menggantikan peran ganda Beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekuler dan si penerima
wahyu Allah sekaligus.
Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa posisi Nabi saat
itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (AlQuran) bukan sebagai
penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat
untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan
lain, politik dan Negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi
dari agama Islam. Pendapat ini bersandar pada ayat AlQuran (QS.57:25) yang
artinya,”Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keteranganketerangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan agar manusia
berlaku adil, dan Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaatmanfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan menolong
Rasul-Nya yang ghaib (daripadanya)." Sehingga Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa
agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang” penolong.Hal ini
dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu
yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Adapun politik
tidak lain sebatas alat untuk mencapai tujuan-rujuan luhur agama.
Hubungan Islam dan Negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan kedalam
tiga pandangan: Integralistik, Simbiotik, dan sekularistik.
1. Paradigma Integralistik:
Paradigma Integralistik hampir sama persis dengan pandangan Negara teokrasi Islam/
Paradigma ini mengandung paham/konsep agama dan Negara merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu
(integrated). Pada paham ini juga memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu
lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa
Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).
2016
13
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam pergulatan Islam
dan Negara modern, pola hubungan integrative ini kemudian
melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berate bahwa kehidupan kenegaraan
diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian
paradigma integralistik identi dengan paham ad-Din wa dawlah (Islam sebagai agama dan
Negara), yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam (syariat Islam). Paradigma
integralistik ini antara lain dianut oleh Negara Kerajaan Saudi Arabia dan penganut syi’ah di
Iran. Kelompok pencinta Ali r.a. ini menggunakan istilah Imamah sebagai dimaksud dengan
istlah dawlah yang banyak dirujuk kalangan Sunni.
2. Paradigma Simbiotik:
Menurut pandangan simbiotik, hubungan agama dan Negara berada posisi saling
membutuhkan dan bersifat timbale balik (simbiosis mutualita).Dalam pandangan ini, agama
membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan
agama.Begitu juga sebaliknya, Negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral,
etika, dan spiritualitas warga negaranya.
Paradigma simbiotik tanpaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang
Negara sebagai alat agama diatas. Dalam kerangka ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang
paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka agama tidak akan berdiri tegak.
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa agama dan Negara merupakan dua
entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan.Olah karenanya, konstitusi yang berlaku
dalam paradigm ini tidak saja berasal dari adanya kontrak social (social contract), tetapi bisa
diwarnai oleh hukum agama (syariah). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi
kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Model pemerintahan Negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada
kelompok paradigm ini.
3. Paradigma Sekularistik:
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan
Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak
boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara agama
merupakan wilayah pribadi masing-masing warga Negara.
Pengalaman Negara dan agama Islam di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di
dunia. Uniknya, Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam.Dari keunikan ini perdebatan pola
2016
14
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung
selesai. Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasiolisme
Muslim dan nasionalis sekuler 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan
Negara pada kuru-kurun selanjutnya. Perdebatan Islam dan nasionalisme—dan konsep
Negara sekuler diwakili masing-masing oleh nasionalis Muslim Mohammad Natsir, dan
Soekarno, dari kelompok nasionalis sekuler.
Menurut Ubaedillah & Abdul Rojak (2013: 135-137), Pendidikan kewarganegaraan (Civic
Education)
Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani mengatakan, bahwa
perdebatan Islam dan konsep-konsep ideology sekuler menemukan titik klimaks pada
persidangan formal dalam sidang-sidang mejelis Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang, 1945. Para tokoh Muslim
seperti H.Agus Salim, KH Mas Mansyur,dan KH Wahid Hasyim, menyuarakan suara aspirasi
Islam dengan mengajukan usul konsep Negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai
dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Usulan ini bersandar pada alasan sosiologis bangsa
Indonesia yang mayoritas memeluk Islam sebagai agama dan keyakinannya.
Alasan kelompok nasionalis Muslim ini ditentang oleh kalangan nasionalis sekuler yang
mengajukan konsep Negara sekuler. Menurut para nasionalis sekuler , kemajemukan
Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alas an mereka menolak
konsep Negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim. Bagi mereka,
Indonesia yang majemuk
baik agama, suku, dan bahasa harus melandasi berdirinya
Negara nonoagama (sekuler). Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, tokoh
nasionalis sekuler Soekarno merujuk pengalaman Turki Modern dibawah Kemal Atturk
dengan konsep negara sekulernya. Lebih lanjut, Soekarno kembali menyeruakan konsep
sekulernya tentang lima dasar negara Indonesia, yang kemudian dikenal Pancasila.
Tentu saja paham kebangsaan Pancasila tidak mudah diterimaoleh kelompok nasionalis
Muslim.Bagi mereka selain alasan mayoritas penduduk Islam memeluk Islam, Islam agama
ciptaan Allah yang bersfat unirsal dan lengkap harus dijadikan dasar dalam tata kehidupan
kenegaraan dan kebangsaan Indonesia.Akhir dari perdebatan konstitusional BPUPKI
menghasilkan kekhawatiran bagi kelompok nasionalis dari kawasan Indonesia Timur.
Kekhawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan mereka menidirikan Negara sendiri
dengan memisahkan diri konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Ancaman
pemisahan diri dari konsep NKRI melahirkan kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis
yang tengah berdebat tentang masa depan Indonesia. Namun demikian, dibalik sengitnya
perdebatan tentang dasar dan bentuk Negara, terjadi kesepakatan atau kompromi politik di
kalangan tokoh-tokoh nasionalis baik Muslim maupun sekuler.
2016
15
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Klimaks dari sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis Muslim untuk
tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia.
Demi persatuan dan kesatuan terselenggarakannya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia
dari cengkraman penjajah, mereka menerima konsep kalangan nasionalis sekuler, dengan
catatan Negara menjamin dijalankannya syariat Islam bagi pemeluk Islam di Indonesia.
Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis sekuler dikenal
dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta
Charter) yang menyebutkan Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan negara dibawah kepemimpinan Soekarno
kembali mengalami ketegangan.Sumber ketegangan itu berpusat pada perdebatan seputar
tafsir klausul Sila Pertama Pancasila,”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya.”Alotnya perdebatan tersebut berakhir pada pemahaman di kalangan tokoh
nasional bahwa NKRI adalah bukan Negara agama (Islam) dan juga negara sekuler.
Berikut catatan sngkat pergumulan Islam dan Negara Indonesia: Pada kurun 1950-1959,
ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi Parlementer, ketegangan
Islam dan
negara kembali terulang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai politik
Islam, seperti Partai Masyumi dan Partai NU, dengan partai politik sekuler; Partai Komunis
Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan sebagainya. Perseteruan Ideologis
Islam versus Ideologi sekuler terjadi dalam persidangan Konstituante hasil pemilu
demokratis yang pertama 1955.
Pemilu 1955 yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu sebagai pemilu paling demokratis
dalam sejarah politik nasional Indonesia ternyata tak menjamin
terselenggarakannya
proses pembuatan konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hamper rampung
menyelesaikan
tugas-tugas
konstitusionalnya,
ketidakstabilan
politik
dan
ancaman
disintegrasi dianggap oleh Presiden Soekrano sebagai dampak langsung dari Demokrasi
Parlementer yang diadopsi dari Barat. Menurut Soekarno, demokrasi ala Barat tidak sesuai
dengan iklim politik Indonesia. Perseteruan sengit antara partai-partai harus diakhiri dengan
memberlakukan kembali UUD 1945 dibawah sistem Demokrasi Terpimpin (Guided
Democracy) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki
kekuasaan yang tak terbatas, bahkan dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.
Kekuasaan Presiden Soekarano yang tidak terbatas dibawah Demokrasi Terpimpin masih
tetap mengakomodasi kekuatan Islam.Hubungan Islam dan Negara tercermin pada
kepemimpinannya Presiden Soekarno yang menjankan prinsip fusi politik ciptaannya,
2016
16
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Nasakom (nasionalis, agama, komunis), Nasakom terdiri atas tiga komponen dominan hasil
pemilu 1955; PNI, Islam (diwakili NU) dan PKI.Keberadaan PKI sangat penting bagi
pemerintahan Soekarno karena perolehan suaranya yang sangat signifikan dalam pemilu.
Model kepemimpinan “tiga kaki” Presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik di
kalangan kelompok militer dibawah Jenderal A.H.Nasution. Perseteruan politik dan ideology
antara TNI (tentara nasional Indonesia) dengan PKI
berdampak pada persekutuan politik
antara kelompok Islam dan militer untuk menghadapi PKI yang tengah dekat dengan
Presiden Soekarno.Seperti perseteruan ideologi sebelumnya, ideology sosialis komunis
menjadi alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi dengan TNI melawan paham
komunis.
Sistem Demokrasi Terpimpin ala Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis,
Gerakan 30 Sepetember 1965, gerakan maker ini menurut beberapa ahli merupakan buah
dari perseteruan ideologis panjang antara PKI dengan TNI, khususnya Angkatan Darat,
yang berujung pada pembunuhan sejumlah elit pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim,
Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno dan
awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersmar), Panglima Kostrad (Komando Strategis Angakatan Darat) Letnan Jenderal
Soeharto kala itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan penumpasan
terhadap semua unsure komunis di Indonesia.
Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Panglima Kostrad Letjen Soeharto ke
tampuk kepemimpinan nasional yang disyahkan oleh siding umum MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara) dibawah pimpinan Jenderal A.H.Nasution pada 1968.
Dengan sloga kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen. Presiden Soeharto
memulai kepemimpinan nasional dengan sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama
yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
Era Soeharto : Babak Baru Hubungan Islam dan Negara
Naiknya Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan Negara di Indoneia.
Menurut Imam Azis, dalam A.Ubaedillah & Abdul Rozak (2004:138), pola hubungan antara
keduanya secara umum dapat digolongkan ke dalam dua pola: antagonistis dan akomodatif.
Hubungan antagonistis merupakan sifat hubungan yang mencirika adanya ketegangan
antara Islam dan Negara Orde Baru; sedangkan akomodatif menunjukan saling
membutuhkan antara kelompok Islam dengan Negara Orde Baru, bahkan terdapat
kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian sebelum mencapai
pola akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama dan Negara
2016
17
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Orde Baru yang bersifat resiprokal-kritis
yakni awal dimulainya penurunan ketegangan
antara agama dan Negara Indonesia.
Hubungan antagonis antara Negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari
kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang dilakukan pemerintahan Orde Baru.
Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap
kelompok Islam, khususnya di era 1950-an. Lalu pada pertengahan 1980-an merupakan
awal perubahan pendulum hubungan Islam dan Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya
kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam.Menurut
Efendy lagi, kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik
selanjutnya baik struktural maupun struktral.
Kecenderungan akomodasi Negara terhadap Islam juga---menurut Affan Gafar, ditengarai
dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta
kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari
akan potensi umat Islam sebagai kekuatan politik yang potensil. Adapun menurut Thaba,
sikap akomodatif Negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman Negara
terhadap perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan Negara, terutama dalam
konteks perlakuan dan penerimaan Pancasila. Perubahan sikap umat Islam pada paruh
kedua 1980-an, dari penentang menjadi menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orde
Baru yang menguntungkan umat Islam pada masa selanjutnya.
Pengesahan RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, pembolehan pemakaian
jilbab bagi siswi Muslim di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan Cendekiawan
Muslim (ICMI), dan lahirnya yayasan Amal Bakti Pancasila yang dipimpin oleh Presiden
Soeharto merupakan indicator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan oleh elit
penguasa Orde Baru terhadap Islam.
Selanjutnya Islam dan Negara pasca Orde Baru harus kembali melestarikan komitmen suci
para pendiri bangsa (sacred commitment founding fathers) untuk menjaga kesepakatan
membangun masa depan demokrasi Indonesia harus diletakkan dalam tataran Indonesia
yang plural dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konsep NKRI dan
Pancasila dengan kebhinekaannya tidak bias dilepaskan dari ijtihad kelompok Islam
Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan dan diaktualisasikan dengan pengembangan
ajaran-ajaran Islam yang berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan keindonesia-an.
Persoalan yang sama harus dilakukan pula oleh Negara. Negara memiliki kewajiban
konstitusional untuk menjamin kemajemukan dan demokrasi di Indonesia.Penyelenggara
2016
18
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Negara harus tetap menjaga dan mengawal sunnatullah kebineka Indonesia yang dijamin
oleh konstitusi Negara, dengan menindak tegas anasir yang mereduksi kebinekaan
Indonesia dan keutuhan NKRI.
Jadi dapat dirangkumkan, bahwa hubungan agama dan Negara di Indonesia lebih menganut
pada
azas
keseimbangan
yang
dinamis,
jalan
tengah
antara
sekularisme
dan
teokrasi.Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan antara agama dan politik,
namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap
memiliki daya kritis terhadap negara dan negara punya kewajiban-kewajiban
terhadap
agama. Dengan kata lain, pola hubungan agama dan negara di Indonesia membantu apa
yang sering disebut oleh banyak kalangan sebagai hubungan simbiotik-mutualita.
---oOo---
2016
19
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Bodenhamer David, J. 2001. Federalism and Democracy. Working Paper.
Washington D.C. : US Department of State.
Fokus Media. 2004. Undang-undang Otonomi Oaerah. Bandung : Fokus Media.
Iskatrinah. 2004. Pelaksanaan Fungsi Hukum
Mewujudkan Pemerintah yang Baik. Makalah.
Administrasi
Negara
dalam
Kansil dan Kansii. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi..Jakarta
: Pradnya Paramita.
Kusnardi, M. dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Manan Bagir. 2005. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta : Ull
Press.
MH, Amin Jaiz. 1980. Pokok-pokok Ajaran Islam. Jakarta : Korpri Unit PT. Asuransi
Jasa Indonesia.
Sinar Grafika: 2005. UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta.: Sinar Grafika.
Syarbaini, Syahrial (Editor). 2005. Materi Perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn).Jakarta : Sus- cadoswar, Dikti.
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
---oOo---
2016
20
Kewarganegaraan
Efan Setiadi, S.Kom, SH., MH.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download