Materi Kuliah Hukum Kepegawaian Disusun oleh : Tedi Sudrajat, S.H. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 2009 Perubahan Paradigma Dalam Hukum Kepegawaian Berdasarkan sejarah Indonesia, khususnya pada era orde baru terdapat permasalahan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan Indonesia. Bentuk permasalahannya berupa pola pikir pemerintah dalam struktur pemerintahan, dimana titik berat kekuasaan berada pada tangan penguasa birokrasi pemerintah yang mengakibatkan rakyat sebagai unsur utama demokrasi tidak mempunyai peran yang dapat mengontrol birokrasi pemerintah secara maksimal. Kekuasaan ini disalahgunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menguasai struktur birokrasi pemerintahan dengan konsep monoloyalitas. Semua pejabat termasuk pegawai dari berbagai lini dan layer mempunyai jabatan dan kewajiban rangkap memihak kepentingan golongan yang berkuasa. Keadaan seperti ini yang membuat sistem sentralisasi pemerintahan menjadi kuat. Konsep monoloyalitas ini berdampak terhadap penataan kepegawaian atau sumber daya aparatur pemerintah Secara garis besar, permasalahan yang dihadapi birokrasi pemerintah adalah sebagai berikut : a. Kelembagaan birokrasi pemerintah yang besar dan tidak didukung dengan sumber daya aparatur yang profesional; b. Mekanisme kerja yang sentralistik masih mewarnai kinerja birokrasi pemerintah; c. Kontrol terhadap birokrasi pemerintah masih dilakukan oleh pemerintah, untuk pemerintah, dan dari pemerintah; d. Patron-klien (KKN) dalam birokrasi pemerintah merupakan halangan terhadap upaya mewujudkan merirokrasi dan birokrasi; e. Tidak jelas dan cenderung tidak ada ”sense of accountability” baik secara kelembagaan maupun secara individu; f. Jabatan birokrasi yang hanya menampung jabatan struktural dan pengisiannya sering kali tidak berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan; g. Penataan sumber daya aparatur tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan penataan kelembagaan birokrasi. Pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan berdampak pada sistem kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia. Tantangan yang dihadapi di bidang kelembagaan, adalah menata ulang struktur organisasi dengan prinsip rasional dan realistik (sesuai kebutuhan) dan perangkat kelembagaan yang lebih efektif serta efisien yang berorientasi pada peningkatan pelayanan masyarakat. Hal ini menuntut penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan yang dapat mendukung terwujudnya pelayanan prima. Di bidang ketatalaksanaan, tantangan yang dihadapi adalah kualitas dan transparansi pelayanan masyarakat yang kurang adaptif terhadap perubahanperubahan dan tuntutan-tuntutan masyarakat, oleh karena itu diperlukan penyempurnaan sistem ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan di daerah. Bidang sumber daya manusia aparatur menghadapi tantangan untuk mengembangkan sistem perencanaan Sumber Daya Manusia aparatur pemerintah sesuai hasil penataan struktur dan perangkat kelembagaan daerah. Konsekuensinya adalah pembentukan disiplin, etika dan moral yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan tuntutan terhadap perwujudan aparatur pemerintah yang bebas Korupsi Kolusi. Nepotisme (KKN) dan lebih profesional. Hubungan antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Kepegawaian Sistem administrasi pemerintahan terbagi menjadi dua bagian yaitu pegawai negeri dan masyarakat. Pegawai negeri mempunyai otoritas dan wewenang secara hukum, sedangkan masyarakat tidak memiliki wewenang. Berdasarkan kewenangan yang diberikan tersebut maka terdapat hubungan antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Kepegawaian yang disebut sebagai openbare dienstbetrekking (hubungan dinas publik) terhadap negara (pemerintah). Adapun openbare dientsbetrekking yang melekat pada hubungan hubungan hukum kepegawaian itu lebih merupakan hubungan sub-ordinatie antara atasan dengan bawahan. Menurut Logemann hubungan dinas publik adalah bilamana seseorang mengikat dirinya untuk tunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan yang dalam melakukan suatu atau beberapa macam jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa keuntungan lain. Hal ini berarti bahwa inti dari hubungan dinas publik adalah kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan untuk tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam jabatan tertentu yang berakibat bahwa pegawai yang bersangkutan tidak menolak (menerima tanpa syarat) pengangkatannya dalam satu jabatan yang telah ditentukan oleh pemerintah di mana sebaliknya pemerintah berhak mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan tertentu tanpa harus adanya penyesuaian kehendak dari yang bersangkutan. Dalam hal ini, hubungan tersebut menimbulkan ‘Suatu perjanjian” yakni karena adanya persesuaian kehendak atau vrye verdrag (kontrak sukarela) antara pegawai dengan pemerintah Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara Hukum Kepegawaian dengan Hukum Administrasi Negara adalah : 1. Obyek Hukum Administrasi Negara adalah kekuasaan pemerintah; 2. Penyelenggaraan pemerintahan sebagian besar dilakukan oleh Pegawai Negeri; 3. Tugas dan wewenang Pegawai Negeri berupa public service dituangkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 43 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan dan pembangunan. 4. Hubungan antara Pegawai Negeri dengan negara adalah hubungan dinas publik; 5. Sengketa kepegawaian merupakan sengketa Tata Usaha Negara. Materi 1 ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL Istilah etika berasal dari bahasa yunani: ethos, yang berarti kebiasaan atau watak. Jadi, etika merupakan pola perilaku atau kebiasaan yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan pergaulan seseorang atau sesuatu organisasi tertentu. Dalam konteks organisasi administrasi publik atau pemerintah, pola-pola sikap dan perilaku serta hubungan antar manusia dalam organisasi maupun hubungannya dengan pihak luar organisasi pada umumnya diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Kode etik adalah sekumpulan norma, asas, dan nilai yang menjadi pedoman bagi anggota kelompok profesi tertentu dalam bersikap, berperilaku dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai anggota kelompok profesi tersebut. KORPRI telah memiliki kode etik KORPRI yaitu Panca prasetya KORPRI : 1. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara; 3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan; 4. Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan KORPRI; 5. Berjuang menegakan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme Menurut Kandungan nilainya, Panca Prasetya KORPRI dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) kelompok : 1. Kelompok Pertama Prasetya pertama, kedua dan ketiga menunjukan harkat jati diri anggota KORPRI yaitu sebagai warga negara yang setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, yang diwujudkan sebagai pejuang dan pengabdi terhadap negara dan bangsanya; 2. Kelompok Kedua Prasetya keempat, dan kelima menunjukan sikap dan perilaku yang harus diperankan oleh anggota KORPRI sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat. Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil Kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap PNS adalah sumpah/janji pengangkatan PNS . Mengenai sumpah/janji pengangkatan PNS telah diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, PP Nomor 21 Tahun 1975, dan Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 14/SE/1975. Sumpah/Janji menurut Penjelasan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 adalah suatu kesanggupan untuk menaati keharusan atau untuk tidak melakukan larangan yang ditentukan, yang diikrarkan di hadapan atasan yang berwenang menurut agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sanksi Pelanggaran Kode Etik dan Sumpah/Janji Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Berdasarkan Pasal 23 angka (3a) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 menetapkan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena melanggar sumpah/janji PNS dan sumpah/janji jabatan selain pelanggaran sumpah/janji PNS dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah. Dalam proses pemberhentiannya tergantung kepada berat ringannya pelanggaran atau memperhatikan jasa-jasa dan pengabdian PNS yang bersangkutan. Pasal 23 angka (5a) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 menetapkan bahwa PNS dapat diberhentikan tidak dengan hormat karena melanggar sumpah/janji PNS dan sumpah jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah. Dalam proses pemberhentiannya, PNS yang dikenakan pasal ini tidak berhak menerima pensiun karena dianggap telah membuat kesalahan yang fatal Berdasarkan Pasal 8 PP No. 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, setiap Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena : a. melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Sumpah/Janji Jabatan Negeri atau Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil; atau b. dihukum penjara, berdasarkan keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena dengan sengaja melakukan suatu tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya 4 (empat) tahun, atau diancam dengan pidana yang lebih berat. Materi 2 NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL Pada era Orde Baru, ketentuan yang mengatur PNS kaitannya dengan politik adalah UU. No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Pasal 8 ayat (2) yang menyatakan bahwa : a. PNS dapat menjadi anggota partai politik dan Golongan Karya dengan sepengetahuan pejabat yang berwenang; b. PNS yang memegang jabatan-jabatan tertentu tidak dapat menjadi anggota partai politik dan golongan karya, kecuali dengan izin tertulis dari pejabat yang berwenang. Secara normatif, pasal 8 memberi kebebasan PNS menjadi anggota dan pengurus partai politik, namun dalam realitasnya izin tersebut menjadi permasalahan hukum tersendiri. Pemberian izin selalu tidak transparan. Hal ini mengakibatkan banyak PNS yang dirugikan dengan alasan izin. Pemberian izin inilah pada masa Orde Baru disalahgunakan oleh pejabat yang berwenang. Izin digunakan oleh pejabat yang berwenang sebagai alasan penolakan dengan alasan mengganggu pelaksanaan tugas. Apabila pejabat konsisten, PNS yang menjadi anggota dan pengurus Organisasi Kemasyarakatanpun seharusnya juga dilarang karena dapat mengganggu pelaksanaan tugas. Melihat realitas ini, pemerintah Orde Baru dalam pemberian izin tidak konsisten. Selain alasan tersebut pada masa Orde Baru PNS dalam partai politik selalu dikaitkan dengan monoloyalitas. Pada era reformasi, keanggotaan dan kepengurusan PNS di dalam partai politik diatur dalam UU No.43 tahun 1999, PP No. 5 tahun 1999 jo PP No. 12 tahun 1999, PP No.37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negari Sipil Menjadi Anggota Partai Politik, Surat Keputusan Badan Administrasi kepegawaian Negara (BAKN) No.02/BA/1999 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Pemerintah, dan kemudian disempurnakan melalui Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : SE/08/M.PAN/3/2005 tanggal 31 Maret 2005 Tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Menurut S.F. Marbun, makna netralitas yang termaktub dalam UU kepegawaian adalah Bebasnya Pegawai Negeri Sipil dari pengaruh kepentingan partai politik tertentu atau tidak memihak untuk kepentingan partai tertentu atau tidak berperan dalam proses politik. Namun Pegawai Negeri Sipil masih tetap mempunyai hak politik untuk memilih, dan berhak untuk dipilih dalam pemilihan umum. Namun tidak diperkenankan aktif menjadi anggota dan pengurus partai politik. Maksud netralitas yang lain adalah jika seorang Pegawai Negeri Sipil aktif menjadi pengurus partai politik atau anggota legislatif, maka ia harus mengundurkan diri. Dengan demikian birokrasi pemerintahan akan stabil dan dapat berperan mendukung serta merealisasikan kebijakan atau kehendak politik manapun yang sedang berkuasa dalam pemerintahan. Materi 3 MANAJEMEN KEPEGAWAIAN INDONESIA Pengertian Manajemen Kepegawaian Kata manajemen merupakan perkembangan dari pengertian administrasi. Istilah administrasi dalam Ilmu Administrasi Negara berasal dari bahasa Latin “administrare”, asal kata ad dan ministrare yang diartikan sebagai “pemberian jasa atau bantuan”. Kata administrasi mengandung arti “melayani” (to serve), pimpinan (administrator) atau memimpin (to manage) yang akhirnya berarti manajemen. Dalam hal ini, manajemen merupakan inti dari administrasi, sehingga pembicaraan masalah manajemen sekaligus juga membicarakan masalah administrasi. Administrasi pada dasarnya berfungsi untuk menentukan tujuan organisasi dan merumuskan kebijakan umum, sedangkan manajemen berfungsi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan dalam batas-batas kebijaksanaan umum yang telah dirumuskan. Secara etimologis, manajemen (management) berasal dari kata manus (berarti tangan) dan agere (berarti melakukan) yang setelah digabung menjadi kata manage (bahasa Inggris) yang berarti mengurus, atau managiere (bahasa Latin) yang berarti melatih. Dalam hukum positif, istilah yang digunakan untuk menyebutkan administrasi kepegawaian adalah manajemen kepegawaian, oleh karena itu kedua istilah tersebut digunakan secara bersamaan dengan pengertian yang sama. Menurut Miftah Thoha : ”Administrasi kepegawaian seringkali disebut manajemen kepegawaian, yang tidak asing lagi bagi kegiatan administrasi instansi pemerintah. Istilah administrasi kepegawaian merupakan peristilahan yang terancang secara umum, yang dapat diperbandingkan dengan istilah manajemen tenaga kerja atau manajemen sumber daya tenaga kerja (man power or human resources management). Dalam industri istilah yang searti ialah “industrial relation” dengan memberikan penekanan pada perencanaan kepegawaian atau personnel programs. “ Ruang Lingkup Manajemen Kepegawaian Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro berpendapat bahwa manajemen kepegawaian meliputi kegiatan pengangkatan dan seleksi, pengembangan yang meliputi latihan jabatan (in-service training), promosi dan pemberhentian. Kemudian Flippo memberikan batasan tentang manajemen kepegawaian (personnel management) sebagai perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan terhadap pengadaan, pembinaan, kompensasi (pemberian gaji dan upah), integrasi, pemeliharaan dan pemberhentian/pensiun. Dalam batasan ini terdapat dua fungsi pokok, yakni: 1) Fungsi manajemen, meliputi; pengarahan dan pengawasan. perencanaan, pengorganisasian, 2) Fungsi operatif kepegawaian, meliputi; pengadaan, pembinaan/ pengembangan, kompensasi, perawatan/pemeliharaan, dan pemberhentian. Fungsi-fungsi manajemen merupakan kerangka dasar dari peran kegiatan manajerial secara universal. Fungsi manajemen dikategorikan sebagai berikut: 1. Perencanaan (Planning); 2. Pengorganisasian (Organizing); 3. Pemberian motivasi (Motivating) yang terbagi dalam a. Pengisian Staf (Staffing); b. Mengarahkan (Directing); 4. Pengawasan (Controlling); 5. Penilaian (Evaluating) Paparan di atas menunjukkan bahwa manajemen kepegawaian meliputi kegiatan-kegiatan : 1).Pengadaan dan seleksi tenaga kerja/pegawai, yang diketahui dari rangkaian kegiatan tentang pengadaan, seleksi, dan pengangkatan melalui ujian calon pelamar menjadi pegawai. 2).Penempatan dan penunjukan, diketahui melalui rangkaian ditempatkannya calon pegawai pada jabatan atau fungsi tertentu yang telah ditetapkan. 3).Pengembangan, yang diketahui dari segenap proses latihan (training) baik sebelum atau sesudah menduduki jabatan dikaitkan promosi pegawai. 4).Pemberhentian, yang diketahui melalui proses diberhentikannya tenaga kerja/pegawai baik sebelum masanya maupun sudah saatnya (pensiun). Materi 4 Konsep Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik Dalam Perspektif Hukum Kepegawaian Birokrasi memiliki asal kata dari Bureau, sedangkan kata akhiran cracy diturunkan dari kata kratein (Yunani) yang berarti mengatur (to rule). Menurut kamus bahasa Jerman edisi 1813, birokrasi didefinisikan sebagai "wewenang atau kekuasaan yang oleh berbagai departemen pemerintah dan cabangcabangnya diperebutkan untuk diri mereka sendiri, atas sesama warga negara”. Menurut kamus teknik Bahasa Italia yang terbit tahun 1828 didefinisikan sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan Birokratisasi Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Pegawai di dalam suatu negara atau diartikan pula sebagai Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh Pegawai Negeri Terdapat 3 alasan pemikiran birokrasi dapat mendorong good governance : 1. Perbaikan kinerja birokrasi dinilai penting oleh stakeholder. Pemerintah berkepentingan dengan legitimasi, semakin membaiknya birokrasi akan memperkecil biaya yang dapat memperbaiki kesejahteraan warga pengguna dan efisiensi mekanisme pasar ; 2. Semakin membaiknya birokrasi, maka stakeholder percaya bahwa pemerintah serius melakukan perubahan. Adanya kepercayaan (trust) merupakan prasyarat untuk mendukung praktik good governance; 3. Nilai-nilai yang mencirikan praktik good governance dapat diterjemahkan secara sederhana melalui birokratisasi. Alasan keterkaitan norma hukum dengan birokrasi : Pertama, kekuasaan menjalankan fungsi birokrasi diletakkan pada kekuasaan (eksekutif) sebagai pelaksana peran. Kedua, kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan bersumber dari wewenang formil (formil authority) yang diberikan kepada seseorang/suatu pihak dalam bidang tertentu. Ketiga, kewenangan yang diberikan tersebut didasarkan pada hukum yang menjadi landasan dalam melaksanakan fungsi melalui pelimpahan kekuasaan yang diberikan oleh negara Konsep administrative governance melalui penerapan good governance merupakan isu yang digulirkan oleh UNDP (United Nation Development Program) dan World Bank sejak tahun 1997 sebagai syarat dalam penyaluran dana guna menyelesaikan permasalahan krisis moneter di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah jalur birokrasi dalam pemerintahan dan secara tidak langsung sebagai upaya mempermudah akses masuknya perdagangan bebas melalui birokratisasi yang sederhana. Melalui konsep Good Governance tersebut kemudian dikeluarkan TAP MPR No.VIII/MPR/1998 berupa agenda aksi reformasi dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Berdasarkan hal tersebut, peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya. Perspektif good governance tersebut mengimplikasikan adanya pengurangan peran dari pemerintah, namun hal ini tidak serta merta meninggalkan peran pemerintah begitu saja. Terdapat 6 (enam) prinsip yang menyatakan terdapatnya peran pemerintah yang signifikan dalam proses governing 1. Dalam kolaborasi yang dibangun, negara (pemerintah) tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi, serta memiliki kapasitas mengkoordinasi (bukan memobilitasi) 2. Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan, dari yang semula dipahami sebagai ”kekuasaan atas” menjadi ”kekuasaan untuk” menyelenggarakan kepentingan, kebutuhan, menyelesaikan masalah publik 3. Negara, NGO, swasta dan masyarakat lokal merupakan aktor-aktor yang memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan (untuk tidak menyebut setara) 4.Negara harus mendesain ulang struktur dan kultur oraganisasinya agar siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom dan dinamis. 5.Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan serta penyelenggaraan layanan publik; 6.Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan, dan penyelesaian masalah publik UNDP (United nation Development Program), mengemukakan bahwa karakteristik tata prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik good governance meliputi : 1. Partisipasi (participation) 2. Aturan Hukum (Rule of Law) 3. Transparansi (Tranparency) 4. Daya Tanggap (Responsivenes) 5. Berorientasi konsensus (Concencuss Orientation) 6. Berkeadilan (Equity) 7. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness adn Efficiency) 8. Akuntabilitas (Accountability) 9. Visi strategis (Strategic Vision) Berdasarkan prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas, maka global administrative governance memberikan pengaruh terhadap perubahan paradigma dalam sistem birokratisasi. Pengaruh di bidang kelembagaan adalah menata ulang struktur organisasi dengan prinsip rasional dan realistik (sesuai kebutuhan) dan perangkat kelembagaan yang lebih efektif serta efisien yang berorientasi pada peningkatan pelayanan masyarakat. Di bidang ketatalaksanaan adalah penyempurnaan kualitas dan transparansi pelayanan masyarakat terhadap perubahan-perubahan dan tuntutan-tuntutan masyarakat, oleh karena itu diperlukan penyempurnaan sistem ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Bidang sumber daya manusia aparatur sebagai pilar utama penyelenggaraan pemerintahan berpengaruh pada pengembangan sistem perencanaan Sumber Daya Manusia aparatur pemerintah sesuai hasil penataan struktur dan perangkat kelembagaan daerah. Konsekuensinya adalah pembentukan disiplin, etika dan moral di tingkat pelaksana yaitu Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan tuntutan terhadap perwujudan aparatur pemerintah yang bebas Korupsi Kolusi. Nepotisme (KKN) dan lebih profesional.