ISSN 0215 - 8250 552 POTENSI-POTENSI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI DALAM BIDANG PENDIDIKAN oleh I Wayan Subagia dan I Gusti Lanang Wiratma Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja ABSTRAK Tradisi budaya masyarakat Bali (Hindu) mempunyai banyak potensi kearifan lokal yang digunakan oleh masyarakat sebagai rambu-rambu atau pedoman dalam menjalani kehidupannya. Tulisan ini memaparkan beberapa aspek kearifan lokal masyarakat, khususnya yang relevan dengan bidang pendidikan. Paparan ini dibangun berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara dokumentasi dan wawancara. Sejumlah buku dan lima orang Bali (Hindu) yang dipandang memiliki pengetahuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tradisional dilibatkan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan ada sejumlah potensi kearifan lokal masyarakat yang relevan dengan teori pendidikan dan pembelajaran modern. Potensi-potensi tersebut antara lain: (1) konsepsi jenjang belajar, (2) konsepsi disiplin belajar, (3) konsepsi pembelajar (guru), (4) konsepsi cara mengajar, dan (5) konsepsi cara belajar. Di samping itu, juga dideskripsikan prinsip-prinsip belajar dan prinsip-prinsip mengajar yang dipraktikkan oleh masyarakat dalam belajar dan mengajar. Berdasarkan temuan tersebut disarankan agar keberadaan potensi-potensi kearifan lokal diperhatikan dalam membangun landasarn teori pendidikan dan pembelajaran berbasis budaya. Kata kunci : kearifan lokal, masyarakat Bali, pendidikan. ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 553 ABSTRACT A cultural tradition of Balinese (Hindu) people has many local genius potentials used by the people as a guide in conducting their life and living. This writing describes some aspects of the local genius of Balinese people, which are particularly relevant to the development of modern education. This description was built based on a qualitive study conducted by using documentations and interviews techniques. A number of books and five Balinese people, who are considered master in traditional knowledge and skills, were involved in this study. The result of this study reveals that there were some aspects of local genius potentials of Balinese (Hindu) people, which are relevant to the development of modern education. These local genius potentials were: 1) the conception of the level of learning, 2) the conception of learning discipline, 3) the conception of teachers (guru), 4) the conception of the method of teaching, and 5) the conception of the method of learning. In addition, it was also described the learning principles and the teaching principles practiced by the people. Based on these findings, it was suggested that the existence of the local genius should be taken into account in developing the concepts of a cultural-based education. Key Words : local genius, Balinese people, education. 1. Pendahuluan Proses belajar merupakan kegiatan menyeluruh (fisik dan mental) yang terjadi secara bertahap dan berkelanjutan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Kegiatan tersebut melibatkan kemampuan dasar manusia, yaitu kemampuan bergerak, berbicara, dan kemampuan berpikir. Dalam pandangan hidup orang Bali (Hindu), ketiga potensi dasar tersebut dikenal dengan nama Tri Pramana, yang terdiri atas: bayu (tenaga), sabda (suara), dan idep (pikiran) (Subagia, 2001a, 2003). Dalam ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 554 proses belajar, ketiga potensi dasar tersebut harus dilatihkan secara baik agar berkembang secara optimal sesuai dengan perkembangan fisik pebelajar. Di samping itu, proses belajar juga melibatkan seluruh indera yang dimiliki oleh pebelajar. Pebelajar menerima pengetahuan atau memahami pengetahuan dengan menggunakan seluruh inderanya yang terdiri atas indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan. Dalam belajar, kelima indera tersebut juga harus dilatihkan dengan baik agar dapat menerima informasi sesuai dengan sifat dan kemampuan dari tiap-tiap indera. Misalnya, indera penglihatan (mata) dilatihkan untuk melihat dengan benar. Contohnya, dalam belajar sains, mata harus dilatih melihat skala pengukuran dengan benar agar tidak terjadi kesalahan akibat penglihatan (paralaks); dalam mengenali bau berbagai zat, pebelajar harus dilatih teknik membaui zat yang benar agar tidak berakibat buruk pada kesehatannya. Dalam proses pendidikan, proses belajar terjadi secara bebas, secara sistemik, secara langsung, dan secara tidak langsung. Proses belajar secara bebas adalah proses pengembangan pengetahuan yang terjadi tanpa dikendalikan oleh pihak lain. Sebaliknya, proses belajar secara sistemik adalah proses pengembangan pengetahuan yang terjadi karena dikendalikan oleh pihak lain (kurikulum). Contoh untuk hal ini adalah proses belajar yang dilakukan di sekolah. Proses belajar di sekolah, umumnya dikendalikan oleh kurikulum dan guru. Proses belajar secara bebas terjadi secara alamiah tanpa dikendalikan oleh teori dan teknologi pembelajaran. Proses belajar secara sistemik terjadi dengan sentuhan berbagai teori belajar dan teknologi pembelajaran. Dengan sentuhan teori belajar dan teknologi pembelajaran, belajar secara terkondisikan dapat direncanakan secara sistematis dan dimaksimalkan. Proses belajar secara langsung adalah proses ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 555 pengembangan pengetahuan yang dilakukan secara sengaja, sedangkan proses belajar secara tidak langsung adalah proses pengembangan pengetahuan yang terjadi tanpa sengaja. Contoh belajar secara langsung adalah belajar membaca melalui guru. Contoh belajar tidak langsung adalah belajar memasak dengan berpartisipasi di dapur, misalnya membantu ibu memasak. Keberhasilan seorang pebelajar untuk meningkatkan atau mengembangkan pengetahuannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, baik secara filosofis maupun secara praktik, dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh keadaan lingkungan terhadap proses belajar, salah satunya, dapat dilihat sebagai pengaruh kebudayaan karena proses belajar atau proses pendidikan tidak dapat dilepaskan dari budaya lingkungan pebelajar. Secara filosofis, nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh masyarakat akan berpengaruh terhadap jalannya proses pendidikan. Contohnya, dalam masyarakat Bali (Hindu) dasar keyakinan agama Hindu, yaitu Panca Sradha dan filsafat-filsafat kehidupan lainnya, seperti Tri Rna, Tri Guru, Tri Pramana, Catur Asrama, Catur Purusartha, dan lain-lain akan dimanifestasikan dalam setiap langkah proses pembelajaran. Dengan demikian, di samping meningkatkan pengetahuan material, proses belajar juga meningkatkan pengetahuan spiritual. Di samping nilai-nilai filosofis, tatanan praktik kehidupan sehari-hari juga akan mempengaruhi proses pendidikan. Contoh kehidupan gotong royong yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat akan memberikan inspirasi pada praktik-praktik pendidikan di sekolah. Potensi budaya tersebut merupakan potensi kearifan lokal yang perlu digali dan dikembangkan dalam konteks pendidikan. Sejalan dengan adanya sejumlah potensi kearifan lokal pada masyarakat Bali (Hindu) yang berhubungan dengan pendidikan dan ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 556 pembelajaran, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan potensi-potensi kearifan lokal yang ada, khususnya yang berhubungan dengan bidang pendidikan. Diharapkan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk pengembangan suatu model pembelajaran berbasis budaya di masa yang akan datang. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengungkapkan secara komprehensif beberapa kasus yang relevan dengan tujuan penelitian (Stake, 1995). Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten/kota di Provinsi Bali, yaitu di Kabupaten Buleleng, Kabupaten Klungkung, dan Kota Denpasar. Data atau informasi yang diperlukan dikumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi dan wawancara. Dokumentasi sumber data dilakukan dengan mengoleksi buku-buku dan lontar yang ditemukan di toko-toko buku atau di perpustakaan-perputakaan (pusat dokumentasi). Wawancara melibatkan lima orang Bali yang dipandang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tradisional, yang terdiri atas ahli pembuat “banten,” ahli pembuat “wadah,” ahli kerajian emas dan perak, ahli kerajinan wayang kulit, dan seorang dalang (ahli mementaskan wayang kulit). Kelima partisipan tersebut dipilih setelah terlebih dahulu dilakukan penjajagan terhadap kesediaan mereka dan kualifikasi keahlian yang dimilikinya. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis interpretatif yang dibantu dengan teknik pengecekan ulang oleh partisipan (member check) (Lancy, 1993). 3. Temuan Hasil Penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada sejumlah potensi kearifan lokal masyarakat Bali (Hindu) yang mengandung nilai-nilai ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 557 pembelajaran atau pendidikan, baik yang ada dalam dokumen tertulis maupun yang dipraktikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. 3.1 Nilai-Nilai Filosofis Pembelajaran yang Terdokumentasikan Nilai-nilai filosofis pembelajaran atau pendidikan yang berhasil didokumentasikan dalam penelitian ini adalah (1) konsepsi jenjang belajar, (2) konsepsi disiplin belajar, (3) konsepsi pembelajar (guru), (4) konsepsi cara mengajar, dan (5) konsepsi cara belajar. 1) Konsepsi Jenjang Belajar Konsepsi jenjang belajar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu belajar sejak bayi masih dalam kandungan (0 – 9 bulan), jenjang belajar berdasarkan umur, dan jenjang belajar berdasarkan tingkatan hidup manusia. Pembelajaran kepada bayi yang masih ada di dalam kandungan dilakukan secara tidak langsung melalui pendidikan orang tuanya (Manuaba, 1994, Suryani, 1992). Berdasarkan jenjang umur, ada lima jejang belajar, yaitu pembelajaran nilai dan sikap pada umur 0 – 5 tahun, pengenalan pemerintahan pada umur 5 – 7 tahun, belajar menulis awal hingga memahami isi bacaan pada umur 7 – 15 tahun, belajar bersama pada umur lebih dari 16 tahun, dan belajar sendiri yang dimulai sesudah menikah (Sudharta, 1997). Berdasarkan tingkatan hidup manusia, jenjang belajar dibedakan dalam empat jenjang yang dikenal dengan Catur Asrama, yang terdiri atas brahmacari, grahasta, wanaprasta, dan biksuka (Parisada Hindu Dharma, 1996). Dalam tiap-tiap jenjang tersebut belajar dilakukan secara proporsional. Apabila tingkatan belajar tersebut dihubungkan dengan usia harapan hidup kurang lebih 75 tahun, maka proporsi kegiatan belajar pada tiap-tiap jenjang dapat dinyatakan sebagai berikut. Pertama, pada masa ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 558 brahmacari dengan proporsi utama belajar menuntut ilmu pengetahuan (umur 0 – 18 tahun). Kedua, pada masa grahasta dengan proporsi utama belajar membina dan menghidupi rumah tangga (umur 19 – 50 tahun). Ketiga, pada masa wanaprasta dengan proporsi utama belajar untuk meningkatkan pengetahuan spiritual (umum 51 – 65 tahun). Keempat, pada masa biksuka dengan proporsi utama belajar untuk melakukan penyerahan diri secara penuh kepada Tuhan (umur 66 – 75 tahun). 2) Konsepsi Disiplin Belajar Konsepsi disiplin belajar, yaitu suatu nilai tata krama dalam belajar yang harus diikuti oleh seorang murid. Nilai-nilai tersebut meliputi sembilan ha. (1) Seorang murid tidak diperkenankan menginjak bayangan guru. (2) Seorang murid tidak diperkenankan duduk di tempat duduk guru. (3) Seorang murid seyogyanya berdiri jika guru datang. (4) Seorang murid tidak diperkenankan memotong pembicaraan guru. (5) Seorang murid haruslah mengikuti segala petunjuk guru. (6) Seorang murid baru diperbolehkan makan setelah guru selesai santap. (7) Seorang murid tidak diperkenankan menatap roman muka guru kalau duduk di hadapannya. (8) Seorang murid kalau bertemu dengan guru seyogyanya memberikan hormat dengan menundukkan kepala serta mengucapkan salam (panganjali). (9) Seorang murid selayaknya memberikan bantuan kepada guru dan keluarganya dalam kehidupan (Manuaba, 1994; Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, 1988; Punyatmadja, 1992). 3) Konsepsi Pembelajar (Guru) Konsepsi pembelajar (guru) dalam nilai-nilai filisofi pembelajaran masyarakat Bali (Hindu) tertuang dalam konsep Catur Guru (empat guru ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 559 yang harus dihormati), yang terdiri atas: Guru Rupaka (orang tua), yaitu guru yang melahirkan seorang murid secara biologis dan memberikan dukungan material dan spiritual kepadanya selama menuntut ilmu pengetahuan; Guru Pengajian (pengajar di sekolah), yaitu guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan melahirkan murid dari “perut” ilmu pengetahuan; Guru Wisesa (pemerintah), yaitu guru yang memberikan dukungan terhadap fasilitas pembelajaran; dan Guru Swadiaya (Tuhan Yang Mahaesa), yaitu guru penguasa alam semesta yang mendukung seluruh proses pembelajaran dan keberadaan guru-guru lainnya (Parisada Hindu Dharma, 1996; Subagia, 2001b)). 4) Konsepsi Cara Mengajar Konsepsi cara mengajar yang ada dalam nilai-nilai filosofi pembelajaran masyarakat Bali (Hindu) tidak terpisahkan dari konsepsi jenjang belajar, karakteristik materi pelajaran, dan karakteristik lingkungan. Cara mengajar bayi yang masih ada dalam kandungan dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan mengendalikan perilaku orang tuanya sesuai dengan nilai-nilai yang harus diikuti. Misalnya, dengan mengajarkan kepada para orang tua bahwa selama bayi masih ada dalam kandungan, mereka berdua harus berbuat sedemikian rupa yang dapat menciptakan ketenangan batin sang ibu. Cara mengajar anak-anak sesuai dengan jenjang umur dilakukan dengan memberi contoh sikap dan perilaku yang benar (untuk anak umur 0 – 5 tahun), dengan pengenalan dan penunjukan (untuk anak umur 5 – 7 tahun), dengan cara pemberian tugas-tugas (untuk anak umur 7 – 15 tahun), dengan cara memposisikan mereka sejajar dengan guru atau sebagai teman (untuk anak yang telah berumur lebih dari 16 tahun), dan dengan cara memperhatikan perilakunya (untuk mereka yang telah ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 560 menikah). Pebelajar dewasa, berdasarkan tingkatan hidup (Catur Asrama), diharapkan sudah mampu belajar dengan menggunakan pengetahuan dan pengalamannya sendiri, pengalaman orang lain, serta mampu memilah dan memilih pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. 5) Konsepsi Cara Belajar Konsepsi cara belajar terdapat dalam salah satu cabang filsafat Hindu, yaitu Nyaya Dharsana (Maswinara, 1998, Musna, 1986). Dalam Nyaya Dharsana diuraikan empat cara untuk belajar yang dikenal dengan Catur Pramana, yaitu belajar melalui pengamatan langung (pratyaksa pramana), melalui membaca buku atau mendengarkan kata-kata orang suci (sabda pramana), melalui penyimpulan dari gejala-gejala alam yang dapat dilihat dan yang dapat didengar (anumana pramana), dan dengan cara membandingkan satu benda dengan benda lainnya (upamana pramana) (Maswinara, 1998). Dalam beberapa buku, cara yang terakhir (upamana pramana), dikelompokkan ke dalam cara anumana pramana, sehingga cara belajar yang diperkenalkan hanya tiga yang dikenal dengan Tri Pramana yang terdiri atas pratyaksa pramana, sabda pramana, dan anumana pramana (Subagia, 2003). Ajaran Tri Pramana tersebut erat kaitannya dengan tiga potensi dasar yang dimiliki manusia yaitu potensi tenaga atau energi (bayu), potensi suara (sabda), dan potensi pikiran atau akal budi (idep) (Parisada Hindu dharma, 1996; Subagia, 2001b). 3.2 Nilai-Nilai Pembelajaran yang Dipraktikkan dalam Kehidupan Nilai-nilai pembelajaran yang dipraktikkan oleh masyarakan Bali (Hindu) dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi tradisional sangat erat kaitannya dengan materi pelajaran yang dipelajari. Pada materi ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 561 pelajaran yang dominan berupa keterampilan, diperoleh nilai-nilai pembelajaran yang dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: 1) caracara belajar, 2) prinsip-prinsip belajar, 3) cara-cara mengajar, dan 4) prinsip-prinsip mengajar. 1) Cara-Cara Belajar Cara-cara belajar yang digunakan oleh masyarakat dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi tradisional meliputi (1) belajar dengan cara mengikuti kegiatan yang dilakukan ahli (apprenticeship), 2) belajar dengan cara memperhatikan, (3) belajar dengan cara mendengarkan, (4) belajar dengan cara menirukan, dan (5) belajar dengan cara mengembangkan sendiri. Dalam praktik belajar, cara-cara tersebut digunakan secara bersama-sama sesuai dengan tahapan belajar, karakteristik materi ajar, dan lingkungan belajar. Belajar dengan cara mengembangkan sendiri terjadi setelah pebelajar memiliki pengetahuan atau keterampilan dasar yang cukup. Misalnya, seorang pengerajin perak mengembangkan sendiri berbagai motif ukiran pada barang kerajinan yang dibuatnya. 2) Prinsip-Prinsip Belajar Prinsip-prinsip belajar yang digunakan meliputi (1) belajar tuntas, yaitu suatu kegiatan belajar yang tidak dilakukan setengah-setengah, melainkan dilakukan sampai benar-benar memahami materi pelajaran yang dipelajari, (2) belajar dengan senang hati, yaitu suatu kegiatan belajar yang diikuti dengan rasa senang, tanpa tekanan atau paksaan dari manapun, (3) belajar dengan keyakinan, yaitu suatu kegiatan belajar yang dilakukan dengan keyakinan bahwa pelajaran tersebut dikuasai dan bermanfaat bagi ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 562 kehidupan, (4) belajar dengan tekun, yaitu suatu kegiatan belajar yang dilakukan secara terus menerus tanpa merasa bosan, dan (5) belajar dengan mematuhi guru dan aturan-aturan yang ada, yaitu suatu kegiatan belajar yang dilakukan dengan penuh pengabdian dan disiplin dengan aturan atau tata krama belajar yang ada. 3) Cara-Cara Mengajar Cara-cara mengajar yang didemontrasikan adalah (1) menyuruh, (2) memberitahu, (3) membimbing, (4) mendampingi, (5) memuji, dan (6) memberi latihan. Penerapan cara-cara tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dengan mempertimbangkan keadaan pebelajar. Misalnya, pebelajar yang mempunyai motivasi tinggi untuk belajar dibiarkan melakukan kegiatan pembelajaran sendiri dan sekali-sekali diberitahu. Sedangkan bagi mereka yang motivasinya kurang, umumnya lebih banyak dibimbing dan diberi pujian untuk mempertebal keyakinannya dan kepercayaan dirinya. Umumnya, mereka yang mempunyai motivasi rendah juga mempunyai rasa percaya diri rendah. 4) Prinsip-Prinsip Mengajar Prinsip-prinsip mengajar yang digunakan dalam pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi tradisional meliputi (1) mengajar kepada mereka yang siap belajar, (2) mengajar tidak berorientasi pada imbalan finansial, (3) mengajar mewariskan tradisi kepada generasi, dan (4) mengajar adalah beryadnya (melakukan kerja atas dasar kesadaran terhadap hakikat kerja). Penggunaan prinsip-prinsip belajar tersebut erat kaitannya dengan sifat pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung. Umumnya, pembelajaran secara tradisional berlangsung secara tidak formal dan tidak ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 563 langsung. Mereka yang belajar, biasanya, memulai belajar dengan ikutikutan dalam kelompok kegiatan. Setelah terlibat dalam kegiatan, di antara mereka, ada yang berniat untuk belajar secara sungguh-sungguh dan ada yang hanya mau mengisi waktu saja. Dari dua contoh keadaan pebelajar tersebut, pembelajar akan mengajar secara lebih intensip mereka yang menunjukkan kesungguhan belajar. Umumnya, mengajar dilakukan bukan dengan niat untuk mendapatkan imbalan finansial, melainkan untuk meneruskan tradisi. Para pembelajar merasa senang jika ada generasi yang mau meneruskan mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Konsep “beryadnya” (berbuat tanpa pamrih) menjadi salah satu landasan prinsip mengajar dalam pembelajaran tradisional. 4. Pembahasan Nilai-nilai pendidikan dan pembelajaran yang diuraikan di atas, mempunyai makna yang tidak kalah pentingnya dalam pengembangan pendidikan modern. Beberapa konsepsi pendidikan dan pembelajaran yang perlu mendapat perhatian secara lebih jauh adalah konsepsi pendidikan prenatal dan cara pembelajarannya, serta konsepsi jenjang belajar dan cara pembelajarannya. 1) Konsepsi Pendidikan Prenatal dan Cara Pembelajarannya Pertumbuhan bayi dalam kandungan merupakan bagian penting dari proses pertumbuhan bayi selanjutnya. Hal ini telah lama dipahamai secara tradisional oleh masyarakat Bali (Hindu), sehingga secara tradisional masyarakat Bali telah mempunyai pola pendidikan untuk bayi yang masih ada dalam kandungan. Pendidikan tersebut dilakukan baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Secara fisik, pendidikan terhadap bayi dalam ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 564 kandungan dilakukan dengan memberikan dukungan gizi untuk keberlangsungan pertumbuhan fisik. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan makanan dengan gizi yang cukup kepada ibu yang sedang mengandung. Secara mental, pertumbuhan bayi dalam kandungan dilakukan dengan menciptakan kondisi sedemikian rupa agar seorang ibu yang sedang hamil tidak mendapat ganguan mental yang dipercaya akan berdampak pada pertumbuhan mental bayi yang ada dalam kandungan. Untuk menciptakan kondisi tersebut, dirumuskan saran-saran yang dapat diikuti, baik untuk si ibu maupun si ayah. Saran-saran tersebut, misalnya, seorang ibu yang sedang hamil tidak diperkenankan melakukan kegiatan himsa karma, yaitu suatu perbuatan yang menyebabkan makhluk hidup menderita atau bahkan mati. Sebaliknya, mereka disarankan untuk senantiasa rajin bersembahyang dan melantunkan kidung-kidung suci (nyanyian rohani). Seorang suami yang istrinya sedang hamil juga tidak diperkenankan melakukan kegiatan himsa karma dan berperilaku yang dapat menimbulkan kecurigaan istri atau mengganggu kestabilan jiwa istri karena hal tersebut juga dipercaya akan mengganggu jiwa bayi yang ada dalam kandungan. Sampai saat ini, di Bali masih banyak suami yang melakukan tapa brata (pengendalian diri) dalam bentuk tidak memotong rambutnya selama masa kehamilan istrinya sebagai salah satu wujud pemberian dukungan mental kepada istrinya yang sedang hamil. Secara spiritual, pendidikan prenatal di Bali dirayakan dalam bentuk upakara garba wedana atau yang dikenal dengan magedong-gedongan, yaitu suatu upakara yang ditujukan untuk memohon keselamatan bayi kepada Tuhan Yang Mahaesa (Dekaka, 1991). Jadi, pendidikan prenatal bagi masyarakat Bali (Hindu) sudah dipraktikkan secara mentradisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 565 Pendidikan prenatal yang telah dipraktikkan oleh masyarakat secara tradisional hendaknya juga diperhatikan sebagai bagian dari pendidikan keluarga pada zaman modern ini. Dalam konteks pendidikan modern, rumusan saran-saran yang diperuntukkan bagi seorang ibu yang sedang hamil dan atau seorang suami yang istrinya sedang hamil dapat dijadikan sebagai bagian dari dasar ilmu psikologi keluarga. Selanjutnya, ilmu pengetahuan tersebut dapat dikemas sebagai bahan ajar dan diajarkan kepada generasi muda. Mitologi yang dulu digunakan sebagai media pembelajaran, sekarang, bisa diganti dengan metodologi pembelajaran modern yang disesuaikan dengan perkembangan pendidikan masyarakat. 2) Konsepsi Jenjang Belajar dan Cara Pembelajarannya Konsepsi jenjang pembelajaran berdasarkan umur dan berdasarkan tingkatan hidup manusia yang dimuat dalam berbagai dokumen pengetahuan tradisional, seperti Slokantara, Nitisastra, dan Sarasamuscaya, merupakan konsepsi yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan pendidikan modern. Saat ini, sistem pendidikan di Indonesia merekomendasikan pendidikan anak yang terdiri atas empat jenjang, yaitu pendidikan anak usia dini (PAUD) selama 2 tahun, pendidikan dasar atau yang dikenal dengan “Wajar” (wajib belajar) selama 9 tahun, pendidikan menengah (SMA/SMK) selama 3 tahun, dan pendidikan tinggi selama kurang lebih 4 tahun. Jika diperhatikan secara seksama, jenjang pendidikan tersebut sesuai dengan jenjang pendidikan yang dinyatakan dalam Slokantara dan Nitisastra (Sudharta, 1997). Dalam dua buku tersebut diuraikan tahapan pendidikan yang hendaknya diberikan kepada anak-anak sebagai berikut. Anak usia 0 – 5 tahun hendaknya diperlakukan sebagai raja atau anak raja, dalam arti mereka harus ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 566 diutamakan. Penanaman nilai-nilai dasar kemanusiaan diperkenalkan pada usia ini secara tidak langsung. Dalam konteks pendidikan modern, pendidikan anak pada usia ini belum banyak dijelaskan. Tanggung jawab pendidikan anak pada usia ini diberikan sepenuhnya kepada orang tuanya, tanpa memperhatikan apakah orang tua mereka memahami konsepsi pendidikan anak untuk usia tersebut. Anak usia 5 – 7 tahun diperkenalkan tentang konsepsi pemerintahan, melalui penjelasan berbagai cerita rakyat dan dongeng. Anak usia 7 – 15 tahun diajar mengenal bacaan dan memahami isi bacaan. Dinyatakan bahwa anak-anak, pada usia ini, hendaknya diperlakukan sebagai pembantu, dalam arti mereka disuruh belajar dengan mengerjakan tugas-tugas. Setelah berumur lebih dari 16 tahun, anak hendaknya dipandang sebagai kawan dan ditempatkan sejajar dengan pembelajar dalam proses belajar. Hal ini berarti bahwa pendidikan anak setelah melewati usia Wajar, dilakukan dengan konsep-konsep kesetaraan dan kebersamaan. Kemandirian dalam belajar juga akan terjadi pada usia ini. Namun demikian, dinyatakan bahwa perilaku belajar mandiri (self-directed learning) akan terlihat jelas setelah menikah. Oleh karena itu, para orang tua hanya disarankan untuk memperhatikan perilaku anaknya jika anak sudah menikah, dan jika hendak menegur, harus dilakukan dengan sangat hati-hati. 5. Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa berbagai konsep kearifan lokal masyarakat Bali (Hindu) sangat berpotensi digunakan sebagai landasan pengembangan pendidikan di tanak air, khususnya dalam mencari model-model pengembangan pendidikan dan pembelajaran berbasis budaya. Hal tersebut dapat dilihat dari relevansi nilai-nilai ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 567 tradisional yang ada dengan perkembangan pendidikan dan pembelajaran saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, disarankan agar dilakukan eksplorasi terhadap potensi-potensi kearifan lokal lainnya dalam berbagai bidang ilmu untuk memperkuat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Dekaka, Rai. 1991. Pedoman Praktis Pokok-Pokok Pelaksanaan Upacara Manusa yadnya. Jakarta: Hanuman Sakti. Lancy, D.F. 1993. Qualitatif Research in Education: An Introduction to Major Traditions. New York & London: Longman. Manuaba, I.B.G. 1994. Filsafat Hindu dalam Kesehatan. Denpasar: Upada Sastra. Maswinara, I Wayan. 1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Dharsana Samgraha). Surabaya: Paramita. Musna, I Wayan. 1986. Pengantar Filsafat Hindu: Sad Dharsana. Denpasar Bali: CV. Kayumas. Parisada Hindu Dhama. 1996. Upadeca tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra. Parisada Hindu Dharma Pusat. 1979. Sarasamuscaya.Alih bahasa oleh: Tjokorda Rai Sudharta, M.A. Punyatmadja, I.B. Oka. 1992. Cilakrama. Denpasar: Upada Sastra. ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006 ISSN 0215 - 8250 568 Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. 1988. Silakramaning AguruanGuruan (Dok. No. IIb. 206/4). Translated by I Dewa Ketut Djareken. Singaraja: Pondok Castra Mandiri. Stake, R.E. 1995. The Art of Case Study Research. London: Sage. Subagia, I Wayan. 2001a. Toward a Culturally Relevant Teaching-Learning Process for the Teaching of Science in Balinese School: The Applicstion of Balinese Epistemologies to the Teaching of Science.Thesis for Doctor of Philosophy. Australia: La Trobe University. Subagia, I Wayan. 2001b. Peran “guru” dalam Pembangunan Pendidikan Ditinjau dari Konsep “Tri Guru.” IKIP Negeri Singaraja. Aneka Widya Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Edisi Khusus TH. XXXIV. Nopember 2001. Subagia, I Wayan. 2003. Model Siklus Belajar Berdasarkan Konsep “Tripramana.” Orasi Ilmiah. Disampaikan dalam rangka Dies Natalis ke-3 IKIP Negeri Singaraja. Sudharta, T. R. 1997. Slokantara: Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjemahan dan Ulasan. Denpasar: Upada Sastra. Suryani, L. K. 1992. Pola Asuh dalam Keluarga Hindu di Bali. Dalam Cendikiawan Hindu Berbicara. Editor Putu Setia. Denpasar: Yayasan Dharma Narada. ________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXIX Juli 2006