krisis utang yunani.

advertisement
Krisis Utang Yunani
KOMPAS, Senin, 31 Mei 2010 | 02:45 WIB
Oleh Rizal Ramli
Kasus krisis ekonomi Yunani menarik. Biasanya, krisis utang melanda negara-negara
berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Negara yang tergabung dalam Uni Eropa
yang kuat kok bisa mengalami krisis utang?
Krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika berbeda dengan krisis Yunani. Krisis Amerika
dipicu oleh krisis perbankan dan lembaga keuangan yang terlalu banyak memberikan kredit
perumahan dengan standar rendah (subprime loans) dan transaksi derivatif yang sangat
besar.
Sementara krisis Yunani tidak dipicu oleh krisis perbankan, tetapi karena krisis utang
pemerintah. Yunani terlalu banyak meminjam pada masa lalu untuk membiayai
pengeluaran yang jorjoran. Sebagai anggota Uni Eropa, Yunani dapat meminjam dengan
bunga murah karena memiliki peringkat utang relatif baik karena ditunjang oleh kekuatan
ekonomi Jerman dan Perancis.
Di samping itu, banyak bank investasi yang membujuk Yunani untuk terus meminjam, bila
perlu Yunani melakukan pinjaman off balance sheet. Akibatnya, utang Yunani semakin
besar (115 persen produk domestik bruto/ PDB) dan kemudian baru diketahui laporan
keuangannya banyak rekayasa. Akibatnya, peringkat dan harga surat utang Yunani jatuh,
padahal banyak bank Eropa memiliki surat utang Pemerintah Yunani (429 miliar dollar
AS).
Dua minggu lalu, saya di Spanyol berbicara dengan beberapa bankir dan kalangan
akademik untuk mengetahui dampak krisis Yunani terhadap negara-negara Eropa Selatan
lainnya.
Banyak dugaan bahwa negara- negara Eropa Selatan yang sering disebut sebagai negara
PIGS (Portugal, Italy, Greece, Spain) memiliki karakteristik yang nyaris sama: utang yang
besar (Italia 116 persen dari PDB, Spanyol 52 persen PDB, Portugal 75 persen PDB),
defisit anggaran yang tinggi dan ”terperangkap” dalam euro yang terlalu kuat.
Kesamaan karakteristik itulah yang mengkhawatirkan banyak pihak, bukan karena Yunani
merupakan negara kecil sehingga harus diselamatkan dengan segala cara seperti halnya
kasus Bank Century. Kesamaan karakteristik itulah yang berbahaya karena ekonomi
Spanyol (PDB 1.464 miliar dollar AS) dan Italia (PDB 2.118 miliar dollar AS) jauh lebih
besar daripada Yunani.
Total GDP negara PIGS 4.241 miliar dollar AS atau 12,8 kali Yunani. Ternyata, dalam
waktu satu minggu, peringkat utang dari negara-negara PIGS anjlok dan harga surat utang
mereka rontok. Segera terjadi efek berantai (contagion), harga saham dan mata uang di
seluruh dunia anjlok.
Walaupun Uni Eropa dan IMF telah mempersiapkan dana krisis 1 triliun dollar AS dan
Bank Sentral Eropa bersedia membeli surat-surat utang negara Eropa yang kena krisis,
ternyata tetap tidak mampu menahan kemerosotan di pasar saham dan pasar uang.
Akibatnya, Bank Spanyol dinasionalisasi dan yang lainnya dipaksa merger.
Tipikal IMF, saran yang diberikan adalah pengetatan fiskal besar-besaran, yang akan
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif di negara yang terkena krisis. Artinya,
Yunani diperkirakan tidak akan mampu membayar tambahan utang biaya krisis sehingga
tidak tertutup kemungkinan terjadi gagal bayar (default) dan restrukturisasi utang.
Utang dan defisit anggaran yang besar serta mata uang yang terlalu kuat merupakan
kombinasi yang berbahaya. Karakteristik itulah yang harus diwaspadai Indonesia jika tidak
ingin terkena dampak dari krisis ekonomi Eropa Selatan.
Selama lima tahun terakhir, utang Indonesia meningkat 30 persen, mencapai 178 miliar
dollar AS dengan bunga sangat tinggi dibandingkan dengan negara seperti Thailand,
Filipina, dan Vietnam. Apalagi jumlah dana jangka pendek (hot money) yang masuk
Indonesia sebelum krisis Yunani lebih tinggi dari tahun 2008, diperkirakan mencapai 110
miliar dollar AS, lebih tinggi dari cadangan devisa (78 miliar dollar AS).
Ini semua membuat Indonesia rentan (vulnerable) terhadap guncangan ekonomi eksternal.
Dengan utang yang besar dan tingkat bunga tinggi, kita membuka peluang untuk menjadi
korban gejolak eksternal. Memang sering diungkapkan bahwa rasio utang terhadap PDB
Indonesia rendah.
Namun, indikator yang lebih penting sebetulnya adalah kemampuan pemerintah untuk
membayar utang, yaitu rasio pembayaran pokok dan bunga terhadap pendapatan
pemerintah yang sudah sangat tinggi, nyaris sepertiganya. Beberapa kelompok usaha
swasta yang berutang terlalu tinggi berpotensi menjadi tambahan masalah.
Sebelum krisis Yunani, euro terlalu kuat, pernah mencapai 1,5 dollar AS/euro sehingga
membuat negara-negara Eropa yang ekonominya relatif lemah semakin tidak kompetitif.
Memang memiliki mata uang yang kuat membanggakan, tetapi jika uang kuat sebelum
waktunya dan tidak didukung oleh fundamental, justru sangat merugikan. Dilema itulah
yang dihadapi oleh negara-negara PIGS.
Mereka terperangkap dalam mata uang euro yang kuat. Seandainya mereka melepaskan diri
dari euro, mereka akan mampu meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi akan
lebih tinggi. Akan tetapi, pilihan itu tidak mudah karena bergabung dengan euro membawa
banyak manfaat lain.
Pengalaman negara-negara Asia Timur, Jepang (1951-1984 sebelum Plaza Accord), China
(1985-saat ini) justru menggunakan kebijakan mata uang lemah dan utang minimum untuk
meningkatkan daya saing ekspor, melindungi industri dalam negeri, menciptakan lapangan
kerja dan menumpuk cadangan devisa. Kebijakan mata uang lemah adalah satu faktor
mengapa beberapa negara Asia Timur mampu tumbuh di atas 10 persen dan mengejar
ketinggalannya dari negara Barat.
Sejak euro menjadi mata uang tunggal Uni Eropa tahun 2002 ternyata sangat sulit sekali
melakukan koordinasi fiskal antar- negara. Banyak negara anggota yang memiliki defisit
anggaran jauh lebih tinggi dari kesepakatan yang ditetapkan (3 persen dari PDB).
Koordinasi moneter Uni Eropa hanya bisa efektif jika didukung oleh koordinasi fiskal.
Sayangnya, hal itu sangat sulit terjadi karena masing-masing negara memiliki kewajiban
sosial dan ekonomi yang berbeda. Hal itu bisa diatasi jika Uni Eropa berubah menjadi
United States of Europe seperti halnya Amerika Serikat (USA) sehingga terjadi integrasi
fiskal dan moneter.
Akan tetapi, secara politik, integrasi itu masih akan sulit terjadi dalam waktu dekat. Pilihan
lain negara Eropa yang tidak memiliki disiplin fiskal terpaksa harus dikeluarkan dari Uni
Eropa. Alternatif yang lebih baik adalah penurunan nilai euro 1,0-1,1 dollar AS per euro.
Walaupun euro lemah sangat tidak disukai Jerman, tetapi kebijakan itu akan memperkuat
daya saing negara-negara Eropa dan berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi PIGS.
Rizal Ramli Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan
pada Kabinet Persatuan Nasional
Download