BAB II Pendidikan Karakter dan Teater A. Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan merupakan istilah dari bahasa Inggris education yang berasal dari bahasa Latin educare atau bahasa latinnya educo. Educo berarti mengembangkan dari dalam; mendidik; melaksanakan hukum kegunaan.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.2 Menurut Muhammad Al-Naquib Al-Attas, pendidikan adalah “suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. Dalam pengertian ini, suatu proses penanaman mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan” secara bertahap. “Sesuatu” mengacu pada kandungan yang ditanamkan dan “diri manusia” mengacu pada penerima proses dan kandungan itu.3 Dalam pengertian tersebut, pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai transfer pengetahuan. Pendidikan berarti proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan 1 Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam. (Yogykarta: Fadilatama, 2011), hlm. 3 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 263. 3 Muhammad Al-Naquuib At-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 35. 20 21 akademis, relasional, bakat-bakat, talenta, kemampuan fisik, dan dayadaya seni.4 Pada dasarnya pendidikan adalah laksana eksperimen yang tidak pernah selesai sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. Pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang terus berkembang.5 Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan tingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Secara etimologi istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu karasso yang berarti cetak biru, format dasar, dan sidik seperti dalam sidik jari. Dalam hal ini karakter diartikan sebagai sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi, seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya. 6 Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sananya. Sementara orang yang memiliki karakter lemah ialah orang yang tunduk pada 4 Muhammad Fadillah & Lilif Mualifatu Khorida, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini, ((Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 17 5 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.1 6 Doni Koesumo, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2011), hlm. 90 22 sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya.7 Pendapat lain menyebutkan bahwa karakter berarti to mark (menandai) dan memfokuskan, bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Dalam konteks ini, karakter erat kaitannya dengan kepribadian atau personality seseorang. Adapula yang mengartikannya sebagai identitas diri seseorang.8 Karakter dapat didefinisikan sebagai kecenderungan tingkah laku yang konsisten secara lahiriyah dan batiniyah. Karakter adalah hasil kegiatan yang sangat mendalam dan kekal yang nantinya akan membawa ke arah pertumbuhan sosial.9 Menurut Al Wasol, karakter diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, berbeda dengan kepribadian karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial, keduanya relatif permanen serta menuntun, mengarahkan, dan mengorganisasikan aktivitas individu.10 Karakter (Character) mengacu pada serangkaian sikap (Attitude), perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan 7 Ibid, hlm. 91 Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter, Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 12 9 Djaall, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 48-49 10 Arismanto, Tinjauan Berbagai Aspek Character Building, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 27-28 8 23 (skill). Karakter meliputi sikap, seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual, seperti berfikir kritis, dan alasan moral perilaku seperti jujur dan bertaqwa, bertanggung jawab mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidak adilan kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.11 Dari pengertian pendidikan dan pengertian karakter di atas, maka pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk pola sifat atau karakter baik mulai dari usia dini, agar karakter baik tersebut tertanam dan mengakar pada jiwa anak. Pendidikan karakter memiliki makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral. Karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar – salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan. Sehingga individu memiliki kesadaran, dan pemahaman tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.12 Sedangkan dalam perspektif pendidikan Islam, pendidikan karakter secara teoritil sebenarnya sudah ada sejak zaman Islam diturunkan di dunia seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlak (karakter) manusia. Ajaran Islam sendiri mengandung sistematika ajaran yang tidak hanya 11 12 Ibid, hlm. 27 E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), hal. 3 24 menekankan pada aspek keimanan, ibadah dan muamalah, tetapi juga akhlak. Pengamalan ajaran Islam secara utuh merupakan model karakter seorang muslim, bahkan dipersonifikasikan dengan model karakter Nabi Muhammad saw. yang memiliki sifat Shidiq, Amanah, Thabligh dan Fathonah.13 2. Tujuan Pendidikan Karakter Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah untuk berkembangnya potensi peserta didik agara menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.14 Tujuan pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga tewujud dalam perilaku anak baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah).15 Tujuan pendidikan karakter tersebut tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan pelajar atau mahasiswa dalam aspek kognitif saja, akan tetapi juga melibatkan emosi dan spiritual, tidak sekedar memenuhi otak pelajar atau mahasiswa dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan mendidik akhlak. Pelajar atau mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi 13 Ibid, hal. 5 Muhammad Fadlillah, Op.Cit. hal. 24 15 Dharma Kusuma, Pendidikan Karakter (Kajian Teori dan Praktik di Sekolah), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 6 14 25 anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan tanggap terhadap lingkungan sekitarnya. 3. Nilai-nilai Pendidikan Karakter Berdasarkan kajian berbagai nilai agama, norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang telah dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu: a. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan Nilai ini bersifat religius. Dengan kata lain, pikiran, perkataan dan tindakan seseorang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan atau ajaran agama. b. Nilai karakter hubungannya dengan diri sendiri Ada beberapa nilai karakter yang berhubungan dengan diri sendiri, yaitu: 1) Jujur merupakan perilaku yang didasarkan upaya menjadikan diri sebagai orang yang selalu dipercaya. 2) Bertanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, sebagaimana yang seharusnya ia lakukan tehadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. 3) Bergaya hidup sehat merupakan upaya menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. 26 4) Disiplin merupakan perilaku yang tertib patuh pada ketentuan dan aturan. 5) Kerja keras merupakan upaya sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas maupun pekerjaan. 6) Percaya diri merupakan sikap yakin akan kemampuan diri sendiri. 7) Berjiwa usaha merupakan sikap yang mandiri dan pandai, mampu mengenai produk baru, mampu menentukan dan memasarkan produk baru, serta mengatur modal operasinya. 8) Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif merupakan sikap berfikir dan melakukan sesuatu secara nyata atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan mutakhir dari sesuatu yang telah dimiliki. 9) Ingin tahu merupakan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar. 10) Cinta ilmu merupakan cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.16 c. Nilai karakter hubungannya dengan sesama Ada beberapa nilai karakter yang berhubungan dengan sesama, yaitu: 16 Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter Di Sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 36-37 27 1) Sadar hak dan kewajiban diri dan orang lain merupakan sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan sesuatu yang menjadi milik atau hak diri sendiri dan orang lain, serta tugas atau kewajiban diri sendiri dan orang lain. 2) Patuh pada aturan-aturan sosial merupakan sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum. 3) Menghargai karya dan prestasi orang lain merupakan sikap dan tindakan yang mendorong diri untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Serta, mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. 4) Santun merupakan sikap yang halus dan baik dari sudut pandang bahasa maupun tata perilakunya kepada semua orang. 5) Demokratis merupakan cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain. d. Nilai karakter hubungannya dengan lingkungan Hal ini berkenaan dengan kepedulian terhadap sosial dan lingkungan. Nilai karakter tersebut berupa sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegas kerusakan pada lingkungan alam dan sekitarnya, serta mengembangkan lingkungan yang rusak. dalam upaya memperbaiki 28 e. Nilai karakter hubungannya dengan kebangsaan Ada beberapa nilai karakter yang berhubungan dengan kebangsaan, yaitu: 1) Nasionalis merupakan cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsanya. 2) Menghargai keberagaman merupakan sikap hormat terhadap berbagai hal, baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, maupun agama.17 4. Tahapan membentuk karakter Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), perbuatan (acting), menuju kebiasaan (habit). Hal ini berarti, karakter tidak sebatas pada pengetahuan. Menurut William Kalpatrik seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai pengetahuannya itu kalau ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut. Menurut Anis Matta dalam bukunya “Membentuk Karakter Cara Islam” menyebutkan beberapa kaidah pembentukan karakter sebagai berikut: 18 17 Ibid. hlm. 39-41 M.Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam, (Jakarta: Al-I‟thisom Cahaya Umat, 2006), hlm. 34 18 29 a) Kaidah kebertahapan Proses pengembangan atau pembentukan karakter harus dilakukan secara bertahap. Orang tidak bisa dituntut untuk berubah sesuai yang diinginkan secara tiba-tiba dan instan. Namun ada tahapantahapan yang harus dilalui dengan sabar dan tidak terburu-buru. Orientasi kegiatan ini adalah pada proses bukan pada hasil. Proses pendidikan adalah hasilnya lama namun hasilnya paten. Karakter tidak sebatas pengetahuan, karena lebih dalam lagi menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. 19 Moral Knowing atau pengetahuan tentang moral adalah kesadaran moral (moral awereness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), dan pengenalan diri (self knowledge).20 Dengan pengetahuan tentang moral ini peserta didik akan mengetahui hal-hal dasar tentang moral yang nantinya akan berpengaruh pada perasaan moral peserta didik. Moral feeling atau perasaan moral merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia yang berkarakter. Penguatan ini 19 20 Arismanto, Op. Cit., hlm. 30 Ibid 30 berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yang meliputi perasaan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap orang lain (empathy), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), perasaan kerendahan hati (humanity).21 Untuk menjadikan karakter yang kuat maka perasaan moral ini sangat dibutuhkan sebagai pengalaman batin yang nantinya akan berpengaruh pada tindakan yang dilakukan dalam menjalani kehidupan. Moral action atau tindakan moral merupakan tindakan moral yang merupakan hasil dari kedua komponen karakter sebelumnya. Dengan mengerti pengetahuan dan perasaan moral, maka karakter peserta didik akan muncul sebagai jati diri yang membedakan dengan orang lain. Dengan demikian pembentukan atau pengembangan karakter membutuhkan suatu prosses atau tahapan-tahapan yang harus dilalui, tidak serta merta karakter seseorang dapat terbentuk. b) Kaidah kesinambungan Seberapa kecilnya porsi latihan atau proses pembelajaran akan mempengaruhi pengalaman seseorang. Untuk itu proses berkesinambungan harus dilakukan. Proses yang berkesinambungan inilah yang nantinya membentuk rasa dan warna berfikir seseorang 21 Ibih. hlm. 31 31 yang lama-lama akan menjadi kebiasaan dan seterusnya menjadi karakter pribadi yang khas. c) Kaidah momentum Dalam hal ini seorang guru atau pembimbing mempunyai kreatifitas dalam memodifikasi setiap moment untuk fungsi pendidikan dan latihan agar menjadi lebih bermakna untuk pembentukan karakter peserta didik. d) Kaidah motivasi instrinsik Karakter yang kuat akan terbentuk sempurna jika dorongan yang menyertainya benar-benar lahir dari dalam diri sendiri. Jadi, proses merasakan sendiri, melakukan sendiri, adalah penting. Hal ini sesuai dengan kaidah umum bahwa mencoba sesuatu akan berbeda hasilnya jika dilakukan sendiri dengan yang hanya dilihat atau diperdengarkan saja.22 e) Kaidah pembimbingan Pembimbingan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang guru/pembimbing. Kedudukan seorang guru/pembimbing ini adalah untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan seseorang. 22 M. Anis Mata, Op. Cit. hlm. 25 32 B. Teater 1. Pengertian Teater Teater berasal dari bahasa Yunani yaitu Theatron yang berarti takjub memandang. Secara etimologis, teater adalah gedung pertunjukan atau auditorium. Dalam istilah bahasa Indonesia, kata sandiwara lebih dipopulerkan oleh para seniman sebelum kemerdekaan. Sandiwara berasal dari bahasa sandi yang berarti rahasia dan warah yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang disampaikan secara rahasia atau tidak terang-terangan, karena lakon drama sebenarnya mengandung pesan atau ajaran (terutama ajaran moral) bagi penontonnya. Penonton menemukan ajaran secara tersirat dalam lakon drama. Sementara, dalam arti luas teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Namun dalam arti sempit, teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media: percakapan, gerak, dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis. Ditunjang dengan dekorasi, musik, nyanyian, tarian, dan sebagainya.23 Menurut Harymawan, teater berarti drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media percakapan, gerak dan laku, dengan atau 23 M.Noor Said, Mengenal Teater di Indonesia, (Semarang: Aneka Ilmu, 2010), hlm. 1 33 tanpa dekor (layar dan sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra), dengan atau tanpa musik, nyanyian, tarian.24 Teater dapat diartikan sebagai (1) Gedung atau ruangan tempat pertunjukan film, sandiwara atau lain sebagainya. (2) Ruangan besar dengan deretan kursi-kursi ke samping dan kebelakang untuk mengikuti kuliah atau untuk peragaan ilmiah. (3) Seni drama, sandiwara, pementasan drama sebagai suatu seni atau profesi drama.25 Meskipun hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra.26 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”. 24 Haryawan RMA, Drama Turgi, (Bandung: Rosda Karya, 1988), hlm. 2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit, hlm. 1151 26 http://pengertianadalahdefinisi.blogspot.com/2013/09/pengertian-teater-definisimenurut-para.html. Diakses, 14 November 2013. 25 34 2. Sejarah Perkembangan Teater a. Teater Primitif Teater hadir lebih dahulu daripada agama-agama wahyu. Penelitian Macgowan-Melnitz (1955) menemukan bahwa perkembangan teater dan drama dimulai ketika manusia berusaha meniru tingkah laku binatang untuk meningkatkan siasat dan memantapkan buruan. Megi meniru kemudian dilengkapi dan dikembangkan manusia dengan tarian, musik dan penggunaan topeng. Manusia kemudian menyempurnakannya dengan dialog.27 b. Teater Yunani Klasik Teater Yunani muncul di hadapan kita dengan seluruh dirinya, bagaikan dewi Athena muncul dari kepala Zeus. Tiba-tiba saja teater itu hadir begitu megah dan utuh dalam bentuk tragedi karya Aeschylus, Sophocles, Aristophones, dan Euripedes, yang dipentaskan di kota-kota dan disaksikan seluruh penduduk Athena.28 c. Teater Romawi Teater pertama kali dipertunjukkan di kota Roma pada tahun 240 B.C. pertunjukkan dikenalkan oleh Livius Andrenicus, seniman Yunani. Teater Romawi merupakan hasil adaptasi bentuk teater Yunani. Hampir disetiap unsur panggungnya terdapat unsur pemanggungan Yunani. Namun demikian teater Romawi pun 27 Yudiaryani, Panggung Teater Dunia, Perkembangan dan Perubahan Konvensi, (Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli, 2002). hlm. 36 28 Ibid, hal. 47 35 memiliki kebaruan-kebaruan dalam penggarapan dan penikmatan yang asli oleh masyarakat Romawi.29 d. Teater Abad Pertengahan Pada zaman ini pengaruh gereja katolik atas drama sangat besar. Dalam pementasan terdapat nyanyian-nyanyian yang dilakukan oleh padri dan paduan suara secara berganti-ganti.30 Asmara membagi drama-drama yang berkembang dalam abad pertengahan itu menjadi tiga golongan, yaitu (1) drama-drama perjanjian lama, bentuk drama ini sering memperbincangkan kejatuhan manusia; (2) drama-drama perjanjian baru, biasanya bentuk drama ini selalu berhubungan dengan Jesus Kristus; dan (3) dramadrama kematian dan kebangkitan kembali manusia.31 Konstruksi teater pada abad pertengahan menurut Harymawan sangat primitif (disebut teater kereta), tetapi kadang-kadang bisa lebih luas dan mewah (simultan). Secara sederhana, panggung teater pada zaman ini dapat dibongkar pasang dan dibawa kesana-kemari oleh kelompok teater yang mengembara.32 e. Teater Renaissance Pada zaman renaissance, perkembangan dunia tidak hanya terjadi pada bidang industri saja. Bidang teater pun juga mengalami perkembangan yang semarak di Eropa. Istana dan akademi-akademi 29 Ibid. hlm. 80 Harymawan. Op. Cit. hlm. 81 31 Cahyaningrum Dewojati, DRAMA, Sejarah, Teori dan Penerapannya, (Yogyakarta; Javakarsa Media, 2012), hlm. 61 32 Ibid, hlm. 61 30 36 merupakan pusat-puasat aktivitas drama dan taeter, terutama di Italia. Terdapat tiga jenis drama yang berkembang dengan baik, yaitu tragedi, komedi dan pastoral.33 f. Teater Elizabeth Pada awal pemerintahan Ratu Elizabeth I di Inggris (15581603), drama berkembang dengan sangat pesatnya. Gedunggedung pementasan besar bermunculan mengikuti gedung pementasan yang telah lebih dulu dibangun atas prakarsa sang ratu. Salah satu gedung pementasan terbesar yang disebut Globe, bisa menampung 3.000 penonton. Globe mementaskan drama-drama karya William Shakespeare, penulis drama terkenal dari inggris yang hidup dari tahun 1564 sampai tahun1616.34 g. Teater di Indonesia 1) Teater Tradisional Indonesia Teater tradisional merupakan suatu bentuk teater yang dihasilkan oleh kreativitas kolektif masyarakat dari berbagai suku dan etnis Indonesia. Teater ini bertolak dari sastra lisan yang berakar dari budaya dan tradisi masyarakat pendukungnya. Mulanya, teater tradisional ini merupakan bagian dari upacara adat yang telah ada sejak zaman pra-Hindu. Selain itu, teater tradisional merupakan warisan budaya nenek moyang yang diyakini lahir dari 33 Ibid. hlm. 63 http ://teater-damar.blogspot.com/2012/08/mengenal-sejarah-drama_4401.html, diakses pada 9 Maret 2014 34 37 spontanitas kehidupan yang dihayati oleh masyarakat pendukungnya. Adapun pendapat serupa juga dikemukakan oleh Rendra yang menyatakan bahwa teater tradisional adalah sandiwara yang bentuknya biasanya mengikuti adat kebiasaan yang turun temurun; dan tidak mengikuti kepribadian seniman pencipta tertentu. Dalam teater tradisional, proses kreatifnya pada umumnya didukung oleh prinsip kebersamaan, sehingga tidak ada penonjolan individu tertentu sebagai pencipta karya. Hal yang demikian itu merupakan salah satu ciri esensial kesenian tradisional. Ciri utama dari teater tradisional itu biasanya disasarkan pada intuisi para pemainnya, dan penggunaan berbagai media ekspresi yang padu.35 2) Teater Modern di Jaman Kolonial Pada zaman kolonial dunia teater Indonesia bergerak dengan warna yang berbeda. Teater profesional kurang aktif, sebaliknya, teater amatir justru sangat aktif. Teater mulai dipakai oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai alat propaganda dan banyak mendapat sensor dari pemerintah pendudukan Jepang. Meski pun demikian banyak penulis yang bisa menyelipkan nilainilai perjuangan.36 35 36 Cahyaningrum Dewojati, Op. Cit., hlm. 83 M. Noor said. Mengenal Teater di Indonesia, (Semarang; Aneka Ilmu, 2010), hlm.14 38 3) Teater Modern era Orde Lama Dunia teater di Indonesia belum sepenuhnya mempunyai gambaran yang jelas sebagai dunia yang mandiri. Eksperimeneksperimen berjalan, pertunjukan untuk „kalangan sendiri‟ juga berjalan, tetapi teater modern sebagai sebagai pilihan hiburan bagi masyarakat secara umum masih belum terbentuk. Teater modern masih milik kalangan „elit‟, yaitu para akademisi dan intelektual, itu pun belum mapan.37 4) Teater Modern Era Orde Baru Ada yang menyebut pada tahun 1970-an sebagai “Musim Semi Teater”. Ini diawali dengan diresmikannya Pusat Kesenian Jakarta tahun 1968, yang kemudian dikenal dengan nama Taman Ismail Marzuki. Musim seni teater ini tidak hanya menobatkan aktifis-aktifis teater yang paling kreatif dan produktif di Jakarta, tetapi juga di kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Masa inilah yang melambungkan nama-nama seperti Rendra dengan Bengkel Teater-nya, Putu Wijaya dengan Teater Mandiri-nya, N. Riantiarno dengan Teater Koma-nya, atau dasawarsa berikutnya, 1980-an, Butet Kartarajasa dengan Teater 37 Ibid, hlm. 16 39 Gandring-nya. Disamping itu ada juga kelompok-kelompok yang lain dengan segala eksperimen mereka.38 5) Teater Modern Indonesia Pasca Orde Baru Kelompok-kelompok baru bermunculan atau muncul kembali di awal pasca orde baru, tetapi sebagian besar masih tetap dalam format amatir secara manajemen dan eksperimental dalam bentuk.39 3. Jenis-jenis Teater Menurut Eko Santoso, dkk jenis-jenis teater terbagi menjadi 5 macam, yaitu: a. Teater Boneka Pertunjukan boneka telah dilakukan sejak Zaman Kuno. Sisa peninggalannya ditemukan di makam-makam India Kuno, Mesir, dan Yunani. Boneka sering dipakai untuk menceritakan legenda atau kisahkisah religius. Berbagai jenis boneka dimainkan dengan cara yang berbeda. Boneka tangan dipakai di tangan sementara boneka tongkat digerakkan dengan tongkat yang dipegang dari bawah. Marionette, atau boneka tali, digerakkan dengan cara menggerakkan kayu silang tempat tali boneka diikatkan. Dalam pertunjukan wayang kulit, wayang dimainkan di belakang layar tipis dan sinar lampu menciptakan bayangan wayang di 38 39 Ibid, hlm. 16-17 Ibid, hlm. 18 40 layar. Penonton wanita duduk di depan layar, menonton bayangan tersebut. Penonton pria duduk di belakang layar dan menonton wayang secara langsung. b. Drama Musikal Merupakan pertunjukan teater yang menggabungkan seni menyanyi, menari, dan akting. Drama musikal mengedepankan unsur musik, nyanyi, dan gerak daripada dialog para pemainnya. Di panggung Broadway jenis pertunjukan ini sangat terkenal dan biasa disebut dengan pertunjukan kabaret. Pada pertunjukan tersebut kemampuan aktor tidak hanya pada penghayatan karakter melalui baris kalimat yang diucapkan tetapi juga melalui lagu dan gerak tari. Disebut drama musikal karena memang latar belakangnya adalah karya musik yang bercerita seperti The Cats karya Andrew Lloyd Webber yang fenomenal. Dari karya musik bercerita tersebut kemudian dikombinasi dengan gerak tari, alunan lagu, dan tata pentas. Selain kabaret, opera dapat digolongkan dalam drama musikal. Dalam opera dialog para tokoh dinyanyikan dengan iringan musik orkestra dan lagu yang dinyanyikan disebut seriosa. Di sinilah letak perbedaan dasar antara Kabaret dan opera. Dalam drama musikal kabaret, jenis musik dan lagu bisa saja bebas tetapi dalam opera biasanya adalah musik simponi (orkestra) dan seriosa. Tokoh-tokoh utama opera menyanyi untuk menceritakan kisah 41 dan perasaan mereka kepada penonton. Biasanya juga berupa paduan suara. Opera bermula di Italia pada awal tahun 1600-an. Opera dipentaskan di gedung opera. Di dalam gedung opera, para musisi duduk di area yang disebut orchestra pit di bawah dan di depan panggung. c. Teater Gerak Teater gerak merupakan pertunjukan teater yang unsur utamanya adalah gerak dan ekspresi wajah serta tubuh pemainnya. Penggunaan dialog sangat dibatasi atau bahkan dihilangkan seperti dalam pertunjukan pantomim klasik. Teater gerak, tidak dapat diketahui dengan pasti kelahirannya tetapi ekspresi bebas seniman teater terutama dalam hal gerak menemui puncaknya dalam masa commedia del’Arte di Italia. Dalam masa ini pemain teater dapat bebas bergerak sesuka hati (untuk karakter tertentu) bahkan lepas dari karakter tokoh dasarnya untuk memancing perhatian penonton. Dari kebebasan ekspresi gerak inilah gagasan mementaskan pertunjukan dengan berbasis gerak secara mandiri muncul. Teater gerak yang paling populer dan bertahan sampai saat ini adalah pantomim. Sebagai pertunjukan yang sunyi (karena tidak menggunakan suara), pantomim mencoba mengungkapkan ekspresinya melalui tingkah polah gerak dan mimik para pemainnya. Makna pesan sebuah lakon yang hendak disampaikan semua ditampilkan dalam 42 bentuk gerak. Tokoh pantomim yang terkenal adalah Etienne Decroux dan Marcel Marceau, keduanya dari Perancis. d. Teater Dramatik Istilah dramatik digunakan untuk menyebut pertunjukan teater yang berdasar pada dramatika lakon yang dipentaskan. Dalam teater dramatik, perubahan karakter secara psikologis sangat diperhatikan dan situasi cerita serta latar belakang kejadian dibuat sedetil mungkin. Rangkaian cerita dalam teater dramatik mengikuti alur plot dengan ketat. Mencoba menarik minat dan rasa penonton terhadap situasi cerita yang disajikan. Menonjolkan laku aksi pemain dan melengkapinya dengan sensasi sehingga penonton tergugah. Satu peristiwa berkaitan dengan peristiwa lain hingga membentuk keseluruhan lakon. Karakter yang disajikan di atas pentas adalah karakter manusia yang sudah jadi, dalam artian tidak ada lagi proses perkembangan karakter tokoh secara improvisatoris. Dengan segala konvensi yang ada di dalamnya, teater dramatik mencoba menyajikan cerita seperti halnya kejadian nyata. e. Teatrikalisasi Puisi Pertunjukan teater yang dibuat berdasarkan karya sastra puisi. Karya puisi yang biasanya hanya dibacakan dicoba untuk diperankan di atas pentas. Karena bahan dasarnya adalah puisi maka teatrikalisasi puisi lebih mengedepankan estetika puitik di atas pentas. 43 Gaya akting para pemain biasanya teatrikal. Tata panggung dan blocking dirancang sedemikian rupa untuk menegaskan makna puisi yang dimaksud. Teatrikalisasi puisi memberikan wilayah kreatif bagi sang seniman karena mencoba menerjemahkan makna puisi ke dalam tampilan laku aksi dan tata artistik di atas pentas.40 C. Pendidikan Karakter melalui Teater Muhammad Nuh mengatakan setiap manusia memiliki tiga potensi, yaitu logika, etika dan estetika. Jika ketiga potensi bisa dikembangkan secara maksimal, akan tumbuh sebagai manusia yang utuh yang mempunyai kecerdasan, keterampilan dan berkarakter. Seni akan menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang, sehingga harus didukung seiring dengan keinginan mencetak generasi emas tahun 2045.41 Di dalam seni terdapat transisi perasaan, demikian pula dalam seni teater. Karena itu seni teater merupakan alat penyaluran perasaan yang menggelora. Di dalam seni teater orang juga secara tidak langsung berkenalan kehidupan. Di dalam sandiwara kehidupan telah dikristalisasi dan ekspresi watak dan emosi lebih nyata. 42 Sehingga memalui teater mahasiswa dapat berkenalan dengan watak-watak manusia dan kehidupan. Juga seringkali memalui sandiwara atau teater, mahasiswa dapat berkenalan dengan nilainilai yang amat penting bagi pembentukan karakter. 40 Eko Santoso, dkk, SENI TEATER, Jilid I untuk SMK, (Jakarta: Direktoran Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2008), hlm. 47-51 41 Derap Guru, Jawa Tengah, Edisi 174/Th.2014. (Semarang: Lontar Media Semarang, 2014). hlm. 17 42 Brahim, Drama Dalam Pendidikan. (Jakarta: PT Gunung Agung, 1968 ). hlm. 154 44 Dengan begitu pendidikan karakter dapat diintegrasikan melalui proses teater. Melalui kegiatan teater, mahasiswa berlatih untuk berkomunikasi secara bersuara ataupun tanpa suara dengan berkesan. Mereka juga mempelajari laras bahasa mengikut konteks dan situasi yang sesuai melalui aktiviti simulasi, main peranan dan improvisasi. Di samping itu pembelajaran melalui aktiviti-aktiviti teater ini menjadikan mahasiswa lebih memaknai arti dari kehidupan. Teater tidak hanya sebagai pertunjukan bahasa kata ataupun bahasa metafisis, tetapi teater adalah bahasa bentuk melalui pelatihan praktis spiritual. Kondisi kehidupan individual mengalami perubahan menjadi kondisi kolektif yang bernuansa ritual dan ilmiah. Kolektivitas, penyatuan, dan kesederhanaan adalah esensi dari seni berteater.43 Dengan demikian teater sebagai sebuah karya seni tidaklah hadir sebagai sebuah seni kegiatan keindahan atau pertunjukan semata, tetapi teater telah memasuki proses kerja untuk memperbaiki dan mengembangkan kehidupan manusia, yaitu melalui pengembangan karakter pada masingmasing pelakunya. Teater juga bermaksud proses, proses manusia menghasilkan sesuatu. Dari teks membawa ke pementasan adalah satu proses yang melatih manusia dalam banyak perkara. Dalam berorganisasi, mengenal peranan dan bertanggung jawab, memahami teks dan memahami objektif bersama. Selama latihan semua anggota dalam organisasi teater coba memberi dan melakukan 43 hlm. 114 Nur Sahid, Interkulturalisme (dalam) Teater. (Yogyakarta: Tarawang Press. 2000), 45 peranan mereka demi mencapai objektif kumpulan. Proses latihan ini juga mengajar menusia mengenal kemanusiaan, kelemahan dan kelebihan rekan, memperbaiki kekurangan, meningkatkan disiplin pada masa dan tugas. Teater telah menggambarkan kodrat manusia karena ia telah menjadi ekspresi keberadaan kebudayaan manusia, pada kenyataannya manusia telah melakukan gerakan teatrikal dalam kehidupan sehari-hari (dunia ini panggung sandiwara), dan teater juga dapat bersifat sebagai wacana identifikasi diri atas persoalan zaman atau atas persoalan manusia itu sendiri untuk membangun budaya yang lebih baik. Seperti ungkapan dari seniman sekaligus teaterawan Indonesia putu wijaya mengatakan: "Teater itu adalah peristiwa spiritual, di mata saya banyak sekali hal yang dapat dilakukan dalam teater, karena krisis terbesar yang sedang dihadapi oleh negara Indonesia menurut pemahaman saya adalah krisis spiritual, teater bisa menjadi senjata moral untuk menghancurkan ketidakseimbangan spiritual itu, bersama agama, pendidikan menjadikan manusia lebih beradab".44 Dari pernyataan tersebut, teater mempunyai perluasan makna, tidak hanya bentuk pementasan yang dipentaskan dihadapan orang banyak tetapi teater menjadi sebuah peristiwa spiritual bagi manusia. Hal tersebut selaras dengan ucapan Mbah Tohir salah satu seniman di Indonesia yang mengartikan teater sebagai media untuk mengenal diri sendiri dan mengenal hidup dalam kehidupan. Maka teater menjadi kebutuhan hidup, meskipun tidak melulu pada pertunjukan di atas panggung. Sebenarnya dalam 44 Putu Wijaya, Esai- Esai Budaya, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), hlm. 52-53. 46 kehidupan sehari-haripun secara sadar ataupun tidak sadar kita sudah berteater.45 Dari beberapa pendapat di atas maka teater adalah salah satu media untuk mempelajari kehidupan, menambah pengalaman jiwa dan raga untuk terwujudnya karakter yang berguna bagi kehidupan pribadi maupun sosial. 45 Dukumentasi UKM Teater Zenith, diambil pada 15 November 2013.