PENGALAMAN MISTIK SANTO MONTFORT SUM B AN GAN B AGI M IST IK K R I ST IAN I Josep Putra Dwi Darma Watun PENGALAMAN MISTIK SANTO MONTFORT SUMBANGAN BAGI MISTIK KRISTIANI Disusun oleh : JOSEP PUTRA DWI DARMA WATUN, S.M.M. SERIKAT MARIA MONTFORTAN BANDUNG 1997 DAFTAR ISI 1. PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3 2. MISTIK KRISTIANI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4 a. Pengertian Mistik dari Sudut Pandang Teologi Kristiani . . . . . . . . . 4 b. Masuk ke dalam Pengalaman Mistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 • Cinta sebagai Dasar Persatuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 • Cinta yang Mengubah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 3. PENGALAMAN MISTIK ST. MONTFORT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10 a. Pengalaman Mistik sebagai Pengalaman Pencarian Allah . . . . . . . 10 • Periode Pencarian Allah (1692-1703) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11 • Periode Pengenalan akan Allah (1703-1704) . . . . . . . . . . . . . . 13 b. Pengenalan akan Yesus Kristus Dasar Pengenalan akan Allah Bapa Yang Mahacinta . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15 • Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan yang Menjelma dalam Kebodohan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16 • Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan Salib . . . . . . . . . . . . . . . . 18 c. Pengalaman Persatuan Kristus dan Maria dalam Jiwa . . . . . . . . . . 20 d. Yesus Kristus Pusat Hidup dan Karya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23 e. Sarana-Sarana untuk Mencapai Pengenalan dan Persatuan dengan Yesus Kristus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25 • Kerinduan yang Berapi-api . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25 • Doa Terns Menerus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26 • Pengosongan Total . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27 • Pengabdian kepada Maria . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29 4. KESIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . a. Pengalaman Mistik sebagai Pengalaman Cinta dan Pengenalan . . b. Pengalaman Mistik sebagai Pengalaman Luar Biasa dan "Biasa" . c. Pengalaman Mistik sebagai Pengalaman Perjalanan Iman . . . . . . . 32 32 33 34 5. PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37 2 1. PENGANTAR Santo Louis Marie Grignion de Montfort adalah salah satu orang kudus Gereja yang hidup di akhir zaman keemasan mistik Perancis (abad XVII), di mana fenomena mistik mengalami perkembangan, bahkan terlalu berlebihan sehingga terjerumus ke dalam quietisme1) dan di awal zaman baru, zaman terang budi (Abad XVIII), di mana fenomena mistik dibatasi pada hal-hal yang "biasa", sebagai suatu usaha manusiawi belaka. Dalam suasana seperti itu, pemahaman dan pengertian mistik kristiani merosot ke dalam dua ekstrem pengertian, yakni di satu pihak pengalaman mistik seringkali hanya dilihat sebagai suatu pengalaman spiritual yang ajaib, spektakuler, yang diperoleh lewat pewahyuan secara tiba-tiba, tanpa usaha manusia atau yang terlepas dari pengalaman konkret hidup manusia, dan di lain pihak pengalaman mistik hanya dilihat sebagai suatu pengalaman sehari-hari biasa, sebagai hasil usaha manusia sendiri, atau pengalaman yang berasal dari dalam inti jiwa tanpa keterlibatan realitas Ilahi. Yang menarik adalah bahwa dalam situasi itu St. Louis Marie de Montfort ternyata tidak terjerumus ke dalam dua ekstrem pengertian mistik tersebut. Ia justru mampu memadukan keduanya secara seimbang. Hal itu tampak secara nyata dalam karya-karya rohaninya, yang merupakan hasil dari pengalaman mistiknya. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk memahami pengalaman mistik St. Louis Marie de Montfort, penulis mencoba untuk menguak pengalaman mistiknya sebagaimana tertuang dalam karya-karya rohaninya, seperti Cinta dari Kebijaksanaan Abadi, Bakti Sejati, Kidung-kidung, Rahasia Maria, dan Surat-surat. 1. Heuken, SJ. Ensiklopedi Gereja, Jilid IV Ph - To, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1994, hlm. 76. Quietisme merupakan pandangan abad XVII yang dibangkitkan oleh karangan-karangan imam diosesan Roma, yakni M de Molinos (1696) dan uskup Fenelon (Perancis 1715). Pandangan tersebut memegaskan bahwa prestasi paling mulia seseorang tercapai bila jiwanya berdiam tenang dengan memandang Allah; orang menyerahkan diri dan nasibnya kepada Allah tanpa berbuat apa-apa. 3 2. MISTIK KRISTIANI Pengalaman mistik St. Montfort bukanlah pengalaman mistik yang berada di luar pengalaman mistik Kristiani. Oleh karena itu, adalah tepat bila kita mencoba untuk memahami pengertian mistik Kristiani terlebih dahulu sebagai pengantar untuk memahami pengalaman mistik St. Montfort. a. Pengertian Mistik dari Sudut Pandang Teologi Kristiani. Berbicara mengenai mistik dalam kehidupan beragama, kita perlu melihat tiga hal, yaitu pengalaman mistik, jalan mistik dan teologi mistik. Pengalaman mistik merupakan suatu pengalaman manusiawi akan kehadiran yang "Absolut", di mana seseorang mengalami sentuhan yang sedalam-dalamnya sehingga mengalami perubahan menjadi manusia baru. Pengalaman mistik merupakan gejala manusiawi yang umum, yang terdapat dalam setiap agama. Pengalaman mistik ini kemudian menjadi awal dan dasar dari jalan mistik, jalan menuju persatuan dengan Allah.2) Misalnya, pengalaman mistik St. Teresa dari Avila menjadi awal dan dasar dari jalan mistik yang dibangunnya, seperti yang dijelaskan dalam karya besarnya, yakni Puri Batin. Akan tetapi, pengalaman mistik dan jalan mistik akan menjadi kabur tanpa bantuan teologi mistik. Teologi mistik merupakan usaha untuk merefleksikan pengalaman dan jalan mistik sehingga pengalaman dan jalan mistik itu memiliki arah yang jelas. Intepretasi atas pengalaman dan jalan mistik itu sangat penting untuk membedakan pengalaman dan jalan mistik yang otentik dari yang palsu. Berdasarkan teologi Kristiani, pengalaman mistik berarti masuk ke dalam misteri cinta dan kuasa-Nya yang mengagumkan. Dengan kata lain, mistik Kristiani merupakan hasrat manusia untuk menyelami, menanggapi, menyadari dan bersatu dengan misteri cinta kasih Allah 2. Pierre Humblet, The Mystical Process of Transformation in Grignion de Montfort's "The Love of Eternal Wisdom", Titus Brandsma Intitute, Nijmegen, Netherlands, 1993, hlm. 13. 4 yang telah dicurahkan secara berlimpah-limpah kepada manusia.3) Mistik Kristiani digerakkan oleh Roh Allah, yakni Roh cinta kasih Allah yang membawa rahmat kebijaksanaan dan pengertian, nasihat dan keperkasaan, pengenalan dan takut akan Allah (lih. Yes 11:2-3) demi "pengilahian" manusia. Roh cinta kasih Allah yang meresap dalam diri kita mengantar kita ke dalam persatuan dengan puncak misteri cinta kasih Allah, yang hadir dalam diri Putera-Nya, Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Guru mistik karena seluruh hidup dan aktivitas-Nya ditandai dengan pengalaman-Nya yang sangat kuat, mendalam , dan akrab dengan Bapa. Yesus sebagai guru mistik mengajak dan mengajar para murid untuk memasuki kehidupan dalam kesatuan dengan Allah, untuk membiarkan hidup disentuh dan disuburkan oleh kehidupan Allah sendiri, dan untuk ikut serta masuk dalam hubungan antara diri-Nya dengan Bapa. Oleh karena itu, Mistik kristiani adalah mengikuti Yesus dan berada di manapun Dia berada. Dengan kata lain, mistik Kristiani merupakan proses menjadi Kristus.4) Dengan demikian, mistik kristiani bertujuan untuk mengantar umat beriman menjadi alter Christus. Mistik Kristiani tidak dapat dipisahkan dari Kitab Suci, tradisi iman umat sepanjang sejarah, dan sakramen-sakramen, khususnya ekaristi. Ketiga hal itu merupakan sumber mistik Kristiani.5) Kitab suci memberikan kita pengenalan akan misteri cinta kasih Allah yang berkarya sepanjang sejarah dan mencapai puncaknya dalam diri Yesus Kristus. 3) W illiam Johnston, S.J., Op. Cit., hlm. 21. In a theological framework,mystical experience was intepreted briefly as follows: God W ho is loved infuses His gift of love into the soul. W hen man responds to this call, he receives The Holy Spirit W ho is love personified. 4) W illiam Johnston, Ibid. hlm. 45. 5) W illiam Johnston, S.J., Mistik Kristiani, Sang Rusa Terluka, terj. A. Soenarja, S.J., Kanisius, Yogyakarta, 1987, hlm 18. 5 Mengenai Kitab Suci,Konsili sendiri mengatakan bahwa: "....Karena dalam Kitab Suci, Bapa yang ada di surga dengan penuh kasih sayang menjumpai putra-putri-Nya clan berbicara dengan mereka. Kekuatan clan keampuhan Sabda yang sekian besar menjadi penopang dan tenaga bagi Gereja dan kekuatan iman, santapanjiwa, serta sumber murni clan abadi kehidupan rohani...6) Oleh karena itu, dengan mendalami Kitab suci dalam iman, kita disentuh oleh pengalaman dan ajaran mistik para utusan Allah dalam Perjanjian Lama dan yang mencapai kepenuhannya dalam pengalaman dan ajaran mistik Kristus sendiri dan murid-murid-Nya, seperti Paulus dan Yohanes. Sedangkan, melalui Tradisi, kita dapat menemukan ajaran dan pengalaman mistik Jemaat beriman. Pengalaman mistik kristiani, yakni persatuan dengan misteri cinta kasih Allah secara nyata dialami dalam sakramen-sakramen, khususnya ekaristi. Dalam sakramen ekaristi, persatuan dengan misteri Cinta kasih Allah yang mengagum mencapai kepenuhannya secara nyata. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mistik Kristiani mencapai kepenuhannya bila berorientasi kepada misteri Kristus dalam kaitannya dengan Kitab Suci, Tradisi, dan Sakramen. Ketiga hal itulah yang menjadi arah pengalaman mistik kristiani. b. Masuk ke dalam Pengalaman Mistik Kristiani Pengalaman mistik dapat diartikan dalam berbagai macam cara. Sebagian orang mengartikan pengalaman mistik sebagai pengalaman akan sesuatu yang misterius, rahasia, adikodrati yang diperoleh lewat praktek-praktek, seperti kebatinan, magik, dan ilmu gaib. Sebagian orang lain mengartikan kata pengalaman mistik sebagai suatu penga6) Dr. J. Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arah, Dokumen Konsili Vatikan II, Dokpen MAW I, Jakarta, 1983, hlm. 306 6 laman mendengarkan suara atau melihat visi. Selain itu, ada juga yang mengartikan kata mistik untuk mengungkapkan suatu peristiwa yang sulit untuk dijelaskan atau bersifat samar-samar. Atau, ada juga yang membatasi pengertian pengalaman mistik sebagai suatu keadaan khusus kesadaran seseorang. Dari sekian banyak pemaknaan kata pengalaman mistik, bagaimana teologi kristiani mengartikan kata tersebut? Teologi kristiani mengartikan kata pengalaman mistik sebagai suatu pengalaman tersentuhnya manusia oleh misteri cinta kasih Allah yang mengagumkan sehingga manusia itu dipersatukan dan diubah olehNya. Perjalanan menuju persatuan mistik itu didorong dan dimotivasikan oleh cinta Ilahi yang sangat mengagumkan. Cinta Ilahi membawa dan memimpin seseorang masuk ke dalam situasi yang membahagiakan, yakni situasi di mana Allah hadir dalam inti jiwa sehingga kehadiran-Nya mampu mendobrak batas-batas diri. Pendobrakan itu membuka kesadaran akan kuasa cinta-Nya yang mengagumkan sehingga seluruh hidup hanya terarah pada misteri Cinta yang mengagumkan itu. * Cinta sebagai Dasar Persatuan Dalam Kristianitas, pengalaman mistik berawal dan berakhir dengan pengalaman cinta.7) Hal itu dilukiskan oleh St Yohanes sebagai berikut: "... marilah kita saling mengasihi sebab kasih itu berasal dari Allah; setiap orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah ...sebab Allah adalah kasih.... Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita.... Kita mengasihi karena Allah lebih dulu mengasihi kita. "(lih 1 Yoh 4:7-8, 10,19) Sehubungan dengan hal itu, John Ruysbroek, seorang mistikus Belgia abad XIV, mengatakan: 7) W illiam Johnston, S.J., Op. Cit., hlm. 89. 7 Persatuan yang mendalam antara jiwa kita dcngan Allali tidak berada dengan sendirinya, tetapi berawal di clal:mi Allah dan mengalir dari Allah, clan tergantung pada Allah, <lan kembali kepada Allah sebagai Pemersatunya yang Abadi. Oleh karena itu, persatuan tidak pernah ada, bahkan tidak pernah akan ada bila dipisahkan dari Allah. Jika persatuan itu merupakan hasil usaha kita dan dipisahkan dari Allah, persatuan akan jatuh kedalam kehampaan belaka.8 Oleh karena itu, dalam pengalaman mistik Kristiani, aspek yang terpenting adalah menerima, menyadari, mengenal cinta kasih Allah sehingga melahirkan penyerahkan diri secara total kepada cinta kasihNya. Kesadaran dan pengenalan akan cinta kasih Allah yang mengagumkan itu menjadi dasar bagi perjalanan menuju persatuan mistik. Mistik Kristiani merupakan perjalanan cinta karena cinta kasih Allah yang tak ada batasnya yang mendorong dan memimpin untuk mencapai tingkat kebersatuan. Cinta yang tak ada batasnya itu dilukiskan oleh St. Paulus sebagai kesempurnaan yang tak berkesudahan (1 Kor 13:7-8). Cinta Allah membuat orang terlibat untuk menanggapi cinta itu menuju ke arah penyatuan, ke arah penerangan dan perubahan kesadaran. Misteri cinta kasih Allah yang tak ada batasnya itu terjelma secara nyata dalam pribadi Yesus Kristus, yang didorong oleh cinta Bapa dan cinta-Nya kepada Bapa dan manusia, Ia rela mengorbankan diri-Nya untuk mengangkat manusia ke dalam tatar penyelamatan sehingga persatuan antara Allah dan manusia dipulihkan. 8) Gerry C. Heard, Mistical and Ethical Experience, Mercer University Press, U.S.A., 1985, hlm. 35; dikutip dari F.C.Happold, Mysticism: A Study and an Anthology, Baltimore, Penguin Books, 1963, hlm. 286. The essential union of our spirit with God does not exist in itself, but it dwells in God and it flows forth from God, and it depends upon God, and it returns to God as to its Eternal Origin. And in this wise it has never been, nor shall be, separated from God; for this union is within us by our naked nature, and, were this nature to be separated from God, it would fall into pure nothingness. 8 Oleh karena itu, masuk ke dalam pengalaman mistik berarti masuk ke dalam misteri cinta kasih Kristus. Misteri cinta kasih itulah yang hidup dan terus membara sehingga menjadi daya pendorong seluruh aktivitas manusia. * Cinta yang Mengubah Perubahan kesadaran atau pertobatan merupakan inti pengalaman mistik yang terdalam. Hal itu mungkin bila manusia memberikan dan membuka diri untuk dituntun dan dibentuk oleh misteri cinta kasih Allah. Oleh karena itu, pertobatan merupakan wujud tanggapan manusia terhadap misteri cinta kasih Allah yang mengagumkan. Pertobatan merupakan penjungkirbalikan total, revolusi batin di mana seseorang merasakan dirinya disentuh dan dikejutkan oleh cinta kasih Allah. Pertobatan melahirkan pengenalan yang mendalam akan Allah. Hal itu tampak dalam pengalaman pertobatan Paulus. Paulus mengalami pengalaman disentak dari kebiasaan hidupnya oleh Roh cinta kasih Allah yang mengagumkan, yakni Yesus Kristus dan membiarkan dirinya untuk dituntun oleh Roh itu. (lih Kis 9:3-18). Pengalaman itu menjungkirbalikan kesadaran dan seluruh pribadi Paulus sehingga seluruh pribadi dan hidupnya sungguh memancarkan cinta kasih Allah yang menyelamatkan. Pengalaman serupa dialami juga oleh Teresa Avila. Pengalaman pertemuannya dengan Allah mengubah motivasinya dalam hidup membiara, yakni berawal dari motivasi untuk menyelamatkan diri berbalik menjadi hidup untuk menanggapi cinta Allah. Perubahan kesadaran yang didorong dan diresapi oleh cinta menuntun manusia untuk memandang seluruh dimensi kehidupan dari kaca mata Cinta kasih Allah. Dalam pertobatan, manusia sungguh mengalami persatuan dengan misteri Kristus yang menyelamatkan. Dengan kata lain, pertobatan mengangkat manusia kembali ke dalam tata penyelamatan sehingga ia pantas menjadi anak-anak Allah. 9 3. PENGALAMAN MIS'I'IK ST. MONTFORT a. Pengalaman Mistik sebagai Puncak Pengalaman Pencarian akan Allah. Sebagaimana telah diuraikan bahwa pengalaman mistik merupakan pengalaman tersentuhnya atau (meminjam istilah St. Yehanes Salib) terbakarnya manusia oleh cinta Allah yang mengagumkan schingga manusia dipersatukan dan diubah oleh-Nya. Hal itu berarti bahwa dalam pengalaman mistik terdapat suatu peristiwa di mana seseorang merasa disentuh, dibakar. Untuk sampai ke peristiwa tersebut, seorang mistikus mengalami suatu perjalanan, perjuangan yang cukup panjang. Hal itu pun dialami St. Montfort sebagaimana terungkap dalam bukunya Cinta dari Kebijaksanaan Abadi sebagai berikut: "Terimalah coretan penaku ini ibarat langkah-langkah yang sama banyaknya untuk menemukan Engkau."9) Itu berarti bahwa pengalaman mistik Montfort bukanlah suatu pengalaman ajaib, spektakuler yang didapat secara tiba-tiba, tanpa usaha, tetapi pengalaman yang didapat melalui perjuangan yang panjang. Dengan kata lain, pengalaman yang didapat melalui proses pendewasaan manusia beriman dalam totalitas hidupnya. Akan tetapi, pengalaman itu sendiri tetap merupakan rahmat cinta kasih Bapa, karunia Roh Kudus. Sehubungan dengan itu, dalam bagian ini, kita perlu melihat dua periode kehidupan St. Montfort, yaitu periode antara 1692-1703, di mana Montfort mengusahakan berbagai macam car untuk mencari Allah dan menjalin relasi dengan-Nya dan periode antara 1703-1704, di mana ia mengalami suatu pengalaman persatuan dan pengenalan akan Allah. 9) Louis Marie Grignion de Montfort, Cinta dari Kebijaksanaan Abadi, No. 2, diterjemahkan oleh Serikat Maria Montfortan, Bandung, 1995, h1m. 5. 10 * Periode Pencarian Allah (1692-1703) Periode ini berawal dari peristiwa perjalanan Montfort dari Rennes menuju Paris, untuk melanjutkan studinya di seminari Saint Sulpice pada 1692. Dalam perjalanan itu, ia mengambil keputusan untuk mempercayakan diri secara total kepada Allah lewat penyelenggaraan Ilahi-Nya dan menyatakan untuk tidak memiliki sesuatu apa pun."10 Sejak peristiwa itu, seluruh perhatiannya hanya diarahkan untuk mencari Allah dan menjalin relasi dengan-Nya melalui pembaktian diri secara total kepada Yesus Kristus melalui tangan Maria. Tujuan usaha pencariannya itu adalah demi kesempurnaan hidup, yaitu persatuan yang utuh, total, dan sempurna dengan Yesus. Hal itu didasarkan pada pandangan aliran Sekolah Spiritual Perancis (atau sekolah Berullian) yang sangat berpengaruh dan menjadi pandangan umum pada saat itu, yakni manusia adalah mahluk yang berdosa, tak berarti maka harus mengutamakan Allah dari pada dirinya sendiri, dan hanya dalam Yesus kemanusiaan kita dapat dipulihkan.11) Pandangan itu semakin dikenal dan diaktualkan dalam hidup Montfort ketika ia berada di Seminari Saint Sulpice (1695-1700). Mengenai hal itu, Blain seorang sahabat dekat Montfort mengatakan, "...Saint Sulpice adalah tempat terbaik bagi dia. Di sana dia dapat menikmati kebebasan yang terbesar untuk terbang menuju Tuhan dan mencapai kesempurnaan yang paling mulia."12 Di seminari itu juga, ia merefleksikan dan menghayati karya-karya spiritual para tokoh Sekolah Berullian itu, seperti karya Jalan-Jalan 10) Lih. Br. Gabriel Marie, S. G., Grignion de Montfort Sang Peziarah Injil, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 22-24. 11) R. Deville, "The French School of Spirituality": Stefano de Fiores, ed., Jesus Living in Mary, Montfort Publication Bay Shore, New York, 1994, hlm. 454. 12) Br. Gabriel Marie, S. G. , Op. Cit., h1m. 31. 11 kesucian melalui Salib (Les Saintes Voies de La Croix) dari Henry Boudon, Surat-surat Rohani (Lettres Spiritualles) dari Yoseph Surin, dan karya-karya rohani J. J. Olier. Melalui karya-karya Henry Boudon dan Yoseph Surin itu, Montfort menemukan suatu cara yang ideal untuk memperoleh cinta Allah dan mengalami kedekatan denan-Nya yaitu penyangkalan segala hal duniawi secara total. Itu berarti bahwa untuk mencapai kesempurnaan orang harus meninggalkan dunia ramai dan hidup tersembunyi hanya untuk Allah saja. Cara seperti itu sangat ditekankan dan diprioritaskan oleh para pemimpin Montfort di seminari Saint Sulpice. Hal itu mengakibatkan aksi misioner sebagai salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan kurang mendapat perhatian. Akan tetapi, Montfort mengenal kembali pentingnya aksi misioner melalui tulisan-tulisan J. J. Olier dan melalui teladan hidup J. J. Bauyn, pemimpin spiritualnya dari tahun 1692-1695. Mengenai hal itu, Olier mengajarkan bahwa aksi misioner menuntut kemiskinan yang radikal dan penyiksaan diri yang sungguh.13) Selain itu, di seminari Saint Sulpice, Montfort semakin mengenal dan menghayati pembaktian diri kepada Yesus Kristus melalui tangan Maria. Hal itu didasarkan pada surat wasiat Olier, selaku pendiri seminari itu, dan sebuah karya Imam Bourdon tentang Perhambaan Suci kepada Bunda Allah.14 Kedua pandangan di atas, yaitu pandangan yang menekankan hidup tersembunyi dan pandangan yang menekankan hidup misi, menimbulkan konflik batin dalam diri Montfort. Akan tetapi, lewat perjuangan batin yang panjang akhirnya, konflik antara kedua pandangan itu dapat dipecahkan. Hal itu terjadi pada tahun-tahun pertama imamatnya (1701-1702), di mana ia berhasil memadukan keduanya secara seimbang. Selain itu, pada tahun-tahun itu juga, ia 13) J. Bulteau, "Cross" : Stefano de Fiores, ed., Op. Cit., h1m. 256. 14) Lih. Br. Gabriel Marie, S.G., Op. Cit., h1m. 33-34 15) Louis Marie Grignion de Montfort, "Surat 8", Kumpulan Surat, diterjemahkan oleh Seminari Maria Montfortan, Bandung, 1996, h1m. 30 12 mampu menginternalisasikan kehadiran Allah sebagai Sang Penyelenggara Ilahi dan kehadiran Perawan Tersuci. Hal itu terungkap dalam suratnya kepada pastor Leschassier, pemimpin seminari Saint Sulpice: "... . ... Saya menemukan, bapaku yang terkasih, begitu banyak kekayaan dalam Penyelenggaraan ini dan begitu banyak kekuatan dalam santa Perawan Maria, sehingga mereka secukupnya memperkaya kemiskinanku dan menopang kelemahanku. Tanpa kedua penopang ini saya tidak mampu apa-apa.”15) Setelah mengalami perjalanan panjang untuk mencari Allah dan menjalin relasi dengan-Nya, akhirnya pada 1703-1704, Montfort mengalami persatuan dengan Allah yang selama ini dicarinya. Dalam pengalamannya itu, ia mengenal Allah secara mendalam. * Periode Pengenalan Akan Allah (1703-1704) Periode ini terjadi ketika Montfort berada di Paris. Keadaan Montfort pada waktu itu sangat menyedihkan. Ia ditinggalkan dan ditolak oleh sahabat-sahabatnya. Selain itu, la dilarang untuk melakukan karya pastoralnya, seperti berkotbah dan memberi sakramen pengakuan. Ia pun diusir dari rumah sakit umum Salpêtrière, tempat di mana ia tinggal dan melayani para pasien dan gelandangan. Akhirnya, ia harus tinggal di bawah tangga rumah yang gelap dan lembab di sudut jalan Pot de Fer. Di tempat itu, Montfort menghabiskan waktunya untuk bercengkerama dengan Allah, dengan merenungkan bacaan-bacaan Kitab Suci, khususnya Kitab-kitab Kebijaksanaan dan surat-surat St. Paulus. Dan, dalam kesendirian dan keterasingannya itu, Montfort justru mengalami persatuan yang mesra dengan Allah yang selama ini dicarinya. 15) Louis-Marie Grignion de Montfort, "Surat 8", Kumpulan Surat, diterjemahkan oleh Seminari Maria Montfortan, Bandung 1996, hal. 30 13 Pengalaman persatuan itu diungkapkan oleh Montfort dalam suratnya kepada Louise Trichet, pengikutnya: "Dan jangan percaya juga bahwa rencana-rencana duniawi atau salah satu mahluk mempertahankan saya di sini (rumah sakit). Itu tidak benar, saya tidak mengenal sahabat-sahabat lain di sini selain Allah saja. Yang, dulu menjadi sahabatku di Paris telah meninggalkan saya. ... . ..."16) “Selain itu, Montfort juga melukiskan pengalamanya itu dengan mengangkat kata-kata kebijaksanaan Salomo (Keb. 8:16): "Setelah masuk ke dalam rumahku, kata Salomo, justru karena aku sendirian, aku mendapat ketenangan pada Kebijaksanaan, sebab pergaulan dengan-Nya tidak mengandung kcpahitan, dan hidup bersama dengannya tidak mengenal kesedihan, melainkan hanya kegirangan hati dan sukacita melulu."17) Dalam peristiwa itu, Montfort mengalami persatuan cintakasih Allah yang mengubah segalanya. Mengenai pengalaman perubahannya itu, Montfort mengungkapkannya secara indah dalam kidung 45 bait 16-19: "dulu aku memandang Allah bagaikan seorang hakim yang keras, selalu siap untuk memukul, dengan halilintar di tangan dan selalu marah.... tetapi sekarang aku mencintai Allah bagaikan seorang Bapak, yang tidak aku ingin menghina, Dialah Bapakku yang baik, dan Marialah ibuku.... dulu aku selalu bertindak hanya karena takut, hampir tidak pernah karena cinta, dalam hatiku tekanan dan paksaan.... 16) Louis Marie Grignion de Montfort, "Surat 15", Ibid., hlm . 60. 17) Lih. Louis Marie Grignion de Montfort, Cinta dari Kebijaksanaan Abadi, Serikat M aria Montfortan, Bandung, 1995, h1m . 82. Frase "justru karena aku sendirian" merupakan tambahan St. Montfort. 14 Tetapi sekarang cintakasih menguasai aku, dan membimbing aku siang dan malam, dan membuat aku murni, bebas dan ilahi. ...” 18 Pengalaman mistik tersebut membawa Montfort ke dalam suatu pengalaman dan pengenalan akan Allah yang begitu mesra dan mendalam. Sejak peristiwa itu, seluruh karya yang dilakukannya bukan lagi didasari oleh rasa takut akan penghukuman Allah, tetapi didasari dan diresapi oleh cinta. Selain itu, ia tidak lagi sibuk mencari berbagai macam cara untuk mendapatkan cinta Allah karena Sang Cinta sendiri ditemukan dan dialami meraja dalam hatinya. b. Pengenalan akan Yesus Kristus Dasar pengenalan akan Allah Bapa Yang Mahacinta Pengalaman mistik Montfort merupakan pengalaman tersentuhnya, terbakarnya jiwa oleh cinta kasih Allah sehingga ia mengalami persatuan dengan-Nya. Dalam pengalaman itu, ia mengalami perubahan dalam mengenal dan memandang Allah, yakni dari Allah yang Mahakuasa, Mahaagung menjadi Bapa Yang Mahacinta, sebagaimana tampak dalam kidung 45, bait 16-19. Bapa Yang Mahacinta itu bagaikan seorang ibu yang dengan penuh kasih sayang memelihara, merawat, dan menginginkan anaknya bahagia. Selain itu, Montfort juga melukiskan bahwa kecintaan Bapa yang begitu mendalam kepada manusia ibarat seorang wanita yang lemah lembut dan penuh rayuan memikat kekasihnya.19) Pengalaman pengenalan akan Allah sebagai Bapa Yang Mahacinta ini merupakan inti pengenalan Montfort akan Allah. Pengalaman pengenalan ini merupakan hasil dari refleksi, permenungan yang keras mengenai misteri-misteri cinta kasih Allah, yakni misteri 18) Louis Marie Grignion de Montfort, "Cantique 45, La Scrupuleuse Convertie", dari Oeuvres Completes de Saint Louis-Marie Grignion De Montfort, editions du Seuil, Paris, 1966, h1m. 1221-1225. 19) Louis Marie Grignion de Montfort, Op. Cit., No.65, h1m. 56. 15 inkarnasi dan misteri salib. Dalam permenungannya itu, Montfort memusatkan pengenalannya pada misteri cinta kasih Allah yang terjelma dalam diri Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan Ilahi yang menjelma dalam kebodohan dan kelemahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalaman pengenalan Montfort akan Allah Bapa yang Mahacinta didasari pada pengenalannya akan Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan yang menjelma dan tersalib. * Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan yang Menjelma dalam Kebodohan Keinginan Allah yang menggelora dan misterius untuk berinkarnasi dalam bentuk yang paling lemah dan bodoh oleh Montfort dipandang sebagai cinta Allah kepada manusia. Dengan kata lain, faktor utama misteri inkarnasi Allah dalam bentuk yang paling bodoh dan lemah adalah cinta Allah. Mengenai hal itu, ia mengatakan: "Oleh karena Kebijaksanaan hanya menjadi manusia untuk menarik hati semua orang kepada persahabatan-Nya dan untuk meniru teladan-Nya, Ia berkenan berdandan dengan kecantikan dan kelemah-lembutan manusiawi yang paling menawan dan mempesona tanpa cacat dan kejelekan apapun. .... Dialah karunia cinta kasih Bapa yang kekal dan buah cinta Roh Kudus. Ia diberikan karena cinta kasih dan dibentuk oleh cinta kasih. ... Maka Ia seluruhnya cinta kasih atau lebih tepat Dia sendirilah cinta kasih Bapa dan Roh Kudus. "20) Dari sudut pandangan itu, Montfort mengintepretasikan sejarah penebusan sebagai sejarah cinta Kebijaksanaan Abadi kepada manusia. 20) Louis M arie Grignion de Montfort, Op. Cit., No. 117-118, h1m. 98. Bdk. Yoh. 3:16: "Begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal... ." 16 Sejarah tentang persahabatan yang begitu mendalam antara Kebijaksanaan dengan manusia dan antara manusia dengan Kebijaksanaan.21 Kebijaksanaan Ilahi yang menjelma dalam bentuk yang paling lemah dan bodoh adalah Yesus Kristus. Ia adalah Putera Allah, yang sejak kekal berdiam dalam pangkuan Bapa-Nya selaku objek kasih sayang-Nya. Karena cinta-Nya yang begitu besar kepada manusia untuk membahagiakan, menyelamatkan, dan membebaskannya dari jerat dosa, Ia sudi hadir ke dunia dalam wujud manusia. Ia hadir melalui seorang perawan yang menurut pandangan duniawi lemah, miskin, tak terkenal, tetapi Sang Kebijaksanaan Ilahi berkenan dan tertarik kepadanya karena keindahan kerendahan hatinya, kemurniannya, iman dan doa-doanya. Ia dipandang lemah dan bodoh oleh orang-orang bijak duniawi karena kehadiran-Nya berlawanan dengan kebijaksanaan yang ditawarkan dunia, yakni kebijaksanaan yang disesuaikan dengan pakem-pakem dasar dan gaya hidup dunia, seperti kehormatan, kekayaan, kegagahan, penghargaan.22) Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan yang menjelma hadir untuk membongkar seluruh pakem-pakem dasar dan gaya hidup yang ditawarkan oleh kebijaksanaan duniawi. Yesus Kristus justru hadir dalam sosok yang sungguh berbeda dengan harapan bangsa-Nya. Ia hadir dalam segala kerendahan dan kerelaan-Nya untuk menjadi bukan apa-apa. Mengenai hal itu, Montfort mengatakan, "Namun, apakah anda menyangka bahwa Kebijaksanaan Abadi ini akan tampil dengan kemuliaan dan kejayaan, diiringi berjuta juta malaikat atau setidak-tidaknya berjuta juta pengawal pilihan, dan bahwa dengan pasukan ini tanpa sedikitpun disertai kemiskinan, kehinaan, penghinaan, dan kelemahan, Ia akan merebahkan semua 21) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., artikel 64, hlm. 55 "Begitu akrab jalinan persahabatan Kebijaksanaan Abadi dan manusia sehingga melampaui segala pengertian. Kebijaksanaan ada bagi manusia dan manusia ada bagi kebijaksanaan." 22) Lih. Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid, No. 75-82, h1m.65-71. 17 musuh-Nya dan memenangkan segala hati manusia dengan gaya-Nya yang menawan hati, dengan kesenangan yang dibawa-Nya, dengan keagungan-Nya, dengan kekayaan-Nya? Heran sekali, sama sekali tidak demikian, justru sebaliknya!23) Dalam pengenalannya ini, Montfort menempatkan misteri inkarnasi dalam sudut pandang misteri salib. Montfort melihat bahwa seluruh hidup Yesus disituasikan di bawah tanda salib. Montfort mengungkapkan bahwa Kebijaksanaan yang menjelma, yaitu Yesus Kristus telah mencintai salib sejak masa muda-Nya dan sepanjang hidup-Nya, Ia telah mencari dan memikul-Nya dengan penuh Kegembiraan.24) Bagi Montfort, pengenalan itu menjadi kunci hidupnya. Dalam hidup Montfort, "Kebodohan Ilahi" mendapat bentuk baru. la melihat bahwa dibalik "yang bodoh" tersembul "Sesuatu" yang indah, yang mempesona, yakni cinta kasih Bapa untuk menyelamatkan dan membahagiakan manusia, sehingga ia tak kuasa untuk memalingkan pandangannya. * Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan Salib Pengenalan Montfort akan Allah sebagai Bapa yang Mahacinta memuncak dalam misteri salib. Montfort melihat bahwa salib bukanlah ekspresi kemarahan Allah terhadap manusia, tetapi revelasi kemuliaan dan penyerahan cinta kasih secara total kepada manusia. Hal itu dilukiskan Montfort sebagai berikut: "Akhirnya kerinduan Sang Kebijaksanaan sampai ke puncak. Ia dicemarkan oleh penghinaan. Ia dipaku, direkatkan pada salib. Ia mati penuh kegembiraan dalam pelukkan kekasih-Nya tercinta ibarat di ranjang kehormatan penuh kemuliaan."25 ) 23) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid, No. 168, h1m 24) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid, No. 169-170, h1m.134-136. 25) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid, No. 171, h1m.136. 18 Bagi Montfort, penderitaan Kristus di salib merupakan puncak pewahyuan definitif Kebijaksanaan Allah (bdk, 1 Kor 1:24) sehingga ia berani mengatakan bahwa "Kebijaksanaan adalah salib dan salib adalah Kebijaksanaan."26) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan adalah Salib sehingga Montfort pun berani mengatakan bahwa "tak pernah ada salib tanpa Yesus dan tak pernah ada Yesus tanpa salib."27) Dalam ungkapan tersebut tampak bahwa Montfort mau melukiskan pengalamannya akan cinta kasih Allah yang begitu besar, dalam, mengagumkan, dan tak terbatas untuk menyelamatkan manusia. Misteri Salib merupakan misteri cinta Bapa sehingga tidak ada salib tanpa cinta. Bagi Montfort, Pengalaman dan pengenalan misteri Salib menjadi dasar pengalaman mistiknya. Dalam misteri itu, Montfort mengalami dan mengenal jalinan cinta yang begitu mesra antara Bapa dan manusia dan antara manusia dengan Bapa melalui Putera-Nya, Yesus Kristus. Mengenai hal itu, Montfort mengungkapkan: "... . ...Karena Salib adalah bukti yang paling jelas untuk menyatakan bahwa orang mencintai Allah. Allah telah menggunakan kesaksian ini untuk membuktikan bahwa Ia mencintai kita. Sekaligus Salib merupakan kesaksian yang diminta Allah untuk memperlihatkan kepada-Nya bahwa kita mencintai Dia."28) Pengalaman pengenalan akan Allah Bapa yang Mahacinta yang terungkap dalam diri Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan yang menjelma dan tersalib membawanya ke dalam persatuan mesra dengan Allah. Dengan kata lain, pengenalan dan persatuan akan Yesus Kristus 26) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid.,No.180, h1m.147. 27) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., No. 172, hlm.136. 28) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., No.] 76, H1m.143. 19 membawanya ke dalam pengenalan dan persatuan dengan Allah karena hanya anak, Yesus Kristus yang mengenal Allah Bapa (Mat 11:2). Bagi Montfort, pengenalan akan Yesus Kristus adalah yang paling mulia karena tertuju kepada Yang paling mulia dan agung. Mengenai hal itu, ia melukiskan secara puitis: "Mengenal Yesus Kristus Kebijaksanaan Abadi berarti mengenal segala-galanya; mengenal segala-galanya dan tidak mengenal Dia berarti tidak mengenal apa-apa."29) Singkatnya, pengenalan Montfort akan Allah digerakkan oleh persatuan cinta yang begitu mesra antara Kristus dan jiwa. Dalam persatuan itu jiwa diangkat ke dalam suatu pengertian yang mengatasi segala pengertian. Pengalaman persatuan ini terungkap dalam surat kepada orang tuanya: "dalam keluargaku yang baru saya menikahi Kebijaksanaan dan salib. Di dalamnya terletak segala hartaku, jasmani dan abadi, duniawi dan surgawi... ."30) Dalam hal ini, Montfort menggunakan simbol pernikahan untuk mengungkapkan persatuan yang intim dan mesra antara Kristus dan jiwa dan antara jiwa dengan Kristus. Simbol pernikahan itu sendiri adalah simbol kuno yang lazim digunakan dalam sastra hikmat untuk mengungkapkan persatuan yang mesra antara Allah dan manusia, dan sebaliknya. c. Pengalaman Persatuan Kristus dan Maria dalam Jiwa Pengalaman persatuan Yesus Kristus, Sang Cinta, dalam jiwa merupakan puncak pengalaman mistik Montfort. Akan tetapi, berkat 29) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., No. ll , h1m.15. 30) Louis Marie Grignion de Montfort, "Surat 20, Op. Cit., hlm.78 pengalamannya itu diungkapkan juga dalam kidung 45 bait 30: "Oh Yesusku, kekasihku, aku cinta pada-Mu dari lubuk hatiku, di atas segalanya, karena Engkau sendiri mencintai aku...” 20 kontemplasi yang dalam akan misteri inkarnasi, Montfort mengalami bahwa persatuan Kristus dalam jiwa tidak dapat dilepaskan dari persatuan Kristus dengan ibunda-Nya, Maria."31) Dalam misteri inkarnasi itu terjadi persatuan yang manunggal dan utuh antara Yesus dan Maria. Dengan kata lain, persatuan antara Kristus dan Maria adalah tetap dan tak terpisahkan. Mengenai hal itu, la mengungkapkan: "... . Yesus dan Maria begitu bersatu sehingga yang seorang sepenuhnya manunggal dalam yang lain: Yesus seutuhnya di dalam Maria dan Maria seutuhnya di dalam Yesus. Atau lebih tepat lagi: Maria tidak hidup lagi melainkan hanya Yesus yang hidup dalam Maria (bdk. Gal 2:20) ...."32 Beranjak dari hal itu, Montfort menegaskan bahwa Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan selalu bersama Maria dan Maria selalu bersama Yesus. Persatuan itu adalah karunia Roh Kudus yang diterima secara bebas dan terbuka oleh Maria sehingga dalam dirinya hanya dipenuhi oleh karunia cinta kasih Allah, yakni Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan Ilahi yang sejak kekal menjadi objek kasih sayang Bapa-Nya. Berkat kuasa Roh Kudus yang diterima Maria dalam iman, ia dibawa ke dalam keadaan baru atau kehidupan baru yang radikal, yakni berpartisipasi secara total ke dalam misteri cinta kasih Allah sehingga ia mengetahui rahasia itu. Hal itu membawa Montfort ke dalam suatu pengalaman rohani bahwa mengenal dan menghormati Maria secara benar akan membawa ke dalam pengenalan Putera-Nya karena Maria, berkat imannya, adalah orang pilihan yang kepadanya Bapa berkenan menyatakan anak-Nya 31) Pierre Humblet, The Mystical Process of Transformation in Grignion de Montfort's "The Love of Eternal Wisdom", Titus Brandsma Institute Nijmegen, Netherlands, 1993, h1m. 54. Pengalaman Montfort itu dilatarbelakangi oleh ajaran spiritualitas Sekolah Berullian di mana Inkarnasi dan peranan Maria dalam peristiwa keselamatan menjadi dua tema pokok. 32) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibadat Sejati, No. 247 diterjemahkan oleh para Rubiah Karmel dan P.Wim Peeters, smm., dari De Ware Godsvrucht, Seminari Montfort, Bandung, 1989, h1m 202 21 (bdk. Mat. 11: 26-27; 1Kor2:11).33) Pengalaman persatuan Kristus dan Maria dalam jiwa sangat meresapi hidup Montfort. Dalam seluruh hidupnya, Montfort menyerahkan diri secara total kepada Yesus Kristus melalui Bunda Maria. Di bawah bimbingan bunda Maria, ia menceburkan diri dalam kasih Kristus dan bersama Maria kerinduannya untuk besatu dengan Kristus diintensifkan. Bagi Montfort, menyerahkan diri dalam bimbingan Maria berarti menyerahkan diri ke dalam bimbingan Roh Allah sebab Maria tidak pernah membiarkan dirinya dibimbing oleh rohnya sendiri, tetapi Roh Allah lah yang menguasai clan meraja dalam diri Maria. Untuk mengungkapkan hubungan yang sedemikian erat antara Maria dengan rahmat Roh Allah, yang adalah rahmat Kristus sendiri, Montfort mengatakan bahwa roh Maria adalah Roh Allah.34) Dengan demikian, bersatu dengan Maria berarti bersatu dengan Puteranya karena rahmat cinta kasih Allah, yakni rahmat Yesus Kristus yang dikaruniakan dan berdiam dalam Maria. Bagi Montfort, pengalaman persatuan dengan Maria dalam jiwa tidak meluputkan dirinya dari segala salib Kristus. Sebaliknya, melalui pengalaman itu, ia mengalami salib-salib Kristus karena Bunda Maria sendiri yang membagikan serpihan-serpihan salib Kristus yang adalah pohon kehidupan. Akan tetapi, Maria tidak membiarkan anaknya memikul salib-salib itu sendiri. Ia memberikan rahmatnya, yang adalah rahmat Kristus, untuk memikul salib-salib itu dengan tabah dan gembira sehingga salib-salib itu tidak lagi dirasa mengerikan dan pahit, tetapi menjadi penuh kemanisan.35) 33) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., No. 13, h1m. 22 "... . ... sampai kini Santa Maria belum dikenal, dan inilah salah satu sebab Kristus juga tidak dikenal sebagaimana mestinya. ... dunia akan mengenal Kristus dengan sepenuhnya serta kekuasaan-Nya, itu pasti merupakan suatu akibat dari kenyataan bahwa orang sudah mengenal Santa Maria dan tunduk pada kekuasaannya. ... ."(lih. No. 164, h1m. 135). 34) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., No. 258, h1m. 213. 35) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., No 154, h1m. 125-126. 22 Dari pengalaman mistiknya ini, Montfort mengungkapkan bahwa jalan termudah, teraman untuk mencapai kesempurnaan Kristiani adalah persatuan dengan Kristus melalui Maria. d. Yesus Kristus Pusat Hidup dan Karya Pengalaman mistik sebagai pengalaman cinta, yakni persatuan Kristus dalam jiwa, mengalir dan mewarnai hidup Montfort. Dalam pengalaman itu, Montfort mengalami bahwa seluruh hidup dan karyanya hanya digerakkan dan dijiwai oleh Kristus, Sang Cinta, yang membual dalam jiwa. Dengan kata lain, Yesus Kristus-lah pusat hidupnya. Hal itu terungkap dalam pernyataan Montfort yang menyebut dirinya sebagai seorang hamba atau budak (bdk. Luk.1:38: "hamba Tuhan"; Rom 1:1: "hamba Kristus"). Pernyataan itu mengungkapkan suatu penyerahan dirinya yang total kepada Allah saja. Suatu pernyataan yang memimpin dan mengarahkan hidup dan karya Montfort kedalam kehadiran Allah. Pernyataan itu tampak dalam kesaksian hidupnya yang sangat radikal, yaitu keyakinannya pada penyelenggaraan Ilahi, penyerahan diri ke dalam bimbingan bunda Maria, kesediaannya dalam kemiskinan, dan keberaniannya menanggung penderitaan. Sebagai seorang misionaris apostolik, Montfort berusaha untuk membawa orang Kristen ke dalam persatuan dengan Kristus dalam setiap karya pelayanannya. Dengan kata lain, usaha misioner Montfort merupakan usaha untuk membuka pintu masuk menuju kehadiran Kristus yang hidup dalam setiap orang Kristen. Itu tampak dalam setiap pengajaran dan kotbah-kotbahnya di mana Montfort selalu menekankan bahwa menjadi orang Kristen berarti menjadi serupa dengan Kristus. Menurut Montfort, menjadi serupa dengan Kristus berarti orang harus menyangkal dirinya dan memanggul salib-salib Kristus (Mat 16:24; Lk 9:23). Montfort mengajarkan bahwa hidup orang Kristen dibentuk secara sempurna dibawah misteri salib. Hal tidak lain berarti menerima salib di dalam hidup kita, membiarkan salib menjadi kekuatan yang meneguhkan hidup kita, membiarkan diri kita disalibkan bersama 23 Kristus (bdk. 1 Kor 1:18-31; Gal 16:14). Maksudnya adalah Yesus Kristus harus diikuti dengan jalan kerelaan untuk menjadi bukan apa-apa, kerendahan hati, pelayanan, kebebasan secara total. Hal itu termasuk menyadari segala kelemahan dan kerendahan kita. Bagi Montfort, itu hanya mungkin bila kita mengikuti Kristus melalui perantaraan Bunda-Nya karena dalam diri Bunda-Nya kita akan menemukan segala keutamaannya, yakni kerendahan hati yang mendalam, iman yang hidup, ketaatan total, doa terus menerus, pengosongan diri, kemurnian, cinta yang berkobar-kobar, kesabaran, dan kelembutan.36) Selain itu, salib juga meneguhkan dan menentukan hubungan orang Kristen dengan dunia. Dengan memandang dan menerima salib, orang Kristen akan cenderung untuk melayani dunia lebih jauh dari pada dilayani oleh dunia. Pelayanan yang mutlak kepada dunia dilakukan dengan mengambil jarak dengan dunia secara seimbang (dunia tetap tinggal sebuah dunia yang telah dirusak oleh dosa). Itu tidak berarti bahwa orang harus meninggalkan dunia.37) Montfort menegaskan bahwa cinta terhadap salib tidak berarti cinta terhadap penderitaan, tetapi cinta terhadap Kristus, yang memuncak dalam jiwa. Buah-buah dari cinta terhadap salib adalah kesatuan atau keserupaan dengan Kristus, memperoleh martabat anak-anak Allah, penghargaan terhadap hidup, cinta, kegembiraan, kedamaian batin, dan akhirnya kemuliaan abadi. Bagi Montfort, salib-salib kehidupan hanya bisa dipikul dengan penuh kegembiraan bila Kristus menjadi pusat hidup setiap orang Kristen. 36) Louis Marie Grignion de Montfort, Mid., No. 108, h1m. 90. 37) Louis Marie Grignion de Montfort, "Letters to Friends of the Cross, No.2 ", God Alone, The Collected Writing of St. Louis Marie de Montfort, Montfort Publications, Bay Shore, New York, 1987, h1m.124 "Friends of the Cross, you are like crusaders united to fight againts the world; not like Religious who retreat from the world lest but like brave and valiant warriors on the battle field". 24 e. Sarana-Sarana untuk Mencapai Pengenalan dan Persatuan dengan Yesus Kristus Sebagaimana telah diuraikan di atas, Montfort menyerahkan seluruh hidup dan karyanya untuk membawa orang kristen ke dalam pengenalan dan persatuan dengan Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan. Untuk mencapai pengenalan dan persatuan itu, Montfort menawarkan empat sarana atau jalan, yakni kerinduan yang berapi-api, doa terus menerus, pengosongan total, dan pengabdian kepada bunda Maria. Akan tetapi, Montfort menegaskan bahwa sarana-sarana itu adalah pemberian, anugerah dari Allah. Dengan demikian, sarana-sarana itu tidak akan menipu orang yang melaksanakannya. * Kerinduan yang Berapi-api Kerinduan yang berapi-api adalah langkah awal yang diperlukan untuk mengenal Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan. Kerinduan yang berapi-api ini meliputi motivasi yang benar dan sungguh, keinginan yang sejati, dan dorongan yang mendalam. Bagi Montfort, kerinduan yang berapi-api digerakkan dan dibakar oleh Cinta kasih Allah yang meresap dalam jiwa. Itu berarti bahwa Allah-lah yang pertama-tama menggerakkan kerinduan kita.38) Dalam hal ini, Cinta kasih Allah yang meresap dalam jiwa dan kerinduan manusia tidak dapat dipisahkan. Cinta kasih Allah yang meresap dalam jiwa membawa manusia ke dalam pengalaman cinta dengan Allah dan pengalaman itu mendorongnya untuk mencari terus menerus dengan penuh kerinduan Allah yang dicintainya itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kerinduan kita bukanlah kerinduan yang kosong, hampa, tetapi kerinduan yang diisi, digerakkan oleh anugerah cinta kasih-Nya. Hal itu hanya mungkin bila manusia membuka hati dan memusatkan segala pikiran kepada kehendak Allah dan melaksanakan-Nya dengan penuh setia (bdk. Sir. 1:26; 6;37). Mengenai hal itu, Montfort 38) Louis Marie Grignion de Montfort, Op. Cit., No.181, h1m.150. 25 mengatakan: "Kerinduan akan Kebijaksanaan merupakan suatu hadiah besar dari Allah. Karena, kerinduan adalah suatu upah bagi mereka yang penuh kesetiaan menghayati perintah-perintahnya. 39) * Doa Terus Menerus Keinginan yang berapi-api menjadi nyata dalam doa yang tak kunjung henti. Bagi Montfort, doa merupakan sarana yang ditawarkan Allah untuk memperkenalkan diri-Nya (bdk.Mat.7:7) 40) Selanjutnya, Montfort menjelaskan bahwa semangat doa tidak datang dengan sendirinya. Doa itu datang dari iman yang hidup dan murni (bdk.Yak.1:6-7). Singkatnya, iman menjadi pusat dalam hidup doa. Bagi Montfort, iman yang sejati, murni, dan teguh adalah iman yang didasarkan pada iman Maria, yakni penyerahan diri total untuk menanggapi dan berpartisipasi pada Allah dan Putera-Nya. Hal itu ditunjukkan Maria ketika ia menjawab "sesungguhnya aku ini hamba Tuhan jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk. 1:38). Hal itu dilukiskan Montfort dalam kidung 124 bait 7 sebagai berikut: "Bunda Allah yang patut dihormati, Bunda semua orang beriman. berikanlah aku imanmu, angkatlah aku pada kepak sayap. Berkat iman, saya dapat mendaki dengan aman menuju puncak Kebijaksanaan dan memiliki segala-galanya.” 41) 39) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid. 40) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., No. 184, h1m.154 Montfort mengintepretasikan Mat. 7:7 sebagai berikut: "Jikalau anda ingin mendapatkan Aku, anda harus mencari Aku. Jikalau anda ingin memasuki istana-Ku, anda harus mengetuk pintu-Ku. Jikalau anda ingin memperoleh Aku, anda harus meminta pada-Ku. " 41) Louis Marie Grignion de Montfort, "The Hymns", God Alone The Collected writings of St. Louis Marie de Montfort h1m. 541. 26 Montfort menegaskan bahwa doa dan iman tidak mungkin dipisahkan karena hanya iman yang sejati dan murni bisa melahirkan hidup doa yang tekun. Doa tanpa iman bagaikan tubuh tanpa jiwa. Dengan kata lain, doa tanpa iman adalah doa yang kosong, hampa, mati. Dengan demikian, doa yang kita panjatkan bukan hanya doa vokal, tetapi doa yang sungguh digerakkan dari dalam jiwa dengan penuh iman. Pemahaman dan penghayatan Montfort tentang doa terus menerus untuk mengenal dan bersatu dengan Sang Kebijaksanaan didasarkan pada doa Salomo (Keb 9:1-6; 9-18). Oleh karena itu, ia menganjurkan agar kita mengikuti Salomo yang terus-menerus merindukan dan memohon untuk memperoleh Kebijaksanaan (Keb 8:2,18). * Pengosongan Total Pengenalan dan persatuan dengan Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan hanya mungkin dicapai dengan memberikan tempat atau ruang untuk-Nya dalam jiwa kita. Itu dicapai dengan mengosongkan diri kita dari keinginan-keinginan, hawa nafsu yang berpusat pada diri kita atau hal-hal duniawi di luar diri kita. Dengan kata lain, kita harus mengeluarkan segala harta milik dalam diri kita yang menghalangi perjumpaan kita dengan Yesus Kristus (Bdk. Rom 8:7-8). Pengosongan total itu harus terpusat pada Kristus, Sang Kebijaksanaan karena pengosongan diri bukan untuk mencari kesenangan atau kepuasan diri di bidang rohani, tetapi untuk mencari Kristus, Sang Kebijaksanaan. Pengosongan total berarti mematikan, menyalibkan manusia lama dalam diri kita yang masih terikat oleh keinginan-keinginan kedagingan dan keduniawian kita. Itu tidak berarti bahwa orang harus hidup tersembunyi dari dunia, tetapi sebalik pengosongan total mengantar orang untuk melayani dunia tanpa terikat atau dilayani oleh dunia (bdk. 1Kor 7:30). Pengosongan total direalisasikan dengan matiraga universal, yakni matiraga lahiriah dan batiniah yang dijalankan dengan penuh kerelaan. Matiraga lahiriah adalah matiraga yang tampak, bersifat eksterior, misalnya, melepaskan harta duniawi, tidak mengikuti mode, tidak mendasarkan diri atau mengikuti asas-asas dasar duniawi, tidak 27 menghadiri pertemuan-pertemuan duniawi yang membinasakan, membahayakan atau pertemuan-pertemuan orang saleh yang tidak berguna dan hanya membuang waktu saja, dan beraskesis.42) Bagi Montfort, seluruh praktek matiraga lahiriah itu tidak berguna tanpa didasari oleh praktek matiraga batiniah, yakni matiraga budi dan kehendak melalui jalan ketaatan suci, yakni taat pada orang suci atau orang bijak.43) Dalam hal ini, Montfort menganjurkan agar dalam melakukan praktek matiraga lahiriah kita meminta nasihat pada orang yang bijak dan taat pada nasihatnya karena tanpa ketaatan itu praktek matiraga kita mudah tercemar oleh kehendak kita sendiri (bdk. Ams 13:16, Sir 32:19). Matiraga yang ditegaskan oleh Montfort adalah matiraga yang terus menerus dan tetap. Maksudnya adalah matiraga itu harus mewarnai seluruh perjalanan hidup kita sebagai orang Kristen. Mengenai hal itu, Montfort menjelaskan: "Untuk memberikan diri, Kebijaksanaan tidak puas dengan matiraga yang setengah-setengah, hanya beberapa hari, tetapi matiraga harus terus menerus...” 44) Dengan demikian, matiraga itu sama saja dengan membawa salib-salib dalam perjalanan hidup kita. Bagi Montfort, yang terpenting dalam pengosongan total itu adalah bukan pada segala macam cara atau pelatihan rohani yang kita lakukan tetapi pada suatu kesadaran dan penghayatan bahwa cinta kasih Allahlah yang mendorong dan menggerakkan segala usaha kita itu. Sarana ini juga merupakan sarana yang diberikan, yang dikehendaki Allah. Untuk menegaskan hal itu, ia mengangkat kata-kata dalam kitab Ayub 28:13 dan mengintepretasikannya sebagai berikut: "Kebijaksanaan, kata Roh Kudus, tidak berada di antara manusia yang hidup santai, yang memuaskan hawa nafsunya dan kesukaannya.”45) 42) Louis Grignion de Montfort, Op. Cit., No.197-201, hlm. 167-169. 43) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., No. 202, h1m. 169-170. 44) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid., No. 196, hlm. l67. 45) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibid.,No.194, h1m.165 Ay.28:13 : "Jalan ke sana (untuk memperoleh kebijaksanaan) tidak diketahui manusia dan tidak didapati di negeri orang hidup." Bdk. Rom 8:7-8 : "Sebab keinginan daging 28 * Pengabdian kepada Maria Bagi Montfort, sikap bakti yang benar kepada Bunda Maria adalah sarana yang paling unggul untuk mengantar kita ke dalam persatuan dengan Putera-Nya. Montfort begitu menekankan sarana ini karena di didasarkan pada pandangan bahwa manusia itu mahluk yang berdosa, tidak murni. Ketidakmurnian, ketidakpantasan itu justru menjadi penghalang untuk mengenal dan bersatu dengan Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan. Oleh karena itu, menurut Montfort, agar kita layak dan pantas untuk mengenal dan memperoleh Sang Kebijaksanaan adalah membiarkan Maria memasuki dari mendiami "rumah kita" dengan cara membaktikan diri kita secara benar kepadanya. Bagi Montfort, seluruh sarana di atas akan terasa berat, sulit tanpa disertai pembaktian diri ini. Akan tetapi, lewat pembaktian ini bukan berarti segala kesulitan, perjuangan menjadi lenyap, tidak ada sama sekali. Akan tetapi, kesulitan dan perjuangan akan lebih ringan karena bunda Maria yang hadir dalam "rumah kita" dengan segala keutamaannya akan menerangi, menyokong, dan menyalurkan rahmatnya itu kepada kita untuk membawa kita bertemu dengan Puteranya. Dalam hal ini, Montfort mendasarkan ajarannya pada ajaran para Bapa Gereja, khususnya Agustinus bahwa Maria bukan hanya mengandung, membentuk, dan melahirkan Yesus, tetapi ia juga mengandung, membentuk, dan melahirkan anggota-anggota-Nya, kaum pilihan-Nya, yakni kita sendiri.46) Tugas untuk membentuk kaum pilihan-Nya itu adalah tugas yang dianugerahkan oleh Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Hal itu diuraikan Montfort sebagai berikut: adalah perseteruan terhadap Allah karena ia tidak takluk kepada hukum Allah.... Mereka yang hidup dalam daging tidak mungkin berkenan kepada Allah.". 46) Louis Marie Grignion de Montfort, Rahasia Maria h1m. 9. 29 "Kepada Maria, Allah Bapa berkata: in Jacob inhabita: 'dalam Yakub-lah mesti kau pasang kemahmu', artinya Puteriku tinggalah dalam hati kaum pilihan-Ku, yang dilambangkan dalam diri Yakub. Kepada Maria, Allah Putera berkata in Israel haereditare: 'Ibuku yang tercinta, di Israel kau dapat milik pusaka', artinya dalam kaum pilihanKu. Kepada Maria, Roh Kudus berkata in electis meis mitte radices: 'mempelaiku yang setia berakarlah dalam hati kaum pilihanKu."47) Beranjak dari hal itu, menurut Montfort adalah sia-sia bila kita mengaku anak Allah, murid Kristus tetapi menolak Maria sebagai Bunda kita. Agar menjadi kelompok orang pilihan, kita perlu memberikan tempat kepada Maria melalui pembaktian diri kepadanya sehingga ia mendiami dan mengakar dalam "rumah kita". Bagi Montfort, Pembaktian diri kepada Bunda Maria secara benar adalah pembaktian yang bersifat batiniah, lembut, suci, teguh dan tanpa pamrih.48) Berikut ini, kita akan melihat uraian Montfort mengenai sifat pembaktian itu satu per satu. Pembaktian kepada Maria bersifat batiniah, maksudnya adalah pembaktian keluar dari budi dan hati yang didasarkan pada rasa hormat, penghargaan dan cinta terhadap Maria. Singkatnya, pembaktian kepada Maria jangan hanya tampil dalam ungkapan-ungkapan lahiriah, jangan hanya saleh dibibir. Pembaktian bersifat lembut, artinya bahwa kita menyerahkan diri penuh kepercayaan pada Bunda Maria bagaikan seorang anak penuh kepercayaan terhadap ibunya. Itu berarti juga bahwa kita membaktikan diri dengan penuh kepolosan, kemesraan, tanpa dihinggapi perasaan takut tidak menghormati Allah. 47) Louis Marie de Montfort, Ibid., h1m. 9-10. Dalam uraiannya itu, Montfort menginterpretasikan kitab Sirakh 24:8, 12. 48) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibadat Sejati, h1m. 89-92. 30 Pembaktian bersifat suci, maksudnya adalah bahwa pembaktian harus mendorong jiwa untuk mengelakkan dosa dan meniru keutamaan-keutamaan Bunda Maria, seperti kerendahan hati, iman yang hidup, ketaatan total, pengosongan total, kemurnian, cinta yang berkobar, kesabaran, dan kelembutan. Oleh karena itu, dalam pembaktian ini penting bahwa kita membaharui janji-janji baptis kita. Selain itu, Montfort juga menjelaskan bahwa pembaktian yang dilakukan dengan maksud yang tidak murni, seperti pembaktian dilakukan untuk menghindari sakramen pengakuan, adalah palsu. Pembaktian bersifat teguh, artinya bahwa pembaktian tidak bersifat sementara atau berubah-ubah. Singkatnya, pembaktian tidak dilakukan hanya untuk sementara waktu dan bila datang pencobaan kita mengabaikan pembaktian itu. Dalam hal ini, Montfort menyadari bahwa dalam pembaktian kita terkadang tersandung dan mengalami saat-saat kering. Oleh karena itu, kita harus tetap teguh karena Bunda Maria tidak akan membiarkan kita. Pembaktian bersifat tanpa pamrih, maksudnya adalah bahwa pembaktian tidak mencari untung untuk diri sendiri, demi keselamatan diri, baik keselamatan yang fana atau abadi. Bagi Montfort, pembaktian jangan untuk mempertahankan atau memperoleh harta duniawi atau rohani, misalnya, untuk memperoleh keutamaan-keutamaannya, tetapi pembaktian kepada Maria dilakukan karena ia pantas untuk dihormati, dicintai. Beranjak dari uraian di atas, jelaslah bahwa pembaktian kepada Bunda Maria adalah suatu sarana yang unggul untuk membawa kita ke dalam persatuan dan keserupaan dengan Puteranya, Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan. Menurut Montfort, semakin jiwa kita dibaktikan kepada Maria, semakin mesra kita menjadi milik Yesus Kristus. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa melalui pembaktian yang benar ini tidak hanya menghadirkan Kristus dalam jiwa kita, tetapi juga menahan dan mempertahankannya sampai mati. Bagi Montfort, sarana-sarana yang ditawarkan itu tidak dapat dipisah- pisahkan satu sama lain. Singkatnya, sarana-sarana itu saling berkaitan erat menjadi satu kesatuan. Kesatuan itu akan tampak bila 31 sarana-sarana itu kita urutkan sebagai berikut: Keinginan yang berapi-api adalah tahap awal perjalanan mistik ini. Itu menjadi nyata dalam doa-doa yang tiada hentinya untuk memperoleh kebijaksanaan. Selanjutnya, doa terus-menerus harus disertai dengan pengosongan diri secara total untuk menciptakan ruang bagi Sang Kebijaksanaan. Dan, ruang yang telah disediakan itu didiami oleh Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan melalui pembaktian diri secara benar kepada Bunda Maria. 4. KESIMPULAN a. Pengalaman Mistik sebagai Pengalaman Cinta dan Pengenalan Pengalaman mistik Montfort merupakan korelasi antara pengalaman cinta dan pengenalan. Itu berarti bahwa prakarsa cinta kasih Allah yang gratuit yang menjadi penggerak awal pengalaman mistiknya. Cinta Allah yang gratuit itu mendorong Montfort untuk merindukan dan mengenal Allah. Selanjutnya, pengenalan akan Allah membawanya masuk ke dalam pengalaman cinta yang begitu mesra dengan Allah, suatu persatuan yang mengatasi segala pengertian, yang mengubah. Pengalaman mistik Montfort sebagai pengalaman cinta dan pengenalan akan Allah mengandung dua hal mendasar, yakni pengalaman mistik, pertama-tama, digerakkan oleh Yang Ilahi di satu pihak dan di lain pihak diperlukan adanya usaha manusia untuk menanggapi-Nya. Akan tetapi, hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa usaha manusia itu bukan-lah suatu aktivitas yang digerakkan oleh kehendak manusia sendiri, tetapi cinta kasih Allah-lah yang menggerakkannya. Selain itu, pengalaman cinta dan pengenalan akan Allah terpusat dan terarah pada misteri Allah yang mengagumkan dalam diri Yesus Kristus, Sang Kebijaksanaan yang menjelma dalam bentuk yang bodoh dan tersalib. Persatuan dan pengenalan dengan Yesus Kristus, buah cinta Bapa dalam jiwa membawa Montfort masuk ke dalam pengalaman cinta dengan Bapa Yang Mahacinta. Dalam 32 pengalaman pengenalan dan persatuan akan Yesus Kristus, Montfort memberi tempat kepada peran serta Maria. Dalam hal ini, Maria menjadi pendamping, pembimbing dalam perjalanan menuju pengenalan dan persatuan akan Allah. Singkatnya, Maria dengan segala keutamaan dan karunia yang dimilikinya membawa manusia mengatasi dirinya sendiri masuk ke dalam persatuan dengan misteri cinta Allah yang mengagumkan. Pengalaman mistik Montfort, yakni pengalaman cinta dan pengenalan akan Allah, dalam diri Yesus Kristus membawa kita ke dalam pemahaman bahwa pengalaman mistik Kristiani tidak dapat dilepaskan dari prakarsa cinta Allah yang gratuit dalam diri Yesus Kristus. Bila kita melepaskan peran Allah, pengalaman mistik akan bersifat psikologis belaka, yakni pengalaman kesadaran jati diri atau otentisitas diri yang sejati. Selain itu, pengalaman mistik Kristiani juga tidak dapat dilepaskan dari aktivitas manusia untuk menanggapi dan mengenal Sang cinta dengan memberikan diri secara total kepada-Nya dalam totalitas hidupnya. Dalam hal ini, aktivitas manusia itu adalah "aktivitas yang pasif", yakni ia aktif, bertindak, tetapi tindakkannya itu didorong oleh Cinta Allah. Bila usaha manusia itu diabaikan, pengalaman mistik Kristiani akan jatuh ke dalam quietisme. Beranjak dari hal-hal di atas dapat dikatakan bahwa, cinta dan pengenalan akan Allah yang terpusat dalam diri Yesus Kristus menjadi sangat penting dalam pengalaman mistik Kristiani karena cinta dan pengenalan menjadi penggerak perjalanan menuju persatuan dengan Allah. b. Pengalaman Mistik sebagai Pengalaman Luar biasa dan "Biasa" Pengalaman mistik Montfort sebagai pengalaman cinta dan pengenalan akan Allah mengantarkan ke dalam suatu pemahaman bahwa pengalaman mistik adalah pengalaman Luar biasa dan sekaligus "biasa". Pengalaman mistik disebut pengalaman luar biasa karena dalam pengalaman itu seorang mistikus mengalami pengenalan dan persatuan 33 yang sangat mendalam dengan Allah yang membawanya ke dalam suatu perubahan total yang mengatasi segala pengertian. Dalam pengalaman itu, manusia, yang terbatas, masuk ke dalam misteri cinta kasih Allah yang tak terbatas sehingga ia mengenal bahwa dari balik salib, penderitaan, penghinaan tersembul sesuatu yang indah, yakni cinta. Singkatnya, pengalaman mistik merupakan pengalaman luar biasa karena mengatasi segala pengalaman sehari-hari biasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya, pengalaman mistik sebagai sebuah pengalaman adalah sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi, pengalaman yang luar biasa itu bersifat biasa. Artinya bahwa pengalaman itu dapat "diusahakan" dalam dan melalui pengalaman biasa, sehari-hari dalam terang iman. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalaman mistik yang luar biasa tidak hanya bersifat ajaib, spektakuler, datang secara tiba-tiba dari langit dan terlepas dari pengalaman sehari-hari, biasa. Beranjak dari hal itu, pengalaman mistik Montfort mau menegaskan bahwa pengalaman mistik Kristiani adalah pengalaman yang luar biasa, tetapi tidak melepaskan diri dari pengalaman sehari-hari biasa tempat kita hidup. Pengalaman sehari-hari biasa menjadi medan perjalanan menuju persatuan mistik kristiani. c. Pengalaman mistik Montfort sebagai Pengalaman Perjalanan Iman Berbicara mengenai pengalaman mistik Kristiani tidak mungkin melepaskannya dari pengalaman iman. Pengalaman mistik Kristiani justru berada di wilayah pengalaman iman dan rahmat. Dalam pengalaman itu, orang disapa oleh Allah dan menyapa-Nya dengan penuh iman, dikaruniai dan menerima, dikasihi dan mengasihi. Iman meru- 34 pakan penyerahan diri manusia secara total dan bebas kepada Allah.49) Berkat imannya, orang terus menerus berusaha menjalin relasi dengan Allah dan merindukan persatuan dengan-Nya. Sehubungan dengan itu, pengalaman mistik Montfort sebagai pengalaman pengenalan dan persatuan dengan Allah tidak dapat dilepaskan dari pengalaman imannya. Pengalaman mistik Montfort merupakan buah pengalaman perjalanan imannya yang cukup panjang, sebagaimana tampak dalam periode pencarian akan Allah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalaman mistik Montfort merupakan puncak pengalaman pencarian akan Allah dalam terang iman. Beranjak dari hal itu, dapat disimpulkan bahwa pengalaman mistik kristiani bukan-lah sesuatu yang datang tiba-tiba, tetapi suatu perjalanan iman. Pengalaman mistik sebagai perjalanan pengalaman iman tidak dapat dilepaskan dari Kitab Suci, sakramen, dan pengalaman iman jemaat. Ketiga hal itu justru mendasari dan mengarahkan perjalanan iman ke dalam suatu pengalaman mistik. Dengan kata lain, ketiga hal itu menjadi sumber, akar dan sekaligus arah pengalaman mistik Kristiani. Pengalaman mistik Montfort sebagai pengalaman pengenalan dan persatuan dengan Allah Bapa dalam Yesus Kristus merupakan buah lectio divina yang dalam dan keras akan teks-teks Kitab Suci, khususnya kitab Kebijaksanaan Salomo, Injil Yohanes, dan surat-surat Paulus. Selain itu, pengalaman mistik Montfort juga terkait dengan pengalaman pengenalan akan Allah jemaat kristiani sepanjang sejarah, khususnya pengalaman pengenalan akan Allah dari para orang kudus dan tokoh spiritualitas, seperti Agustinus (354-430), Dionisius Areopagita, Henrikus Suso (1295-1366), Fransiskus Asisi (1182-1226), Maria Magdalena dari Pazzi (1566-1607), Fransiskus de Sales (1567-1662), Fransiskus dari Paula (1416-1507), Berulle (1575-1629) 49) Dr. J. Riberu (penerjemah), Tonggak Sejarah Pedoman Arah, Dokumen Konsili Vatikan II, "Konstitusi Dogmatik tentang W ahyu Ilahi, artikel 5", Dokpen Mawi, Jakarta, 1983, hlm. 296. 35 dan para pengikutnya.50) Perjumpaan dengan pengalaman pengenalan akan Allah dari para tokoh tersebut, khususnya dalam karya-karya rohani atau karya-karya tentang kisah hidup mereka mengantar Montfort masuk dalam pengalaman rohani para tokoh. Hal itu ikut mewarnai pengalaman pengenalannya akan Allah. Selain Kitab Suci dan pengalaman pengenalan Allah jemaat beriman, pengalaman mistik Montfort juga terkait dengan sakramen, khususnya sakramen baptis. Dalam hal ini, Montfort tidak mengesampingkan sakramen-sakramen lain, khususnya ekaristi. Justru, Montfort hendak memberikan dasar atau menghidupkan penghayatan iman umat terhadap sakramen-sakramen lainnya, khususnya ekaristi sehingga sakramen ekaristi sungguh menghasilkan dampak rahmat dan menjadi sarana manusia menjalin relasi dan bersatu dengan Allah.51) Hal ini harus dimengerti dalam konteks kehidupan religius di Perancis pada saat itu, di mana mayoritas orang dibaptis, tetapi hidupnya serampangan, tidak sesuai dengan janji baptisnya. Mereka bersikap saleh, taat beragama, tetapi mereka menindas sesamanya, khususnya kaum miskin. Dalam hal ini, pembaharuan janji baptis berarti pembaharuan iman. Pembaharuan iman berarti pembaharuan penyerahan diri secara total kepada Allah secara terus menerus. Dengan demikian, pembaharuan membawa orang beriman ke dalam kehadiran akan Allah terus menerus dalam hidupnya. Oleh karena itu, pembaharuan janji Baptis menjadi sangat penting bagi perjalanan menuju persatuan mistik karena manusia membaharui kembali penyerahan dirinya kepada Allah. Montfort meletakkan pembaharuan janji baptis dalam pembaktian diri kepada Bunda Maria. Itu berarti bahwa pembaharuan janji baptis dilakukan melalui perantaraan Bunda Maria. Dengan demikian, pembaharuan janji baptis 50) Nama-nama tokoh tersebut tercantum dalam karya-karya Montfort yang berjudul Cinta dari Kebijaksanaan Abadi (No. 130-132, 166) dan Ibadat Sejati (No. 159-163). 51) Louis Marie Grignion de Montfort, Ibadat Sejati, diterjemahkan oleh para Rubiah Karmel Lembang dan W im Peeters, smm, Seminari Montfort, Bandung, 1989, hlm. 222-227. 36 merupakan penyerahan diri total kepada Yesus Kristus melalui perantaraan Bunda Maria. 5. PENUTUP Tahun-tahun terakhir ini, terdapat fenomena yang menggembirakan dalam kehidupan menggereja, yakni pola hidup menggereja bergeser dari model kuantitatif, yakni mencari dan menambah jumlah pengikut sebanyak-banyaknya, ke model kualitatif, yakni peningkatan mutu hidup beriman umat yang sungguh mendalam. Itu berarti bahwa pelayanan Gereja terarah untuk membawa umat Kristiani ke dalam penghayatan iman yang lebih mendalam, yakni relasi personal dengan Allah dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain, pelayanan Gereja terarah untuk membawa umat ke dalam pengalaman akan Allah. Fenomena itu didorong oleh situasi hidup yang menawarkan segala macam kenikmatan atau nilai-nilai duniawi. Dalam situasi seperti ini, umat beriman memerlukan suatu arah dan dasar pijakkan yang kuat agar tidak jatuh ke dalam penghayatan iman yang dangkal. Dalam situasi tersebut, penulis melihat bahwa pengalaman mistik Montfort dapat memberikan sumbangan dalam praksis penghayatan hidup beriman. Hal itu secara eksplisit tampak dalam empat sarana atau jalan yang ditawarkan oleh Montfort, yakni kerinduan yang berapi-api, doa terus-menerus, pengosongan total, dan pembaktian diri secara benar kepada Bunda Maria. Melalui jalan tersebut, Montfort hendak memberikan umat Kristiani pijakan dan dasar yang kuat untuk masuk ke dalam pengalaman persatuan akan Allah dalam diri Yesus Kristus dalam seluruh totalitas hidupnya sehingga umat mampu menghayati imannya dalam situasi hidup yang menawarkan berbagai macam kenikmatan. ********* 37