Nisaul Aulia Pertunjukan Organ Tunggal: Representasi “Modernitas” Urang Minang Music is not a ‘thing’ but an activity Small (1998) PERTUNJUKAN ORGAN TUNGGAL: Budaya Pop dan Urang Minang1 Pemahaman mengenai budaya populer (budaya pop) dalam masyarakat Indonesia yang multikultural itu beragam. Di daerah urban misalnya, budaya pop mungkin lebih diwujudkan melalui “gaya hidup kota” (lihat Abdullah, 2009)bangunan-bangunan elit dan mewah, pusat-pusat perbelanjaan, club, shopping, fashion, dan lain sebagainya. Masyarakat urban seakan lebih lentur dan lebih terbuka menerima ‘pembaharuan’. Sementara di wilayah lokal, budaya pop diterjemahkan dengan segala keterbatasannya. Istilah ini dihadapkan pada budaya dan tradisi lokal yang masih menjadi acuan kuat dan dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Tidak jarang, muncul anggapan bahwa budaya pop sebagai kebudayaan asing merupakan ancaman pada nilai-nilai luhur tradisi yang seharusnya dijunjung tinggi. Sifat budaya pop berhubungan dengan budaya massa dan teori masyarakat massa, yaitu masyarakat yang diatomisasi - berupa runtuhnya organisasi-organisasi sosial perantara seperti desa, keluarga, institusi keagamaan yang memberikan suatu rasa identitas sosial, perilaku sosial, dan kepastian moral bagi individu - oleh industrialisasi dan urbanisasi (Strinati, 2003). Maka tidak salah jika kehadiran budaya pop disambut dengan berbagai macam resistensi, khususnya oleh agen-agen kebudayaan yang juga merupakan pembentuk kerangka aturan yang dominan pada wilayah dan masyarakat setempat. Namun budaya pop yang berkawan dengan massa - melalui strategi ekonomis, praktis, dan konsumtif - tidak serta merta menanggapi tantangan ini, sehingga berbagai bentuk negosiasi pun dilancarkan. Mengacu pada hal di atas, tulisan ini bermaksud memaparkan sebuah fenomena pertemuan budaya pop dengan budaya lokal yaitu Minangkabau2, serta dampak yang dibawanya. Budaya pop yang diwakili oleh genre pertunjukan organ tunggal bersentuhan dengan kompleksitas kebudayaan Minangkabau - sistem 1 Makalah ini disampaikan pada diskusi di Komunitas Salihara, 20 Januari 2010. Minangkabau merupakan wilayah budaya yang saat ini lebih dikenal dengan propinsi Sumatera Barat sebagai area administratif. Tulisan ini lebih fokus pada area budaya dengan segala kebudayaan dan ketradisian yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. 2 1 Nisaul Aulia Pertunjukan Organ Tunggal: Representasi “Modernitas” Urang Minang kekerabatan matrilineal, adaik3, dan Islam. Kehadiran organ tunggal ini mendapat sorotan tajam dari, dan menjadi perdebatan di kalangan pemuka adat, agama, dan sebagian masyarakat. Selain menyebabkan tergesernya sebagian besar musik tradisional, pertunjukan organ tunggal yang identik dengan erotis, vulgar, dan seksi, juga dinilai bertentangan dengan adat istiadat dan ajaran Islam, serta telah menyebabkan terjadinya pergeseran identitas dan tataran kehidupan masyarakat- peran dan relasi gender, agama, dan adaik. Secara umum, pertunjukan organ tunggal di Minangkabau,dari segi teknis, dapat digolongkan sebagai pertunjukan minimalis. Peralatannya hanya terdiri dari sebuah keyboard dan seperangkat peralatan sound system sederhana. Pertunjukannya didukung oleh satu orang pemain keyboard, satu orang MC4 atau pembawa acara merangkap sebagai penyanyi laki-laki, 2-3 orang kru, dan 2-4 orang biduan. Organ tunggal saat ini, setelah kira-kira 30 tahun keberadaannya di Minangkabau, menjadi hiburan paling laris di Minangkabau, karena hadir dalam sebagian besar acara hiburan yang diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat sipil. Selain pada pesta-pesta hiburan rakyat, upacara adat, acara non-formal kantor pemerintahan, penggunaannya yang paling marak adalah pada upacara baralek kawin atau upacara/pesta perkawinan. Suseno mendefinisikan organ tunggal sebagai berikut. “...musik yang hanya dimainkan satu orang. Semua musik iringan lagu telah disimpan atau sudah diprogram dalam keyboard. Sementara penyanyinya tinggal menyanyikan seperti format yang lain. Biasanya format ini di acara resepsi atau pada kafe-kafe” (Suseno, 2006) Faktor ekonomi masih menjadi sebab bertahannya genre pertunjukan ini dalam kehidupan masyarakat setempat, di samping faktor-faktor lainnya. Hanya dengan ongkos sewa sekitar 800 sampai dengan satu setengah juta rupiah, organ tunggal mampu menghibur masyarakat dengan nyanyian dan tarian para biduan selama satu hari penuh, bahkan dari pagi hingga pagi lagi. Sangat banyak pilihan yang tersedia, mulai dari jenis dan tipe keyboard, jumlah dan kategori biduan, lama pertunjukan, dan berbagai pilihan lainnya yang bisa dirunding tergantung ketersediaan dana sipangka5. Hampir semua jenis lagu dan musik dapat dihadirkan hanya dengan memencet beberapa 3 Adaik = adat. MC mengacu kepada istilah yang berkembang dan digunakan oleh masyarakat setempat. 5 Sipangka= pihak penyelenggara acara. 4 2 Nisaul Aulia Pertunjukan Organ Tunggal: Representasi “Modernitas” Urang Minang tombol keyboard, melalui disket, atau dengan memory card: Dangdut, Pop (daerah dan Indonesia), Gamad6, “house”, dan jenis lainnya. Organ tunggal memang serba gampang, ekonomis, serta maklum akan keinginan dan kebutuhan masyarakat akan hiburan yang menarik. Semua fasilitas yang tidak pernah bisa dipenuhi oleh musikmusik tradisional, hingga tersingkirkan dari ranahnya sendiri atau paling tidak dituntut untuk melakukan pembenahan diri. Sebagian besar musik tradisional mengalami perubahan anta lain karena kehadiran organ tunggal, Talempong7 Goyang misalnya. Musik hiburan terlaris setelah organ tunggal ini merupakan pengembangan permainan musik talempong dan digabungkan dengan seperangkat combo band, salah satunya keyboard (lihat Fitri, 2007). Contoh lainnya adalah Saluang8 Dangdut (lihat Irdawati,2007 dan Astuti, 2007). Saluang Dangdut merupakan penggabungan musik saluang dengan permainan organ tunggal. Jenis musik ini benar-benar mengadopsi pertunjukan organ tunggal secara keseluruhan. Perbedaannya terletak pada instrumen saluang dan dendang-dendang tradisional Minangkabau dalam lagu yang dibawakan. Terkesan adanya pemaksaan dalam perubahan-perubahan musik tradisional ini, karena perbedaan sistem tangga nada - saluang pentatonik dan keyboard diantonis - dan kontribusi lagu, sehingga kadang keyboard dan combo band mendominasi permainannya. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, selain dianggap memengaruhi perubahan musik tradisional, sorotan tajam terhadap organ tunggal lebih ditujukan pada bentuk pertunjukannya, terutama pada sesi malam. Oleh karena tuntutan hiburan sesi malam dengan dominasi musik jenis “house” atau musik tripping atau ‘ajep-ajep’, panggung dan area sekitarnya disulap menyerupai tempat-tempat hiburan malam, dengan jenis lampu motion warna-warni. Para biduanpun mengenakan kostum dan tata rias yang “disesuaikan”- terkesan seksi dan “terbuka” - paling tidak mirip penampilan dan goyangan Annisa Bahar, Inul Daratista, atau Dewi Persik. Makin 6 Gamad adalah salah satu jenis musik tradisional Minangkabau yang merupakan pengaruh dari musikmusik Eropa yang dibawa oleh Spanyol dan Portugis. Musik ini biasanya menggunakan instrumen antara lain biola, akordion, dan gendang. Di Indonesia hasil pengaruh musik tersebut, selain Gamad, juga ditemukan jenis keroncong, musik Melayu, dan lain sebagainya. 7 Talempong adalah sebuah alat musik pukul di Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkatgamelan. Talempong terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu. Saat ini talempong dari jenis kuningan lebih banyak digunakan. Talempong ini berbentuk bundar, bagian bawahnya berlobang sedangkan di bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjolberdiameter lima sentimeter sebagai tempat untuk dipukul. Talempong memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyi dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya. 8 Saluang = instrumen tiup tradisional Minangkabau dengan sistem nada pentatonik. 3 Nisaul Aulia Pertunjukan Organ Tunggal: Representasi “Modernitas” Urang Minang malam pertunjukan terasa semakin meriah, penonton dan artis berbaur menarikan ciri khas goyangan masing-masing. Panggung dan area sekitar panggung demikian padat. Sesi pertunjukan yang sama pada pesta perkawinan, seolah terlepas dari ikatan upacara dan tradisi. Diundang atau tidak, kaum lelaki berbondong-bondong menikmati hiburannya. Boleh dikata “semakin malam, semakin panas”. Manakala goyangan melantai9 dihadirkan, suasana semakin riuh dan tidak jarang menjadi ricuh. Penonton yang berada dibawah pengaruh alkohol, tidak bisa mengendalikan emosi,- sehingga sering berlaku tidak senonoh, misalnya menyentuh bagian-bagian sesitif tubuh para biduan, atau berkelahi karena berebut bergoyang dengan biduan paling “panas”. Apabila segala sesuatunya berjalan aman dan lancar, maka pertunjukan bisa berlanjut hingga menjelang azan Subuh. Fenomena seperti ini sangat bertentangan denganidentitas urang Minang dan adat istiadat Minangkabau yang terkenal dengan sistem kekerabatan matrilineal dan berlandaskan agama Islam. Pengertian umum matrilineal kini hanyalah sekedar pewarisan keturunan yang berdasarkan garis ibu (KBBI,2008:1017). Perempuan sama sekali tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Ia hanya punya kewajiban pada wilayah domestik, sebagai ibu yang melahirkan dan menjaga anak-anak, termasuk anak laki-laki yang kelak dijadikan mamak dan pangulu10. Padahal matrilineal yang dikenal di Minangkabau berbeda dari pengertian tersebut. Perempuan Minang yang disebut Bundo Kanduang yang memiliki kekuasaan tertentu. Perempuan Minang menjadi penentu di wilayah domestik dan hal itu sangat memengaruhi wilayah publik. Di samping itu, pendapat perempuan di Minangkabau sangat dihargai, ia menjadi bagian penting dalam menjalankan kehidupan suku, kaum, dan nagari, dan duduk bersama-sama dengan niniak mamak, pangulu, serta agen-agen budaya lainnya (lihat Kato, 1982; Arifin, 2009; Zainuddin, 2008; Graves, 2007). Kadang muncul pertanyaan, apakah penggunaan istilah matrilineal karena ”tidak bisa” digunakan istilah matriarki, sebab istilah matriarki sebagaimana yang dipahami selama ini merupakan sebuah sistem di mana perempuan yang berkuasa atas 9 Goyangan melantai merupakan salah satu jenis goyangan di mana para biduan bergoyang dengan posisi duduk atau jongkok atau berebah di lantai panggung. Seringkali gerakan-gerakan yang ditarikan menyerupai gerakan-gerakan seksual suami-istri di tempat tidur. 10 Mamak adalah sebuatan untuk Paman. Pangulu adalah sebutan untuk kepada suku. 4 Nisaul Aulia Pertunjukan Organ Tunggal: Representasi “Modernitas” Urang Minang segala hal dan menjadi oposisi bagi sistem patriarki. Padahal matriarki bukanlah lawan dari patriarki. “Matriarchy is not an opposition of patriarchy. The “traditional” matriarchy doesn’t know the concepts of domination and power. It’s based on clan structure, where the woman is not a “patriarchy leader” but rather her position is in the center (than in a top)” ( Joanna, 2009). Fenomena yang dihadapi oleh biduan organ tunggal jelas merupakan serangan terhadap perempuan Minang dan sistem ‘matrilineal’. Kedudukan perempuan semakin terpojok oleh serangan lain dalam bentuk bias-bias tentangan kesetaraan perempuan dan laki-laki yang diusung oleh ajaran Islam dan masuknya budaya popyang berkaitan langsung dengan modernisasi dan postmodern yang semata-mata menggunakan sudut pandang laki-laki. Pertunjukan organ tunggal seolah-olah menjadi salah satu media bagi laki-laki untuk menyatakan kuasanya yang selama ini, secara adat, tidak bisa sepenuhnya diwujudkan. Dalam hal itu, meskipun organ tunggal terkesan melegalkan ideologi patriarki, Islam masih dirongrong oleh pertunjukan erotis dan vulgar yang mengarah ke laku porno. Pengertian pornografi itu sendiri, hingga saat ini, masih belum bulat. Sebagian mendefinisikan pornografi sebagai obyek yang menampilkan cara atau tindakan seksual secara terbuka yang dipandang menyimpang oleh khalayak (Siregar dalam Rahman, 2002:184). Islam di Minangkabau memandang, goyangan para biduan tersebut sudah mengarah ke tindak pornografi, sebab goyangan tersebut kadang ‘memindahkan’ gerakan-gerakan seksual suami-istri yang sangat pribadi, ke area panggung yang dikonsumsi oleh siapa saja yang menonton, termasuk anak-anak. Di samping itu, jenis dan bentuk pakaian para penyanyi dan kadang memang agak riskan, mengingat goyangan mereka yang sangat energik, sehingga sering menampakkan bagian-bagian tubuh yang tidak sepatutnya terlihat. Hal ini dianggap mengancam nilainilai ke-Islam-an orang Minang yang sudah terbina sejak abad ke-15-16 M. Perdebatan di atas masih berlangsung hingga sekarang di Minangkabau. Perdebatan ini juga turut ditengarai oleh pemerintahan adminastratif setempat, seperti pemerintahan nagari, dan pemerintah kota/kabupaten dengan mengeluarkan himbauan yang tidak memihak. Himbauan tersebut antara lain menyangkut jadwal pertunjukan yang hanya sampai jam 00.00 WIB, bahkan di beberapa daerah diberlakukan jadwal 5 Nisaul Aulia Pertunjukan Organ Tunggal: Representasi “Modernitas” Urang Minang pertunjukan hanya sampai jam 18.00 WIB. Ada pula himbauan agar para biduan mengenakan kostum yang lebih sopan dan tertutup. Pelbagai upaya menghapuskan kehadiran pertunjukan organ tunggal di Minangkabau demi mempertahankan adat istiadat dan ajaran agama Islam, sejak lama sudah berkembang dalam masyarakat. Namun hal ini tidak kunjung dapat diwujudkan, berhubung pertunjukan ini sudah sangat merakyat dan sudah menjadi bagian penting bagi masyarakat setempat. Bahkan pertunjukan ini dianggap wajib hadir dalam acara-acara tertentu, misalnya pesta perkawinan dan acara-acara yang digelar pemuda. Dalihnya, tanpa organ tunggal acaraacara yang diselenggarakan tersebut tidak meriah. Dengan demikian jelas, bahwa perwakilan budaya pop melalui genre pertunjukan organ tunggal telah memberi dampak yang besar terhadap tatanan kehidupan dan budaya masyarakat. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi titik mula pemetaan budaya pop dan tradisi lokal di Indonesia, yang kelak mengundang pemikiran dan perhatian kita bersama. 6 Nisaul Aulia Pertunjukan Organ Tunggal: Representasi “Modernitas” Urang Minang KEPUSTAKAAN Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arifin, Zainal. 2009. “Permusuhan dalam Persahabatan Dualitas dalam Adat Perkawinan Minangkabau” dalam Jurnal Antar Budaya. Edisi 1, Tahun 1. Yogyakarta. Astuti, Yulia. 2007. “Fungsi Saluang Dangdut dalam Konteks Upacara Baralek Kawin pada Masyarakat Kenagarian Balimbiang Kabupaten Tanah Datar”, Skripsi S-1. Padangpanjang: STSI Padangpanjang. Astuti, Fuji. 2004. Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: Suatu Tinjauan Gender. Yogyakarta: Kalika. Aulia, Nisaul 2008, “Fenomena Organ Tunggal dalam Konteks Upacara Baralek Kawin di Minangkabau”. Skripsi S-1. Padangpanjang: STSI Padangpanjang. Brooks Ann. 1997. Postfeminism: Feminism, Cultural Theory and Cultural Form. London: Routledge. Esten, Mursal. 1993. Minangkabau Tradisi dan Perubahan. Padang: Angkasa Raya. Fitri, Suci. 2007. “Talempong Goyang Fenomena Musik Bercitra Populer di Minangkabau” Skripsi S-1. Padangpanjang: STSI Padangpanjang. Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Penerjemah: Pipiet Maizier. Yogyakarta: JalaSutra. Graves, Elizabeth E. 2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta: Buku Obor. Irdawati, Yelmi. 2007. “Pertunjukan Saluang Dendang dalam “Bagurau Lapiak” di Pasar Payakumbuh”. Skripsi S-1. Padangpanjang: STSI Padangngpanjang. Kato, Tsuyoshi. 1982. Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. London: Cornell University Press. Mansoer, M.D dkk. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta:Bhratara. Nasroen, M. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: CV Penerbit Pasaman. Rahman, Shinta Nuriyah A. 2002. Islam dan Konstruksi Seksualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suseno, Dharma Budi. 2006. Dangdut Musik Rakyat. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 7 Nisaul Aulia Pertunjukan Organ Tunggal: Representasi “Modernitas” Urang Minang Woźniczko-Czeczott, Joanna, “M Jak Matriarchat” dalam 57/33/3346/3347, 13 Agustus 2009. Prze Krój edisi Zainuddin, Musyair. 2008. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Asal-Usul Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak. 8