MENJADI GEREJA YANG HIDUP: AKTUALITAS PEMBAKTIAN DIRI YANG DIAJARKAN SANTO MONTFORT MENJADI GEREJA YANG HIDUP AKTUALITAS PEMBAKTIAN DIRI YANG DIAJARKAN SANTO MONTFORT A LATAR BELAKANG: zaman Montfort A. I. Politik II. Sosial III. Agama IV. Montfort dalam situasi demikian B LATAR BELAKANG: zaman kita B. I. Politik II. Sosial III. Agama C MENJADI GEREJA YANG HIDUP C. I. Pembaktian diri II. Yang diajarkan St. Montfort III. Aktualitas Ceramah oleh N.C. Schneiders s.m.m. pada kesempatan OPEN HOUSE seminari St. Montfort Bandung, 25 April 2004 2 5 September 1638 akhirnya, sesudah 22 tahun hidup perkawinan antara Raja Louis XIII dari Perancis dan Anna dari Austria, lahirlah seorang putra. Kegembiraan tentu saja dirasakan oleh umum dan orang menamakannya Louis “Dieudonné”, Louis “Anugerah Allah”. Lima tahun kemudian, yaitu pada 14 Mei 1643, Louis XIII meninggal dan mulailah kerajaan Louis XIV, Anugerah Allah, sementara masih di bawah perwalian Anna dari Austria dan Kardinal Mazarin. Kerajaan Louis XIV ini akan berlangsung sampai tahun 1715 atau 72 tahun! Itu merupakan salah suatu periode yang penuh dengan kesukaran dalam sejarah Perancis. Ketika Mazarin meninggal pada tahun 1661, Louis XIV berumur 23 tahun. Dia menolak mengangkat seorang menteri penanggung jawab yang baru dan mengalihkan kekuasaan sepenuhnya ke dalam tangannya sendiri, dengan motto yang tersohor; “l’Etat, c’est moi” yang artinya, “Negara itu aku sendiri”. 54 tahun lamanya dia akan menjadi pengganti Allah yang absolut di dalam kerajaannya. Setiap orang harus bertanggungjawab kepadanya, juga pimpinan Gereja, hal mana sering menimbulkan konflik dengan Roma. Aliran “galikanisme” berkembang subur, yaitu masa di mana raja ingin mempunyai pengaruh yang lebih besar lagi di dalam urusan-urusan kegerejaan, pengangkatan para uskup, dsb. dari pada Paus. Juga negara-negara tetangga - Spanyol, Inggris, Belanda, Jerman -, malahan dunia, ingin dia taklukkan. Hal itu memerlukan biaya. Tiap orang harus menyumbang; pajak membengkak. Tetapi dia sendiri tidak mau membayar: puri Versailles dibangun dan Raja mendiami istana itu bersama dengan rumah tangganya, yang berdiri dari sekitar 20.000 orang, termasuk 9.000 prajurit pengawal istana dan 5.000 pelayan. Berbagai gundiknya mendapat hadiah yang melimpah; Mancini, La Vallière, terutama Nyonya de Montespan, yang kemudian sebagai seorang pentobat yang menjalani laku-tapa kita termukan dalam hidup Grignion de Montfort. Setelah perdamaian di Utrecht, tahun 1713, Louis XIV semakin menyadari bahwa dia dengan segala peperangannya tidak menghasilkan bagi Perancis dan diri sendiri apa yang pernah menjadi impiannya, dan bahwa dia karena banyak penderitaan yang telah di timbulkannya di kalangan bangsanya, lebih dibenci dari pada dicintai. Sebab itu, pada tahun-tahun akhir hidupnya, terutama atas desakan dari Mme. de Maintenon, ia telah menjauhkan pesta-pesta mewah dari Versailles. Pada 10 Agustus 1715 para dokter dipanggil ke istana. Mereka menemukan: gangren atau kelemayuh, penyakit orang tua yang disebabkan oleh matinya jaringan-jaringan tubuh. Pada saat dekat kematiannya, ia melupakan kedudukannya yang congkak dan menemukan kata-kata “terima kasih”. Dia meminta ampun karena tidak selalu melakukan apa yang diharapkan Tuhan dari padanya. Pada akhirnya dia mengangkat cicitnya yang berusia lima tahun, yang kemudian dikenal sebagai Louis XV. Kepada “raja kecil” itu ia mau memberi sebuah nasehat dan peringatan terakhir, yang serentak juga mengandung suatu pengakuan dosa terhadap Allah dan rakyatnya, “Cicitku terkasih, suatu saat nanti engkau akan menjadi raja yang besar, tetapi anda hanya bisa bahagia apabila engkau, dengan tunduk kepada Allah, berusaha meringankan beban bangsamu. Sebab sedapat mungkin engkau harus menjauhkan perang. Perang adalah kehancuran bagi bangsa-bangsa. Menyangkut hal itu, janganlah mengikuti teladan saya. Saya sering terlalu gampang memulai suatu peperangan dan telah meneruskannya untuk memuaskan diri sendiri. Jangan berbuat seperti saya, tapi jadilah seorang pangeran perdamaian. Perhatikanlah pertama-tama kebahagiaan rakyatmu”. Ppagi-pagi, hari Minggu 1 September, meninggallah Louis XIV. Tidak terdapat dukacita yang sungguh-sunguh bahkan tidak di lingkungan keluarganya sendiri, yang kebanyakannya masih terdiri dari anak-anak haram. Ia telah, seperti ia sendiri akui terlalu banyak memikirkan kuasa dan kemuliaannya sendiri, terlalu mudah mengadakan peperangan dan terlalu kurang berbuat untuk 3 4 A LATAR BELAKANG: zaman St.Montfort A. I. Politik meringkankan penderitaan bangsanya.... A. II. Sosial Pada zaman Santo Montfort terdapat banyak orang gembel dan orang yang hidup di pinggir masyarakat, terutama dalam perkampungan lusuh di kota-kota besar dan dalam wisma penampungan yang dengan nama indah disebut "Hôtel Dieu" ("penginapan Allah", maksudnya wisma gratis untuk kaum tunaharta) atau "Hôpital Général" (wisma penginapan / rumah sakit umum), namun lebih menyerupai penjara daripada penampungan ramah bagi orang-orang sakit dan cacat. Pada masa itu dan terutama di bawah pemerintahan Louis XIV, sebuah rumah sakit adalah sebuah wisma, di mana boleh dikatakan semua kelompok “marginal” dalam masyarakat dikumpulkan. Di sana berdiam anak-anak yatim-piatu, anak-anak jalanan dan penjahat-penjahat kecil dan juga para lansia dan orang-orang cacat yang tidak bisa lagi menolong diri sendiri. Tetapi tempat itu juga menjadi tempat tinggal paksaan bagi para pengemis dan orang-orang gelandangan, anak yatim piatu, para pemabok dan pelacur yang membuat jalan-jalan “tidak aman”. Karena Louis XIV memerlukan banyak anak muda bagi tentaranya, maka khususnya anak-anak para petani harus masuk tentara, sebab orang kaya ‘membeli’ pengganti mereka menjadi tentara. Maka jumlah orang yang bekerja sebagai petani semakin kurang, dengan salah satu sebabnya sering ada kelaparan. Para tentara yang tidak terima gaji (yang cukup) sering merampas hasil ladang. Ditambahkan dua faktor lagi: karena perang tidak ada perdagangan, dan karena beberapa musim yang sangat dingin (khususnya musim 1709-1710) maka banyak orang miskin mencari-mencuri makanan. Pajak yang dipungut pada zaman itu untuk membayar onkos perang yang terus-menerus sangat tinggi sampai ‘upper ten’ pun menjual barang mereka untuk dapat membayar pajak itu. 5 Montfort hidup dalam situasi itu. “Kasih sayangnya kepada orang miskin, kalau boleh saya katakan, sampai keterlaluan. Ia memandang mereka sebagai sakramen yang menghadirkan Kristus, tersembunyi di bawah penampilan mereka yang menjijikkan. Seorang miskin, katanya, merupakan suatu misteri besar. Kita harus menjadi pandai masuk ke dalamnya ...” (Grandet, hlm. 354) Itulah arti seruannya yang termasyhur: “Bukalah pintu bagi Yesus Kristus”, ketika ia kembali ke rumah kediaman para misionaris (yang selalu disebutnya “La Providence”, artinya “Penyelenggaraan Ilahi”), sambil memikul seorang gelandangan sakit, yang dipungutnya dari pinggir jalan. Ia akan membaringkannya dengan segala hormat di tempat tidurnya sendiri. A. III. Agama Pada tahun 1682 berlangsung sebuah sidang Gereja Perancis yang mengesahkan keinginan-keinginan raja Louis XIV. Akibatnya, raja menerima bukan saja lebih banyak penghasilan dari harta benda Gereja, melainkan juga lebih banyak kuasa pengangkatan. Sama seperti di dalam tentara dan pemerintahan, demikian juga pada pengangkatan seorang uskup atau seorang klerus yang berkedudukan tinggi dalam keuskupan, lebih sering hubungan keluarga dan berbagai macam sekongkol diperhitungkan, daripada kelayakan dan kepandaian. Maka hal-hal ini juga sudah merupakan keterangan pertama mengapa Montfort dengan sikap hidup injilinya yang keras seringkali bertabrakan dengan orang-orang, bahkan dengan para rohaniwan yang lebih tinggi, yang tidak terlalu peduli dengan semuanya itu. Di samping itu, “kesetiaan Montfort kepada Roma” merupakan bagi mereka argumen tambahan untuk menjauhkannya secepat mungkin dari lingkungan mereka. Dalam “kenangannya” tentang Grignion, sahabatnya Kanunik Blain menulis, “Pater Montfort taat kepada Paus dan ia kembali ke tanah airnya untuk memulai kembali karyanya di sana dan menyerahkan 6 dirinya kepada penganiayaan baru, yang ia jumpai hampir pada setiap langkah. Hal ini dapat dimengerti setelah mendengarkan segala sesuatu yang sudah saya katakan. Karena seorang yang begitu setia kepada Takhta Suci, yang begitu takluk kepada perintah Bapa Suci dan yang begitu mengenggankan ajaran sesat dari Quesnel, tentu tidak diterima dengan senang hati oleh para pengikutnya. Selanjutnya hal ini sekaligus merupakan satu dari antara sebab-sebab perlawanan dan penganiayaan yang dialaminya di beberapa keuskupan, kendati cara hidupnya yang suci dan tanpa cela”. Jadi Kanunik Blain tidak hanya menunjuk kepada sikap Montfort “kesetiaan kepada Roma”, melainkan juga kepada kenyataan bahwa dia tidak setuju dengan Quesnel, yang pada zaman Montfort terkenal sebagai pemimpin aliran “yansenisme” di Perancis. Aliran yansenisme mengambil namanya dari Cornelius Jansen, yang dilahirkan di Acquoy di Betuwe (Belanda). Dia adalah profesor di Leuven dan meninggal tahun 1638 sebagai uskup Ieper. Di ranjang kematiannya ia minta kepada para sahabatnya di Universitas Leuven: Calenus (Hendrik van Calen dari Beringen) dan Fromundus (Libert de Froidemont dari Haccourt) untuk memeriksa dan menerbitkan manuskripnya “Augustinus”. Ini terjadi tahun 1640. Secara singkat: Quesnel menekankan bahwa manusia adalah manusia yang berdosa dan karena itu tidak layak menerima Sakramen-sakramen, khususnya Sakramen Pengakuan dosa dan Sakramen Ekaristi. Manusia yang mengaku dosanya ternyata sering jatuh lagi dalam yang sama, maka, menurut pendapat Quesnel, manusia menghina Sakramen itu, tidak setia pada janji memperbaiki diri. Lebih baik manusia mengaku dosanya pada akhir hidupnya saja.. Manusia demikian tentu saja tidak layak menerima Sakramen Ekaristi. Bagi kaum yansenis Gereja lebih merupakan “umat Allah” sendiri daripada “lembaga hirarkis”. Itu dapat ditafsirkan secara baik juga, tetapi sedikit demi sedikit mereka mengajukan tuntutan yang begitu tinggi kepada “umat Allah” itu, sehingga praktis tak seorangpun masih layak untuk menerima sakramen-sakramen, sementara mereka juga tidak menghiraukan kebutuhan “orang biasa” akan manifestasi lahiriah imannya. Di pihak lain berdiri para penganut Gereja yang terstruktur dengan seorang paus di atas semua orang lain, dengan dogma-dogma yang mempunyai garis-garis yang jelas, dsb. Tentu saja mereka juga menempatkan Yesus Kristus sebagai tujuan akhir bagi dirinya sebagai orang kristiani, tetapi mereka memerlukan alat-bantu untuk mencapai tujuan akhir itu misalnya penghormatan orang suci, terutama penghormatan Maria, sering menerima Sakramen-Sakramen, dsb. Dan seperti biasa terjadinya, di kedua belah pihak terdapat sikap berlebihlebihan, yang justru timbul karena reaksi terhadap satu sama lain, sehingga dari satu pihak Bapa Suci harus mengeluarkan kutukan terhadap aliran yansenisme dan di pihak lain Pascal bisa menulis suratsuratnya “Les Provinciales” yang menggigit melawan segala macam praktik yang mirip “takhayul”, yang didorong dan dianjurkan oleh para Pater Yesuit dan pengikut-pengikutnya. Ajaran buku ini tentang rahmat menurut Santo Agustinus akan memecah Gereja Katolik ke dalam dua kelompok di tahun-tahun berikutnya, terutama di daerah Belanda, Belgia dan Perancis: dengan di satu pihak universitas Leuven, Sorbonne di Paris, Port Royal, SaintCyran, keluarga Arnaud, Pascal, dst.- dan di pihak lain terutama para pater Yesuit dan Saint-Sulpice dengan para mahasiswanya. Roma mengeluarkan berbagai kutukan terhadap pendapat “Augustinus”, tetapi para pendukung selalu meragukan apakah diri mereka sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang terkena kutukan itu. Tahun 1693, tahun Montfort pergi ke Saint-Sulpice, Quesnel menerbitkan sebuah buku yang terdiri dari empat jilid, “Réflexions morales sur le Nouveau Testament” dalam semangat “yansenistis”. Hal ini menimbulkan kembali pertentangan yang tajam dan Quesnel menjadi pemimpin rohani kaum yansenis. Louis XIV yang mendukung galikanisme atau “Lepas dari Roma” selama hal itu menguntungkan dirinya, kini menghimbau Paus Klemens XI untuk mengutuk aliran yansenisme, tidak terutama karena didorong motif agama, melainkan lebih karena hal itu menimbulkan perpecahan di dalam kerajaannya. 7 8 Tahun 1705 Bapa Suci mengeluarkan kutukan itu melalui bulla “Vineam Domini”. Setahun sesudah itu misionaris rakyat Perancis Grignion de Montfort berlutut di depan Bapa Suci yang sama dan bertanya apa yang harus dibuatnya. Kanunik Blain mencatat, “Paus Klemens XI yang suci ini, yang sangat rajin bertindak melawan bidaah-bidaah baru yang disebarkan di seluruh Perancis dan yang dengan begitu baik dan sabar menerima penghinaan yang terus menerus dari musuh-musuh Konstitusinya dan Gerejanya, berpendapat bahwa imam yang rendah hati ini tidak bisa berbuat lebih baik daripada kembali ke negeri asalnya untuk di sana dengan tekun melawan majunya ajaran baru”. Tetapi tetap nyata juga bahwa Grignion de Montfort telah bekerja dalam situasi yang sulit. Pada waktu itu ada banyak aliran dalam Gereja yang bertabrakan satu sama lain seperti sekarang juga masih ada. Terlepas dari pendapat tentang rahmat, para penganjur “Augustinus” misalnya meletakkan tekanan pada Yesus Kristus sedemikian rupa, sehingga mereka secara perlahan-lahan menjadi lawan antara lain dari penghormatan terhadap Maria, hal mana pasti tidak bisa dikatakan tentang Yansenius, Calenus, Fromundus, dsb.! La Rochelle, die mana Montfort a.l. mendirikan sekolah bagi orang miskin, adalah salah satu kota di Perancis yang paling mencintai kemerdekaan. Oleh karena itu, kota ini terus-menerus terlibat dalam konflik dengan pemerintah Perancis. Konflik semakin besar, ketika di masa reformasi para raja Perancis tetap tinggal Katolik dan La Rochelle menjadi salah satu benteng agama Protestan. Para penganutnya menamakan diri “Hugenot”, mungkin berasal dari kata “Eiguenots”, ucapan Jeneva dari “Eedgenoten”. Paling tidak ajaran Kalvin mendapat pengikut yang banyak di La Rochelle, terutama di kalangan kaum bangsawan dan pengusaha perkapalan yang kaya, yang namakan kota itu “Jeneva Perancis”. Kaum Hugenot juga merupakan sebuah partai politik yang berkuasa di Perancis, terutama di sekeliling de Coligny, dengan sebagai lawannya Liga Katolik di bawah pimpinan de Guise. Dari situ timbul perang agama dalam negeri dengan pembunuhan- pembunuhan yang paling menjijikan dari kedua belah pihak seperti Malam Bartolomeus tahun 1572, ketika antara lain de Coligny dibunuh. Untuk menguatkan kekuasaan Louis XIV hanya memperbolehkan satu agama di dalam kerajaannya, sama seperti negara-negara protestan lain. Ia merampas hak-hak istimewa terakhir kaum Hugenot dan tahun 1685 ia membatalkan Edict Nantes yang menjanjikan kebebasan agama. Kaum Hugenot kini harus memilih bertobat menjadi Katolik atau meninggalkan negara. Karena galikanismenya, Louis XIV memilih orang yang mematuhinya, dan menempatkan mereka sebagai pastor atau uskup, terlepas dari pertanyaan apakah orang itu mempunyai panggilan sebagai gembala umat. Maka umat katolik juga terlantar, tidak diperhatikan dan tidak menggereja lagi. Gedung-gedung gereja tidak dapat diperbaiki atau dipelihara, karena atau pastor tidak peduli dengan situasi itu atau tidak mempunyai uang untuk itu. Oleh karena itu, sering kita melihat Montfort memperbaiki gereja-gereja dan kapel-kapel. 9 10 A. IV. Montfort Dalam situasi seperti digambarkan di atas, St. Montfort bekerja sebagai pengkhotbah Kabar Gembira. Ia berkeliling dari paroki yang satu ke paroki lain, tetapi selalu karena diundang pastor paroki atau karena diutus seorang uskup. Bersama dengan beberapa teman, Montfort memimpin suatu retret umum selama beberapa minggu bagi seluruh warga paroki, yang terbagi dalam kelompok-kelompok: anakanak, para remaja, pria, wanita, tentara, dst. . Semua tema yang penting ajaran Gereja dibahas dalam khotbah dan dinyanyikan dalam kidungkidung yang digubahnya sendiri. Semua tema dapat disatukan di bawah satu judul umum: “Melalui Santa Perawan Maria, Yesus Kristus telah datang ke dunia. Melalui Maria pulalah Dia harus berkuasa di dunia”. Kepada semua orang yang telah mengikuti seluruh retret itu, diberi kesempatan untuk memperbaharui janji-janji baptis. Rupanya suatu cara kerja yang ampuh untuk menjadi Gereja yang hidup: “Tahun 1763 Pater Besnard berkhotbah di St-Christophe itu. Masih hidup waktu itu sejumlah orang yang pada masa mudanya telah mengikut misi dari Grignion de Montfort, dan ternyata bagaimana sang misionaris, setelah lima puluh tahun, masih tetap hidup terus dalam banyak cerita.” “Ketika Pastor Grandet, penulis riwayat hidup Montfort yang pertama, mengunjungi kampong Séguinière itu tahun 1721, Pastor Keating masih tetap menjabat sebagai pastor paroki dia menceritera, “Umat di sini memegang janji mereka. Sekarang ini, mereka masih setia berdoa rosario setiap malam di dalam gereja... Sampai kini pun di semua keluarga di La Séguinière, rosario didoakan setiap hari secara pribadi atau bersama-sama”. “Hasil paling mengesankan adalah bahwa Roussay, desa para pemabuk, berkembang menjadi masyarakat yang patut diteladani, di mana dari generasi ke generasi diceritakan peristiwa-peristiwa yang paling hebat mengenai misionaris asal Bretanye itu”. Picot de Clorivière memberi kesaksian mengenai retret die Saint-Lô, “Ia (montfort) berhasil menangkap perhatian, tak tertahankan menguasai para pendengarnya dan memaksa mereka memperbaiki hidupnya. Hal ini disaksikan oleh sejumlah besar orang yang telah mendengar dia; juga hasil di bidang rohani yang kadang-kadang mendekati mukjizat membuktikan lebih dari cukup suksesnya”. Tahun 1755, jadi empat puluh tahun setelah Montfort tinggal di SaintLô, Pastor François yang sudah tua dan telah menjadi pastor kepala di situ, memberikan kesaksian ini, “Tidak mungkin saya mengatakan berapa banyak kebaikan yang telah dilakukan oleh Pater Montfort, betapa banyak pertobatan telah dihasilkannya dan betapa besar beraninya menghayati keutamaan-keutamaan. Ia telah mempengaruhi begitu kuat jemaat paroki kami, sehingga sekarang ini banyak orang masih menjalani hidup yang suci sebagai buah yang tetap dari pengajarannya.” 11 B LATAR BELAKANG: zaman kita B. I. Politik Pemerintah agak stabil dalam arti bahwa tidak sering digulingkan secara revolusioner, tetapi tidak kuat dan tidak mampu mengatasi kekerasan dan kemiskinan dalam masyarakat. Korupsi merajalela. Pegawai Pemerintah yang ‘bersih tangannya’ sulit ditemukan. B. II. Sosial Jurang antara golongan kaya dan orang miskin semakin jadi dan semakin terasa. Banyak pengemis. Banyak orang yang hidup di bawah standar sosial nasional. Banyak orang yang di-PHkan, kemudian menganggur. Hampir tidak ada investasi dari pihak luar negeri. Pengusiran orang kecil demi pembangunan dari pihak yang bermodal. Para tunawisma semakin bertambah. Demikian jumlah orang yang menjadi korban narkoba. B. III. Agama Kebebasan agama ada, tetapi perang antaragama sering terjadi. Negara Islam tetap suatu bahaya yang realistis. Karena merasa tidak puas dalam agamanya banyak orang dengan mudah meninggalkan gereja atau pindah ke agama atau aliran lain. Jumlah imam-imam dan kaum religius yang bermasalah semakin bertambah. Mutu pendidikan menjadi imam, gembala umat dapat dipertanyakan. Kesadaran dan keyakinan akan peranan Bunda Maria dalam karya keselamatan Tuhan merosot, gejalanya: sulit mencari anggota Legio Maria, mata kuliah Mariologi di FF universitas katolik dihapus, keinginan membaktikan keluarga kepada Yesus melalui Maria ditertawakan seorang abas, bentuk rosario semakin mini, devosi kepada 12 Bunda Maria sering tergolong dalam jenis devosi yang oleh St. Montfort disebut ‘semu’ (BS 92-103). Semua gejala ini mirip sekali dengan apa yang dialami Gereja Eropa Barat tahun 1960-an. Akibatnya sudah dapat ramalkan. Kalau bukan Maria lagi mengantar kita kepada Kristus...? C. MENJADI GEREJA YANG HIDUP Dapatkah Montfort membantu kita menjawab pertanyaanpertanyaan tertentu yang timbul dalam manusia kini? Akibat kemajuan dalam bidang materi, banyak orang dalam masyarakat modern menganggap iman kristiani sudah tidak berguna lagi. Mereka bertanyatanya apa yang dapat ditawarkan oleh iman untuk membuat mereka lebih sejahtera. Dunia tidak lagi dilihat sebagai karya ciptaan Allah, melainkan hanya sebagai wilayah kerja manusia dan sebagai sarana untuk dimanfaatkan oleh manusia. Walaupun pandangan ini seakanakan menimbulkan kekosongan dalam hati banyak orang, ternyata dalam lubuk hatinya manusia masa kini pun masih memiliki kebutuhan religius yang sangat mendasar. Situasi aktual menantang manusia untuk bertanya dengan lebih jelas pada diri sendiri apa artinya menjadi manusia beriman. Apakah Montfort dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan ini? tanpa harapan. Manusia modern secara khusus membutuhkan Allah yang dialaminya sebagai sangat dekat. Apakah ada sesuatu di sini yang dapat disumbangkan oleh Montfort kepada kita? Pertama-tama kita perlu menyadari bahwa Montfort, walaupun hidup dalam abad ke-17 dan 18, sebetulnya masih menghayati hidup dan berpikir dengan pola abad pertengahan yang teosentris. Manusia maupun dunia belum dihargai menurut nilai otonominya sendiri. Selain itu, Montfort sebagaimana semua orang juga dipengaruhi oleh semangat zamannya. Walaupun Montfort menentang bidaah Yansenisme, ia toh kecipratan sedikit olehnya. Cara Montfort berbicara mengenai keburukan manusia dan dunia bagi banyak orang sekarang terkesan aneh. Namun bila kita berhasil menerobos keterikatan Montfort pada kebudayaan sezamannya, kita akan menemukan bahwa dunia dan manusia mempunyai tempat yang dekat di hatinya. Dengan cara yang mengagumkan ia memperlihatkan bahwa keselamatan dunia tidak begitu saja jatuh dari surga. Kendati doa selalu diperlukan, keselamatan yang dari Allah hanya datang melalui manusia. Itulah sebabnya Montfort begitu giat memperjuangkan nasib orang-orang miskin di dunia. Ia juga menganggapnya perlu untuk mencari pembantupembantu pria dan wanita untuk membawa keselamatan Allah dekat pada manusia. Allah dekat pada kita Pengaruh zaman Manusia masa kini cenderung bekerja sendiri untuk mengembangkan dirinya maupun dunia sekitarnya, dengan bantuan penemuan ilmu dan teknik, juga melalui undang-undang sosial yang lebih baik dan melalui organisasi-organisasi sosial. Sementara itu ada sejumlah orang yang menemukan bahwa pembebasan sejati manusia dan pembebasan dunia tidak dapat terlaksana tanpa Allah. Tanpa hubungan dengan Allah manusia seringkali merasa tak berdaya dan Dalam cara bicara Montfort tidak jarang cukup negatif terhadap nilai-nilai dunia. Sebenarnya melalui gaya bahasa seperti itu ia ingin mewartakan bahwa "hanya Allah" merupakan bagi dia nilai tertinggi dan paling utama dalam hidup. Montfort membawa pesan yang cukup jelas bagi mereka yang menyembah nilai-nilai duniawi sebagai tujuan tertinggi. Dengan pesan itulah ia pernah menggugah hati orang pada zamannya sendiri dan masih terus menggugah hati orang sampai sekarang. Dalam diri Kristus menjadi jelas bagi Montfort bahwa Allah 13 14 mau membagikan milik-Nya, malahan hidup-Nya dengan manusia. Melalui jalan itu Allah mendekatkan diri pada manusia secara total. Bagi setiap orang yang mengenal Montfort jelas sekali bahwa gagasan Kebijaksanaan Ilahi sangat digemari Montfort. Dalam misteri Allah yang menjelma menjadi manusia, dalam Putra Allah yang menyelesaikan puncak tugas-Nya di kayu salib, Montfort mengalami kedekatan Allah dengan cara yang sungguh berkesan di hatinya. Ia menghayati kedekatan ini dalam doa dan kontemplasinya. Itulah sebabnya Montfort begitu kuat menekankan unsur ini. Apa yang diwartakannya berlaku untuk abad ke-18, tetapi juga masih merupakan pesan inti pewartaan Injil sekarang. Dari sudut ini perlu kita juga melihat tempat penting yang menurut Montfort dalam karya keselamatan diberikan kepada Maria. Juga dalam diri Maria Montfort mengalami Allah sebagai yang sungguh dekat, dan seperti itulah ia juga ingin mewartakan Allah kepada kita. Maka menurut hemat saya, yang paling hakiki dalam seluruh bakti Montfort kepada Maria bukanlah tempat dan perhatian yang disediakan bagi Maria dalam tulisan-tulisannya, melainkan kedekatan Allah pada manusia, sebagaimana menjadi kelihatan dan terasa dalam diri Maria dan akhirnya dalam Yesus. Allah yang menghadirkan cinta dan pengharapan Jika kita peka untuk apa yang dibutuhkan manusia zaman ini, kita menemukan suatu paradoks. Dari satu pihak manusia modern lebih dari pernah sebelumnya terserang oleh gejala kesepian. Karena itu banyak orang merindukan kasih sayang dan afeksi. Dari lain pihak lebih dari pernah di masa lampau manusia dipanggil untuk bertanggung jawab bersama dan menunjukkan solidaritas. Istilah seperti "bersama-sama" hampir-hampir mendapat suatu nilai magis. Oleh karena itu sebaiknya ditekankan dalam riwayat hidup Montfort bahwa hidupnya bersandar pada Allah yang solider dengan manusia. Allah tidak membiarkan manusia merana. Montfort jelas sekali menghayati hal ini dalam 15 kesetiakawanannya dengan orang-orang miskin. Dalam periode terakhir hidupnya, Montfort dengan jelas berbicara mengenai Allah yang dalam Kristus mewahyukan diri sebagai cinta yang menjelma. Zaman kita juga ditandai oleh paradoks yang lain. Banyak orang percaya bahwa umat manusia akan menjadi sama sekali bebas di masa mendatang. Mereka siap sedia untuk melibatkan diri sepenuhnya agar kebebasan ini tercapai, malahan dengan menimbulkan revolusi. Sementara itu juga ada orang lain yang tidak percaya lagi akan masa depan yang cerah. Baik dalam hidup pribadi maupun dalam hidup bermasyarakat mereka merasa sangat kecewa. Kemakmuran material ternyata tidak menjamin kebahagiaan manusia secara memadai. Selain itu mereka prihatin mengenai lomba persenjataan, mengenai pencemaran alam: air, udara, tanah. Mereka bertanya-tanya apakah hidup di bumi ini nanti masih mungkin dilestarikan. Justru bagi kelompok terakhir ini Montfort mempunyai suatu pesan yang aktual. Pengalaman rohaninya bersandar pada keyakinan bahwa kebaikan akhirnya akan mengalahkan yang jahat. Montfort melihat dirinya terbawa oleh arus besar keselamatan yang dari Allah, yang mulai dengan panggilan Abraham dan mencapai puncaknya dalam terobosan kepenuhan pada diri Yesus Kristus, dan yang sejak peristiwa Pentekosta melalui sejarah umat kristiani mengalir menuju penyempurnaannya kelak. Berdasarkan keyakinan mendalam ini Montfort berdoa bagi "para rasul zaman akhir" dan ia mencari pembantu-pembantu yang dipenuhi dengan semangat para rasul ini. Tidak ada apapun yang pernah berhasil menggugurkan keyakinan ini pada diri Montfort, entah itu kekecewaan berat atau kegagalan besar yang ia alami selama hidupnya. Ia tampil di hadapan umat sebagai nabi sejati yang menyerukan pertobatan, namun yang sekaligus hidup dari pengharapan bahwa Allah akhirnya akan menang. Bagi Montfort Maria menjadi saksi pengharapan ini. C. I. Pembaktian diri 16 Montfort menyebut lima kebenaran dasar dari Bakti Sejati (BS no. 61 89): 1. - Yesus Kristus adalah tujuan akhir segala bakti kita. 2. - Kita adalah hamba milik Yesus Kristus... dan milik Maria. 3. - Untuk menjadi satu dengan Yesus Kristus, kita harus a- mengosongkan diri dari segala sesuatu yang buruk, b- mengenal diri kita melalui terang Roh Kudus, c- mati terhadap diri kita sendiri, d- memilih devosi kepada Maria sebagai sarana yang paling ampuh. 4. - Kita memerlukan seorang penengah pada Pengantara kita, Yesus Kristus, yaitu Maria. 5. - Kita menyimpan harta kita dalam bejana yang rapuh: sebab itu percayakanlah harta itu kepada Maria. Sifat-sifat bakti sejati terhadap Maria: Bakti sejati kepada Santa Maria bersifat batin, artinya ia keluar dari budi dan dari hati, dan bertumbuh dari rasa hormat terhadap Santa Maria, dari penghargaan besar yang ditaruh kepada keagungannya, dan dari cinta terhadap Maria (Lh BS 106). Bakti terhadap Maria itu lembut, artinya ia penuh kepercayaan akan Santa Maria, seperti seorang anak penuh kepercayaan akan ibunya yang baik. Ibadat ini mendorong seorang agar dengan polos, penuh kepercayaan dan kemesraan, ia mencari perlindungan Maria dalam semua kebutuhan rohani dan jasmaninya. Selalu dan di mana-mana, dalam segala keadaan ia berdoa memohon pertolongan ibunya: dalam keragu-raguannya, supaya diteranginya; dalam penyimpangannya, supaya dikembalikan lagi ke jalan yang benar. Bunda suci ini harus menopangnya dalam godaan, menguatkannya dalam kelemahan, menegakannya bila ia jatuh. Pada saat-saat putus asa Bunda Maria akan menyemangatkannya lagi. Ketakutan-ketakutan yang mengganggu batinnya dihilangkannya, dan ia menghiburnya di waktu ada salib, 17 kecemasan dan segala suka duka hidupnya. Pendek kata, dalam segala sesuatu yang menimpa jiwa raganya, Maria selalu menjadi tempat perlindungan baginya. Tanpa perlu takut bahwa ia merepotkan ibu yang baik ini, atau tidak berkenan pada Tuhan Yesus Kristus (Lh BS 107). Bakti sejati kepada Santa Maria ini selalu suci, selalu mendorong suatu jiwa untuk mengelakkan dosa, meniru kebajikan-kebajikan Santa Maria, terutama kerendahan hatinya yang mendalam, iman yang hidup, ketaatan yang buta, doa terus menerus, tapa yang tuntas, kemurnian yang suci, cinta yang berkobar-kobar, kesabaran yang perwira, kelembutan hati seperti malaikat dan kebijaksanaan yang surgawi. Ini 'kan kesepuluh kebajikan yang utama dari Perawan tersuci (Lh BS 108). Bakti sejati kepada Santa Maria bersifat teguh: mengokohkan suatu jiwa dalam yang baik, dan menjadikan orang itu tidak cepat mengabaikan doa-doa kebaktiannya. Karenanya ia dikuatkan dalam menolak dunia beserta kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangannya, dalam melawan daging bersama kehampaan dan nafsu-nafsunya, dalam melawan setan dan godaan-godaannya. Seorang penghormat sejati dari Santa Maria sama sekali tidak cepat berubah-ubah, sedih, penakut atau suka cemas. Memang, dia juga kadang-kadang tersandung, dan ada saat-saat kering dalam devosinya. Tetapi bila ia jatuh, ia mengulurkan tangannya kepada ibunya yang baik, lalu bangun lagi. Dan jika ia tanpa semangat, dan ibadatnya menjadi hambar, ia tidak menjadi cemas. Seorang abdi Maria yang jujur dan setia, hidup berdasarkan imannya akan Yesus dan Maria, dan bukan dari perasaan inderawinya (Ibr 10:38-39) (Lh BS 109). Akhirnya, bakti sejati kepada Santa Maria itu tidak mencari untung diri; artinya: di bawah pengaruhnya orang tidak mencari diri sendiri, melainkan Allah saja dalam diri ibu-Nya yang suci. Seorang penghormat Maria yang sejati, mengabdi ratu mulia ini, bukan untuk keselamatannya yang fana ataupun yang abadi, yang jasmani atau 18 rohani, tetapi semata-mata sebab Maria layak diabdi, dan hanya Allah di dalam dia. Ia mencintai Maria bukan pertama- tama karena anugerah-anugerah yang diperolehnya dari dia atau diharapkannya, melainkan karena Maria pantas dicintai. Karena itu, ia sama setianya mencintai dan mengabdi Maria di waktu mengalami hiburan yang manis dan bersemangat. Ia sama mencintai Maria di atas gunung Kalvari seperti pada pesta pernikahan di Kana. Alangkah berkenan dan penuh hormat, pandangan Allah dan bunda-Nya tertuju kepada seorang penghormat Maria, yang mengabdinya tanpa cinta diri sedikitpun. Tetapi zaman sekarang jarang sekali terdapat orang yang demikian itu! Justru supaya untuk selanjutnya muncul lebih banyak orang-orang yang demikian ini, saya mulai menuliskan apa yang telah dengan sukses kuajarkan bertahun- tahun selama karya misiku, dalam khotbah dan wawancara pribadi (Lh BS 110). Inti pembaktian diri: Penyerahan diri seutuhnya kepada Maria: dengan badan, jiwa dan segala sesuatu yang kita miliki, supaya dia membaginya kepada orang yang dia rasa baik dan demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Kesimpulan: 1º Orang memberikan dirinya dengan cara yang paling sempurna kepada Kristus. 2º Melepaskan hak guna nilai karya amalnya. 3º dan membaktikan diri kepada Maria sebagai sarana dan kepada Yesus Kristus sebagai tujuan akhir (Lh BS 121-125). Terutama dalam rumusan pertama yang tercantum di bawah ini, juga yang paling panjang, Montfort dengan jelas menyatakan bahwa Pembaktian Diri yang ia anjurkan, merupakan suatu pembaharuan janji-janji Baptis. Maka rumusan tersebut paling sesuai dengan kata pengantar sebagaimana ia menguraikannya dalam Bakti Sejati nr. 115-128. Pembaktian Diri Kepada Yesus Kristus, Kebijaksanaan Yang Menjelma Menjadi Manusia, Melalui Tangan Maria. Kebijaksanaan Abadi yang menjelma menjadi manusia, Yesus yang sangat kucintai dan kusembah, sungguh Allah dan sungguh manusia, Putra tunggal Bapa abadi dan Maria Perawan selalu. Aku menyembah Engkau dalam pangkuan dan kemuliaan Bapa-Mu sepanjang segala masa dan dalam rahim Perawan Maria, Ibu-Mu yang sangat pantas di saat penjelmaan-Mu. Aku bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah mengosongkan diri-Mu dan mengambil rupa seorang hamba (Fil 2:7) untuk melepaskan daku dari perbudakan kejam setan. Aku memuji dan memuliakan Dikau, karena Engkau begitu baik hati, karena Engkau dalam segala-galanya tunduk kepada Maria, Ibu-Mu yang suci untuk membentuk aku melalui dia menjadi hamba-Mu yang setia. Tidak ada rumusan tetap untuk membaktikan diri. Santo Montfort menyajikan berbagai rumusan. Ia membedakan antara Pembaktian Diri yang diucapkan untuk pertama kalinya dan Pembaharuannya. Berikut ini bebagai rumusan Pembaktian Diri karangan Santo Montfort sendiri dan suatu rumusan lain. Tetapi sayang, aku seorang manusia yang tidak tahu berterima kasih dan tidak setia. Aku tidak memenuhi janji-janji yang telah kuucapkan dengan khidmat pada hari pembaptisanku dan juga tidak memenuhi niat-niatku yang telah kubuat. Aku tidak melaksanakan kewajiban-kewajibanku. Aku tidak pantas disebut anak-Mu atau hamba-Mu. Dan karena tidak ada sesuatu pun di dalam diriku yang tidak menimbul- 19 20 RUMUSAN PEMBAKTIAN DIRI kan amarah dan murka-Mu, maka aku sendiri tidak berani menghadap Sri Baginda yang suci dan mulia. Oleh karena itu, aku berlindung pada bantuan belas kasihan ibu-Mu yang amat suci, yang Kauberikan kepadaku sebagai perantara. Melalui perantaraannya, aku berharap memperoleh penyesalan dan pengampunan dosa-dosaku, supaya Kebijaksanaan tetap tinggal dalam aku. Oleh karena itu, aku memberi salam padamu, Maria yang tak bernoda, kenisah Allah yang hidup, tempat di mana Kebijaksanaan Abadi menyamar dan ingin disembah oleh malaikat dan manusia. Salam padamu, ya Ratu surga dan dunia. Segala-galanya tunduk kepada kekuasaanmu, segala-galanya yang tunduk pada Allah. Salam padamu, perlindungan orang berdosa. Kerahimanmu tak pernah meninggalkan seorang pun. Dengarkanlah kerinduanku untuk memperoleh Kebijaksanaan Ilahi dan oleh karena itu, terimalah janji-janji dan persembahan-persembahan yang aku, hamba bersahaja, serahkan padamu. “Aku...... pendosa tidak setia, memperbaharui dan meneguhkan janji-janji baptisku dalam tanganmu, pada hari ini. Untuk selamanya aku menyangkal Setan, segala kesia-siaannya dan perbuatan-perbuatannya; aku menyerahkan diriku seluruhnya kepada Yesus Kristus, Kebijaksanaan yang menjelma, untuk memikul salibku mengikuti Dia segala hari hidupku supaya menjadi lebih setia kepadaNya dari pada sampai sekarang. Di hadirat semua orang kudus, hari ini aku memilih engkau, ya Maria, menjadi Ibuku dan Ratuku. Sebagai hambamu, aku menyerahkan dan membaktikan kepadamu: tubuhku dan jiwaku, segala milikku yang rohani maupun jasmani, termasuk juga nilai pahala dari setiap perbuatanku yang baik di masa lampau, kini dan kelak. 21 Aku memberi hak kepadamu untuk menggunakan diriku dan segala yang kumiliki, sekehendakmu, tanpa pengecualian, agar Allah semakin dimuliakan kini dan sepanjang masa. Ya Perawan yang manis, terimalah persembahan kecil perhambaanku ini untuk menghormati dan meniru ketaatan yang dipilih oleh Kebijaksanaan Abadi terhadap engkau, Ibu-Nya. Untuk menghormati kekuasaan yang kamu berdua miliki atas ulat tak berdaya dan pendosa malang ini; sambil bersyukur atas kasih karunia yang dicurahkan Allah Tritunggal kepadamu. Aku menyatakan bahwa aku selanjutnya selaku hamba sejati akan mencari kemuliaanmu dan menaati engkau dalam segala-galanya. Ya Ibu yang pantas dikagumi, hantarlah aku kepada Putramu tercinta sebagai hamba abadi, supaya Ia yang telah menyelamatkan aku melalui engkau, juga menyambut aku melalui engkau. Ya, Perawan yang berbelaskasihan, berikanlah aku rahmat untuk memperoleh Kebijaksanaan sejati dari Allah dan kurniakanlah aku agar ditambahkan kepada jumlah mereka yang kaucintai dan kaudidik, yang kaupelihara dan kaubimbing dan yang kaulindungi sebagai anak-anak dan hamba-hambamu. Ya Perawan yang setia, jadikanlah aku dalam segala-galanya seorang murid, pengikut dan hamba sempurna Kebijaksanaan yang menjelma, Yesus Kristus, Putramu, supaya dengan bantuanmu dan dengan mengikuti teladanmu, pada suatu hari aku akan mencapai kedewasaan penuh Yesus Kristus di sini, di dunia dan dalam kemuliaan surgawi (Ef 4:13). Amin. (Dari: Cinta dari Kebijaksanaan Abadi, no. 223-227) Ikhtisar Doa Pembaktian Diri Aku yang tidak setia dan berdosa, 22 membaharui dan menguatkan di dalam tanganmu, ya Maria, janji-janji Baptisku. Aku meninggalkan untuk selamanya setan, kesia-siaannya dan karya-karyanya, dan memberikan diriku seutuhnya kepada Yesus Kristus, Kebijaksanaan yang telah menjadi manusia, untuk memanggul salibku setiap hari, dan mengikuti dia. Agar tetap setia dalam hal ini, lebih dari sebelumnya, aku memilihmu hari ini, ya Maria, menjadi Bunda dan Ratuku. Sebagai hamba yang setia aku memberi dan membaktikan kepadamu badanku dan jiwaku, harta rohani dan jasmaniku yang dahulu, kini dan yang akan datang. Aku memberikan kepadamu hak penuh untuk tanpa kecuali menggunakan diriku dan segala milikku, menurut pendapatmu, agar Allah semakin dimuliakan dalam waktu dan keabadian. Pembaktian Diri Singkat Montfort mengajak kita membaharui pembaktian diri kita tiap hari dengan formula yang singkat: Ya Yesus, aku miliki-Mu semata-mata dan segala milikku kupersembahkan kepada-Mu, lewat Maria, Ibu-Mu yang suci. (Dari: Bakti Sejati, no. 233) C. II. Yang diajarkan St. Montfort 23 Pembaharuan janji-janji Baptis Pembaharuan janji-janji Baptis, dan pelaksanaannya adalah sarana yang ampuh untuk menjadi Gereja yang hidup. St. Montfort: “Semakin orang dibaktikan kepada Maria, semakin pula dia dibaktikan kepada Yesus Kristus. Maka dari itu juga... bakti yang saya wartakan merupakan suatu pembaharuan yang sempurna dari ikrar dan janji Sakramen Pembaptisan” (Lh BS 120). “Seperti telah saya kemukakan, bakti ini dengan tepat sekali dapat disebut sebagai suatu pembaharuan sempurna dari ikrar atau janji-janji pembaptisan suci. Karena sebelum pembaptisannya setiap orang Kristiani adalah hamba setan: waktu itu ia sungguh miliknya. Namun pada saat pembaptisan, secara pribadi atau melalui wali baptisnya, secara meriah ia menolak setan, perbuatan dan kesia-siaannya; ia telah memilih Yesus Kristus menjadi Gurunya dan Penguasanya yang mutlak untuk bergantung pada-Nya selaku hamba kasih. Nah, itulah yang juga dibuat melalui bakti ini. Seperti diungkapkan dalam rumusan pembaktian diri, orang menolak setan, dunia, dosa dan diri sendiri, serta menyerahkan diri seutuhnya kepada Yesus Kristus melalui tangan Maria. Malahan dalam devosi ini orang berbuat lebih banyak daripada di saat pembaptisan. Pada saat pembaptisan biasanya orang berbicara melalui mulut orang lain, yaitu para wali baptis, dan orang menyerahkan diri kepada Yesus Kristus hanya melalui orangorang yang mewakilinya. Tetapi di dalam devosi ini orang bertindak secara pribadi, dengan sukarela dan dengan penyadaran tentang apa yang sedang berlangsung. Pada saat pembaptisan pula kita tidak menyerahkan diri kita melalui tangan Maria kepada Yesus Kristus, sekurang-kurangnya tidak secara jelas. Kita juga tidak menyerahkan nilai karya amal kita kepada Yesus Kristus; setelah pembaptisan kita tetap bebas sepenuhnya untuk menerapkannya kepada siapa saja atau menyimpannya untuk diri sendiri. Tetapi melalui devosi ini kita 24 menyerahkan diri kita secara tegas melalui tangan Maria kepada Tuhan dan membaktikan nilai dan seluruh tindak-tanduk kita kepada-Nya” (Lh BS 126). Menurut para kudus dan banyak orang-orang terkemuka, orang dapat menyebut dirinya hamba cinta kasih dari Perawan Maria, dan membaktikan diri kepadanya secara itu, supaya menjadi seorang hamba yang lebih baik lagi dari Yesus Kristus. Perawan Maria adalah sarana yang dipakai Tuhan untuk sampai kepada kita. Kita harus menggunakan sarana yang sama itu juga untuk sampai kepada Dia. Bila kita melekat kepada makhluk-makhluk lain, mungkin kita dijauhkannya dari Tuhan dan bukan didekatkan. Tetapi tidak demikian halnya dengan Maria, tak ada yang lebih dirindukannya daripada mempersatukan kita dengan Puteranya: Yesus Kristus. Tak ada sesuatu yang lebih disukai Puteranya, daripada melihat kita datang kepada-Nya melalui bunda-Nya yang kudus. Dengan cara ini kita memuliakan dan menggembirakan Dia, sama seperti seorang raja merasa dihormati dan bergembira jika seseorang memberikan dirinya selaku hamba kepada Sang Ratu, supaya menjadi seorang bawahan dan hamba yang lebih baik lagi. Maka para bapa yang kudus berkata, dan kemudian juga Santo Bonaventura, bahwa Perawan Maria adalah jalan untuk menuju Tuhan. Di antara semua devosi kepada Santa Maria, kita harus memilih yang paling sempurna membantu kita untuk mati bagi diri sendiri, itulah yang paling baik dan paling menyucikan. Jangan kira bahwa semua yang gemerlapan adalah emas murni. Bukan semua yang manis madu. Bukan semua yang gampang dan dijalankan oleh khayalak ramai, itulah yang paling cocok untuk menyucikan kita. Sebagaimana di bidang kodrati ada proses-proses rahasia tertentu, untuk mencapai hasil-hasil kodrati dengan cara yang murah, cepat dan mudah, begitu juga di bidang adikodrati: kita dapat melakukan perbuatan-perbuatan adikodrati dalam waktu yang singkat, cara yang luwes dan mudah, mengosongkan diri sendiri dari semua akuisme, memenuhi diri dengan Tuhan dan menjadi suci. 25 Nah, devosi yang akan kuperkenalkan ialah rahasia rahmat yang seperti itu. Kebanyakan umat Kristen belum pernah mendengarnya. Hanya beberapa orang saleh yang mengetahuinya, dan lebih sedikit lagi jumlah orang yang tertarik padanya serta menjalankannya... (Lh BS 82). C. III. Aktualitas KESAKSIAN MASA KITA: Menjadi Gereja yang hidup - PAUS YOHANES PAULUS II Ketika Mgr. Garnier, uskup diosis Luçon, Prancis, mengadakan kunjungan ad limina empat tahun silam, Paus mengambil peta wilayah keuskupan itu dan memintanya menunjukkan letak Saint Laurent-surSèvre. Waktu itu Paus menyatakan keinginannya untuk berziarah ke makam Santo Montfort. Keinginan itu terwujud pada 19 September 1996. Sebelum menuju Reims untuk menghadiri perayaan 1500 tahun pembaptisan raja Clovis, Paus mampir di Saint Laurent-sur-Sèvre, Vendée, Prancis Barat. Di sana Paus berdoa di dalam basilika yang dibangun di atas makam Santo Montfort dan Beata Marie-Louise dari Yesus. Hidup dan spiritualitas Santo Montfort sangat berpengaruh atas hidup rohani Paus Yohanes Paulus II. Paus membahasnya panjang lebar ketika diwawancara oleh penulis Prancis, André Frossard. Hasil wawancara ini kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Jangan Takut (1982). Di dalam buku itu Paus berbicara mengenai pengaruh buku Uraian tentang Bakti Sejati kepada Maria, yang ditulis oleh Louis-Marie Grignion de Montfort sekitar tahnu 1700. Paus mengatakan, "Pembacaan buku ini merupakan suatu titik balik yang menentukan dalam hidupku. Saya memperolehnya ketika secara rahasia saya dipersiapkan untuk menjadi imam. Inilah salah satu dari bukubuku yang tidak cukup kita baca sepintas lalu saja. Saya ingat bahwa lama sekali saya membawanya ke mana-mana, malahan waktu kerja di 26 pabrik soda, dengan akibat bahwa sampul kulitnya rusak karena nodanoda kapur. Saya terus-menerus membaca bagian-bagian tertentu berulang-ulang. Saya pun segera menyadari, di bawah gaya barok, sesuatu yang cukup mendasar dibahas dalam buku ini. Kalau dulu saya hati-hati karena takut bahwa bakti kepada Maria akan menomorduakan Kristus daripada memprioritaskan-Nya, dalam terang uraian Grignion de Montfort, kini saya mengerti bahwa kenyataannya lain sama sekali. Relasi batin kita dengan Bunda Allah seakan-akan dengan sendiri bermunculan dari relasi kita dengan misteri Kristus. Jadi tidak ada soal bahwa yang satu akan menghalangi kita melihat yang lain." Dalam bukunya Melintasi Ambang Pintu Harapan (Obor, Jakarta, 1995) Paus membahas semboyan kepausannya: "Totus tuus". Semboyan yang diambilnya dari Santo Montfort ini bukan semata-mata suatu ungkapan kesalehan atau ungkapan devosi. "Lebih dari itu... . Berkat Santo Louis dari Montfort, saya dapat mengerti bahwa devosi sejati kepada Bunda Allah sesungguhnya bersifat Kristosentris, secara sangat mendalam devosi tadi sangat berakar dalam misteri Allah Tritunggal, dan misteri Inkarnasi dan Penebusan. Demikianlah saya menemukan kembali kesalehan marial, kali ini dengan suatu pengertian yang lebih mendalam." (hlm. 265-266) Gema pengaruh misionaris ulung dan penghormat Maria ini atas kehidupan Paus juga dapat kita temukan dalam dokumen resmi seperti Redemptoris Mater (Bunda Sang Penebus), sebuah ensiklik yang ditulis untuk Tahun Maria (1987-1988). Ketika berbicara mengenai devosi marial, Paus menonjolkan "tokoh Santo Louis-Marie Grignion de Montfort, yang mengusulkan pembaktian diri kepada Kristus melalui tangan Maria sebagai sarana yang berdaya guna bagi umat kristiani untuk menghayati janji-janji baptisnya dengan setia" (No. 48). Paus tidak hanya memberi rangkuman yang cukup padat tentang inti spiritualitas Montfortan, melainkan juga menambahkan, "Kami suka mengamati bahwa zaman kita ini juga mengenal ungkapan-ungkapan baru spiritualitas dan devosi ini." St. Montfort disebut oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptoris Mater (Ibunda Sang Penebus), no. 48: sebagai SAKSI dan GURU spiritualitas marial, yang mengusulkan pembaktian diri kepada Kristus lewat tangan Bunda Maria, sebagai pembaharuan yang sempurna dari janji-janji pembaptisan. Ia juga disebut dalam Surat Apostolik-nya, Rosarium Virginis Mariae, no. 8: sebagai salah seorang saksi kudus yang mengalami Doa Rosario sebagai “jalan sejati untuk menghayati kekudusan”. 27 28 - ORANG KUDUS: Di antara kaum biarawan-biarawati, ada orang yang karena pengaruh pribadi Santo Montfort ditolong untuk menempuh jalan kesucian dan menjadi orang kudus, misalnya Santa Jeanne Delanoue, yang pengikutnya berkarya di Jambi, Sumatra. Dan janganlah kita lupa akan Santo Maximilian Kolbe, yang sebagai ksatria Maria Tak Bernoda, menghayati dan mengkonkretkan ajaran Santo Montfort, sampai menjadi martir. - LEGIO MARIAE Selain semua ini, St. Monfort juga menjadi pelindung dan inspirator banyak tarekat religius dalam Gereja masa kini. Semangat dan tugas perutusan Santo Montfort diteruskan pula oleh banyak awam. Sebuah organisasi yang menganggap Santo Montfort sebagai guru dan pelindungnya adalah "Legio Maria". Gerakan kerasulan awam ini pada tahun 1921 didirikan di Dublin oleh Frank Duff, yang terpesona oleh karya tulisan Santo Montfort. Ia terkesan oleh sebuah ramalan Santo Montfort dalam buku "Bakti Sejati”, di mana dalam nomor 114 dapat kita baca: "Penglihatan ke depan ini... satu laskar besar prajurit-prajurit yang gagah berani dari Yesus dan Maria, baik pria maupun wanita, yang memerangi dunia, setan dan kodrat yang sudah busuk di dalam masa yang sangat gawat, yang pasti akan datang”. Frank Duff mewujudkan ramalan ini dengan mendirikan suatu perkumpulan umat Katolik, yang dinamakan "Legio Maria". "Perkumpulan ini disebut "legio" karena mengabdi Gereja di medan pertempuran untuk melawan dunia dengan seluruh kekuatan jahatnya . . . "di bawah pimpinan kuat Bunda Maria... dahsyat bagaikan balatentara yang siap sedia bertempur" (Buku Pegangan Legio, hlm. 1). seperti diajrkan St. Montfort. - ORGANISASI DAN PERSAUDARAAN Selain Legio Maria, di seluruh dunia kini juga bertebaran aneka organisasi kerasulan awam yang dijiwai oleh semangat St. Montfort. Untuk menyebut beberapa, baiklah kita sebut misalnya Focolari (lahir di Italia), Foyers de Charité (lahir di Perancis), Gerakan Karismatik Emmanuel dan Beatitudes (keduanya juga lahir di Perancis), Persaudaraan Maria Ratu segala Hati (lahir di Kanada) dan Sahabatsahabat St. Montfort (lahir di Barcelona). Gerakan Karismatik Emmanuel ini telah hadir juga Indonesia. Untuk saat ini mereka hadir terutama di Jakarta, Surabaya dan Bandung. Persaudaraan Maria Ratu segala Hati juga telah hadir di Indonesia, yang untuk sementara ini ada di Ruteng, Flores dan di Bandung. Namun, di sini mereka memilih nama yang lebih mudah dikenal, yaitu Kerabat Santo Montfort (KSM). Kesimpulan: Untuk menjadi Gereja yang hidup diperlukan: - Pembaharuan Janji-janji Baptis dan - Penghayatannya dalam optima forma Forma yang paling baik itu adalah Pembaktian Diri Kepada Yesus Kristus, Kebijaksanaan Yang Menjelma Menjadi Manusia, Melalui Tangan Maria. 29 30