Mempercepat Ekonomi Syariah di Ranah Minang

advertisement
Mempercepat Ekonomi Syariah di Ranah Minang
Wartawan : Asyari - Wakil Rektor I IAIN Bukittinggi • Editor : Riyon • 2017-04-06 12:37
Ranah Minang atau Minangkabau terkenal dengan etnis yang taat menjalankan ajaran Islam dan
loyal pada adat. Ajaran Islam menjadi bagian inhren dari setiap perilaku masyarakat
Minangkabau termasuk dalam berekonomi. Idealnya, tentu ekonomi syariah tumbuh dengan baik
di ranah Minang. Namun, kenyataan masih jauh panggang dari api. Lihat saja, ekonomi syariah
yang di-proxy-kan oleh perbankan syariah tumbuh lambat di ranah yang masyarakatnya
mendeklerasikan secara tegas dan di-announcement dengan suara lantang di berbagai forum dan
pertemuan oleh berbagai tokohnya bahwa adat basandi syarak syarak basandi kitabullah (ABSSBK).
Tiga tulisan di Padang Ekpres terdahulu, Ahmad Wira (21/12/2016), mempertanyakan, kenapa
ekonomi syariah (khususnya perbankan syariah) belum seutuhnya dipraktikkan oleh masyarakat
Minangkabau, Twoefly menulis, Menunggu Spin off Bank Nagari Syariah (Senin, 14/3/2017)
dan Romeo Rijal Panji Alam, menulis Quo Vodis Ekonomi Syariah di Ranah Minang (Jumat,
17/3/2012) telah menampilkan soal ironi ekonomi syariah di Ranah Minangkabau. Di NTB dan
Aceh ekonomi syariah tumbuh cepat.
BPD di daerah ini menjadi (konversi) bank syariah. Di Inggris, Tiongkok dan Manila ekonomi
syariah tumbuh dan bahkan di Amerika bank syariah, La Riba Bank eksis. Dua negara terakhir
notabene bukan pemilik masyarakat Islam mayoritas dan bukan pula kenal dengan syara’ serta
bukan pula dipimpin oleh seorang muslim. Namun, ekonomi syariah tumbuh dan berkembang.
Apa sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakat dan pemimpin kita. Kenapa gubernur, bupati
dan wali kota sebagai pemegang saham mayoritas “belum memiliki political will” untuk adanya
bank umum syariah di bumi adat bersandi syarak ini? Apakah ABSSBK hanya sekadar promosi
di ruang publik namun ampo di ruang implementasi atau sekadar lipstick politik di waktu akan
dan berlangsung pilkada guna memagnet dan mendulang suara dari masyarakat?
Merujuk tulisan Ahmad Wira, disebutkan bahwa informasi dan sosialisasi ekonomi syariah
masih terbatas. Kajian dan hasil penelitian ekonomi syariah belum tersebar luas. Two Efly
menjelaskan karena Bank Nagari Syariah masih dalam bentuk UUS dan kondisi ini menjadikan
dia masih di bawah ketiak iduak. Atau bak baniah masih di pesemaian. Sulit baginya
berkembang dan tumbuh dengan baik. Pak Romeo menyebut kurang daya pacu dan minimnya
keberpihakan pemerintah; OJK dan BI. Mencermati diskusi di atas, penulis tidak bermaksud
menambah panjang jawaban yang ada dan juga tak mau terlibat diskusi ketiak ular dan debat
kusir. Penulis melalui tulisan ini ingin mengurai sisi lain yang substansial dari persoalan
ekonomi syariah di Ranah Minang.
Wajah Ironi Ekonomi Syariah
Sejak awal, ekonomi syariah di Ranah Minang diwarnai dengan kondisi yang ironis. Penelitian
yang dilakukan oleh Unand berkerja sama dengan BI di tahun 2001 mengungkapkan bahwa di
negeri yang berfilosofi adat basandi syara syara basandi kitabullah ini ditemukan mayoritas dari
sampel yang dipilih menyatakan bahwa bunga bank bukan riba.
Lengkapnya, 20% masyarakat menyatakan bunga itu haram, 39% menyatakan tidak tahu/ raguragu, dan sisanya 41% menyatakan bahwa bunga itu tidak haram. Banyak kalangan di Sumatera
Barat seperti kebakaran jenggot membaca hasil penelitian ini. Sebagian berpendapat penelitian
ini premature dan lainnya menyatakan metodologinya salah dalam pemilihan sampel.
Namun seiring dengan berlalunya waktu kemudian banyak muncul lembaga keuangan syariah
di Sumatera Barat baik bank maupun non-bank, serta juga lembaga keuangan mikro syariah
seperti BMT yang semua beroperasi berbasis syariah. Bank umum dan bank umum syariah
banyak buka kantor cabang dan unit usaha syariah (UUS) di Sumatera Barat, seperti Bank
Syariah Mandiri, Bukopin Syariah, Danamon Syariah, BRI Syariah dan BNI Syariah. BMT
sebagai lembaga keuangan mikro syariah juga tumbuh dan berkembang dengan baik, seperti di
Kabupaten Agam, tiap nagari 1 BMT dalam program pengentasan kemiskinan.
Meskipun fakta dari riset menyatakan masyarakat memahami dan memandang bahwa bunga
bank tidak haram. Hal ini mengandung arti, bahwa masyarakat Minang tetap berinteraksi dengan
ekonomi konvensional yang berbasis bunga karena bunga bukan hal yang haram, namun di pihak
lain ekonomi syariah sebagai ekonomi yang beroperasi dengan dasar syariah tetap juga diterima.
Ironi memang dan ini lah wajah “mendua” muslim Minangkabau dalam berekonomi syariah.
Keyakinan dan Perilaku Belum Sejalan
Masyarakat Minangkabau adalah muslim. Bukan Minang kalau bukan muslim. Orang Minang
marah dan tabik suga jika dibilang tidak beragama dan juga tidak beradat. Sebagai seorang
muslim tentu memiliki akidah, keyakinan dan amalan yang bersumberkan dari Al Quran dan
Hadist.
Perilaku muslim dalam segala lapangan kehidupan harus menurut dua sumber ini sebagai
konsekuensi ketaatan termasuk dalam lapangan ekonomi. Namun realitanya, keyakinan yang
dianut ini tidak tembus ke area muamalat (berekonomi). Keyakinan hanya untuk area-area
kehidupan terbatas.
Misal, pedagang muslim paham dan mengerti bahwa memakai jimat dalam berdagang itu
perilaku syirik. Mengurangi timbangan dalam berdagang adalah perbuatan dosa. Perilaku
rentenir dilarang. Namun apa kenyataan. Banyak ditemukan di toko-toko dipasang jimat dalam
bentuk tulisan ayat-ayat di setiap pintu masuk ke toko sebagai tangka dagang dan pelaris
dagangan.
Barang yang dibeli di pasar dengan menggunakan timbangan setelah dicek di rumah banyak
ditemukan kekurangan dari seharusnya. Pemilik modal memberikan pinjaman dengan sistem
rente. Semua itu menunjukan bahwa keyakinan yang dianut belum tembus menjadi amalan yang
diaktualisasikan atau dipraktikan dalam kehidupan dan belum mempengaruhi perilaku.
Hasil penelitian penulis (2016) menemukan bahwa loyalitas muslim Minangkabau terhadap
ajaran agama Islam dan nilai-nilai adat Minang ternyata belum mempengaruhi perilaku ekonomi
sesuai ajaran Islam. Aspek keyakinan pada agama dan loyal dengan budaya Minang tidak
membumi dalam perilaku ekonomi muslim Minangkabau.
Artinya, keyakinan pada ajaran agama dan loyalitas ke nilai-nilai adat tidak berdampak pada
perilaku mereka dalam berekonomi. Keyakinan dan perilaku tidak berjalan secara linear.
Jika ditelusuri perjuangan Rasulullah SAW dalam menyebarkan ajaran Islam di Jazirah Arabia,
keyakinan (tauhid) sebagai starting action. Perjuangan membangun tauhid yang dilakukan Rasul
SAW telah membuahkan pribadi yang “tahan banting” dalam membumikan ajaran Islam. Bilal
bin Rabah dan Amar bin Yasir merupakan pribadi-pribadi yang memiliki keyakinan yang kuat
dan total tak ada keraguan dengan Islam.
Mereka mengamalkan Islam dengan semangat patriot dalam kehidupannya sekalipun
mengancam keselamatan diri. Usman bin Affan, seorang sahabat dermawan memiliki keyakinan
“membatin” ke Islam. Tercatat dalam sejarah, Usman menyerahkan aset kekayaan untuk
membiayai penanggulangan bahaya kelaparan yang melanda kampung yang biasa dilewati
kafilah dagangnya dengan membeli sumber mata air ar raumah untuk kepentingan kaum muslim
di Kota Madinah. Para pedagang yang berdagang dengan basis riba kemudian beralih ke sistem
bagi hasil seperti dipraktikkan oleh Abdurahman bin Auf. Semua ini merupakan potret
keyakinan yang tembus ke perilaku dan keyakinan sejalan dengan perilaku.
Akhirul kalam, agar ekonomi syariah tumbuh dan berkembang cepat dan baik di Minangkabau
selain menguatkan aspek keyakinan masyarakat kepada ajaran agama yang dianut, juga
mendorong masyarakat untuk berperilaku sejalan dengan keyakinan tersebut. Semoga (*)
Download