Etika dan Isu Dalam Tes Psikologi

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Pengantar
Psikodiagnostik
Et i k a d a n I s u d a l a m T es P si k ol og i
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
13
Kode MK
Disusun Oleh
MK 61048
Muhammad Ramadhan, M.Psi, Psikolog
Abstract
Kompetensi
Modul berisi mengenai pemahaman
akan dasar-dasar etika dan isu dalam
tes psikologi
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan dasar-dasar etika dan isu
dalam tes psikologi
Etika dan Isu Dalam Tes Psikologi
Baik dalam penelitian maupun dalam aplikasi praktis prosedur-prosedur mereka, para
psikolog sudah lama prihatin dengan pernyataan tentang etika professional. Sebuah
contoh konkret dari keprihatinan ini adalah program empiris sistematik yang diikuti pada
awal 1950-an untuk mengembangkan kode etik formal pertama bagi profesi ini. Usaha
yang ekstensif ini menghasilkan persiapan seperangkat standar yang secara resmi
diterima oleh American Psychological Association (APA) dan pertama diterbitkan pada
tahun 1953. Standar ini menjalani tinjauan dan penyempurnaan terus menerus yang
menghasilkan publikasi periodic dari edisi-edisi yang direvisi seperti, Ethical Principles of
Psychologists and Code of Conduct (APA,1992), yang terdiri dari satu preambul dan
enem prinsip umum yang dirancang untuk membimbing para psikolog menuju ideal
tertinggi dari profesi ini dengan standar etis dan aturan yang dapat diterapkan diberbagai
konteks.
Ethics Code (kode etik) diimplementasikan oleh komisi etis APA, yang menyelidiki dan
bertindak sebagai hakim untuk memutuskan pengaduan terhadap anggota-anggota
asosiasi. Komisi APA untuk Tes dan Penaksiran Psikologis (CPTA : Committee on
Psychological
Tes
and
Assessment)
secara
khusus
mengabdikan
diri
untuk
mempertimbangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan praktik penaksiran dan
pengetesan yang baik, dan memberikan saran teknis sehubungan dengan praktik-praktik
itu pada kelompok APA lainnya.
Isu Etis dalam Pengetesan dan Pemeriksaan Psikologi
Dalam area pengetesan, analisis yang hati-hati dan provokatif tentang peran nilai dan
dasar pemikiran etis yang melandasi berbagai praktik, telah disajikan oleh Eyde dan
Quaintance (1988) dan Messick (1980b, 1989, 1995). Kode APA memuat banyak hal
yang bisa diterapkan pada tes psikologis. Salah satu standarnya itu adalah Evaluasi,
Penaksiran atau Intervensi, yaitu secara langsung berkaitan dengan pengembangan dan
penggunaan teknik-teknik penaksiran psikologis. Standar yang lainnya, aktifitas forensic
memuat bagian yang ditujukan secara khusus pada diagnostik dalam konteks legal. Di
samping itu, standar etis tenang hak pribadi dan kerahasiaan, meskipun lingkupnya lebih
luas juga amat relevan untuk tes-tes psikologi. Sebagaimana halnya kebanyakan prinsip
umum lain dan berbagai standar etis. Di samping APA, kelompok dan asosiasi
professional di tiap-tiap negaa juga telah mengembangkan kode etik dan garis pedoman
mereka sendiri, seperti halnya Indonesia yang telah memiliki kode etik profesi psikologi
sendiri yang secara garis besar mengacu pada kode etik yang telah disusun oleh APA.
2015
2
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kualifikasi Pengguna
Prinsip kode etik dalam hal kompetensi menyatakan bahwa para psikolog “memberikan
jasa dan menggunakan hanya teknik yang mereka kuasai melalui pendidikan, pelatihan,
atau pemahaman” (APA, 1992 hlm.1599). Dalam kaitan dengan tes, pernyataan bahwa
tes-tes itu digunakan hanya oleh penguji-penguji yang memiliki kualifikasi tepat adalah
satu langkah untuk melindungi peserta tes terhadap penggunaan tes yang tidak
selayaknya. Kualifikasi yang diperlukan berbeda menurut jenis tes, dengan demikian
periode pelatihan intensif yang relative panjang dan pengalaman yang disupervisi
diperlukan demi penggunaan yang sepantasnya atas tes intelegensi individu dan
kebanyakan tes kepribadian, sedangkan pelatihan psikologis yang kurang begitu spesifik
diperlukan untuk tes-tes prestasi pendidikan atau kemahiran pekerjaan. Hendaknya
diperhatikan bahwa siswa-siswa yang mengikuti tes dalam kelas untuk maksud
pengajaran, biasanya tidak dilengkapi untuk melaksanakan tes yang lain atau untuk
menginterpretasikan skor-skor secara tepat. Sehingga ada pengkategorian tes menjadi
kualifikasi A yang hanya terbatas untuk dipergunakan oleh psikolog yang memiliki
ketrampilan khusus dan dengan jam terbang tinggi, salah satu tes dengan kategori ini
adalah tes Rorschach. Tes dengan kualifikasi B juga diperuntukan bagi pengguna
psikolog, contoh tes dengan kategori ini adalah DAT (Differential attitude test), WIAT
(Wechsler individual achievement test). Sementara tes dengan kualifikasi C diperuntukan
bagi pengguna masyarakat umum yang membutuhkan, seperti tes Neo-five factor
inventori (NEO-FFI).
Para penguji yang benar terlatih memilih tes yang sesuai, baik dengan maksud tertentu
menjadi tujuan pengetesan maupun dengan orang yang diuji. Mereka juga sadar tentang
kepustakaan riset yang ada pada tes yang dipilih dan mampu melakukan evaluasi atas
segi-segi teknik dalam kaitan dengan cirri-ciri misalnya, norma, reliabilitas dan validitas.
Siapakah psikolog yang memenuhi syarat? Jelas, mengingat diversifikasi disiplin ini dan
spesialisasi akibat pelatihan, tak satu psikolog pun sama kualifikasinya di dalam semua
bidang, bahkan dalam bidang pengetesan dan penaksiran psikologis yang lebih sempit
sekalipun. Dengan mengakui fakta ini, kode etik meminta para psikolog untuk menerima
batas-batas kompetensi khusus mereka dan keterbatasan keahlian mereka. Sebuah
langkah penting yang mempengaruhi standar professional dalam membantu masyarakat
untuk mengidentifikasi psikolog yang memenuhi syarat adalah pemberlakuan lisesnsi dari
institusi atau yang sering disebut Surat Ijin Praktek (SIP). Di Indonesia surat ijin praktek
baru bisa diperoleh oleh sarjana psikologi dengan kurikulum lama bergelar Drs/Dra,
2015
3
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sarjana psikologi kurikulum baru S.Psi yang telah mengambil program profesi dengan
gelar psikolog atau untuk saat ini magister profesi psikologi dengan gelar M.Psi.
Kode etik atau aturan sertifikasi atau surat ijin praktek adalah semata-mata untuk
melindungi masyarakat pengguna jasa psikologi dari mal praktek yang mungkin dilakukan
oleh profesi psikologi.
Tanggung Jawab Penerbit Tes
Tanggung jawab profesi berhubungan dengan pemasaran tes-tes psikologis oleh
pengaran dan penerbit. Tes-tes yang seharusnya tidak dilepaskan secara premature
untuk penggunaan umum, juga tidak seharusnya dilakukan klaim apapun menyangkut
segi positif tes itu jika tidak ada bukti objektif yang memadai. Pembelian alat tes secara
umum dibatasi pada orang yang memenuhi persyaratan minimal tertentu. Catalog para
penerbit tes utama menentukan secara spesifik persyaratan yang harus dipenuhi oleh
pembeli tes, salah satu persyaratan umumnya yaitu pada individu yang memiliki gelar
master dalam psikologi. Sebagian penerbit mengklasifikasikan tes-tesnya kedalam
tingkat-tingkat dengan rujukan pada kualifikasi pengguna, tes-tes tersebut terdiri dari testes prestasi pendidikan dan kemahiran kerja sampai tes-tes intelegensi kelompok, sertam
inventori minat hingga instrument klinis seperti intelegensi individual dan kebanyakan tes
kepribadian.
Alat tes juga harus dibuat secara berbeda, alat tes untuk pembeli individual dan pembeli
kelembagaan yang memiliki otoritas atas tes-tes yang tepat. Untuk pembeli individual,
seperti mahasiswa pascasarjana yang membutuhkan tes tertentu dalam memenuhi
kebutuhan penugasan kelas atau penelitian harus membawa pesanan pembelian yang
telah ditandatangani oleh dosen psikologi mereka, yang dapat bertanggung jawab
terhadap penggunaan tes tersebut secara tepat.
Usaha untuk membatasi distribusi tes memilki dua tujuan: Keamanan materi tes dan
pencegahan penyalah gunaan. Dalam beberapa kasus, tidaklah mungkin menyelidiki dan
membuktikan benar tidaknya kualifikasi yang dinyatakan oleh pembeli tes. Dapat terlihat
bahwa persyaratan formal hanya menyediakan sarana penyaringan yang kasar. Jelas
misalnya, bahwa seseorang yang memiliki gelar master dalam psiklogi-atau bahkan
Ph.D., lisensi Negara bagian,dan diploma ABPP-tidak dengan sendirinya menunjukan
bahwa individu itu memenuhi syarat untuk menggunakan tes tertentu atau bahwa
latihannya relevan bagi interpretasi yang tepat atas hasil-hasil yang diperoleh dari tes itu.
Tanggung jawab yang utama untuk penggunaan tes pada akhirnya ada pada diri
pengguna individual atau lembaga yang bersangkutan.
2015
4
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Tanggung jawab professional lainnya berhubungan dengan pemasaran tes-tes psikologis
oleh pengarang dan penerbit. Panduan tes seharusnya menyediakan data yang memadai
untuk memungkinkan evaluasi atas tes itu sendiri dan juga informasi lengkap menyangkut
penyelenggaraan, scoring, dan norma-norma. Panduan itu seharusnya juga merupakan
eksposisi factual dari apa yang dikenal tentang tes itu dan bukan merupakan sarana
penjualan yang dirancang untuk membuat tes itu tampak menarik. Pengarang dan
penerbit tes bertanggung jawab dalam merevisi tes dan norma, hal tersebut harus sering
dilakukan guna mencegah tes itu menjadi kadaluwarsa. Cepat atau lambatnya tes
menjadi kadaluwarsa berbeda-beda tergantung dengan sifat tes tersebut.
Tes-tes yang perlu diamankan karena digunakan dalam keputusan seleksi, keputusan
penempatan atau keputusan diagnostik, seharusnya tidak dipublikasikan dalam media
sosial, publisitas tes pada media sosial bisa mengarah pada evaluasi diri yang secara
psikologis merugikan anggota masyarakat umum. Praktik lain yang hampir pasti bersifat
tidak professional adalah pengetesan melalui surat. Selain tidak memiliki control atas
kondisi pengetesan, prosedur ini umumnya juga melibatkan interpretasi atas skor-skor tes
itu tanpa adanya informasi yang relevan tentang individu yang bersangkutan. Dengan
sedikit pengecualian yang mungkin, misalnya penggunaan inventori minat atau inventori
nilai pada individu yang agak kompleks dan termotivasi baik, hasil tes yang dilakukan
dalam kondisi-kondisi ini bisa lebih buruk daripada tidak berguna.
Sejak tahun 1980-an para penerbit tes mulai mengambil langkah untuk memastikan
bahwa tes yang mereka terbitkan dan distribusikan digunakan secara tepat dan skorskornya diinterpretasikan dengan benar. Dalam melakukan tujuan tersebut mereka
melakukan upaya untuk mengembangkan dan memperbaiki komunikasi dengan klienklien tentang tes-tes yang spesifik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat atas
pengetesan pada umumnya.
Perlindungan atas Lingkup Pribadi
Dalam sebuah laporan yang berjudul Privacy and Behavioral Research (1967), hak atas
lingkup pribadi itu didefinisikan sebagai hak unntuk memutuskan sendiri seberapa banyak
orang hendak berbagi pikiran, perasaan, dan fakta tentang kehidupan pribadinya dengan
orang lain. Hal tersebut dirincikan sebagai “hal yang hakiki dalam menjamin kebebasan
dan penentuan diri sendiri”. Demi efektivitas tes, mungkin perlu untu tetap membuat
peserta tes tidak mengetahui cara-cara spesifik yang digunakan untuk menginterpretasi
respon pada tes apapun. Yang terpenting ialah kewajiban untuk memberikan
pemahaman yang jelas kepada peserta tes menyangkut penggunaan atas hasil tes.
Fakta bahwa tes-tes psikologis kerap dipilih dalam diskusi tentang pelanggaran atas
2015
5
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
lingkup hidup pribadi yang mencerminkan miskonsepsi yang umum tentang tes dan jug
penyalah gunaan yang sering sebagai satu-satunya basis bagi keputusan tentang
individu.
Perlu diperhatikan bahwa semua peneliti perilaku, baik penggunaan tes maupun
observasi lainnya, menyajikan kemungkinan pelanggaran atas lingkup hidup pribadi.
Namun, sebagai ilmuan, para psikolog memiliki komitmen pada sasaran peningkatan
pengetahuan tentang perilaku manusia.
Salah satu faktor yang relevan adalah maksud pengetesan diselenggarakan bisa untuk
konseling individual, keputusan kelembagaan menyangkut seleksi dan klasifikasi. Apapun
maksud pengetesan, perlindungan atas lingkup hidup pribadi meliputi dua konsep :
relevansi dan izin berdasarkan informasi yang cukup. Informasi yang diminta pada
individu untuk diungkapkan harus relevan dengan maksud pengetesan yang dinyatakan.
Konsep hak untuk mendapatkan informasi yang cukup (informed consent) juga menuntut
penjelasan dan aplikasinya pada kasus-kasus individual meminta pelaksanaan penilaian
yang hati-hati (AERA, APA, NCME, 1985). Meskipun kode etik dewasa membuat standar
eksplisit yang membutuhkan izin berdasarkan informasi yang cukup hanya untuk terapi
dan bukan untuk penaksiran, persyaratan semacam ini ada secara implicit dalam standar
lain yang menyangkut evaluasi dan diagnosis dalam konteks professional, serta dalam
bagian-bagian lain kode etik itu. Perundangan dewan psikologi Negara bagian, hukum
kasus, aturan-aturan kelembagaan, atau standar praktik yang berlaku umumnya
menuntut izin berdasarkan informasi yang cukup dalam konteks penaksiran dan
intervensi (Canter et al., 1994).
Kerahasian
Masalah kerahasiaan data tes bersifat multidimensi, diantaranya adalah keamanan isi
tes, bahaya dari kesalahan memahami skor-skor tes, dan keinginan berbagai macam
orang untuk mengetahui hasil tes. Hasil-hasil tes seharusnya disajikan dalam suatu
bentuk yang mudah dipahami, bebas dari istilah atau label teknis dan berorientasi pada
sasaran pengetesan langsung. Perlindungan yang memadai harus dilaksanakan untuk
mencegah penyalahgunaan dan misinterpretasi temuan-temuan tes. Pembahasan
tentang kerahasiaan catatan tes biasanya berhadapan dengan aksesibilitas ke orang
ketiga, yang berbeda dari orang yang dites (orang tua anak) dan penguji. Prinsip yang
mendasarinya adalah bahwa catatan-catatan seperti ituseharusnya tidak dilepaskan
tanpa pengetahuan dan izin dari peserta tes kecuali jika pelepasan semacam itu
dimandatkan oleh hukum atau diizinkan oleh hukum untuk maksud-maksud yang sah.
Bila tes diadakan dalam suatu konteks kelembagaan, sebagaimana dalam system
sekolah, pengadilan, atau ruang lingkup pekerjaan, individu seharusnya diberi informasi
2015
6
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pada waktu pengetesan tentang maksud tes, bagaimana hasil-hasil tes akan digunakan
dan ketersediaan hasil-hasil tes itu bagi tugas lembaga yang memiliki kebutuhansah akan
hasil itu.
Jika catatan-catatan dipertahankan selama bertahun-tahun, ada bahaya bahwa catatancatatan itu bias digunakan untuk maksud-maksud yang oleh peserta tes (orang tua
peserta tes) tidak pernah diantisipasi dan tidak pernah akan disetujui. Untuk mencegah
penyalahgunaan semacam ini, bila catatan dipertahankan entah untuk penggunaan
longitudinal yang sah dalam kepentingan individu entah untuk maksud-maksud riset yang
dapat diterima, akses pada catatan-catatan itu seharusnya tunduk pada kendali yang
amat keras. Setiap jenis lembaga seharusnya merumuskan kebijakan yang eksplisit
menyangkut penghancuran, penahanan, aksesbilitas atas catatan-catatan pribadi.
Mengomunikasikan Hasil Tes
Dalam tahun belakangan ini para psikolog mulai memikirkan komunikasi hasil-hasil tes
dalam bentuk yang bermakna dan berguna bagi penerimanya. Dalam semua komunikasi
yang berhubungan dengan tes, hendaknya diperhatikan ciri-ciri orang yang harus
menerima informasi ini. Hal ini berlaku tidak hanya pada pendidikan umum orang tersebut
dan pengetahuannya tentang psikologi serta pengetesan, tapi juga pada respons
emosional yang bias diantisipasi terhadap informasi yang diberikan. Dalam kasus orang
tua atau guru misalnya, keterlibatan emosional pribadi dengan anak bias memengaruhi
penerimaan yang tenang dan rasional atas informasi factual. Dalam hal ini, Testing
Standard menekankan perlunya orang-orang yang menggunakan tes dalam aplikasi klinis
dan konseling, memberikan penjelasan yang tepat dan dapat dimengerti atas hasil-hasil
tes dan rekomendasi yang muncul dari interpretasi itu kepada peserta tes.
Psikolog konseling amat memperhatikan perkembangan cara-cara yang efektif untuk
menyampaikan informasi tes pada klien mereka. Terdapat 2 garis pedoman : Pertama,
laporan tes harus dipandang sebagai bagian integral dari proses konseling dan
dimasukan dalam hubungan total konselor dan klien. Kedua, sejauh mungkin konselor
perlu melibatkan klien dan menginterpretasikan hasil-hasil tes dilihat dari pertanyaan
tertentu yang ditimbulkan oleh hasil-hasil tes itu. Situasi konseling adalah sedemikian
rupa sehingga jika individu menolak informasi apa pun, karena alas an apa pun, maka
informasi itu mungkin akan menjadi sia-sia sama sekali.
2015
7
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Mengetes Populasi yang Beraneka Ragam
Beberapa dasawarsa sejak tahun 1950, telah disaksikan keprihatinan masyarakat yang
makin besar akan hak minoritas etnik, wanita dan individu penyandang cacat serta
kelompok-kelompok minoritas lainnya. Keprihatinan ini tercermin dalam perlakuan
perundangan hak-hak warga negara, baik pada tingkat federal maupun negara bagian.
Dalam kaitan dengan mekanisme perbaikan kesempatan pendidikan serta pekerjaan bagi
individu-individu dari berbagai kelompok, tes psikologis merupakan fokus perhatian
utama (Gifford, 1989a, 1989b). Kepustakaan psikologi memuat banyak pembahasan
tentang topik ini, yang dampaknya merentang dari penjernihan sampai pengaburan.
Diantara sumbangan yang paling membantu penjernihan, adalah berbagai makalah serta
garis pedoman oleh asosiasi-asosiasi profesional. Di samping itu panduan atas praktik
penaksiran yang memadai pada populasi yang beraneka ragam semakin banyak
tersedia. Laporan-laporan yang dipersiapkan dibawah pengawasan National Research
Council, Office of Technology Assesment, dan kelompok-kelompok seperti itu lainnya,
yang dikutip dalam bagian awal bab ini, telah menguji kontroversi tentang tes dalam
konteks sosial sekarang ini serta menyajikan pandangan yang seimbang tentang fungsi
pengetesan.
Banyak keprihatinan berpusat pada penurunan skor-skor tes oleh kondisi-kondisi kultural
yang bisa mempengaruhi pengembangan kemampuan, minat, motivasi, sikap dan
karakteristik psikologis lain dari anggota kelompok minoritas. Beberapa penyelesaian
yang diusulkan pada masalah ini, mencerminkan kesalah pahaman tentang sifat dan
fungsi dari tes-tes psikologis. Perbedaan-perbedaan dalam latar belakang pengalaman
kelompok atau individu mau tak mau terwujud dalam kinerja tes. Setiap tes psikologis
mengukur sampel perilaku. Sejauh budaya mempengaruhi perilaku, pengaruhnya akan
dan seharusnya dideteksi oleh tes. Jika kita bisa menyingkirkan semua perbedaan
kultural dari tes, dengan begitu mungkin kita bisa menurunkan validitas nya sebagai
ukuran domain perilaku yang hendak diukur. Dalam kasus itu tes ini akan gagal
memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengoreksi kondisi-kondisi yang
mengganggu kinerja.
Peraturan Legal, Sejak tahun 1960, ada perkembangan yang pesat sehubungan dengan
tes pendidikan dan pekerjaan kelompok minoritas. Perkembangan ini mencakup tindakan
legislatif, perintah eksekutif, dan keputusan pengadilan. Dalam bidang pekerjaan, makin
lama pengadilan semakin memainkan peranan penting dalam menaksirkan serta
2015
8
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menerapkan hokum-hukum hak sipil. Implikasi kasus-kasus pengadilan yang terkenal
telah dibicarakan secara luas dalam kepustakaan personalia dan pengetesan oleh orangorang yang terlatih dalam psikologi, hukum, atau keduanya.
Secara historis, persyaratan untuk validasi tes yang dapat diterima telah ditetapkan
melalui Testing Standards, Principles for the Validation and Use of Personnel Selection
Procedures (SIOP, 1987) dan dokumen-dokumen lain dari profesi bersangkutan. Akan
tetapi, dalam dua dasawarsa terakhir, ada berbagai kasus dimana pertimbangan hukum
luar telah memasuki praktik-praktik psikometris, terutama dalam kaitan dengan hak-hak
sipil. Salah satu kasus ini adalah kesepakatan yang dikenal sebagai “Golden Rule”.
Kesepakatan ini menyelesaikan pertikaian antara Golden Rule Insurance Company dan
Educational Testing Service (ETS), menyangkut ujian yang disediakan oleh ETS bagi
pemberian lisensi agen-agen asuransi. Penyelesaian ini mengarahkan agar prioritas
diberikan bagi penggunaan butir-butir soal tes dengan perbedaan paling kecil antar
kelompok bila ada perbedaan angka jawaban yang tepat pada kelompok mayoritas dan
kelompok minoritas. Meskipun dimaksudkan untuk meningkatkan keadilan dan
memperkecil dampak yang merugikan, penyelesaian Golden Rule telah mengakibatkan
perdebatan yang panas mengenai asumsinya tentang sifat bias butir soal dan
menyangkut sejauh mana bukti empiris membenarkan prosedur yang diusulkan oleh
penyelesaian itu.
Dalam pembahasan tentang tindakan afirmatif, Uniform Guidelines 1978 menunjukan
bahwa bahkan bila prosedur seleksi telah divalidasi secara memuaskan jika angka
penolakan yang tidak proporsional muncul bagi kelompok minoritas, langkah-langkah
sebaiknya diambil untuk mengurangi kesenjangan ini sebesar mungkin. Tindakan
afirmatif menyiratkan agar sebuah organisasi melakukan lebih dari sekedar menghindari
praktik-praktik diskriminatif. Secara psikologis, program tindakan afirmatif yang semakin
mendapat serangan dalam arena politik dalam beberapa tahun terakhir ini, bisa
dipandang sebagai upaya untuk memberikan kompensasi bagi efek residu ketimpangan
sosial masa lampau. Praktik penormaan subkelompok, yang diimplementasikan pada
GATB pada tahun 1990-an dalam rangka menhasilkan angka rujukan pekerjaan yang
dapat dibandingkan antara pelamar kulit putih, kulit hitam, dan hispanik, meskipun ada
kesenjangan besar dalam skor tes kemampuan mereka, merupakan contoh tindakan
afirmatif yang dimaksudkan untuk mengurangi dampak merugikan sebuah tes
prapekerjaan. Akan tetapi praktik ini menimbulkan kontroversi yang mengarah pada Civil
Rights Act of 1991 (P.L. 102-166), yang secara eksplisit melarang bentuk penyesuaian
skor apapun yang didasrkan pada ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau asal usul
kenegaraan. Dalam bidang tes psikologis, diakui bahwa percabangan Act ini “jauh lebih
2015
9
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
luas daripada yang dibayangkan oleh Congress” , dan sama sekali bisa mengendalikan
penggunaan tes kepribadian dan tes kemampuan jasmani ang menggunakan norma
berbeda untuk pria dan wanita. Memang sejumlah penulis tes dan penerbit tes telah
mengambil langkah-langkah untuk memberikan prosedur penskoran alternative yang
menghapuskan pemisahan norma menurut jenis kelamin.
Usaha bermaksud baik lainnya, untuk menyingkirkan hambatan-hambatan bagi
kesempatan terbuka bagi semua yang telah menciptakan keprihatinan pada pihak
majikan dan pihak-pihak lain yang tertarik pada praktik tes prapekerjaan yang
tepat
adalah Americans with Disabilities Act (ADA) of 1990 (P.L. 101-336). Persyaratan
pekerjaan ADA mencegah pemberi kerja untuk menggunakan tes-tes kesehatan atau
menyelidiki penyalahgunaan zat tertentu atau kondisi psikiatris masa lampau sebelum
pekerjaan
itu
ditawarkan.
Panduan
dan
perundang-undangan
EEOC
tentang
penyelidikan yang berkaitan dengan cacat prapekerjaan serta pemeriksaan medis (1994,
1995) sejauh ini membiarkan terbuka pertanyaan tes psikologis dan kepribadian mana
yang diperbolehkan dalam lingkungan atau situasi prapekerjaan. Inkonsistensi antara
keputusan professional, legal, dan etis mungkin akan tetap muncul di masa depan. Tak
diragukan lagi bahwa hal-hal itu akan mempersulit penerapan tes pada pengambilan
keputusan di dalam apa yang disebut bidang-bidang pekerjaan dan pendidikan “taruhan
tinggi”.
Faktor-Faktor yang Terkait Dengan Tes
Dalam melakukan tes atas berbagai orang, penting untuk membedakanantara factorfaktor yang mempengaruhi, baik tes maupun perilaku criteria serta fakror-faktor yang
pengaruhnya terbatas pada tes. Isi tes khusus juga bisa mempengaruhi skor-skor tes
melalui cara-cara yang tidak terkait dengan kemampuan yang memang hendak diukur
oleh tes tersebut. Dalam tes penalaran aritmatika, misalnya penggunaan nama atau
gambar objek yang tidak akrab dengan ligkungan budaya tertentu merupakan
kekurangan yang membatasi tes, dimana isi tes tertentu bisa mempengaruhi kinerja
adalah melalui respon emosional dan attitudinal (sikap) para peserta tes.
Pengujian orang-orang dengan latar belakang budaya serta riwayat pengalaman yang
berbeda-beda dan juga para penyandang cacat adalah keprihatinan yang luas dalam
Testing Standards. Faktor yang mencakup pengalaman sebelumnya dalam mengikuti tes,
motivasi dalam melakukan tes agar berhasil, hubungan dengan penguji, penekanan
berlebihan pada kecepatan dan variable-variabel lainya yang dapat mengurangi validitas.
Dalam testing standart dapat memengaruhi ketidak variabelan dalam tes karena testee
2015
10
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
memiliki latar belakang, budaya serta pengalaman yang berbeda-beda juga pada
penyandang cacat. Maka diperlukan upaya-upaya khusus untuk mengurangi factor-faktor
yang terkait diatas.
Penaksiran dan Penggunaan Skor Tes
Penggunaan skor tes dapat merubah penaksiran dalam menilai hasil tes di berbagai
lingkungan seperti minoritas yang mendapat nilai yang lebih rendah yang dikarenakan
oleh factor-faktor tertentu seperti latar belakangnya, motivasi serta lingkungan yang
berkaitan. Maka dari itu kita perlu meneliti factor-faktor tersebut. Karena tes dirancang
untuk menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh seorang individu pada waktu tertentu.
Tendensi untuk mengelompokkan serta member nama, sebagai jalan pintas yang
menggantikan pemahaman, yang masih banyak terjadi. Kategori diagnostic psikiatri
klasik, dimana pasien diberi label seperti “paranoid schizophrenic” atau “manicdepressive” adalah contoh yang amat dikenal dari tendensi tersebut. Berbeda dari label
diagnostik, deskripsi kepribadian ini berfokus pada asal muasal dan signifikansi individual
perilaku yang menyimpang dan menyediakan basis yang lebih efektif untuk terapi.
Objektifitas Tes
Tes merupakan usaha untuk berjaga-jaga terhadap favoritism dan keputusan yang
sifatnya sewenang-wenang dan tidak terduga. Tes tidak dapat dilihat dari apakah
seorang anak muda berpakaian tidak sopan dan tes-tes tidak bisa mendengarkan aksen
dari perkampungan kumuh. Tes-tes terbakukan diperkenalkan sebagai satu sarana
mengompensasi ketidakadilan, subjekvitas dan bisa potensial dari prosedur tradisional
tersebut. Objektifitas Tes dilatar belakangi oleh ketelitian dalam membedakan
konsekuensi penggunaan tes yang tepat serta memisahkan konsekuensi langsung
pengetesan dari konsekuensi yang diperantai oleh faktor-faktor luar pada pengetesan.
Serangan terhadap pengetesan kerap gagal membeda-membedakan antara sumbangan
yang positif dari pengetesan terhadap keadilan (kejujuran) dalam pengambilan keputusan
serta penyalahgunaan tes sebagia jalan pintas untuk keputusan yang dipertimbangkan
secara cermat. Memandang tes dalam konteks sosialnya, Committee on Ability Testing
(Wigdor & Garner, 1982) mendesak agar tes dipandang bukan sebagai obat mujarab
atau sebagai kambing hitam bagi masalah-masalah masyarakat dan agar sasaransasaran masyarakat untuk meningkatkan kesempatan bagi anggota kelompok minoritas
yang
bersangkutan seharusnya tidak dicampuradukkan dengan vliditas proses
pengetesan. Dalam pernyataan penting, komisi menyatakan “usaha untuk mencari
masyarakat yang lebih pantas telah menempatkan kemampuan pengetesan pada pusan
2015
11
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kontrovensi dan memberi reputasi yang berlebihan untuk yang buruk dan yang baik”.
Dalam tes tentu saja bisa disalah gunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,
namun jika tes digunakan dengan tepat maka tes bisa menjalankan fungsi penting dalam
pencegahan diskriminasi yang tidak relevan dan tidak adil. Dalam menentukan
konsekuensi pengetesan, kita harus teliti membedakan konsekuensi penggunaan tes
yang tepat dari konsekuensi yang diperantarai oleh factor luar terhadap pengetesan
(Tenopyr,1995).
.
Daftar Pustaka
Anastasia, A. dan Susana Urbina. 2006. Tes Psikologi. Jakarta: Penerbit Indeks.
.
2015
12
Pengantar Psikodiagnostikl
Muhammad Ramadhan M.Psi, Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download