PERTUNJUKAN TEATER SEBAGAI MEDIA PESAN LEWAT KOMUNITAS SEGO GURIH JURNAL SKRIPSI S1 PRODI KOMUNIKASI 2012 STPMD YOGYAKARTA Oleh : Stevania Melati Puspitasari Abstraksi Pertunjukan teater sebagai media pesan ini berusaha menguraikan beberapa kajian komunikasi yang berhubungan dengan seni pertunjukan. Teater yang dipandang sebagai cabang seni ternyata mempunyai korelasi dengan proses komunikasi manusia ditinjau dari fungsi teater itu sediri. Teater merupakan alat komunikasi dan berfungsi mengkomunikasikan pesan. Salah satu yang bisa dilihat jelas adalah proses penyampaian pesannnya. Teater menjadi media alternatif dalam komunikasi. Ketika media mainstream yang bermunculan cukup tak terbendung perkembangannya. Media komunikasi tradisional mudah ditinggalkan dan dirasa sudah kuno. Sebenarnya memang yang terjadi karena persoalan akses informasi dan komunikasi yang belum merata di masyarakat. Masyarakat yang tinggal di pedesaan dan perkampungan belum tentu merasakan kemudahan fasilitas untuk mendapat informasi. Khususnya sebuah hiburan pertunjukan yaitu seni pertunjukan kerakyatan. Sebuah teater yang membawakan lakon-lakon cerdas dan sarat dengan kritik sosial. Sekaligus mudah dipahami karena bahasa yang digunakan ada bahasa Jawa. Pendahuluan Dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang majemuk masih banyak akses informasi yang belum begitu merata. Tidak banyak yang mengenal media komunikasi tertentu sebagai akses informasi yang mudah dijangkau. Sementara arus informasi yang saat ini berkembang semakin cepat, dilain hal masyarakat yang masih minim fasilitas menjadi ketinggalan. Komunikasi dan informasi menjadi hal yang paling mendasar. Meski sebenarnya dalam aspek kebudayaan masyarakat masih mempunyai media komunikasi tradisional dan cukup relevan diakses dengan mudah. Media tersebut ialah seni pertunjukan atau masyarakat lebih sering mengenalnya dengan pertunjukan, sandiwara atau teater. Pertunjukan teater merupakan media yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Tentu saja media yang digunakan bersifat alternatif. Rangkaian pesan yang disampaikan dalam pertunjukan teater pun cukup beragam. Mulai dari pesan sosial, politik bahkan moral sekalipun. Bukan tidak lagi mempercayai media yang sudah baku, tetapi persoalan terobosan baru mengenai proses komunikasi melaui media yang lain. Ada hal menarik jika media pesan yang disampaikan melalui pertunjukan teater. Fungsinya untuk menyalurkan ide, gagasan, aspirasi, inovasi, dan juga kritik. Pertunjukkan teater merupakan sebuah upaya mengkomunikasikan pesan-pesan kepada masyarakat. Oleh karena berbagai faktor, seperti minimnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat pada sebuah tempat, kemudian persoalan status sosial ekonomi sehingga tidak mampu mengakses informasi baik formal maupun non formal. Persoalan mendasar yang lainnya yaitu pendidikan, misalnya kemampuan baca dan tulis sangat kurang. Berdasarkan faktor di atas pemilihan pertunjukkan teater sebagai media untuk mengkomunikasikan pesan pada masyarakat haruslah tepat, sesuai, dan kontekstual. Media pesan cukup fleksibel dan berisikan komunikasi yang persuasif tentunya akan sangat mudah disisipkan pesan-pesan tertentu, biasanya berisikan tentang keteladanan, simbol, ritual, cita-cita budaya, dan nilai moral, semua itu dikomunikasikan dengan gaya bahasa yang dekat dengan masyarakat. Ragam media tradisional sendiri dapat berupa teater rakyat, pewayangan, penceritaan/kisahkisah, tarian rakyat, balada, dan lawakan. Media ini merupakan sarana yang paling umum terutama pada masyarakat. Teater dan masyarakat itu dua hal yang saling melengkapi. Dalam kajian sosiologi teater, sebuah pementasan teater bisa dianggap merepresentasikan peristiwa kehidupan. Kehidupan itu realitas sosial. Kehidupan masyarakat mencakup hubungan antar kelompok masyarakat dengan orang-orang, antar orang-orang dan antar peristiwa (Nur Sahid, 2008:21). Realitas sosial yang tersaji dalam rangkaian peristiwa tentu saja terdapat begitu banyak pesan. Karena pertunjukan teater merupakan salah satu perwujudan dunia sosial seperti yang menyangkut seluruh aktivitas hubungan manusia dengan lingkungannya. Penggunaan media pesan yang bersifat tradisional sendiri memiliki beberapa tujuan seperti membangun hubungan kedekatan antara masyarakat dengan pemerintah, pengikat atau perekat transaksi sosial, pengakuan atau penghargaan identitas diri dan eksistensi budaya, penyeimbang dominasi media modern, menghilangkan pembatas sistem tradisional dan modern (Onong Uchjana Effendy, 1992:134). Bagaimana jika media pesan itu disampaikan melalui pertunjukan teater, hal ini yang menarik penulis untuk dilakukan penelitian. Dalam hal ini teater sebagai media pesan berfungsi sebagai representasi kehidupan mampu memberikan akses informasi dan komunikasi yang cukup efektif. Bahkan teater sebagai pertunjukan mampu menghadirkan isu-isu aktual seputar kritik pembangunan dan masalah sosial. Masyarakat diajak untuk bebas bicara soal apapun dan mencermati kehidupan sehari-hari melalui representasi yang dihadirkan melalui lakon di atas panggung. Teater berelasi sedemikian akrab bersama penonton yang masih awam atau pun masyarakat yang sudah begitu mengenal produk pertunjukan lokal mereka sendiri. Pertunjukan dengan semangat kerakyatan. Hal tersebut di atas yang menjadi semacam pemicu lahirnya kelompok teater sebagai media pesan yang dilakukan oleh Komunitas Sego Gurih. Sebuah kelompok sandiwara berbahasa Jawa yang hingga kini masih produktif membuat produksi pertunjukan keliling. Mulai dari keliling desa sampai dengan perkampungan tengah kota urban. Pementasan selama ini dilakukan dengan membidik segmentasi penonton yang sangat fleksibel dari berbagai macam kalangan. Komunitas Sego Gurihtidak ingin selektif memilih penonton, justru usaha yang selalu dilakukan adalah bagaimana sebuah pertunujukan teater itu menghibur, namun tetap interaktif dan komunikatif. Maka untuk mencapai target tersebut Komunitas Sego Gurih sengaja untuk tidak mementaskan di gedung-gedung pertunjukan yang sudah baku atau konvensional. Justru pemanggungan akan dilakukan di desa-desa maupun kampung-kampung kota. Maksudnya di sini ingin memberikan tawaran baru dengan bentuk pementasan teater lingkungan. Khususnya teater yang belajar peka terhadap lingkungan sosialnya. Bagaimana teater merespon dan bersinergi dengan lingkungan, baik tempat, atmosfir maupun penonton. Hasil Penelitian dan Pembahasan Komunitas Sego Gurih awalnya berdiri di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) pada tahun 1996. Sekarang berganti menjadi SMK 1 Kasihan Bantul Yogyakarta. Dominasinya adalah anak-anak dari jurusan teater. Komunitas ini sering membuat pertunjukan keliling keluar sekolah di acara-acara nikahan, perpisahan kuliah kerja nyata, di halaman rumah acara tujuh belasan, atau dipinggir sawah. Pada prinsipnya bahwa komunitas yang dibuat untuk menjadi ruang kesenian yang menyenangkan siapa saja. Rumah komunitas bagi mereka yang mempunyai tujuan bersama dan minat yang sama yaitu melestarikan budaya khususnya bahasa Jawa. Pada tahun 2002 beberapa personil silih berganti, lalu diperkuat beberapa mahasiswa jurusan teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Komunitas Sego Gurih sudah melakukan hampir seluruhnya 26 produksi pementasan terhitung sejak tahun 1998. Produksi pertunjukan ini bersifat inisiasi secara swadaya, maupun seleksi acara festival ataupun undangan. Komunitas Sego Gurih memang melakukan pertunjukan sebagai bagian dari klangenan atau mengelola kesukaan atau hobi pada minat khusus yaitu seni teater. Sebagai sebuah komunitas teater nirlaba masalah dana menjadi sesuatu yang mendasar. Dana merupakan tumpuan yang tidak bisa dipandang remeh. Dana mempunyai peran besar dimana produksi pertunjukan keliling dilakukan. Meski hanya komunitas dengan motivasi kecintaan yang sama terhadap teater. Persoalan dana menjadi tanggung jawab setiap anggota komunitas untuk pencarian usaha sumber dana. Selama ini langkah yang dilakukan sejak berdiri tahun 1998 memang pertunjukan keliling membawa dampak positif dalam membangun jejaring untuk prospek pendanaan. Membuat produksi pertunjukan berarti sama halnya sedang melakukan relasi sosio-ekonomi bersama orang lain. Berjejaring dengan individu, komunitas dan lembaga yang sekiranya memang berminat menjalin kerjasama. Jadi sembari memproduksi pertunjukan, berlangsung pula usaha menciptakan komunikasi yang tujuannya membangun relasi dan informasi sumber dana. Peristiwa pertunjukan menjadi strategi yang cukup potensial untuk membangun jaringan. Pada akhirnya jaringan Komunitas Sego Gurih yang selama ini diajak kerjasama sebagai sumber dana terdiri dari berbagai kalangan. Mulai dari institusi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh, seniman, karang taruna kampung atau desa, pengusaha, artis film, komunitas otomotif, komunitas film atau fotografi. 1. Teater sebagai Media Komunitas Awalan bentuk lahirnya sebuah komunitas tentu beragam sebab dan tujuannya. Hal ini didasari dahulu mengenai semangat untuk berkumpul dan asas manfaatnya. Komunitas menjadi ruang artikulasi alternatif selain organisasi formal maupun nonformal. Adakalanya pemenuhan untuk membentuk komunitas itu lahir dari proses aktualisasi diri manusia. Setiap manusia sebagai individu mempunyai kebutuhan ini. Jadi cukup dikatakan wajar dan alamiah. Menurut psikolog Abraham Harold Maslow bahwa, “Kebutuhan ini muncul setelah semua kebutuhan sebelumnya terpenuhi. Aktualisasi diri adalah hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya. Atau hasrat dari individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya. Aktualisasi diri itu berupa pengembangan potensi sesuai bakat, talenta dan hobi yang dimiliki : seperti pemusik, olah raga dan bakat lainnya” (Harold Maslow, 2004:279). Sangat jelas sekali bahwa aktualisasi diri merupakan dasar seseorang ataupun manusia. Manusia sebagai individu maupun kelompok untuk melahirkan, membentuk ataupun membangun komunitas. Komunitas bisa dilahirkan oleh siapapun dan dimanapun tergantung dengan prioritas dan orientasi ke masa depan. Selain itu manusia juga didukung dengan pernyatan bahwa manusia adalah mahkluk sosial. Secara sadar bahwa kebutuhan aktualisasi tersebut tentunya memang diselaraskan dengan proses interaksi sosial, sehingga komunitas menjadi alat atau media untuk manusia menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat. Fungsi sosial manusia lahir dari kebutuhan akan fungsi tersebut oleh orang lain, dengan demikian produktivitas fungsional dikendalikan oleh berbagai macam kebutuhan manusia (Burhan Bungin, 2006:26). Di sinilah terlihat jelas bahwa komunitas menjadi bagian dari regulasi dan proses komunikasi. Manusia menempatkan fungsi sosialnya dan mendapatkan kesadaran aktualisasinya di dalam masyarakat. Media komunitas merupakan institusi media yang relatif kecil atau terbatas pada komunitas tertentu yag pada umumnya memiliki hubungan langsung dan intensif (Eni Maryani, 2011:62). Memang awalnya komunitas ini didominasi anak-anak murid kelas dari jurusan teater. Kecintaan mereka terhadap bahasa Jawa dirasa perlu diaktualisasikan bersama dalam sebuah kelompok atau komunitas seni pertunjukan. Karena dirasa dilingkungan sekolah pada waktu itu banyak sekali lahir kelompok teater dengan gaya pertunjukan yang realis dan menggunakan bahasa Indonesia. Lahir dengan semangat dan kebutuhan aktualisasi pada minat yang sama, lalu mendasari kelompok ini dengan cita-cita yang sederhana. Cita-citanya yaitu mencari ruang kesenian di luar sekolah yang sifatnya tidak mengikat dengan tuntutan sekolah. Ruang komunitas yang benarbenar dirasa nyaman untuk berbagi gagasan bersama. Jadi jelas bahwa Komunitas Sego Gurih dilahirkan sebagai kelompok yang diinisiasi bersama untuk mengerjakan teater berbasis komunitas. Meski secara pertumbuhan komunitas ini berada di lingkungan sosial sekolah. Tidak menjadi halangan pada waktu komunitas ini juga mampu bersaing dengan kelompok teater yang tumbuh di Yogyakarta. Komunitas ini tetap mendapat tempat tersendiri di penggemar teater berbahasa Jawa. Karena boleh dikatakan komunitas ini dikatakan unik secara pilihan bahasa komunikasinya. Hal yang terkuat yang dimiliki komunitas ini adalah memproduksi pertunjukan yang dikelilingkan di kampung maupun desa. Mereka sengaja tidak memilih panggung baku seperti umumnya. Pertunjukan bisa saja terjadi di pendapa kelurahan, balai desa, halaman samping rumah, pekarangan tanpa tuan, lapangan dan sebagainya. Kedekatan secara pertunjukan inilah yang ditunjukkan bahwa komunitas ini benar-benar mendatangi penonton. Mereka tidak menungu penonton untuk datang ke gedung pertunjukan. Teater milik siapa saja, tidak hanya seniman dan mahasiswa. Masyarakat pinggiran dimanapun membutuhkan tontonan kerakyatan ini. Pemanggungan di sini yang dibayangkan dalam kepala sutradara bukanlah “ideologi”teater yang intelektual. Tetapi lebih berbicara sesuatu yang sederhana mulai dari yang sederhana pula. Proses pertukaran gagasan dan gesekan kreatif yang muncul dari anggota komunitas cukup diakomodir untuk kepentingan artsitik pertunjukan. Siapa saja boleh saling berbagi ide dan kreativitas untuk mendukung sebuah pertunjukan. Bahkan dalam buku Menyentuh Teater mengungkapkan pertunjukan akan menjadi baik jika terjadi kekompakan antara pengisi acara dan pekerja pertunjukan tersebut (Nano Riantiarno, 2003:103). Teater bahasa Jawa Komunitas Sego Gurih mempunyai komitmen bahwa segala pengelolaan komunitas dan produksi pertunjukan menganut manajemen saling percaya. Meski pada prakteknya proses kepercayaan itu menjadi sulit dilakukan. Hal semacam itu memang perlu didukung komunikasi yang baik sekaligus tepat sasaran. Sebab bagaimanapun manajemen adalah proses bukan teori baku kemudian berjalan dengan sendirinya. Sementara kepercayaan ialah bagian dari potensi komunikasi antar manusia. Dalam pengertian komunitas, komunikasi yang terjadi bahkan mirip dengan komunikasi kelompok. Karena kelompok yang baik adalah kelompok yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka yang intensif diantara anggota kelompok, serta tadi tatap muka itu pula akan mengatur sirkulasi komunikasi makna diantar mereka, sehingga mampu melahirkan sentimen-sentimen kelompok serta kerinduan diantara mereka (Burhan Bungin, 2006:270). 2. Teater sebagai Media Pesan Penonton mempunyai peran penting dalam pementasan teater. Teater tanpa penonton itu mustahil. Tanpa penonton, teater bukanlah peristiwa budaya. Jadi penonton memiliki kekuatan yang dibutuhkan dalam setiap seni pertunjukan seperti halnya komunikasi, penonton adalah salah satu komunikan. Dalam kajian ilmu sosiologi teater menyebutkan bahwa melacak apakah penonton memiliki interaksi dengan pementasan dan evaluasi pementasan teater: apakah unsur teatrikal dan kultural yang ada bisa menuntun atau mengintervensi penonton terhadap teaterikal sosial; mentalitas, emosi dan nilai penonton, dan pengaruh ideologi terhadap cara penonton dalam menyaksikan pementasan teater (Nur Sahid, 2008:156). Dalam kajian sosiologi komunikasi tentu saja masih relevan menyebutkan penonton merupakan bagian dari masyarakat tertentu. Seperti yang dikemukakan Burhan Bungin bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan (Soekanto, 2003:24). Seperti yang dijelaskan dalam penelitian ini bahwa teater merupakan salah satu produk kebudayaan masyarakat. Pertunjukan Komunitas Sego Gurih selama ini dilakukan dengan mendekatkan kepada penonton yang sangat fleksibel dari berbagai macam kalangan. Komunitas Sego Gurihtidak ingin mengkotakkan penonton, justru usaha yang selalu dilakukan adalah bagaimana sebuah pertunujukan teater itu menghibur, namun tetap interaktif, komunikatif dan representatif. Maka untuk mencapai target tersebut, pertunjukan tidak dipentaskan di gedung-gedung pertunjukan yang sudah baku atau konvensional (prosceneum). Justru pemanggungan akan dilakukan di desadesa maupun kampung-kampung kota. Maksudnya di sini ingin memberikan tawaran baru dengan bentuk pementasan teater berbasis lingkungan. Teater yang belajar peka terhadap lingkungan sosial penonton. Bagaimana teater merespon dan bersinergi dengan lingkungan, baik tempat, atmosfir maupun penonton. Komunitas ini tidak ingin menunggu penonton yang mencari pertunjukan tapi kami akan “mencari dan menghadang penonton”. Di situlah pengertian dari kenapa kami mementaskan di beberapa tempat yang sebenarnya bukan standar gedung pertunjukan teater. Karena penonton dianggap menjadi pendukung pertunjukan yang paling utama. Sekaligus penonton mempunyai posisi tawar sebagai komunikan yang patut diperhitungkan. Hal yang paling terpenting sepanjang sejarah komunitas ini berdiri dan produktif adalah proses berteater yang memang diproduksi untuk pertunjukan keliling. Bagian yang terpenting dalam teater adalah pesan. Pesan apakah yang akan disampaikan kepada penonton dan masyarakat. Pesan yang kelak akan diapresiasi dan diterjemahkan ulang oleh penonton dengan persepsi mereka masing-masing. Seperti diungkapkan bahwa untuk memperkuat kesan bahwa pementasan yang sedang berlangsung adalah pementasan yang paling penting dalam kehidupan aktor. Guna menimbulkan kesan ini, maka harus dibuat sedemikian rupa seingga ada pemisahan antara aktor dan penonton agar jika ada kesalahan atau kekeliruan dalam pementasan, penonton tidak bakal mengetahuinya. Kalaupun penonton menemukan kekeliruan, aktor mengharapkan bahwa hal itu tidak bakal mengubah citra mereka di mata penonton (Bernard Raho 2007:121). Persoalan inilah yang kemudian ditangkap sebagai hubungan emosional antara aktor atau pelaku dengan penonton. Kesan menjadi sangat penting di dalam proses penyampaian pesan. Membangun kesan tertentu juga diperlukan untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Penonton merupakan bagian dari sistem sosial di dalam masyarakat. Maka ketika teater akan hadir di tengah masyarakat tersebut harus patuh dengan sistem sosial yang sudah berlaku. Hal kepatuhan ini yang sebenarnya berkaitan dengan tema pertunjukan kenapa harus digelar di desa atau kampung. Tema tersebut yang diuraikan tentu saja adalah pesan itu sendiri. Komunitas ini dituntut akan membawakan pesan apa, kepada siapa dan mengapa. Hal ini yang mendasari teater yang dibuat untuk masyarakat desa atau kampung. Seperti yang sudah diuraikan dalam bab sebelumnya bahwa ini akan ditinjau dengan dengan model Harold Laswell. Pesan (message) mempunyai kedudukan kedua setelah sumber (source). Tentu saja pesan yang dikomunikasikan melalui pertunjukan teater. Unsur sumber (who) merangsang pertanyaan mengenai pengendalian pesan, sedangkan unsur pesan (says what) merupakan bahan untuk analisis isi (Dedy Mulyana 2009:148). Dalam penyampaian pesan peran seorang aktor mempunyai fungsi yang paling penting. Pertunjukan teater akan sukses atau pesan yang dibawa akan sampai kepada penonton tentu saja melalui dialog-dialog yang di ucapkan aktor. Peranan aktor membawa pengaruh kepada penonton melalui representasi kehidupan melalui cerita yang dilakonkan di atas panggung. Melalui aktorlah sebuah pertunjukan menjadi tahu siapa penontonnya, atau bagaiaman karakter penontonnya. Karena hal itu dibuktikan ketika pertunjukan berlangsung, setiap aktor akan berinteraksi dengan penonton. Respon penonton bisa terbaca salah satunya melalui aktor. Jadi aktor mempunyai kendali penuh dalam penyampaian pesan kepada penonton. Proses penyampaian pesan mempunyai urutan seperti yang diungkapkan Alan H. Monroe bahwa, ada lima langkah dalam urutan penyusunan pesan : perhatian, kebutuhan, pemuasan, visualisasi, dan tindakan(Jalaluddin Rakhmat, 2009:297). Pengertiannya bahwa pertunjukan teater juga mempunyai urutan proses penyampaian pesan. Yaitu melalui proses urutan yang sesuai menurut pendapat di atas. Pengertian urutan proses penyampaiannya sebagai berikut ini : 1. Perhatian Komunitas Sego Gurih sebagai pertunjukan teater mempunyai caranya mencari perhatian. Tentu saja dengan suasana kemeriahan yang didukung lampu atau cahaya dan musik. Sebelum pertunjukan dimulai pengaruh musik atau tata suara (sound) bisa mengundang perhatian khusus secara pendengaran. Apalagi tata lampu mempunyai kekuatan bahwa informasi bisa ditangkap melalui cahaya meskipun tampak dari kejauhan. Informasi yang dipublikasikan melalui poster atau undangan. Publikasi yang sudah disebar ke beberapa tempat di daerah pertunjukan itu mempunyai tujuan untuk mencari perhatian. Perhatian masyarakat agar mau merespon informasi tersebut sehingga ditanggapi dengan baik. Perhatian menjadi proses yang saling menanggapi antara Komunitas Sego Gurih dan masyarakat. Disamping itu seorang aktor harus piawai memainkan watak tokoh dengan bagus. Meski sesekali disisipi dengan nyanyian bersama pemusik atau gaya karikatural yang mengarah ke komedi. Keharmonisan inilah yang mendukung untuk penyampaian pesan moral ataupun kritik sosial selama pertunjukan. 2. Kebutuhan Jelas bahwa pertunjukan akan didatangi penonton karena keduanya saling mempunyai kebutuhan yaitu menghibur dan terhibur. Tak bisa dipungkiri bahwa selain hiburan, manusia juga membutuhkan aktualisasi. Menonton hiburan berarti sebelumnya mempunyai kesiapan secara psikologis bahwa dengan sadar sedang membutuhkan hiburan. Kebutuhan akan hiburan inilah yang nampak secara jelas, apalagi pertunjukan tersebut digelar tanpa pungutan biaya. Komunitas Sego Gurih sebelumnya tentu meyakinkan masyarakat melalui informasi dan komunikasi bahwa pertunjukannya gratis. Hal itu sama dengan komunitas ini berusaha meyakinkan akan kebutuhan penontonnya. Bahwa hiburan itu diberikan secara cuma-cuma. Semacam ada kebutuhan penonton yang secara langsung terpenuhi oleh pertunjukan teater. Begitu juga sebaliknya Komunitas Sego Gurih jadi merasa yakin bahwa dengan memberikan informasi gratis pasti akan ada banyak sekali yang menonton. 3. Pemuasan Disaat penonton sudah merasa dirinya yakin ia akan merasa puas. Karena kebutuhannya merasa diakomodir oleh teater. Bahwa penonton siap akan datang untuk melihat pertunjukan teater. Prosesnya menjadi demikian, karena penonton datang ke pertunjukan dengan membawa harapan kepada apa yang akan disaksikan. Belum lagi ketika pertunjukan berlangsung bahwa penonton diajak untuk masuk menyelami cerita dari dasar kehidupan sehari-hari. Penonton sebenarnya mengalami perjumpaan itu dalam kehidupannya lalu menyaksikan kembali dalam representasi pertunjukan. Proses komunikasi inilah yang terjadi bahwa Komunitas Sego Gurih dan masyarakat sedang berusaha saling memberikan kepuasan. 4. Visualisasi Komunitas Sego Gurih menyajikan pertunjukan tentu saja dengan visualisasi yang dengan unsur semacam konser langsung dihadapan penonton. Karena teater berbeda dengan film. Visualisasi tersebut juga didukung bahwa teater yang disajikan bukan memberi jarak dengan penonton. Seperti halnya di gedung pertunjukan, antara pelaku pertunjukan dan pemain dibedakan dengan jarak antara panggung dan tempat duduk penonton. Dalam pertunjukan yang digelar komunitas ini semua sekat itu ditiadakan. Penonton boleh merespon langsung pertunjukan begitu juga sebaliknya. Penonton adalah relasi sekaligus menjadi bagian dari peristiwa teater yag sedang berlangsung. 5. Tindakan Selama pertunjukan teater berlangsung banyak sekali tersurat nilai, penyadaran, kritik sosial yang diterima penonton. Saat itulah terjadi proses apresiasi teater oleh penonton. Kandungan atau makna apapun yang didapat dari cerita atau lakon yang sudah dipentaskan menjadi sarat makna ketika diapresiasi penonton. Komunitas Sego Gurih mempunyai pengaruh yang begitu mendalam kepada masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan ketika saat pertunjukan belangsung sampai usai. Pengertian teater tidak sebatas pada pertunjukan saja namun peristiwa yang terjadi saat itu. Sebuah pengalaman perjumpaan atau interaksi dengan penonton yang tidak bisa diulang atau direkayasa kembali seperti film. Realitas panggung yang disandingkan dengan realitas penonton dan pelaku pertunjukannya. Selain itu hal yang paling mendasar bahwa pertunjukan teater tak lain adalah proses berbagi informasi dan pengetahuan. Informasi yang mampu memotivasi secara positif bagi penikmatnya. Informasi dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat akan semakin mampu membangun keberdayaan (Ade Tanesia dkk, 2007:26). Efek yang dirasakan penonton setelah pertunjukan memang diharapkan adalah hiburan yang edukatif. Teater diharapakan mampu memberikan ruang penyadaran sosial dan pendidikan informal. Menonton pertunjukan teater itu proses pembelajaran. Ada narasi kehidupan yang dikemas menjadi pertunjukan. Hal itu dekat dengan masryarakat. Ceritanya pun cukup akrab bahkan sering dialami oleh masyarakat. Teater hanyalah alat bahwa ada proses komunikasi di dunia yang begitu majemuk. Melalui teater bahwa hidup ini bisa disikapi dengan terbuka, jujur dan berani. Dampak apapun yang langsung dirasakan penonton itulah proses komunikasi teater sesungguhnya. Teater tidak bisa memaksakan penonton untuk patuh terhadap pernyataan atau gagasan pertunjukan. Namun teater memberi cara pandang yang lain melalui hiburan, pendidikan dan interkasi budaya. Hal semacam inilah yang akan terjadi terus di masyarakat pinggiran. Hanya didapati di kota dan desa. Karena Komunitas Sego Gurih akan terus konsisten memberikan tontonan sederhana namun berkualitas. Melalui bahasa Jawa yang sarat dengan nilai, lokalitas dan dialektika dari sekitar kita. KESIMPULAN Komunitas Sego Gurih mengusung format teater yang berfungsi sebagai media alternatif maupun alat komunikasi informal. Terlepas dipandang sebagai komunikasi tradisional, namun secara penyampaian pesan moral maupun nilai-nilai sosial melalui pertunjukan jadi lebih efektif. Teater bukan menjadi sebuah tontonan kemudian selesai, namun teater mampu memberikan ruang artikulasi masyarakat untuk menjadi kritis dan giat mencermati kondisi sosial. Komunitas Sego Gurih berani mengajak masyarakat penontonnya untuk tegas dan kritis mencermati sekaligus menanggapi isu-isu sosial di lingkungan sekitar. Hal yang paling penting adalah masyarakat kemudian menjadi sadar secara moral untuk lebih bijaksana menanggapi persoalan yang terjadi di masyarakat. Diperoleh pengertian komunitas yang mampu menggerakan strategi kebudayaannya melalui peristiwa pertunjukan teater. Masyarakat penonton dipandang sebagai relasi pertunjukan teater yang begitu ekonomis dan strategis. Komunitas Sego Gurih mampu membawa pesan umun yaitu menjadi media komunitas yang berpihak pada persoalan masyarakat yang menyangkut tentang informasi dan pengetahuan. Bahwa informasi dan pengetahuan ternyata mampu dikemas melalui pertunjukan teater. Tidak hanya melalui media mainstream yang sudah ada seperti televisi, radio ataupun jejaring sosial. Menjadi lebih menarik lagi bahwa dalam penyampaian pesan melalui pertunjukan teater, komunitas ini menggunakan dialog berbahasa Jawa. Bahasa Jawa menjadi alat komunikasi untuk setiap pesan yang ingin disampaikan. Karena bahasa Jawa menjadi lebih tepat sasaran secara informasi. Pesan menjadi mudah dimengerti kemudian dipahami secara langsung oleh penonton. Bahasa Jawa dipandang sebagai bahasa yang mampu mengkomunikasikan kultur secara terbuka dan berani. Bahasa ibu yang cerdas dan spiritual, untuk menanggapi segala hal kondisi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Bahasa Jawa menjadi lebih lentur dan fleksibel memberikan pesanpesan pendidikan, moral, dan kritik sosial lebih langusng tepat mengenai sasaran. Semua yang ingin disampaiakan menjadi spontan dan mengalir selama pertunjukan berlangsung. Daftar Pustaka Bungin, Burhan, 2006, Sosiologi Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Djelantik, A.A,M, 1999, Estetika Sebuah Pengantar, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia & The Ford Foundation, Bandung. Dahana, Panca, Radhar, 2001, “Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia”, Penerbit IndonesiaTera, Magelang, Jawa Tengah. Effendy, Uchjana, Onong, 1992, Dinamika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Gerungan , W.A, 2004, Psikologi Sosial, PT Refika Aditama, Bandung. Harymawan, RMA, 1988, Dramaturgi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Kayam, Umar, 1998, GAPIT, Taman Budaya Surakarta & The Ford Foundation, Surakarta. Maryani, Eny, 2011, Media dan Perubahan Sosial, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Mulyana, Dedy, 2009, Ilmu Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Naisaban, Ladislaus, 2004, Para Psikolog Terkemuka Dunia, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Permas, Achsan dkk, 1999, Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan, PPM, Jakarta Rahmat, Jalaluddin, 2009, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Raho, Bernard, 2007, Teori Sosiologi Modern, Prestasi Pustakaraya, Jakarta Rendra, WS, 1984, Mempertimbangkan Tradisi, PT Gramedia, Jakarta. Riantiarno, Nano, 2003, Menyetuh Teater – Tanya Jawab Seputar Teater Kita, PT HM Sampoerna, Jakarta. Sahid, Nur, 2008, Sosiologi Teater, Penerbit Prastista, Yogyakarta. Siregar, Ashadi, 1997, Popularisasi Gaya Hidup Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa Lifestyle Ecstacy, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta. Sutopo, H,B, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press, Surakarta Jawa Tengah. Tanesia, Ade, 2007, Media Rakyat – Mengorganisasi Diri Melalui Informasi, Combine Resource Institution, Yogyakarta. Yudiaryani, 2002, Panggung Teater Dunia – Perkembangan dan Perubahan Konvensi, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.