BAB V Kesimpulan Identitas sebuah negara memegang peranan besar dalam proses hubungan antar negara. Identitas ini menentukan kepentingan dan dasar dari perilaku antar aktor. Aktor tidak memiliki kepentingan yang tidak berdasarkan oleh identitas. Aktor mendefinisikan kepentingannya di dalam proses mendefinisikan situasi. Proses dibentuknya identitas dan kepentingan ini disebut dengan socialization. Sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran untuk menyelesaikan tingkah laku seseorang dengan ekspektasi sosialnya. Proses pembentukan identitas ini terjadi ketika para pemimpin negara eropa mewakili partaipartai mereka yang memiliki identitas partainya masing-masing. Menurut konstruktivis, norma membentuk dan menentukan perilaku negara di dalam sistem internasional. Norma tidak hanya berfungsi untuk mengatur namun lebih dari itu membentuk perilaku negara. Bagi konstruktivis, kepentingan agent didasarkan atau ditentukan oleh konstruksi identitasnya yang terbentuk di dalam interaksi sosial. Di dalam Uni Eropa, tidak terdapat norma yang kuat, komunikasi antar aktor akan norma menentukan tingkah laku aktor tersebut. Aktor akan cenderung berperilaku sesuai dengan norma yang disepakati bersama. Ini dibuktikan dengan kebijakan yang diambil oleh negara-negara eropa lainnya selama krisis yang terjadi di Yunani dilakukan ketika terjadi pertemuan bersama antar pemimpin-pemimpin eropa. Masyarakat di benua Eropa membentuk sebuah organisasi regional yang bernama Uni Eropa. Organisasi ini awalnya untuk memudahkan negara-negara di Uni Eropa untuk saling berinteraksi dan bekerjasama. Ketika pembentukan Uni Eropa juga dibentuk 3 institusi dasar 87 di dalam Uni Eropa yang saling melengkapi bagaimana rezim Uni Eropa berjalan. Untuk lebih meningkatkan penyatuan regional ini juga disepakati sebuah perjanjian internasional yang bernama Traktat Maastricht. Traktat ini berisi berbagai macam peraturan dan juga kebijakan yang diambil negara anggota maupun rezim Uni Eropa dalam bertindak di dalam organisasi. Namun pada kenyataannya Traktat Maastricht ini tidak memberikan sebuah ketegasan bagi negara anggota. Segala macam pasal-pasal yang ada di dalamnya hanya berisi sebuah usulan dan rekomendasi bagaimana negara anggota berlaku agar sesuai dan menyatu dengan negara anggota lainnya. Dan perlu dipahami, bahwa Traktat Maastricht tidak dibuat ketika negara-negara eropa terkena krisis. Sampai saat ini proses penyelematan eropa dari krisis hanya berdasarkan pertemuan kepala negara eropa. Setelah terjadinya krisis Yunani ini, haruslah dibuat lagi sebuah traktat atau perjanjian internasional yang baru di dalam rezim Uni Eropa. Di dalam perjanjian internasional yang baru ini kemudian harus disepakati bagaimana institusi Uni Eropa bertindak dan mengambil langkah tegas bagaimana sebuah negara anggota keluar dari krisis. Kemudian disepakati juga bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang diambil oleh institusi pendukung Uni Eropa berlaku ketika keadaan krisis terjadi lagi. Sampai saat ini Uni Eropa belum menentukan dengan jelas organisasi ini merupakan sebuah organisasi inter-govermental (sesama pemerintah negara anggota) atau merupakan sebuah organisasi supranasional (berdiri lebih tinggi dari pada negara anggota). Ini terlihat dari institusi dasar pendukung di dalam Uni Eropa yaitu Dewan Eropa dan Parlemen Eropa. Dewan Eropa merupakan institusi pendukung yang dibentuk secara inter-govermental (merupakan perwakilan menteri-menteri dari negara anggota). Sedangkan parlemen eropa secara suparnasional (anggota parlemen dipilih langsung oleh masyarakat eropa). 88 Kalau dilihat secara cermat Yunani merupakan sebuah negara di kawasan regional Eropa yang mempunyai kekuatan ekonomi yang lemah. Kekuatan ekonomi negara Yunani tidaklah kuat, karena pendapatan negara mereka dihasilkan dari sektor pariwisata, makanan dan tembakau, tekstil, kimia, produk logam, pertambangan dan perminyakan. Ini diperkuat dari data World Bank Yunani hanya menempati posisi 34 di antara negara dunia dari hasil PDB yang mereka hasilkan. Kedepannya Uni Eropa harus menyeleksi lagi negara anggota yang mau masuk ke dalam keanggotaan mereka. Tidak hanya mengacu pada kesatuan regional akan tetapi apabila negara-negara anggota yang baru ini juga ingin masuk dalam kesatuan moneter, standar yang diambil harus lebih tinggi. Selain defisit sebuah negara, tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDB (Produk Domestik Bruto) yang dihasilkan negara tersebut harus menjadi acuan. Pada akhirnya krisis ini menunjukkan bahwa negara anggota yang tidak kuat secara ekonomi (dapat dilihat dari PDB yang dihasilkan) kemudian menjadi sebuah negara yang gampang terkena krisis yang bermula dari negara anggota lainnya. Ini disebabkan dari dampak penyatuan mata uang. Perlu diketahui bahwa konsep Welfare State yang dipopulerkan negara Eropa menjanjikan begitu melimpahnya jaminan sosial yang akhirnya memanjakan banyak masyarakat eropa akan kemudahan. Sehingga ide akan penghematan (Austerity Policy) yang ditawarkan ketika krisis terjadi malah menimbulkan penolakan. Munculnya kewajiban penghematan besar seperti pemotongan berbagai macama tunjungan kesejahteran justru membuat masyarakat eropa menjadi reaktif dan menolak.99 Inilah yang mengakibatkan 99 “European Union in Crisis : Menguatnya Pandangan Berbasis Kedualatan di dalam Krisis Ekonomi Uni Eropa” dari Journal Hubungan Internasional, Volume VI, No. 1, Tahun 2013, oleh Indra Kusumawardhana, mahasiswa Program Studi S2 Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga. 89 kebijakan penghematan ditolak ketika pertama kali hendak diambil oleh Yunani, yang mengakibatkan krisis menjadi berlarut-larut. Terjadinya krisis ekonomi ini akhirnya semakin membuat rakyat negera-negara anggota Uni Eropa kehilangan kepercayaan terhadap Uni Eropa. Meskipun secara umum publik masih pecaya terhadap Uni Eropa maupun pemerintah nasional mereka, tetapi jika diamati lebih cermat dapat dilihat bahwa ditahun 2006-2012 kepercayaan publik terhadap Uni Eropa terus mengalami penurunan dari 57% menjadi 31%.100 Hal ini dikarenakan krisis ekonomi yang terjadi dan rakyat negara-negara anggota semakin tidak percaya dan merasa tidak terwadahi kepentingannya di dalam Uni Eropa. Komisi Eropa menjadi institusi yang mengalami penurunan paling tajam dari 52% di 2007 menjadi 36% di 2011.101 Ini dikarenakan Komisi Eropa adalah institusi yang mengawasi implementasi regulasi-regulasi Uni Eropa. Komisi Eropa ini dianggap gagal karena tidak bisa melakukan intervensi terhadap negara-negara anggota Uni Eropa yang melanggar regulasi di dalam Uni Eropa. Pada kenyataannya krisis ekonomi yang terjadi di kawasan eropa susah untuk diselesaikan. Karena pada dasarnya, Uni Eropa merupakan sebuah integrasi regional yang mempunyai ide dasar penyatuan secara ekonomi yang terintegrasi di antara negara anggota. Integrasi ekonomi hanya bisa terjadi jika didasarkan pada kondisi-kondisi yang saling menguntungkan. Sedangkan krisis ekonomi yang melanda negara-negara anggota Uni Eropa tidak dapat diselesaikan dengan kondisi integrasi ekonominya yang terus meningkat. Krisis ini justru menunjukkan adanya benturan kepentingan nasional di antara negara-negara utama di Uni Eropa seperti Jerman, Perancis dan Inggris yang mendorong pandangan berbasis kedaulatan yang dipicu oleh menguatnya sentimen nasional dan meluasnya krisis ekonomi 100 Ibid. 101 Ibid. 90 menjadi krisis politik sehingga makin sulit untuk menyatukan posisi dalam menghadapi krisis secara regional.102 Dari berbagai pembahasan di atas dapat dilihat bahwa sentimen rakyat negara-negara anggota Uni Eropa semakin meningkat sejak terjadinya krisis ini. Tekanan-tekanan dari dalam negeri semakin membuat negara-negara utama Uni Eropa sebagai negara yang mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi arah kebijakan Uni Eropa memperkuat eksistensinya demi kepentingan nasional masing-masing negara mereka. Kekuatan ekonomi, pengaruh kondisi perpolitikan dalam negeri, dukungan rakyat, bahkan sejarah masa lalu turut memberi pengaruh terhadap pola pengambilan kebijakan baik itu di dalam Uni Eropa maupun dalam kondisi krisis sebuah negara. Kondisi-kondisi inilah yang bisa dilihat bagaiamana ketiga negara besar ini berperilaku dan bagaimana proses kebijakan yang mereka ambil yang tidak bisa kita lepaskan begitu saja dari faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya. 102 Ibid. 91