Modul Kapita Selekta Ilmu Sosial [TM1]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
KAPITA SELEKTA
Komunikasi sebagai Ilmu
Pengetahuan
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Broadcasting
Tatap Muka
01
Kode MK
----
Disusun Oleh
Sofia Aunul, M.Si
Abstract
Kompetensi
Ilmu komunikasi merupakan salah satu cabang
ilmu pengetahuan yang bersifat multidisipliner.
Disebut
demikian
karena
pendekatanpendekatan yang dipergunakan berasal dari
dan menyangkut berbagai bidang keilmuan
dan terlihat jelas dalam pembahasan mengenai
teori, model, perspektif, dan pendekatan ilmu
komunikasi.
Setelah mempelajari materi dalam
modul ini, mahasiswa akan mampu
memahami:
1. Komunikasi dalam
lintasan
sejarah
2. Komunikasi sebagai ilmu
KOMUNIKASI SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
Apa yang kita pikirkan bila mendengar kata komunikasi? Kita sering mendengar kata
komunikasi tetapi ketika kita ditanya tentang pengertian komunikasi, jawabannya pasti amat
beraneka ragam. Mulai dari berdoa (komunikasi dengan tuhan), bersenda gurau, pidato,
hingga menggunakan alat elektronik atau computer yang canggih.
Istilah komunikasi sudah sedemikian lazim dikalangan kita, meskipun masing-masing
orang mengartikan istilah itu secara berbeda-beda, keseharian kita dipenuhi oleh
penggunaan kata-kata komunikasi, misalnya: “ hewan pun berkomunikasi dengan caranya
masing-masing”, “ada miskomunikasi antara kita”, “saya sebel sama orang itu, karena
orangnya tidak komunikatif”, “computer adalah sarana komunikasi yang tercanggih”, “kami
sedang menerima komunikasi lanjutan dari surat pemerintah”, dan sebagainya.
B. Aubrey Fisher menyatakan bahwa fenomena komunikasi manusia sedemikian
kompleksnya sampai-sampai dapat digambarkan pada tiga kata serba: serba ada, serba
luas, dan serba makna. Lebih dari itu, dalam kehidupan keseharian pun, kata komunikasi
digunakan dalam berbagai cara:
“sebagai contoh, kita mengganggap komunikasi sebagai suatu proses: “kita sedang
terlibat komunikasi”, kita mengganggap komunikasi sebagai sebuah media untuk
menyampaikan informasi, sebagaimana tercermin dalam istilah komunikasi massa. Potensi
komunikasi juga berarti pesan (massages), “saya menerima komunikasi yang banyak dari
diri dia”. Kita pun dapat berpendapat bahwa komunikasi merupakan suatu peristiwa: baru
kemarin kita komunikasi. Kita juga berpendapat bahwa komunikasi adalah berhubungan:
kita telah mengadakan komunikasi intensif dengan pejabat itu. Bahkan kita menganggap
komunikasi sebagai suatu keadaan yang saling pengertian yang jauh berbeda dari
pentransferan informasi ataupun pesan-pesan: kita saling berbincang, akan tetapi nyatanya
kita tak pernah saling berkomunikasi. Dan sudah tentu, kita menganggap komunikasi
sebagai disiplin atau suatu bidang studi. (Fisher. 1990:130)
Sebenarnya, kalau dirunut dari asal muasal bahasa, kata komunikasi diserap dari
bahasa inggris communication, yang bisa dirujuk dari kata latin communis yang berarti
“sama”, communico, communication atau istilah communicare yang berarti “membuat sama”
(to make common). Istilah communis adalah istilah yang paling disebut sebagai asal usul
1
2
KAPITA SELEKTA
Sofia Aunul, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata latin lainnya yang mirip. Pengertian ini
mengartikan bahwa “suatu pikiran, suatu makna”, atau “suatu pesan yang dianut secara
sama”, namun perunutan asal kata ini tidak banyak membantu, terutama karena komunikasi
sebagai ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga tidak lagi bisa dicarikan
maknanya hanya dengan merujuk pada akar katanya.
Pemahaman tentang apa itu komunikasi, ungkap Miller (2002), akan lebih baik jika
kita mengevaluasi pengertian komunikasi dilihat dari kegunaannya daripada ketepatan
definisinya. Misalnya, kita dapat mengutip Thomas M. Scheidel, yang mengemukakan
bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri,
untuk membangun kontak sosial dengan orang disekitar kita, dan untuk memengaruhi
orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Tujuan
dasar berkomunikasi adalah mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita.
Sementara Gordon I Zimmerman et. Al, merumuskan bahwa kita dapat
membagi tujuan berkomunikasi menjadi dua kategori dasar. Pertama, untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita-untuk memberi makan
dan pakaian kepada diri sendiri, memuaskan kepenasaran kita akan lingkungan, dan
menikmati hidup. Kedua, untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang
lain. jadi komunikasi berdasarkan tinjauan fungsi, mewadahi kebutuhan manusia
untuk hidup bersama dalam suatu komunitas yang ditandai dengan terjadinya kontak
sosial yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana menciptakan
kehidupan yang sanggup mengendalikan lingkungan luar dan psikologis manusia.
Rudolph F. Verderber mengemukakan bahwa komunikasi itu memiliki dua fungsi.
Pertama, fungsi sosial yakni untuk tujuan kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan
orang lain, membangun dan memelihara hubungan. Kedua, fungsi pengambilan keputusan,
yaitu memutuskan untu melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada suatu saat tertentu.
Sebagian keputusan ini dibuat sendiri, dan sebagian lagi dibuat setelah berkonsultasi
dengan yang lain. sebagian emosional, sebagian penuh pertimbangan yang matang.
(Mulyana. 2000:4)
Alfred Korzybski menyatakan bahwa kemampuan manusia berkomunikasi menjadi
manusia “pengikat waktu” (time binder). Pengikatan waktu merujuk pada kemampuan
manusia untuk mewariskan pengetahuan dari generasi ke generasi sebagai generasi baru.
Mereka mampu mengambil pengetahuan masa lalu, mengujinya berdasarkan fakta-fakta
mutakhir dan meramalkan masa depan. Pengikatan waktu ini jelas merupakan suatu
1
3
KAPITA SELEKTA
Sofia Aunul, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
karakteristik yang membedakan manusia dengan lainnya. Dengan kemampuan ini, manusia
mampu mengendalikan dan mengubah lingkungan mereka. (Mulyana. 2000:6)
George Herbert mead mengatakan bahwa setiap manusia mengembangkan konsep
dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat – dan itu dilakukan lewat
komunikasi. Jadi kita mengenal diri kita lewat orang lain, yang menjadi cermin yang
memantulkan bayangan kita. Charles H. Cooley menyebut konsep diri sebagai the looking
glass self yang secara signifikan ditentukan oleh apa yang seseorang pikirkan mengenai
pikiran orang lain terhadapnya, jadi menekankan pentingnya respons orang lain yang
diinterpretasikan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai dirinya.
KOMUNIKASI DALAM LINTASAN SEJARAH
Belasan batasan komunikasi itu menunjukkan perkembangan komunikasi yang
sangat pesat. Pada awalnya komunikasi memang sekedar alat antara manusia, agar
manusia bisa saling berhubungan. Pada waktu itu, sebagai sebuah kegiatan biasa,
komunikasi tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus diberi perhatian, dikaji, atau
distrukturkan dalam bentuk yang ajeg. Namun pada abad ke-5 sebelum masehi, di Yunani,
berkembang suatu ilmu yang mengkaji proses pernyataan antara manusia. Namanya
retorika. Kata ini berasal dari kata Yunani retorike yang berarti seni berdebat, dari akar kata
retor (orang yang berpidato).
Retorika berarti seni berpidato dan berargumentasi yang bersifat menggugah atau
seni menggunakan bahasa secara lancar untuk memengaruhi dan mengajak. Semenjak
abad itu urusan memperbincangkan gagasan, keinginan kepada orang lain mendapatkan
keinginan khusus, tidak dianggap sebagai kegiatan biasa-biasa saja. Sejumlah tokoh yang
secara serius mengkaji (bahkan melatih diri seni retorika bermunculan).
Mulanya dari mazhab ini, retorika mendapat pembahasan khusus di samping
pembahasan tentang asal muasal alam (arkhe), kedokteran, pemerintahan, dan sebagainya.
Bahkan beberapa pemikir itu menempatkan retorika sebagai hal penting dalam masyarakat
dan pemerintahan. Kaum Sofis’ menyatakan bahwa pemerintahan harus dibangun
berdasarkan pilihan warga Negara, untuk itu pemimpin harus dipilih oleh warga Negara.
Karena adanya proses pemilihan maka berkembanglah seni memengaruhi pilihan orang
lain, inilah retorika. Jadi retorika menjadi syarat penting bagi pembentukan pemerintahan.
Mengolah pembicaraan (retorika demi kemenangan adalah pendapat Georgias) 480-370
1
4
KAPITA SELEKTA
Sofia Aunul, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
SM. Pendapat ini kemudian dibantah oleh Protagoras (500-432 SM) yang menyatakan
bahwa pengolahan pembicaraan bukan demi kemenangan melainkan demi keindahan
bahasa. Socrates berbeda lagi, dia menyatakan bahwa mengolah pembicaraan adalah demi
kebenaran bukan demi kemenangan atau sekedar pemerintahan bahasa. Maka Socrates
mengajukan cara mengolah pembicaraan dan gagasan yang berbeda dari retorika,
namanya dialog atau meieutic (baca mayetik) sofistik berarti “orang pintar, berbudi halus”.
Kata ini berarti orang yang halus dan pintar, atau orang yang pandai menipu dan
menyesatkan. Sofistik agak mirip dengan eristic. Sofistik menggunakan argument demi
bayaran, sementara eristic demi kemenangan.
Mayetik atau meieutic dari bahasa Yunani, maieuesthei (seseorang yang bertindak
sebagai bidan), dari kata maia yang berarti bidan. Istilah ini merupakan metode Socrates
dalam buku Phaedrus karya Plato. Karena itu ada yang menganggap metode mayetik
sebagai milik Plato. Metode ini didasarkan pada keyakinan bahwa orang sudah memiliki
pengetahuan. Namun pengetahuan itu perlu dikeluarkan, dilahirkan. Pembicara atau
pembimbing berusaha sedapat mungkin memancing ide dari pendengar agar dapat
memunculkan pengetahuan si pendengar. metode olah gagasan yang dikembangkan
Socrates (dan Plato) ini kemudian menjadi dasar dari pembahasan filsafat yang sistematis.
Aristoteles, disamping mengembangkan filsafatnya yang khas juga membicarakan
ihwal retorika. Ia mengemukakan bahwa retorika sama pentingnya dengan silogisme
(silogisme adalah cara penarikan kesimpulan logis dalam filsafat). Keduanya sama-sama
mengemukakan suatu gagasan dan menarik kesimpulan dan sejumlah gagasan.
Perbedaannya dapat dipertanggung jawabkan. Retorika hanya menimbulkan perasaan
seketika, meski lebih efektif ketimbang silogisme. Sebaiknya silogisme menekankan pada
ketetatan logika sehingga dapat menampilkan kebenaran dengan baik, walaupun tidak
ekspresif. Dengan demikian, bagi Aristoteles, retorika dan silogisme sama-sama memiliki
kekuatan dalam menyampaikan suatu kebenaran, asalkan pertanyaannya telah diuji oleh
dasar-dasar logika.
Cicero (106-43 SM) adalah filsuf romawi yang mengembangkan pengelolaan kalimat
dan gagasan. Ia mengembangkan satu istilah baru, yaitu orasi (pelakunya dinamakan
orator). Pada cicero inilah retorika disusun sebagai suatu ilmu yang lebih sistematis.
Cicerolah yang membuat dasar-dasar penyusunan pidato yang terdiri dari pendahuluan
(eksyordium), pemaparan (naratio), peneguhan (conformation), pertimbangan (repotatio),
dan penutup (perotario). Cicero juga menegaskan bahwa isi pembicaraan haruslah berisi
bahan yang benar terbukti dan dilakukan untuk mendidik, membangkitkan kepercayaan, dan
1
5
KAPITA SELEKTA
Sofia Aunul, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menggerakkan perasaan. Pada perkembangan awal ini batasan komunikasi yang dapat kita
terapkan adalah percakapan atau penyampaian gagasan antara manusia secara lisan dan
bertatap muka baik berupa pidato, maupun diskusi.
Penyampaian gagasan ini bukan tanpa tujuan, melainkan demi mendidik,
membangkitkan kepercayaan, dan menggerakkan perasaan orang lain (atau masyarakat).
Pada bagian ini definisi Hovland, Janis dan Kelly, dapat digunakan “komunikasi adalah
suatu proses dimana individu (komunikator) menyampaikan pesan (biasanya verbal) untuk
mengubah perilaku individu lain (audiens)”. Atau definisi Weaver “Komunikasi adalah semua
prosedur dimana pikiran seseorang dapat memengaruhi orang lain”.
Komunikasi terus berkembang, tidak hanya menyampaikan gagasan melalui lisan.
Pada zaman kekaisaran romawi salah seorang kaisarnya yang bernama Julius Caesar (10044 SM) membuat papan pengumuman yang dinamakan Acta Diuma. Penyampaian gagasan
mengenai apa yang penting bagi masyarakat saat itu telah bertambah, dari sekedar lisan
menjadi bentuk tulisan. Hal ini terus berkembang lagi setelah ditemukannya kertas,
penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1400-1468), dan terbitnya surat kabar
pertama (afisa relation oder zeitung di Jerman dan Weekly news di Inggris pada sekitar
tahun 1622). Setelah surat kabar, peradaban manusia juga lebih berkembang dan
ditemukan radio, film, televisi, dan sejumlah media lain seperti yang saat ini kita nikmati.
Perkembangan surat kabar memiliki pengaruh yang cukup besar pada masyarakat,
sehingga memancing sejumlah ilmuwan untuk mempelajarinya. Pada tahun 1884, misalnya,
prof. dr. Karl Bucher di Jerman menegaskan bahwa 1) khalayak membutuhkan ilmu
pernyataan umum ; agar 2) media-media komunikasi mendukung dan menegaskan isi
kesadaran yang disampaikan kepada orang lain supaya orang lain tersebut memiliki
pemahaman dan sikap yang sama. Kemudian ita dapat juga menyaksikan perumusan ilmu
komunikasi yang dilakukan pada tahun 1960-an oleh Carl I. Hovland, “Ilmu komunikasi
adalah suatu upaya sistematis untuk merumuskan asas-asas pentransmisian informasi serta
pembentukan opini dan sikap secara tepat”.
KOMUNIKASI SEBAGAI ILMU
Komunikasi sebagai bentuk keterampilan dapat menjelma sebagai ilmu melalui
beberapa persyaratan tertentu. Persyaratan ini disebut sifat ilmiah. Salah satu sifat ilmiah itu
adalah memiliki metode. Ciri ilmu adalah memiliki metode. Metode berarti bahwa penelitian
1
6
KAPITA SELEKTA
Sofia Aunul, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
ilmu tersebut berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Istilah metode pada awalnya
berarti “suatu jalan yang harus ditempuh”. Menempuh jalan tertentu untuk mencapai satu
tujuan berarti tidak bekerja secara serampangan, langkah yang diambil harus susul
menyusul dan pembatasan yang jelas diperlukan agar terhindarkan dari jalan-jalan sesat
yang tak terkendalikan. Secara umum, tujuan sebuah pengetahuan ilmiah adalah untuk
deskriptif, eksplanatif, dan prediktif.
Deskriptif berarti suatu ilmu akan menjelaskan gejala-gejala yang menjadi objek
formalnya, eksplanatif berarti seluruh gejala-gejala yang teramati itu dapat dihubungkan satu
sama lain secara kausal (sebab akibat), dan setelah itu dapat dilakukan prediksi akan
gejala-gejala yang muncul (prediktif). Mengingat ilmu alam lahir lebih dahulu daripada ilmu
sosial (termasuk ilmu komunikasi), sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak
berpengaruh paradigm ilmu-ilmu alam, sebagaimana dikemukakan Poedjawijatma (1983),
Hatta (1987), Suryasumantri (2001), dalam Vardiansyah (2005:8). Persyaratan suatu
keterampilan menjadi ilmu itu ialah objektif, metodis, sistematis, dan universal:
1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah
yang sama sifat haikatnya, tampak dari luar maupun dari dalam. Objek dapat
bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannyadalam
mengkaji objek, yang dicari adahal kebenaran, yakni persesuaian tahu dengan
objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif, bukan subjektif berdasarkan
subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
2. Metodis, dalam upaya mencapai kebenaran, selalu terdapat kemungkinan
penyimpangan, yang harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapa cara
tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Cara ini disebut metodos dari bahasa
Yunani (hodos yang berarti : cara, jalan). Dalam bahasa umum: metodis, yakni
metode tertentu yang disebut metode ilmiah. Maka, pengetahuan yang didapat
secara metodis merupakan syarat ilmu yang kedua.
3. Sistematis, karena mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga
membentuk suatu sistem (dari bahasa Yunani, sustema) yang berarti: utuh
menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.
Maka pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat
merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal, kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu, melainkan bersifat
umum: semua segitiga bersudut 180 derajat. Dengan kata lain, pengetahuan
tentang yang khusus, yang tertentu saja, tidak diinginkan. Ilmu alam tidak puas jika
tahu logam tertentu mengembang jika dipanasi. Ia berusaha mengetahui bagaimana
1
7
KAPITA SELEKTA
Sofia Aunul, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
seluruh jenis logam – bahkan juga benda – benda lain umumnya – jika dipanasi.
Kriteria pada ilmu alam inilah yang diadopsi oleh ilmu sosial, membuat pengetahuan
yang bersifat umumlah yang dicari.
Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar universalitas yang dikandungnya
berbeda dengan ilmu – ilmu alam, mengingat objeknya adalah tidakan manusia. Karena itu
untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu – ilmu sosial harus tersedia konteks dan
kondisi yang tertentu pula. Masalahnya, sulit mencapai konteks yang beul-betul sama
persis, tidak ada tingkah laku manusia yang bisa diulangi dan terulang sama persis dari
waktu ke waktu.
Sekarang
marilah
kita
tinjau
bagaimana
komunikasi
yang
semula
hanya
keterampilan kemudian menjelma sebagai ilmu seperti telah dikemukakan perubahan
bentuk dari keterampilan ilmu harus memenuhi syarat – syarat sebagai ilmu, yaitu: objektif,
metodis, sistematis, dan universal.
Objektif. Sebagaimana sebuah ilmu apakah komunikasi memiliki objek tertentu? Ada
dua objek material komunikasi, yaitu masyarakat (objek material pertama) dan media (objek
material kedua) (Abrar 2003:v). menurut Abrar, seperti ilmu-ilmu lainnya, ilmu komunikasi
memiliki ilmu objek material yaitu masyarakat. Dalam perkembangannya, ilmu komunikasi
mengenal objek material yang lain yaitu media. Setelah menjadikan media sebagai objek
material kedua, maka ilmu komunikasi memiliki obje kajian yang konkret dibandingkan kajian
ilmu sosial yang lebih tua.
Sementara menurut Hamijoyo (2005) objek material komunikasi ialah perilaku
manusia, yang dapat merangkum perilaku individu, kelompok dan masyarakat. Selain objek
material, ilmu komunikasi pun memiliki objek formal, yaitu situasi komunikasi yang
mengarah pada perubahan sosial termasuk perubahan pikiran, perasaan, sikap, dan
perilaku individu, kelompok, masyarakat dan pengaturan kelembagaan.
Metodis, sebagai sebuah ilmu, apakah komunikasi memiliki metode tertentu? Ada
sejumlah metode penelitian yang dimiliki komunikasi. Secara umum, ilmu ini menggunakan
metode ilmu sosial. Ini dapat dipahami karena pada awalnya ilmu komunikasi merupakan
bagian dari paradigma ilmu sosial.
Sistematis: Dari objek ilmu ini kemudian ditarik garis yang teratur berupa penataan,
sehingga ia benar-benar merupakan suatu unit yang utuh, yang kemudian dapat diperinci
1
8
KAPITA SELEKTA
Sofia Aunul, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
secara sistematis. Pengertiannya harus jelas, perbedaannya dengan ilmu-ilmu lainnya pun
harus jelas. Begitu pula strukturnya hierarkinya, urutan-urutannya harus sedemikian rupa,
sehingga makin ke bawah pengertiannya makin khusus. Kini pengertian-pengertian dalam
bidang ilmu komunikasi pada prinsipnya sudah mencapai kesepakatan.
Universal. Telah ada kesepakatan bahwa ilmu ini mempelajari pernyataan antar
manusia, kendati nama-nama yang berbeda masih mewarnai ilmu ini, seperti istilahnya
publiciteitsleer
(W.
N.
Van
der
Hout),
pers
–
etenschap
(kurt
Baschwitz),
Zeitungswissenschaf (Karl d’Ester), communication, Joumalism, Mass communication,
Communicolog (di Amerika Serikat).
Ciri ilmu dalam perspektif ilmu sosial di atas (objektif, metodis, sistematis, dan
universal) kemudian diperbaharui. Perkembangan metode ilmu yang mulai membedakan
antara ilmu alam (erklaren) dan ilmu sosial (verstehen) pada akhirnya merumuskan ciri ilmu
sosial yang lebih khas, maksudnya tidak sama persis dengan ciri ilmu-ilmu alam. Ciri suatu
ilmu sosial adalah adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi, dan dapat disistematisasi. Jadi
kesimpulannya suatu ilmu haruslah dapat diuji. Setiap konsep atau prinsip ilmu ilmiah
apapun dapat saja ditolak setelah dibuktikan kembali bahwa ia salah atau bahkan
dipandang menipu. Ihwal cara mengujiannya tidaklah seragam bergantung pada
perspektinya: positivisme, menggunakan uji empiris verifikasi, dan atau falsifikasi,
konstruktivisme, menggunakan uji pabilitas, dan seterusnya.
Lebih lengkap lagi Alfred Schutz mengajukan ciri ilmu sosial ia memberikan tiga
postulat ihwal ilmu. Pertama, konsistensi logis. Konsistensi logis berarti suatu ilmu haruslah
rasional, dapat digeneralisasi, dapat disistematisasi. Kedua, adanya interpretasi subjektif.
Ketiga, kecukupan (adequacy), menuntut ilmu untuk tetap konsisten dengan “pengalaman
awan terhadap realitas sosial”. Jadi penjelasan ilmiah tentang tindakan manusia haruslah
dapat dimengeri oleh orang yang bukan ilmuwan; dengan cara ini hasil kerja ilmiah menjadi
serasi dengan interpretasi orang awam.
Perubahan ciri ilmu ini tak bisa dihindari dan bukan berarti menghapuskan ciri ilmu
yang sebelumnya. Semua ciri ilmu dapat digunakan bergantung pada perspetifnya; dengan
kata lain semua ciri ilmu itu dapat dikenakan semuanya (walaupun tidak secara bersamaan)
terhadap ilmu komunikasi. Apa sebab? Sekali lagi, ditegaskan, karena ilmu komunikasi
adalah ilmu yang serba serbi.
1
9
KAPITA SELEKTA
Sofia Aunul, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media
Mulyana, Deddy, Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008
1
10
KAPITA SELEKTA
Sofia Aunul, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download