MODUL PERKULIAHAN KAPITA SELEKTA Komunikasi sebagai Ilmu Pengetahuan Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Broadcasting Tatap Muka 01 Kode MK ---- Disusun Oleh Sofia Aunul, M.Si Abstract Kompetensi Ilmu komunikasi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang bersifat multidisipliner. Disebut demikian karena pendekatanpendekatan yang dipergunakan berasal dari dan menyangkut berbagai bidang keilmuan dan terlihat jelas dalam pembahasan mengenai teori, model, perspektif, dan pendekatan ilmu komunikasi. Setelah mempelajari materi dalam modul ini, mahasiswa akan mampu memahami: 1. Komunikasi dalam lintasan sejarah 2. Komunikasi sebagai ilmu KOMUNIKASI SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN Apa yang kita pikirkan bila mendengar kata komunikasi? Kita sering mendengar kata komunikasi tetapi ketika kita ditanya tentang pengertian komunikasi, jawabannya pasti amat beraneka ragam. Mulai dari berdoa (komunikasi dengan tuhan), bersenda gurau, pidato, hingga menggunakan alat elektronik atau computer yang canggih. Istilah komunikasi sudah sedemikian lazim dikalangan kita, meskipun masing-masing orang mengartikan istilah itu secara berbeda-beda, keseharian kita dipenuhi oleh penggunaan kata-kata komunikasi, misalnya: “ hewan pun berkomunikasi dengan caranya masing-masing”, “ada miskomunikasi antara kita”, “saya sebel sama orang itu, karena orangnya tidak komunikatif”, “computer adalah sarana komunikasi yang tercanggih”, “kami sedang menerima komunikasi lanjutan dari surat pemerintah”, dan sebagainya. B. Aubrey Fisher menyatakan bahwa fenomena komunikasi manusia sedemikian kompleksnya sampai-sampai dapat digambarkan pada tiga kata serba: serba ada, serba luas, dan serba makna. Lebih dari itu, dalam kehidupan keseharian pun, kata komunikasi digunakan dalam berbagai cara: “sebagai contoh, kita mengganggap komunikasi sebagai suatu proses: “kita sedang terlibat komunikasi”, kita mengganggap komunikasi sebagai sebuah media untuk menyampaikan informasi, sebagaimana tercermin dalam istilah komunikasi massa. Potensi komunikasi juga berarti pesan (massages), “saya menerima komunikasi yang banyak dari diri dia”. Kita pun dapat berpendapat bahwa komunikasi merupakan suatu peristiwa: baru kemarin kita komunikasi. Kita juga berpendapat bahwa komunikasi adalah berhubungan: kita telah mengadakan komunikasi intensif dengan pejabat itu. Bahkan kita menganggap komunikasi sebagai suatu keadaan yang saling pengertian yang jauh berbeda dari pentransferan informasi ataupun pesan-pesan: kita saling berbincang, akan tetapi nyatanya kita tak pernah saling berkomunikasi. Dan sudah tentu, kita menganggap komunikasi sebagai disiplin atau suatu bidang studi. (Fisher. 1990:130) Sebenarnya, kalau dirunut dari asal muasal bahasa, kata komunikasi diserap dari bahasa inggris communication, yang bisa dirujuk dari kata latin communis yang berarti “sama”, communico, communication atau istilah communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah communis adalah istilah yang paling disebut sebagai asal usul 1 2 KAPITA SELEKTA Sofia Aunul, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata latin lainnya yang mirip. Pengertian ini mengartikan bahwa “suatu pikiran, suatu makna”, atau “suatu pesan yang dianut secara sama”, namun perunutan asal kata ini tidak banyak membantu, terutama karena komunikasi sebagai ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga tidak lagi bisa dicarikan maknanya hanya dengan merujuk pada akar katanya. Pemahaman tentang apa itu komunikasi, ungkap Miller (2002), akan lebih baik jika kita mengevaluasi pengertian komunikasi dilihat dari kegunaannya daripada ketepatan definisinya. Misalnya, kita dapat mengutip Thomas M. Scheidel, yang mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang disekitar kita, dan untuk memengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Tujuan dasar berkomunikasi adalah mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita. Sementara Gordon I Zimmerman et. Al, merumuskan bahwa kita dapat membagi tujuan berkomunikasi menjadi dua kategori dasar. Pertama, untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita-untuk memberi makan dan pakaian kepada diri sendiri, memuaskan kepenasaran kita akan lingkungan, dan menikmati hidup. Kedua, untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. jadi komunikasi berdasarkan tinjauan fungsi, mewadahi kebutuhan manusia untuk hidup bersama dalam suatu komunitas yang ditandai dengan terjadinya kontak sosial yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana menciptakan kehidupan yang sanggup mengendalikan lingkungan luar dan psikologis manusia. Rudolph F. Verderber mengemukakan bahwa komunikasi itu memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi sosial yakni untuk tujuan kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan. Kedua, fungsi pengambilan keputusan, yaitu memutuskan untu melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada suatu saat tertentu. Sebagian keputusan ini dibuat sendiri, dan sebagian lagi dibuat setelah berkonsultasi dengan yang lain. sebagian emosional, sebagian penuh pertimbangan yang matang. (Mulyana. 2000:4) Alfred Korzybski menyatakan bahwa kemampuan manusia berkomunikasi menjadi manusia “pengikat waktu” (time binder). Pengikatan waktu merujuk pada kemampuan manusia untuk mewariskan pengetahuan dari generasi ke generasi sebagai generasi baru. Mereka mampu mengambil pengetahuan masa lalu, mengujinya berdasarkan fakta-fakta mutakhir dan meramalkan masa depan. Pengikatan waktu ini jelas merupakan suatu 1 3 KAPITA SELEKTA Sofia Aunul, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id karakteristik yang membedakan manusia dengan lainnya. Dengan kemampuan ini, manusia mampu mengendalikan dan mengubah lingkungan mereka. (Mulyana. 2000:6) George Herbert mead mengatakan bahwa setiap manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat – dan itu dilakukan lewat komunikasi. Jadi kita mengenal diri kita lewat orang lain, yang menjadi cermin yang memantulkan bayangan kita. Charles H. Cooley menyebut konsep diri sebagai the looking glass self yang secara signifikan ditentukan oleh apa yang seseorang pikirkan mengenai pikiran orang lain terhadapnya, jadi menekankan pentingnya respons orang lain yang diinterpretasikan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai dirinya. KOMUNIKASI DALAM LINTASAN SEJARAH Belasan batasan komunikasi itu menunjukkan perkembangan komunikasi yang sangat pesat. Pada awalnya komunikasi memang sekedar alat antara manusia, agar manusia bisa saling berhubungan. Pada waktu itu, sebagai sebuah kegiatan biasa, komunikasi tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus diberi perhatian, dikaji, atau distrukturkan dalam bentuk yang ajeg. Namun pada abad ke-5 sebelum masehi, di Yunani, berkembang suatu ilmu yang mengkaji proses pernyataan antara manusia. Namanya retorika. Kata ini berasal dari kata Yunani retorike yang berarti seni berdebat, dari akar kata retor (orang yang berpidato). Retorika berarti seni berpidato dan berargumentasi yang bersifat menggugah atau seni menggunakan bahasa secara lancar untuk memengaruhi dan mengajak. Semenjak abad itu urusan memperbincangkan gagasan, keinginan kepada orang lain mendapatkan keinginan khusus, tidak dianggap sebagai kegiatan biasa-biasa saja. Sejumlah tokoh yang secara serius mengkaji (bahkan melatih diri seni retorika bermunculan). Mulanya dari mazhab ini, retorika mendapat pembahasan khusus di samping pembahasan tentang asal muasal alam (arkhe), kedokteran, pemerintahan, dan sebagainya. Bahkan beberapa pemikir itu menempatkan retorika sebagai hal penting dalam masyarakat dan pemerintahan. Kaum Sofis’ menyatakan bahwa pemerintahan harus dibangun berdasarkan pilihan warga Negara, untuk itu pemimpin harus dipilih oleh warga Negara. Karena adanya proses pemilihan maka berkembanglah seni memengaruhi pilihan orang lain, inilah retorika. Jadi retorika menjadi syarat penting bagi pembentukan pemerintahan. Mengolah pembicaraan (retorika demi kemenangan adalah pendapat Georgias) 480-370 1 4 KAPITA SELEKTA Sofia Aunul, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id SM. Pendapat ini kemudian dibantah oleh Protagoras (500-432 SM) yang menyatakan bahwa pengolahan pembicaraan bukan demi kemenangan melainkan demi keindahan bahasa. Socrates berbeda lagi, dia menyatakan bahwa mengolah pembicaraan adalah demi kebenaran bukan demi kemenangan atau sekedar pemerintahan bahasa. Maka Socrates mengajukan cara mengolah pembicaraan dan gagasan yang berbeda dari retorika, namanya dialog atau meieutic (baca mayetik) sofistik berarti “orang pintar, berbudi halus”. Kata ini berarti orang yang halus dan pintar, atau orang yang pandai menipu dan menyesatkan. Sofistik agak mirip dengan eristic. Sofistik menggunakan argument demi bayaran, sementara eristic demi kemenangan. Mayetik atau meieutic dari bahasa Yunani, maieuesthei (seseorang yang bertindak sebagai bidan), dari kata maia yang berarti bidan. Istilah ini merupakan metode Socrates dalam buku Phaedrus karya Plato. Karena itu ada yang menganggap metode mayetik sebagai milik Plato. Metode ini didasarkan pada keyakinan bahwa orang sudah memiliki pengetahuan. Namun pengetahuan itu perlu dikeluarkan, dilahirkan. Pembicara atau pembimbing berusaha sedapat mungkin memancing ide dari pendengar agar dapat memunculkan pengetahuan si pendengar. metode olah gagasan yang dikembangkan Socrates (dan Plato) ini kemudian menjadi dasar dari pembahasan filsafat yang sistematis. Aristoteles, disamping mengembangkan filsafatnya yang khas juga membicarakan ihwal retorika. Ia mengemukakan bahwa retorika sama pentingnya dengan silogisme (silogisme adalah cara penarikan kesimpulan logis dalam filsafat). Keduanya sama-sama mengemukakan suatu gagasan dan menarik kesimpulan dan sejumlah gagasan. Perbedaannya dapat dipertanggung jawabkan. Retorika hanya menimbulkan perasaan seketika, meski lebih efektif ketimbang silogisme. Sebaiknya silogisme menekankan pada ketetatan logika sehingga dapat menampilkan kebenaran dengan baik, walaupun tidak ekspresif. Dengan demikian, bagi Aristoteles, retorika dan silogisme sama-sama memiliki kekuatan dalam menyampaikan suatu kebenaran, asalkan pertanyaannya telah diuji oleh dasar-dasar logika. Cicero (106-43 SM) adalah filsuf romawi yang mengembangkan pengelolaan kalimat dan gagasan. Ia mengembangkan satu istilah baru, yaitu orasi (pelakunya dinamakan orator). Pada cicero inilah retorika disusun sebagai suatu ilmu yang lebih sistematis. Cicerolah yang membuat dasar-dasar penyusunan pidato yang terdiri dari pendahuluan (eksyordium), pemaparan (naratio), peneguhan (conformation), pertimbangan (repotatio), dan penutup (perotario). Cicero juga menegaskan bahwa isi pembicaraan haruslah berisi bahan yang benar terbukti dan dilakukan untuk mendidik, membangkitkan kepercayaan, dan 1 5 KAPITA SELEKTA Sofia Aunul, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menggerakkan perasaan. Pada perkembangan awal ini batasan komunikasi yang dapat kita terapkan adalah percakapan atau penyampaian gagasan antara manusia secara lisan dan bertatap muka baik berupa pidato, maupun diskusi. Penyampaian gagasan ini bukan tanpa tujuan, melainkan demi mendidik, membangkitkan kepercayaan, dan menggerakkan perasaan orang lain (atau masyarakat). Pada bagian ini definisi Hovland, Janis dan Kelly, dapat digunakan “komunikasi adalah suatu proses dimana individu (komunikator) menyampaikan pesan (biasanya verbal) untuk mengubah perilaku individu lain (audiens)”. Atau definisi Weaver “Komunikasi adalah semua prosedur dimana pikiran seseorang dapat memengaruhi orang lain”. Komunikasi terus berkembang, tidak hanya menyampaikan gagasan melalui lisan. Pada zaman kekaisaran romawi salah seorang kaisarnya yang bernama Julius Caesar (10044 SM) membuat papan pengumuman yang dinamakan Acta Diuma. Penyampaian gagasan mengenai apa yang penting bagi masyarakat saat itu telah bertambah, dari sekedar lisan menjadi bentuk tulisan. Hal ini terus berkembang lagi setelah ditemukannya kertas, penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1400-1468), dan terbitnya surat kabar pertama (afisa relation oder zeitung di Jerman dan Weekly news di Inggris pada sekitar tahun 1622). Setelah surat kabar, peradaban manusia juga lebih berkembang dan ditemukan radio, film, televisi, dan sejumlah media lain seperti yang saat ini kita nikmati. Perkembangan surat kabar memiliki pengaruh yang cukup besar pada masyarakat, sehingga memancing sejumlah ilmuwan untuk mempelajarinya. Pada tahun 1884, misalnya, prof. dr. Karl Bucher di Jerman menegaskan bahwa 1) khalayak membutuhkan ilmu pernyataan umum ; agar 2) media-media komunikasi mendukung dan menegaskan isi kesadaran yang disampaikan kepada orang lain supaya orang lain tersebut memiliki pemahaman dan sikap yang sama. Kemudian ita dapat juga menyaksikan perumusan ilmu komunikasi yang dilakukan pada tahun 1960-an oleh Carl I. Hovland, “Ilmu komunikasi adalah suatu upaya sistematis untuk merumuskan asas-asas pentransmisian informasi serta pembentukan opini dan sikap secara tepat”. KOMUNIKASI SEBAGAI ILMU Komunikasi sebagai bentuk keterampilan dapat menjelma sebagai ilmu melalui beberapa persyaratan tertentu. Persyaratan ini disebut sifat ilmiah. Salah satu sifat ilmiah itu adalah memiliki metode. Ciri ilmu adalah memiliki metode. Metode berarti bahwa penelitian 1 6 KAPITA SELEKTA Sofia Aunul, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id ilmu tersebut berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Istilah metode pada awalnya berarti “suatu jalan yang harus ditempuh”. Menempuh jalan tertentu untuk mencapai satu tujuan berarti tidak bekerja secara serampangan, langkah yang diambil harus susul menyusul dan pembatasan yang jelas diperlukan agar terhindarkan dari jalan-jalan sesat yang tak terkendalikan. Secara umum, tujuan sebuah pengetahuan ilmiah adalah untuk deskriptif, eksplanatif, dan prediktif. Deskriptif berarti suatu ilmu akan menjelaskan gejala-gejala yang menjadi objek formalnya, eksplanatif berarti seluruh gejala-gejala yang teramati itu dapat dihubungkan satu sama lain secara kausal (sebab akibat), dan setelah itu dapat dilakukan prediksi akan gejala-gejala yang muncul (prediktif). Mengingat ilmu alam lahir lebih dahulu daripada ilmu sosial (termasuk ilmu komunikasi), sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak berpengaruh paradigm ilmu-ilmu alam, sebagaimana dikemukakan Poedjawijatma (1983), Hatta (1987), Suryasumantri (2001), dalam Vardiansyah (2005:8). Persyaratan suatu keterampilan menjadi ilmu itu ialah objektif, metodis, sistematis, dan universal: 1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat haikatnya, tampak dari luar maupun dari dalam. Objek dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannyadalam mengkaji objek, yang dicari adahal kebenaran, yakni persesuaian tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif, bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian. 2. Metodis, dalam upaya mencapai kebenaran, selalu terdapat kemungkinan penyimpangan, yang harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapa cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Cara ini disebut metodos dari bahasa Yunani (hodos yang berarti : cara, jalan). Dalam bahasa umum: metodis, yakni metode tertentu yang disebut metode ilmiah. Maka, pengetahuan yang didapat secara metodis merupakan syarat ilmu yang kedua. 3. Sistematis, karena mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem (dari bahasa Yunani, sustema) yang berarti: utuh menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Maka pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga. 4. Universal, kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu, melainkan bersifat umum: semua segitiga bersudut 180 derajat. Dengan kata lain, pengetahuan tentang yang khusus, yang tertentu saja, tidak diinginkan. Ilmu alam tidak puas jika tahu logam tertentu mengembang jika dipanasi. Ia berusaha mengetahui bagaimana 1 7 KAPITA SELEKTA Sofia Aunul, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id seluruh jenis logam – bahkan juga benda – benda lain umumnya – jika dipanasi. Kriteria pada ilmu alam inilah yang diadopsi oleh ilmu sosial, membuat pengetahuan yang bersifat umumlah yang dicari. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar universalitas yang dikandungnya berbeda dengan ilmu – ilmu alam, mengingat objeknya adalah tidakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu – ilmu sosial harus tersedia konteks dan kondisi yang tertentu pula. Masalahnya, sulit mencapai konteks yang beul-betul sama persis, tidak ada tingkah laku manusia yang bisa diulangi dan terulang sama persis dari waktu ke waktu. Sekarang marilah kita tinjau bagaimana komunikasi yang semula hanya keterampilan kemudian menjelma sebagai ilmu seperti telah dikemukakan perubahan bentuk dari keterampilan ilmu harus memenuhi syarat – syarat sebagai ilmu, yaitu: objektif, metodis, sistematis, dan universal. Objektif. Sebagaimana sebuah ilmu apakah komunikasi memiliki objek tertentu? Ada dua objek material komunikasi, yaitu masyarakat (objek material pertama) dan media (objek material kedua) (Abrar 2003:v). menurut Abrar, seperti ilmu-ilmu lainnya, ilmu komunikasi memiliki ilmu objek material yaitu masyarakat. Dalam perkembangannya, ilmu komunikasi mengenal objek material yang lain yaitu media. Setelah menjadikan media sebagai objek material kedua, maka ilmu komunikasi memiliki obje kajian yang konkret dibandingkan kajian ilmu sosial yang lebih tua. Sementara menurut Hamijoyo (2005) objek material komunikasi ialah perilaku manusia, yang dapat merangkum perilaku individu, kelompok dan masyarakat. Selain objek material, ilmu komunikasi pun memiliki objek formal, yaitu situasi komunikasi yang mengarah pada perubahan sosial termasuk perubahan pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku individu, kelompok, masyarakat dan pengaturan kelembagaan. Metodis, sebagai sebuah ilmu, apakah komunikasi memiliki metode tertentu? Ada sejumlah metode penelitian yang dimiliki komunikasi. Secara umum, ilmu ini menggunakan metode ilmu sosial. Ini dapat dipahami karena pada awalnya ilmu komunikasi merupakan bagian dari paradigma ilmu sosial. Sistematis: Dari objek ilmu ini kemudian ditarik garis yang teratur berupa penataan, sehingga ia benar-benar merupakan suatu unit yang utuh, yang kemudian dapat diperinci 1 8 KAPITA SELEKTA Sofia Aunul, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id secara sistematis. Pengertiannya harus jelas, perbedaannya dengan ilmu-ilmu lainnya pun harus jelas. Begitu pula strukturnya hierarkinya, urutan-urutannya harus sedemikian rupa, sehingga makin ke bawah pengertiannya makin khusus. Kini pengertian-pengertian dalam bidang ilmu komunikasi pada prinsipnya sudah mencapai kesepakatan. Universal. Telah ada kesepakatan bahwa ilmu ini mempelajari pernyataan antar manusia, kendati nama-nama yang berbeda masih mewarnai ilmu ini, seperti istilahnya publiciteitsleer (W. N. Van der Hout), pers – etenschap (kurt Baschwitz), Zeitungswissenschaf (Karl d’Ester), communication, Joumalism, Mass communication, Communicolog (di Amerika Serikat). Ciri ilmu dalam perspektif ilmu sosial di atas (objektif, metodis, sistematis, dan universal) kemudian diperbaharui. Perkembangan metode ilmu yang mulai membedakan antara ilmu alam (erklaren) dan ilmu sosial (verstehen) pada akhirnya merumuskan ciri ilmu sosial yang lebih khas, maksudnya tidak sama persis dengan ciri ilmu-ilmu alam. Ciri suatu ilmu sosial adalah adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi, dan dapat disistematisasi. Jadi kesimpulannya suatu ilmu haruslah dapat diuji. Setiap konsep atau prinsip ilmu ilmiah apapun dapat saja ditolak setelah dibuktikan kembali bahwa ia salah atau bahkan dipandang menipu. Ihwal cara mengujiannya tidaklah seragam bergantung pada perspektinya: positivisme, menggunakan uji empiris verifikasi, dan atau falsifikasi, konstruktivisme, menggunakan uji pabilitas, dan seterusnya. Lebih lengkap lagi Alfred Schutz mengajukan ciri ilmu sosial ia memberikan tiga postulat ihwal ilmu. Pertama, konsistensi logis. Konsistensi logis berarti suatu ilmu haruslah rasional, dapat digeneralisasi, dapat disistematisasi. Kedua, adanya interpretasi subjektif. Ketiga, kecukupan (adequacy), menuntut ilmu untuk tetap konsisten dengan “pengalaman awan terhadap realitas sosial”. Jadi penjelasan ilmiah tentang tindakan manusia haruslah dapat dimengeri oleh orang yang bukan ilmuwan; dengan cara ini hasil kerja ilmiah menjadi serasi dengan interpretasi orang awam. Perubahan ciri ilmu ini tak bisa dihindari dan bukan berarti menghapuskan ciri ilmu yang sebelumnya. Semua ciri ilmu dapat digunakan bergantung pada perspetifnya; dengan kata lain semua ciri ilmu itu dapat dikenakan semuanya (walaupun tidak secara bersamaan) terhadap ilmu komunikasi. Apa sebab? Sekali lagi, ditegaskan, karena ilmu komunikasi adalah ilmu yang serba serbi. 1 9 KAPITA SELEKTA Sofia Aunul, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media Mulyana, Deddy, Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008 1 10 KAPITA SELEKTA Sofia Aunul, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id