Komunikasi sebagai Faktor Determinan dalam Organisasi Syafei Ibrahim ABSTRAK Salah satu tujuan struktur organisasi yang penting adalah memudahkan proses komunikasi. Dalam organisasi, komunikasi harus memungkinkan terjadinya keempat arah yang berbeda: ke bawah, ke atas, horizontal, dan diagonal. Fungsi manajer untuk merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan, hanya dapat dilakukan dengan melalui komunikasi secara aktif. Ketika mengambil keputusan, manajer harus memperoleh dan membagikan informasi. Jadi, komunikasi penting karena pegawai/anggota organisasi jarang bekerja dengan “sesuatu” melainkan dengan “informasi tentang sesuatu.” 1. Pendahuluan besar manajemen hanya merupakan pikiran di belakang meja sampai manajer menerapkannya melalui komunikasi. Rencana seorang manajer boleh jadi yang terbaik di dunia, tetapi apabila tidak dapat dikomunikasikan rencana itu tidak berharga. Apabila komunikasi efektif, ia dapat mendorong timbulnya prestasi lebih baik dan kepuasan kerja meningkat (Robert K.H. dan Charles A., 1979: 42-57 dan Paul M. Muchinsky, 1979: 592607). Orang-orang memahami pekerjaan mereka lebih baik dan merasa lebih puas dalam pekerjaan itu. Dalam beberapa kasus bahkan mereka mau mengorbankan hak istimewa yang telah lama ada karena mereka tahu bahwa pengorbanan memang diperlukan. Organisasi tidak mungkin berada tanpa komunikasi. Apabila tidak ada komunikasi, para pegawai tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan rekan sekerjanya, pemimpin tidak dapat menerima masukan informasi, dan para penyelia tidak dapat memberikan instruksi. Koordinasi kerja tidak mungkin dilakukan, dan organisasi akan runtuh karena ketiadaan komunikasi. Kerjasama juga merupakan sesuatu hal yang muskil terjadi, karena orang-orang tidak dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan perasaan mereka kepada yang lain. Dengan yakin kita dapat mengatakan bahwa setiap tindakan komunikasi mempengaruhi organisasi dengan cara tertentu. Dilihat dari sudut pandang manajemen, semua Perencanaan tindakan pimpinan harus Pengorganisasian Manaje r Pengaturan staf Komunikasi Kelompok Prestasi melewati leher botol Pengarahan kerja kerja Pengendalian komunikasi, seperti yang terlihat dalam gambar 1 di bawah ini. Semua gagasan Gambar 1: Kegiatan Manajer melewati Leher Botol Komunikasi Syafei Ibrahim. Komunikasi sebagai Faktor Determinan dalam Organisasi 291 2. Fungsi Komunikasi dalam Organisasi Komunikasi menurut Scott dan T.R. Mitchell (1976), menjalankan empat fungsi utama di dalam suatu kelompok atau organisasi: kendali (kontrol, pengawasan), motivasi, pengungkapan emosional, dan informasi. Komunikasi bertindak untuk mengendalikan perilaku anggota dalam beberapa cara. Setiap organisasi mempunyai hierarki wewenang dan garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh para karyawan. Bila para karyawan, misalnya, diminta untuk terlebih dahulu mengkomunikasi setiap keluhan yang berkaitan dengan pekerjaan kepada atasan langsungnya, sesuai dengan uraian tugasnya, atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan, komunikasi itu menjalankan suatu fungsi kontrol. Tetapi, komunikasi informasl juga mengendalikan kontrol. Komunikasi membantu perkembangan motivasi dengan menjelaskan kepada para karyawan apa yang harus dilakukan, bagaimana mereka bekerja dengan baik, dan apa yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja jika itu di bawah standar. Bagi banyak karyawan, kelompok kerja mereka merupakan sumber utama untuk interaksi sosial. Komunikasi yang terjadi di dalam kelompok itu merupakan mekanisme fundamental dengan mana anggota-anggota menunjukkan kekecewaan dan rasa puas mereka. Oleh karena itu, komunikasi menyiarkan ungkapan emosional dari perasaan dan pemenuhan kebutuhan sosial. Fungsi terakhir yang dilakukan oleh komunikasi berhubungan dengan perannya dalam mempermudah keputusan (Gibson dan Ivanchevich, 1994: 573). Komunikasi memberikan informasi yang diperlukan individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan meneruskan data guna mengenali dan menilai pilihanPesan pilihan alternatif. Tidak satu pun Sumber Pengkodean dari keempat fungsi ini seharusnya dilihat sebagai lebih penting dari pada yang lain. Agar berkinerja efektif, kelompok itu perlu mempertahankan beberapa ragam kontrol terhadap anggotanya, merangsang para anggota untuk berkinerja, menyediakan sarana untuk mengungkapkan emosi, dan mengambil keputusan. Kita dapat mengandaikan bahwa hampir semua interaksi komunikasi yang berlangsung dalam suatu organisasi menjalankan satu atau lebih dari keempat fungsi ini. 3. Proses Komunikasi dalam Organisasi Sebelum komunikasi dapat terjadi, perlu diungkapkan suatu maksud sebagai pesan untuk disampaikan. Maksud itu bergerak antara suatu sumber (pengirim) dan penerima. Pesan itu diubah dalam bentuk simbolik dan diteruskan oleh sesuatu medium (saluran) kepada penerima, yang menguraikan kode (mendekodekan) pesan yang diawali oleh pengirim. Hasilnya adalah penstransferan makna dari satu orang ke orang lain. Proses umum komunikasi menurut Gibson (1994: 575) terdiri atas lima unsur yaitu: komunikator, pesan, perantara, penerima, dan balikan (umpan balik). Menurut Lasswell (1984: 3751) yang merupakan orang pertama yang mengajukan model proses komunikasi secara sederhana diikhtiarkan sebagai berikut: siapa … mengatakan apa … bagaimana caranya … kepada siapa … apa hasilnya. Sedangkan ahli lain seperti Berlo (1960: 30-32) melukiskan proses komunikasi terdiri atas tujuh bagian, yaitu: (1) sumber komunikasi, (2) pengkodean, (3) pesan, (4) saluran, (5) pendekodean, (6) penerima, dan (7) umpan balik. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pesan Pesan Saluran Pesan Pendekodean Penerima Umpan balik Gambar 2. Model Proses Komunikasi Sumber: Berlo (1960: 32) 292 M EDIATOR, Vol. 2 No.2 2001 Sumber mengawali suatu pesan dengan pengkodean suatu pikiran. Dalam hal ini terdapat empat kondisi yang mempengaruhi pesan terkode: keterampilan, sikap, pengetahuan, dan sistem sosial budaya. Sukses komunikatif total dari seseorang mencakup keterampilan bicara, membaca, mendengarkan, dan juga penalaran. Sikap seseorang mempengaruhi perilakunya. Pegawai mempertahankan gagasan-gagasan yang cenderung mempengaruhi sejumlah besar topik, dan komunikasi dipengaruhi oleh sikap-sikap ini. Selanjutnya, kegiatan komunikatif pegawai dirintangi oleh sejauhmana pengetahuannya mengenai topik tertentu. Mereka tidak dapat mengkomunikasikan apa yang ia tidak ketahui, dan seandainya pengetahuan mereka terlalu meluas, mungkin penerima tidak akan memahami pesan tersebut. Jelas, banyaknya pengetahuan yang dimiliki sumber mengenai pokok persoalan akan mempengaruhi pesan yang diusahakan untuk diteruskan. Dan, akhirnya, persis seperti sikap mempengaruhi perilakunya, demikian pula posisinya dalam sistem sosial budaya dalam mana mereka eksis. Keyakinan, dan nilai-nilai mereka, semua bagian dari budayanya, berperanan dalam mempengaruhinya sebagai sumber yang komunikatif. Pesan, merupakan hasil proses pembuatan berita. Tujuan komunikator (sumber) diungkapkan dalam bentuk pesan – baik secara lisan (verbal) atau tulisan (nonverbal). Banyak tujuan manajer berkomunikasi; misalnya, bagaimana caranya agar orang lain memahami gagasan mereka, atau agar memahami gagasan orang lain, atau agar mereka sendiri atau gagasan-gagasan mereka dapat diterima, atau untuk menghasilkan tindakan. Dengan demikian, pesan adalah hal-hal yang diharapkan komunikator (sumber) untuk disampaikan kepada penerima tertentu, dan bentuk pastinya sebagian tergantung pada perantara yang dipakai untuk menyampaikan pesan tadi. Keputusan yang berkaitan dengan bentuk isi pesan tidak dapat dipisahkan. Saluran atau perantara adalah medium lewat mana pesan itu berjalan. Medium dipilih oleh sumber, yang menentukan saluran mana yang formal dan mana yang informal. Saluran formal ditetapkan oleh organisasi; saluran itulah yang meneruskan pesan mengenai kegiatan anggota yang bertalian dengan pekerjaan. Secara tradisional, saluran mengikuti jaringan otoritas di dalam organisasi. Organisasi menyediakan informasi kepada anggotanya dengan berbagai cara, termasuk komunikasi tatap muka, telepon, pertemuan kelompok, komputer, memo, pernyataan kebijaksanaan, sistem imbalan, dan lain-lain. Penerima merupakan arah pesan itu. Tetapi sebelum pesan dapat diterima, simbol-simbol harus diterjemahkan ke dalam suatu ragam yang dapat dipahami oleh si penerima. Inilah pendekodean pesan. Tetapi seperti pengkode, dibatasi oleh keterampilan, sikap, pengetahuan, dan sistem sosial budayanya, begitu juga si penerima. Seperti halnya sumber harus terampil dalam menulis atau berbicara, penerima harus terampil dalam membaca atau mendengarkan dan keduanya harus mampu bernalar. Pengetahuan, sikap, dan latar belakang budaya seseorang tidak hanya mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima, melainkan juga mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengirim. Tautan terakhir dalam proses komunikasi adalah balikan (feed back). Berlo (1960: 30-32) menyatakan “jika sumber komunikasi mendekodekan pesan yang dia kodekan, jika pesan itu dikembalikan ke dalam sistemnya, kita akan memperoleh umpan balik.” Umpan balik merupakan pengecekan mengenai berapa suksesnya kita dalam mentransfer pesan kita seperti dimaksudkan semula. Umpan balik menentukan apakah pesan itu telah dipahami. Proses komunikasi dua arah memungkinkan adanya balikan dari penerima ke komunikator (sumber). Bagi seorang manajer, umpan balik komunikasi dapat sampai dengan banyak cara. Dalam situasi tatap muka, balikan l;angsung yang dilakukan dengan saling berbicara, seperti komunikasi dengan cara halus melalui ekspresi wajah jika timbul rasa kurang puas atau kesalahpahaman. Selain itu, balikan tidak langsung (seperti kurangnya koordinasi atau konflik di antara berbagai unit organisasi mungkin Syafei Ibrahim. Komunikasi sebagai Faktor Determinan dalam Organisasi 293 menunjukkan kemacetan komunikasi). Unsur-unsur yang dibahas dalam proses komunikasi ini merupakan hal yang penting dalam berkomunikasi. Meskipun demikian, semua unsur itu tidak boleh dipisah-pisahkan. Sebaliknya, semua unsur ini menggambarkan tindakan yang harus dilakukan dalam semua jenis komunikasi. Komunikasi mungkin berlangsung secara vertikal (atasan – bawahan, bawahan – atasan) atau horizontal (sesama rekan sejawat), atau mungkin juga melibatkan satu orang atau sebuah kelompok, tetapi semua unsur yang dibahas sebelumnya harus ada. 4. Komunikasi Nonverbal Informasi yang disampaikan komunikator yang tidak menyangkut informasi verbal – yaitu pesan nonverbal atau komunikasi nonverbal – adalah bidang riset yang relatif baru di antara ilmuwan perilaku. Para ilmuwan itu memusatkan perhatian pada isyarat fisik yang mencirikan penyampaian fisik komunikator, seperti gerakan tangan, ekspresi wajah, gerakan mata, dan bahasa tubuh lainnya. Semua isyarat ini dipandang sebagai pengaruh yang penting atas interpretasi penerima pesan. Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi wajah dan bertatapan mata biasanya memberikan informasi tentang jenis emosi; sedangkan tanda fisik seperti jarak, sosok tubuh, serta gerakan tangan dan mata menunjukkan intensitas emosi tadi. Kesimpulan ini penting bagi para manajer. Kesimpulan itu menunjukkan bahwa komunikator sering mengirim lebih banyak informasi daripada yang diperoleh dalam pesan verbal. Untuk mengefektifkan komunikasi, maka kita harus waspada terhadap isi pesan kita, baik yang bersifat nonverbal maupun bersifat verbal. Walaupun mungkin kita tidak sependapat tentang makna khusus dari gerakan-gerakan ini, bahasa tubuh menambahkan dan sering merumitkan komunikasi verbal. Suatu posisi atau gerakan tubuh tidaklah dengan sendirinya mempunyai makna yang tepat atau universal, tetapi bila itu ditautkan dengan bahasa yang terucapkan, 294 bahasa tubuh memberikan makna yang lebih penuh kepada si penerima pesan. Jika Anda membaca notulen rapat, Anda tidak dapat memahami dampak dari apa yang dikatakan dalam cara yang sama seandainya Anda berada dalam rapat itu atau menyaksikan rapat itu pada video. Mengapa? Tidak ada rekaman dari komunikasi nonverbal. Penekanan yang diberikan pada kata-kata atau istilah-istilah tidak ada. Untuk melukiskan bagaimana intonasi (nada) dapat mengubah makna dari suatu pesan, perhatikan mahasiswa dalam kelas yang mengemukakan kepada dosennya suatu pertanyaan. Sang dosen menjawab, “Apa yang Anda maksudkan dengan itu?” Reaksi mahasiswa akan berbeda bergantung pada nada tanggapan dari dosen itu. Nada yang lembut dan lancar menciptakan makna yang lain dari intonasi yang ketus dengan tekanan yang kuat pada kata yang terakhir. Sebenarnya, masih banyak contoh lain yang tidak mungkin dipaparkan di sini karena, ruang yang sangat terbatas. Anda bisa mencari sendiri ciri-ciri dari bahasa tubuh lainnya yang menunjukkan adanya komunikasi nonverbal. Penting untuk penerima agar waspada terhadap aspek-aspek nonverbal dari komunikasi. Seharusnya Anda mencari isyarat nonverbal serta mendengar makna harfiah dari kata-kata seorang pengirim. Hendaknya Anda menyadari adanya kontradiksi di antara pesan-pesan itu. Atasan mungkin mengatakan bahwa ia bebas untuk berbicara dengan Anda mengenai kenaikan gaji yang Anda inginkan, tetapi mungkin Anda lihat isyarat-isyarat nonverbal yang menyarankan bahwa itu bukan waktunya untuk membahas topik itu. Lepas dari apa yang dikatakan, seorang individu yang berkali-kali menengok pada arlojinya sedang memberikan pesan bahwa ia lebih suka pembicaraan itu diakhiri. Kita salah memberikan informasi kepada orang lain bila kita mengungkapkan suatu emosi secara verbal, seperti misalnya, kepercayaan, namun secara nonverbal mengkomunikasikan suatu pesan kontradiktif yang bunyinya, “Saya tidak mempunyai kepercayaan kepada Anda.” Sering kontradiksi ini menimbulkan kesan bahwa “Tindakan berbicara lebih lantang (dan lebih tepat) dari pada kata-kata.” M EDIATOR, Vol. 2 No.2 2001 5. Arah Komunikasi dalam Organisasi Desain organisasi haruslah memungkinkan terjadinya komunikasi keempat arah yang berbeda: ke bawah, ke atas, horizontal, dan diagonal. Karena keempat arah komunikasi ini merupakan kerangka dalam tubuh organisasi, maka akan kita kaji secara singkat satu demi satu. Dengan kajian ini, menurut Bacharach dan M. Aiken (1977: 365-377), akan memungkinkan kita memahami lebih baik berbagai hambatan komunikasi yang efektif dalam organisassi, serta cara untuk mengatasi hambatan tersebut. (1) Komunikasi ke bawah (downward communication) mengalir dari satu tingkat dalam suatu kelompok atau organisasi ke suatu tingkat yang lebih bawah. Bentuk komunikasi ke bawah yang paling umum dalam organisasi berupa instruksi kerja, memo resmi, pernyataan kebijaksanaan, prosedur, buku pedoman, publikasi perusahaan, dan mengemukakan umpan balik terhadap kinerja. Namun komunikasi ke bawah tidak selalu merupakan kontak lisan atau tatap muka. Dalam organisasi, komunikasi ke bawah sering tidak lengkap dan tidak akurat. Hal ini terbukti dari seringnya terdengar pernyataan dari pegawai organisasi bahwa “Kita sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.” Keluhan semacam itu menunjukkan tidak cukupnya komunikasi ke bawah, dan perlunya pegawai mendapatkan informasi yang sesuai dengan pekerjaan mereka. Menurut Ivancivich dan Donnelly (1974: 28-36), tidak adanya informasi yang berkaitan dengan pekerjaan dapat menimbulkan tekanan batin yang tidak perlu di antara anggota organisasi. (2) Komunikasi ke atas (upward communication), merupakan komunikasi yang mengalir dari tingkat bawah ke tingkat atas sebuah organisasi. Digunakan untuk memberikan umpan balik kepada atasan, menginformasikan mereka mengenai kemajuan ke arah tujuan, dan meneruskan masalah-masalah karyawan terhadap pekerjaannya, rekan sekerjanya, dan organisasi secara umum. Organisasi yang efektif memerlukan komunikasi ke atas sama banyaknya dengan komunikasi ke bawah yang diperlukannya. Disadari bahwa komunikasi ke atas yang efektif sukar dicapai, terutama dalam organisasi yang besar. Akan tetapi, komunikasi ke atas yang berhasil sering diperlukan untuk mengambil keputusan yang sehat. Beberapa arus komunikasi ke atas yang paling umum adalah kotak saran, prosedur naik banding atau pengaduan, survey sikap karyawan, diskusi atasan-bawahan, dan petemuan keluhan informal di mana para karyawan mempunyai kesempatan untuk mengindentifikasikan dan membahas masalah dengan mereka atau wakil dari manajemen yang lebih tinggi. (3) Komunikasi horisontal (horizontal communication), mengalir melintasi berbagai fungsi dalam organisasi. Bentuk komunikasi ini diperlukan untuk mengkoordinisai dan mengintegrasikan berbagai fungsi organisasi. Jenis komunikasi ini sering diabaikan dalam mendesain organisasi. Jika seorang kepala bagian keuangan berkomunikasi dengan kepala bagian humas pada kantor walikota mengenai tawaran lokakarya di fakultas komunikasi sebuah perguruan tinggi, arus komunikasinya adalah horizontal. Meskipun arus komunikasi vertikal (ke atas dan ke bawah) merupakan pertimbangan pokok dalam mendesain organisasi, tetapi organisasi yang efektif juga memeerlukan komunikasi horisontal. Komunikasi horisontal – misalnya, walikota yang menyangkut pengiriman pegawai untuk mengikuti pelatihan di suatu tempat – diperlukan untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai fungsi organisasi. Karena mekanisme untuk menjamin adanya komunikasi horisontal biasanya tidak ada dalam desain sebuah organisasi, maka pelaksanaannya terserah kepada para manajer. Komunikasi antarrekan sejawat sering diperlukan untuk mengadakan koordinasi dan juga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. (4) Komunikasi diagonal (diagonal communication). Bentuk komunikasi ini bersilang melintasi Syafei Ibrahim. Komunikasi sebagai Faktor Determinan dalam Organisasi 295 fungsi dan tingkatan dalam organisasi, serta penting dalam situasi di mana anggota tidak dapat berkomunikasi lewat saluran ke atas, ke bawah, atau pun horisontal. Komunikasi diagonal jarang sekali dipakai dalam organisasi, tetapi saluran ini penting dalam situasi di mana para anggota tidak dapat berkomunikasi secara efektif melalui saluran lainnya. Sebagai contoh, pengawas keuangan sebuah perusahaan besar ingin melakukan analisis distribusi biaya. Salah satu bagian tugas itu mungkin mengharuskan para wiraniaga menyampaikan laporan khusus secara langsung kepada pengawas keuangan itu, dan bukan melalui saluran tradisional dalam departemen pemasaran. Dengan demikian, arus komunikasi berlangsung secara diagonal dan bukan vertikal (ke atas) dan horisontal. Dalam kasus ini, saluran diagonal mungkin merupakan bentuk komunikasi yang paling efisien dipandang dari segi waktu dan upaya organisasi. 6. Hambatan Komunikasi dalam Organisasi Ada suatu pertanyaan yang bagus tentang hal ini adalah, mengapa komunikasi gagal? Selintas jawabannya relatif mudah. Di bagian ini, akan dibahas beberapa hambatan bagi komunikasi yang efektif di dalam organisasi. Menurut Robbin (1996:14), hambatan disebabkan karena (1) penyaringan (filtering), (2) persepsi selektif, (3) emosi, dan (4) bahasa. Davis dan Newstrom (1996: 155-156) menyebutkan hambatan komunikasi terdiri atas (1) hambatan pribadi, (2) hambatan fisik, dan (3) hambatan semantik. Sedangkan Gibson (1994: 587-593) menyatakan hambatan komunikasi yang efektif terjadi karena: (1) kerangka acuan, (2) menyimak selektif, (3) kata putus nilai, (4) kredibilitas sumber, (5) masalah semantik, (6) penyaringan, (7) bahasa kelompok, (8) perbedaan status, (9) tekanan waktu, dan (10) beban layak komunikasi. Untuk menguraikan secara singkat hambatan tersebut di atas, akan dijelaskan hambatanhambatan yang dikemukakan Gibson sebagai 296 berikut: (1) Kerangka Acuan (Frame of Reference). Orang yang berbeda dapat menafsirkan komunikasi yang sama dengan cara yang berlainan, yang bergantung pada pengalaman mereka sebelumnya. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam proses penyandian dan penguraian sandi. Jika proses penyandian dan penguraian sandi tidak sama, komunikasi cenderung gagal. Oleh karena itu, meskipun komunikator sebenarnya berbicara dalam “bahasa yang sama” dengan penerima, pesan itu bertentangan dengan cara penerima “menyusun pemahamannya”. Akibatnya, sering terjadi penyimpangan atau distorsi karena perbedaan acuan. Tingkatan dalam organisasi yang berbeda-beda juga mempunyai kerangka acuan yang tidak sama. (2) Menyimak Selektif (Selective Listening). Merupakan bentuk persepsi yang selektif di mana kita cenderung menghambat informasi baru, terutama jika informasi itu bertentangan dengan apa yang kita yakini. Oleh karena itu, jika kita menerima pengarahan dari pimpinan, yang kita perhatikan hanyalah hal-hal yang memperkuat keyakinan kita. Hal-hal yang bertentangan dengan pendapat kita yang telah terbentuk sebelumnya, tidak akan kita perhatikan sama sekali atau kita usahakan agar hal itu memperkuat pendapat kita sebelumnya. Jadi, dalam hal ini pendapat yang telah terbentuk sebelumnya dapat menyebabkan kemacetan dalam komunikasi, bila pendapat yang baru bertentangan dengan pendapat kita sebelumnya. (1) Kata Putus Nilai (Value Judgement). Dalam setiap komunikasi, penerima membuat kata putus nilai (value judgement). Hal ini pada dasarnya menyangkut penilaian menyeluruh atas sebuah pesan sebelum menerima seluruh komunikasi. Kata putus nilai dapat didasarkan penilaian penerima atas komunikator atau penglamannya dengan komunikator sebelumnya, atau atas arti pesan yang sudah diduga sebelumnya. Contoh, seorang professor perguruan tinggi mungkin menganggap M EDIATOR, Vol. 2 No.2 2001 pertemuan evaluasi proses belajar mengajar dengan ketua jurusan sebagai “sekadar melakukan sesuatu” karena staf pengajar itu menganggap ketua jurusan itu kurang memiliki atau tidak memiliki kekuasaan dalam administrasi perguruan tinggi. Sebuah kelompok kerja yang kompak dapat membentuk kata putus nilai yang negatif atas segala tindakan pimpinan. (2) Kredibilitas Sumber (Source Credibility). Kredibilitas sumber adalah kepercayaan, keyakinan, dan pengakuan penerima terhadap perkataan dan tindakan komunikator pada gilirannya akan langsung mempengaruhi pandangan dan reaksi penerima terhadap perkataan, gagasan, dan tindakan komunikator. Dengan demikian, bagaimana bawahan memandang komunikasi dari manajernya dipengaruhi oleh penilaian mereka terhadap manajer tersebut. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka sebelumnya dengan manajer. Sekali lagi kita melihat bahwa segala sesuatu yang dilakukan manajer akan mengkomunikasikan sesuatu. Sekelompok staf pada sebuah perguruna tinggi yang menganggap pimpinan perguruan tinggi itu kurang jujur, senang berbuat curang, dan tidak dipercaya, cenderung membuat-buat alasan yang melatari komunikasi dari pimpinan. (3) Masalah Semantik (Semantic Problems). Komunikasi telah didefinisikan sebagai penyampaian informasi dan pengertian dengan menggunakan tanda yang sama. Sebenarnya, kita tidak dapat menyampaikan kata-kata, yang merupakan tanda yang serupa. Sayangnya, kata-kata yang sama itu mungkin dapat berarti lain bagi orang lain. Pengertian itu ada pada penerima, dan bukan pada katakata. Karena kelompok yang berbeda memiliki katakata yang tidak sama, seringkali komunikasi mengalami kegagalan. Hal ini terutama kaitan dengan kata-kata dan ungkapan abstrak atau teknis. Dengan demikian, karena kata-kata mempunyai arti yang berbeda bagi orang yang berbeda, maka seorang komunikator mungkin dapat berbicara dalam bahasa yang sama dengan si penerima, tetapi tidak menyampaikan pengertian. (4) Penyaringan (Filtering). Penyaringan (filtering) biasa terjadi pada komunikasi ke atas dalam organisasi. Istilah ini mengacu pada “manipulasi” informasi sehingga penerima memandangnya sebagai hal yang positif. Bawahan “menutup-nutupi” informasi yang kurang disukai dalam pesan mereka kepada atasan. Alasan penyaringan semacam itu tentunya jelas, ini adalah arah (ke atas) yang membawa informasi pengendalian kepada pimpinan. Godaan untuk menyaring pada setiap tingkat organisasi nampaknya kuat sekali. (5) Bahasa Kelompok (In-Group Language). Kita semua pasti mempunyai hubungan dengan para ahli dan cenderung menggunakan istilah yang sangat teknis (jargon), yang sebenarnya hanyalah kata-kata atau kalimat yang menggambarkan prosedur yang sangat sederhana atau objek yang sangat umum. Ketika para mahasiswa diminta peneliti “melengkapi sebuah instrumen sebagai bagian dari peanganan eksperimental”. Mahasiswa segera mengetahui bahwa yang dimaksud tidak lebih dari sekadar mengisi sebuah kuesioner. Seringkali kelompok keahlian, profesional, dan sosial mengembangkan kata-kata atau ungkapan yang artinya hanya diketahui oleh para anggotanya sendiri sehingga merasa bangga dan penuh harga diri, sehingga sangat memperlancar komunikasi di dalam kelompoknya. Akan tetapi, pemakaian bahasa kelompok dapat mengakibatkan kegagalan komunikasi yang parah jika melibatkan orang luar atau kelompok lain. (6) Perbedaan Status (Status Differences). Organisasi kerap kali mengungkapkan tingkat hierarki melalui sejumlah simbol – gelar, kantor, dan sebagainya. Perbedaan status semacam itu dapat dipandang sebagai ancaman oleh orang-orang pada tingkat hierarki yang lebih Syafei Ibrahim. Komunikasi sebagai Faktor Determinan dalam Organisasi 297 rendah, dan ini dapat mencegah atau menimbulkan distorsi dalam komunikasi. Seseorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam organisasi hanya dapat ditemui dengan janji sebelumnya atau melalui pemeriksaan yang teliti oleh sekretarisnya. Ini memperlebar kesenjangan komunikasi antara atasan dan bawahan. (7) Tekanan Waktu (Time Pressure). Merupakan hambatan penting dalam komunikasi. Masalah yang jelas tampak adalah manajer tidak punyai waktu untuk sering berkomunikasi dengan bawahannya. Akan tetapi, tekanan waktu sering dapat menimbulkan masalah serius dengan bawahannya. Jalan pintas (short-circuiting) merupakan kegagalan sistem komunikasi yang ditentukan secara formal, yang sering timbul karena tekanan waktu. Ini berarti bahwa ada orang yang tidak diikutsertakan dalam saluran komunikasi formal sedangkan orang itu seyogianya dilibatkan. (8) Beban Layak Komunikasi (Communication Overload). Salah satu tugas penting yang dilakukan manajer adalah mengambil keputusan. Salah satu syarat bagi keputusan yang efektif adalah informasi. Karena ada kemajuan di bidang teknologi komunikasi, kesulitannya tidak terletak pada upaya mengumpulkan informasi. Nyatanya, dasawarsa terakhir sering digambarkan sebagai “abad informasi” atau “era informasi.” Para manajer sering merasa “terbenam” dalam banjir informasi dan data yang tersedia bagi mereka. Akibatnya, orang-orang tidak dapat menyerap atau menangani semua pesan yang ditujukan bagi mereka dengan baik. Orangorang “menyaring” sebagian besar pesan, yang berarti bahwa pesan ini tidak pernah diuraikan sandinya. Oleh karena itu, wilayah komunikasi organisasi merupakan bidang di mana “kelebihan” tidak selalu berarti “lebih baik.” Dengan mengkaji masing-masing hambatan itu, dapat diketahui bahwa hambatan itu timbul dari diri orang (yaitu: kerangka acuan, kata putus nilai) atau dari dalam organisasi (yaitu, bahasa kelompok, penyaringan). Hal ini penting karena usaha untuk meningkatkan komunikasi harus difokuskan pada upaya mengubah orang dan atau mengubah struktur oganisasi. Kesenjangan Komunikasi Bidang pengalaman Komunikator Penyandian Kerangka acuan Menyimak selektif Kata putus nilai Kredibilitas sumber Masalah semantik Penyaringan Pesan Bidang pengalaman Pengirim sandi Penerima Bahasa kelompok Perbedaan status Tekanan waktu Beban layak komunikasi Gambar 3: Hambatan Komunikasi yang Efektif. 298 M EDIATOR, Vol. 2 No.2 2001 7. Meningkatkan Komunikasi dalam Organisasi Menurut Robbins (1996: 9-15), untuk mengefektifkan saluran komunikasi diperlukan adanya suatu jaringan (network) komunikasi, baik yang berbentuk formal maupun informal. Sedangkan Gibson (1994:593-597) menyatakan bahwa untuk menjadi komunikator yang baik, mempunyai tugas terpisah yang harus dilakukan. Pertama, mereka harus meningkatkan pesan mereka – yaitu informasi yang ingin mereka sampaikan. Kedua, mereka harus berusaha meningkatkan pemahaman mereka sendiri tentang apa yang ingin dikomunikasikan orang kain kepada mereka. Artinya, mereka harus menjadi pembuat pengurai sandi yang lebih baik. Mereka harus berusaha keras tidak saja untuk dipahami melainkan juga untuk memahami. Teknik yang dibahas berikut ini akan membantu pelaksanaan kedua tugas penting ini. (1) Melakukan Tindak Lanjut (Following Up). Teknik ini mengandaikan bahwa Anda disalahpahamkan dan, jika mungkin, Anda berusaha menentukan apakah maksud Anda benar-benar diterima dengan baik. Sebagimana diketahui, arti selalu terdapat dalam pikiran penerima. Hal ini perlu ditindaklanjuti untuk menjelaskan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman lagi. (2) Mengatur Arus Informasi (Regulating Information Flow). Teknik ini meliputi pengaturan komunikasi guna menjamin arus informasi yang optimal kepada manajer, sehingga meniadakan hambatan “beban layak komunikasi.” Komunikasi diatur dalam kaitannya dengan mutu dan jumlah. Dalam kaitannya dengan komunikasi formal, atasan hanya perlu dikomunikasikan jika, terjadi hal-hal yang bersifat luar biasa dan bukan sekadar demi komunikasi itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan pendelegasian wewenang dalam organisasi. (3) Memanfaatkan Balikan (Utilizing Feedback). Pada penjelasan terdahulu, balikan (umpan balik) didefinisikan sebagai unsur penting dalam komunikasi dua arah yang efektif. Balikan menyediakan sebuah saluran bagi tanggapan penerima yang meningkatkan komunikator untuk menentukan apakah pesannya sudah diterima dan menghasilkan tanggapan yang diinginkan atau tidak. Dalam komunikasi tatap muka, dimungkinkan adanya balikan langsung. Akan tetapi, pada komunikasi ke bawah sering terjadi ketidakakuratan karena kurangnya kesempatan penerima untuk memberikan balikan. Karena itu, kebijaksanaan penting telah disampaikan kepada karyawan, namun hal ini tidak menjamin telah terjadinya komunikasi. Organisasi yang sehat memerlukan komunikasi ke atas yang efektif jika menginginkan keefektifan komunikasi ke bawah. (4) Empati (Empathy). Yang dimaksud dengan empati ialah komunikasi yang berorientasi pada penerima dan bukan berorientasi pada si komunikator. Bentuk komunikasi seyogianya sebagian besar bergantung pada hal-hal yang diketahui tentang penerima. Empati mengharuskan komunikator agar menempatkan dirinya pada kedudukan penerima sehingga dapat memperkirakan bagaimana kemungkinan penguraian sandi pesan yang akan disampaikan. Empati merupakan kemampuan menempatkan diri dalam peran orang lain dan mengandaikan sudut pandang serta emosi orang lain. Agar direktur atau dosen dapat berkomunikasi dengan efektif dengan karyawan atau mahasiswanya, empati seringkali merupakan unsur yang penting. (5) Pengulangan (Repetition). Pengulangan adalah prinsip belajar yang mudah diterima. Mencakup unsur pengulangan atau redudansi ke dalam komunikasi (terutama yang bersifat teknis) menjamin bahwa seandainya satu bagian pesan tidak dimengerti, bagian lainnya akan membawa pesan yang sama. (6) Mendorong Terciptanya Rasa saling Percaya (Encouraging Mutual Trust). Tekanan waktu sering memperkecil kemungkinan bahwa Syafei Ibrahim. Komunikasi sebagai Faktor Determinan dalam Organisasi 299 manajer akan mampu menindaklanjuti komunikasi dan mendorong penyampaian balikan atau komunikasi ke atas setiap kali mereka berkomunikasi. Dalam keadaan demikian, adanya perasaan saling percaya antara manajer dan bawahannya dapat memperlancar komunikasi (Robert dan O’Reilly, 1974: 205-215). Bawahan menilai sendiri mutu hubungannya dengan atasan sesuai dengan persepsinya. Manajer berusaha mengembangkan rasa saling percaya akan lebih mudah melakukan tindak lanjut setiap komunikasi. (7) Penentuan Waktu yang Efektif (effective Timing). Setiap hari orang menghadapi ribuan pesan. Banyak di antara pesan itu tidak pernah diuraikan sandinya atau tidak diterima karena tidak mungkin menampung seluruh pesan. Seseorang penting mengetahui bahwa pada saat ia berusaha berkomunikasi dengan seorang penerima, pesan lainnya diterima sekaligus. Jadi, pesan yang dikirim seseorang, mungkin tidak “didengar.” Pesan akan lebih dapat dimengerti apabila pesan itu tidak bersaing dengan pesan lainnya. Dalam keadaan sehari-hari, komunikasi yang efektif dapat diperlancar dengan menentukan waktu yang tepat untuk mengumumkan sesuatu yang penting. (8) Menyederhanakan Bahasa (Simplifying Lan- guage). Bahasa yang rumit merupakan hambatan utama bagi komunikasi yang efektif. Para manajer harus ingat bahwa komunikasi yang efektif meliputi pemahaman dan juga informasi. Jika penerima tidak paham, sebenarnya tidak terjadi komunikasi. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi harus dapat menyandikan pesan dalam kata-kata, himbauan, dan simbol yang mempunyai arti bagi penerima. (9) Menyimak Secara Efektif (Effective Listening). Untuk meningkatkan komunikasi, manajer harus berusaha dipahami dan memahami. Ini berarti bahwa manajer harus menyimak. Salah satu cara yang mendorong seseorang untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan emosi yang sebenarnya ialah dengan menyimak (to listen). Hanya mendengar tidak cukup; orang harus mendengarkan dengan pemahaman dengan penuh kesadaran. (10) Memakai Grapevine (Grapevine Makes). Grapevine adalah saluran komunikasi yang penting yang ada di semua organisasi. Pada dasarnya ia merupakan mekanisme jalan pintas, dan dalam banyak kasus bergerak lebih cepat dari pada sistem formal yang dipintaskan. Bagi pimpinan, grapevine seringkali menjadi sarana yang efektif. Tampaknya saluran ini lebih berpengaruh bagi penerima karena merupakan komunikasi tatap muka dan memungkinkan adanya balikan. Tindak lanjut Atur arus informasi Memanfaatkan balikan Empati Pengulangan Bidang pengalaman Komunikator Penyandian Bidang pengalaman Pesan Penguraian sandi Penerima Mendorong timbulnya saling percaya Waktu yang efektif Penyederhanaan bahasa Menyimak secara efektif Menggunakan grapevine Gambar 4: Meningkatkan Komunikasi di dalam Organisasi 300 M EDIATOR, Vol. 2 No.2 2001 8. Penutup Sangat sulit menemukan aspek pekerjaan dalam organisasi yang tidak melibatkan komunikasi. Jika setiap orang dalam organisasi memiliki sudut pandang yang sama, komunikasi akan berjalan lancar. Sayang, tidak demikian halnya. Setiap orang yang memasuki organisasi membawa kepribadian, latar belakang, pengalaman, dan kerangka acuan masing-masing. Struktur organisasi sendiri mempengaruhi hubungan status dan jarak (tingkatan) antara orang-orang, yang pada gilirannya juga mempengaruhi kemampuan orang untuk berkomuniaksi. Oleh karena itu, fungsi dan proses komunikasi dalam organisasi sangat penting untuk ditelusuri. Beberapa hambatan komunikasi yang umum dan sejumlah cara untuk meningkatkan komunikasi yang efektif dapat meningkatkan komunikasi dalam organisasi. M nal. Desember ,1974. Robert, Karlene H., dan Charles A. O’Reilly III. 1974. “Failures ini Upward Communication in Organizations: Three Possible Culprits, “Academy of Management Journal. Juni, 1974. _____. 1979. “Some Correlation of Communication Roles in Organization,” Academy of Management Journal. Maret. 1979. Robbins, Stephen P. 1996. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications. Terj. Hadyana Pujaatmaka. Jakarta: Prenhallindo. Scott, W.G. dan T.R. Mitchell. 1960. Organization Theory: A Structural and Behavioral Analysis. Homewood: Richard D. Irwin, Inc. Sumber Bacaan Bacharach, S.B. and M. Aiken. 1977. “Communication in Administrative Bureucracies.” Academy of Management Journal. September 1977. Berlo, D.K. 1960. The Process of Communication. New York: Holt, Rinehart and Winston. Davis, Keith dan John W. Newstrom. 1996. Human Behavior at Work: Organizational Behavior. Terj. Agus Dharma. Jakarta, Erlangga. Gibson, James L; Ivancevich, John M; and Donnelly, James H. 1994. Organization Behavior Structure Processes. Sydney: Richard D. Irwin, Inc. Ivancevich, J.M.; Donnelly J.H. 1974. “A Study of Role Clarity and Need for Clarity in Three Occupational Groups,” Academy of Management Journal. Maret, 1974. Laswell, H.D. 1948. Power and Personality. New York: W.W. Norton. Paul M. Muchinsky. 1974. “Organizational Communication: Relationships to Organizational Climate and Job Satisfaction, “ Academy of Management Jour- Syafei Ibrahim. Komunikasi sebagai Faktor Determinan dalam Organisasi 301