Tragedi Eropa Masih Berlanjut Setiap bangsa tentu akan menghadapi risiko kehancuran ekonomi jika mereka kehilangan produktivitas atau dengan kata lain sudah tidak mampu lagi memproduksi “sesuatu” yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen di dunia dan mulai hidup dari uang pinjaman hutang) untuk menjalankan kegiatan pemerintahan mereka. Pada dasarnya kegiatan pemerintahan mulai dari gaji birokrat di setiap tingkat pemerintahan hingga kegiatan lainnya (pemberian kontrak, hibah, pinjaman) umumnya bersifat mengkonsumsi sumber daya keuangan dan ekonomi suatu negara, dan tidak memberikan kontribusi dalam bentuk menciptakan sumber-sumber produksi baru yang akhirnya menciptakan kekayaan nasional untuk dikenakan pajak di masa datang sebagai sumber uang guna dibelanjakan pada kegiatan pemerintah. Pemerintah setiap negara membutuhkan adanya kaum pengusaha swasta yang rajin bersaing memperebutkan pasar untuk menciptakan Kekayaan Nasional baru dan menciptakan mayoritas lapangan pekerjaan. Karena hanya “kekayaan” yang diciptakan sektor swasta inilah yang merupakan sumber sebenarnya untuk keperluan perpajakan oleh berbagai tingkat pemerintah untuk membayar kegiatan mereka. Memang pemerintah memiliki alternatif sumber pendanaan lain dengan meminjam uang (berhutang atau menerbitkan obligasi) dan menyerahkan pada hasil pemungutan pajak di masa depan dari generasi mendatang untuk membayar kembali pinjaman tersebut. Hanya saja begitu sumber dana hutang menjadi kontributor utama pembiayaan kegiatan pemerintah, maka masalah seperti Yunani pun tidak bisa dihindari. Bahkan, masalah yang dihadapi Yunani sudah berjalan sedemikian parah hingga jika mereka menolak melunasi semua hutang pemerintah mereka (default), Yunani masih tidak memiliki cukup uang untuk membayar seluruh tagihan mereka yang lain. Dan orang-orang Yunani tidak bodoh, mereka dengan segara mengambil (mengungsikan) Euro yang mereka punya keluar dari sirkulasi perekonomian Yunani secepat mungkin (bank run). Memang masih ada sisi perdebatan lain mengenai aktivitas belanja pemerintah. Dan beberapa pengeluaran pemerintah ada yang bersifat seperti investasi, dan dengan demikian memiliki potensi menciptakan kekayaan nasional baru di masa datang (ambil contoh pembangunan jalan, pelabuhan, bandara atau infrastruktur penunjang ekonomi lainnya). Dan memang benar bahwa beberapa pengeluaran pemerintah sangat diperlukan demi kedaulatan suatu negara (belanja pertahanan). Dalam hal ini, sangat disarankan untuk setiap pemerintahan untuk mampu memprioritaskan belanja mereka secara bijak pada keperluan strategik dan yang memiliki potensi penciptaan sumber kekayaan nasional baru, apalagi jika menggunakan sumber dana yang berasal dari hutang. Euro mungkin adalah mata uang pertama di dunia yang diciptakan tanpa negara. Uni Eropa bukanlah negara federal, seperti Amerika Serikat, tetapi sebuah aglomerasi negara berdaulat. Negara-negara Eropa sendiri relatif masih kaku, termasuk pasar tenaga kerja-di mana terdapat perbedaan bahasa dan perlindungan hukum niaga maupun profesi antar negara sehingga menghambat mobilitas tenaga kerja. Hal ini membuat sulit bagi ekonomi Eropa untuk menyesuaikan diri secara cepat terhadap perubahan siklus ekonomi dan struktural perdagangan dunia. Yunani adalah pusat krisis fiskal dan mata uang di zona Euro. Perusahaan, rumah tangga dan bahkan pemerintah mereka kini dalam kondisi kekurangan uang. Pemerintah sudah tidak mampu membayar pemasok dan pegawainya secara tepat waktu, sehingga rumah tanggapun juga tidak dapat membayar tagihan mereka. Dan dunia bisnis, pada gilirannya, tidak bisa pula membayar pemasok mereka. Pada kondisi normal, pasokan kredit (hutang) dapat membantu meringankan kendala likuiditas dalam transaksi ekonomi. Tapi saat ini hanya ada sedikit pasokan kredit di Yunani Jika Yunani jadi keluar dari zona Euro (hasil Pemilu terakhir kelihatannya tidak akan mewujudkan skenario ini dalam waktu dekat) memang akan berdampak besar, namun tidaklah separah jika Spanyol keluar dari Euro. Tidak seperti Yunani, Spanyol adalah negara ekonomi besar. Menurut IMF ukuran perekonomian Spanyol lebih dari lima kali perekonomian Yunani. Dan tidak seperti Yunani, efek jatuhnya Spanyol akan memiliki dampak luas mengingat negara ini memiliki banyak bank besar dan berskala bisnis global (terutama ke kawasan Amerika Latin). Tragedi Yunani dimulai dengan krisis fiskal yang disebabkan oleh pemerintah mereka yang menghabiskan uang lebih dari penghasilan pajak mereka-yang kemudian berkembang menjadi krisis perbankan. Di Spanyol, krisis fiskal baru muncul kemudian memperparah krisis perbankan yang sudah ada sebelumnya. Krisis fiskal dan perbankan seringkali berkaitan karena dalam perekonomian modern, negara dan perbankan seringkali bercampur peran. Bank membeli surat hutang pemerintah dan mendukung pembelanjaan negara, sementara pemerintah menjamin pelunasan kewajiban bank (simpanan nasabah). Ketika salah satu pihak yang melemah, begitu juga yang lainnya. Perbankan Spanyol mengalami masalah tidak hanya karena pemerintah Spanyol menjalankan defisit fiskal besar, tetapi juga karena kredit macet yang mereka kucurkan sebelumnya ke sektor properti, baik untuk perusahaan pengembang maupun individu dalam bentuk KPR. Sektor konstruksi Spanyol relatif memiliki kontribusi lebih besar ke seluruh ekonomi mereka daripada sektor konstruksi di negara zona euro lainnya dan bahkan Amerika Serikat. Perbankan Spanyol telah mengambil langkah penghapusan (write downs) sebagian nilai pinjaman mereka, tapi banyak pengamat memperkirakan masih tidak cukup. Pemerintah Spanyol sendiri secara efektif telah menasionalisasi satu bank, Bankia, karena terancam kebangkrutan. Tapi akan sangat mungkin mereka akan dihadapkan dengan kebutuhan pengambilalihan bank lainnya. Pemerintah Spanyol sendiri sudah mengakui bahwa mereka tidak memiliki dana untuk rekapitalisasi bank-bank bermasalah. Menteri-menteri keuangan Uni Eropa dilaporkan juga telah berkomitmen menyediakan hingga 100 miliar Euro ($ 125 Milyar) untuk upaya rekapitalisasi perbankan Spanyol. Namun, pengalaman dengan krisis perbankan secara umum di dunia menunjukkan bahwa perkiraan awal kerugian ini akan terbukti terlalu rendah. Dengan kata lain Spanyol akan butuh bailout tambahan dalam waktu dekat. Bagaimana situasi krisis perbankan Spanyol ditangani akan menentukan masa depan Euro dan mungkin masa depan dari Uni Eropa secara keseluruhan lebih daripada Yunani. Apakah pembayar pajak di Jerman dan negara-negara kaya lain bersedia mendanai bailout yang lebih besar kepada perbankan Spanyol? Apakah warga negara Uni Eropa di luar zona Euro, seperti Swedia dan Inggris, akan diminta untuk bergabung membantu? Atau akankah Spanyol dibiarkan mengalami bencana perbankan dan depresi? Masalah perbankan Spanyol adalah awal dari masalah perbankan Eropa secara keseluruhan. Bank-bank di Perancis, Inggris dan Jerman juga membeli sejumlah besar utang negara dan swasta dari Portugal, Italia, Irlandia, Yunani dan Spanyol. Pasar saham di Eropa telah bergejolak menghadapi berbagai potensi masalah yang seakan tidak pernah berakhir. Namun diluar semua itu, biaya pinjaman (suku bunga obligasi pemerintah) Jerman kecenderungannya terus turun. Jadi, masalah yang terjadi di beberapa negara Uni Eropa justru membuat Jerman semakin mudah memperoleh pendanaan hutang. Hal ini kemudian menimbulkan gagasan untuk menerbitkan Eurobonds yang dijamin pelunasannya secara bersama-sama oleh seluruh negara Uni Eropa guna menumpang kekuatan ekonomi Jerman. Argumen yang mendukung penerbitan obligasi bersama Uni eropa adalah zona Euro secara keseluruhan hanya mengalami defisit total anggaran 4.1% dari PDB pada 2011, dengan total hutang pemerintah setara 87.2% dari PDB. Jika zona Euro dianggap sebagai satu negara, angka-angka tersebut lebih baik dibandingkan dengan Amerika Serikat dan seharusnya suku bunga surat hutang mereka bisa setara atau lebih murah dari AS. Hanya saja perkiraan suku bunga obligasi pemerintah setara AS tersebut belum tentu terwujud mengingat AS memiliki otoritas fiskal pusat (pemerintahan federal) yang kuat dengan kapasitas untuk memungut pajak langsung di seluruh negara bagian dan mencetak mata uang sendiri. Eropa tidak memiliki otoritas fiskal setara. Hal ini akan membuat Eurobonds sama saja seperti Euro itu sendiri, hanya sekedar ikatan tanpa negara ataupun perbendaharaan tunggal untuk mendukungnya. Pelunasan obligasi ini hanya tergantung pada kemauan dan kemampuan negara-negara yang terlibat untuk memenuhi komitmen mereka. Terburuk dari semuanya, mengubah serikat mata uang ke dalam serikat hutang jikalaupun berhasil hanya akan mengurangi tekanan pasar obligasi yang sebenarnya merupakan kekuatan utama yang mendorong beberapa negara Eropa bergaya hidup boros (yang merupakan sumber seluruh masalah yang ada saat ini) menuju reformasi fiskal dan pasar tenaga kerja. Dengan kata lain, keberhasilan Eurobonds hanya menunda penyelesaian masalah struktural perekonomian Eropa. Adakah pengaruh dari permasalahan di Eropa terhadap ekonomi Asia? Bagi negara yang mengandalkan perdagangan (ekspor) sebagai penggerak ekonomi, seperti Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Thailand dan Malaysia, masalah di Eropa kemungkinan akan membawa dampak. Efek terbesar dari jalur perdagangan mungkin akan dirasakan oleh Korea Selatan dan Taiwan, mengingat nilai ekspor mereka ke Eropa relatif besar. Ekonomi negara yang mengandalkan dana perbankan internasional dan investasi asing juga akan merasakan dampak masalah Eropa. IMF memperkirakan bahwa selama krisis 2008 lalu, untuk setiap 1% penurunan pasokan pinjaman dari bank asing ke Asia, akan mendorong bank domestik juga mengurangi penyaluran pinjaman sebesar 0.6%, hal ini akan membuat kesulitan sumber pendanaan terutama untuk usaha kecil dan eksportir. Sebagai pusat keuangan Asia, Singapura dan Hong Kong memiliki eksposur besar kepada bank-bank Uni Eropa. Jika Eropa bermasalah, bisa jadi akan banyak afiliasi bank-bank besar Eropa di kedua negara tersebut melakukan pengurangan karyawan. Malaysia bahkan memiliki pinjaman yang bersumber dari perbankan Eropa hingga 20% dari PDB, sebuah angka yang tinggi untuk wilayah Asia. Tetapi banyak negara Asia lainnya memiliki opsi yang lebih sedikit daripada yangdapat mereka lakukan saat mengatasi krisis 2008, ketika negara-negara seperti India, China dan Indonesia mampu mengucurkan stimulus atau pasar konsumen dalam negeri yang besar untuk membantu mereka melewati krisis. Jepang misalnya sudah dibatasi oleh tingkat utang pemerintah yang secara total sudah lebih dari 200% PDB, ruang Jepang juga terbatas untuk menggerakkan kebijakan moneter mengingat tingkat suku bunga mereka sudah mendekati nol. Masalah di Eropa akan mendorong penguatan nilai mata uang Jeoang (yang dianggap sebagi save haven bersama Dollar AS) yang tentu akan mengurangi daya saing harga ekspor mereka sementara pada saat yang sama permintaan Eropa untuk barang-barang Jepang cenderung berkurang. India juga lebih rentan dibandingkan tahun 2008. Saat ini defisit current account mereka lebih tinggi dibandingkan kondisi 2008, yang berarti sistem keuangan membutuhkan lebih banyak modal dari luar negeri untuk tetap dapat bertahan. Hutang pemerintah India kini juga lebih tinggi, yang membuat lebih sulit bagi New Delhi untuk menerapkan dapat meluncurkan paket stimulus. Sementara pertumbuhan sudah cenderung melambat namun inflasi cenderung menguat, hal ini membatasi gerak Bank Sentral India untuk dapat menurunkan suku bunga. Apalagi cadangan devisa India sudah lebih kecil dari tahun 2008. Sementara itu, Vietnam sedang berjuang mengatasi masalah pertumbuhan ekonomi yang lambat dan inflasi yang tinggi (meskipun telah mereda akhir-akhir ini). Dan tidak seperti India, Vietnam sangat bergantung pada ekspor ke Eropa, yang memberi kontribusi 13% dari PDB. Perbankan Vietnam sendiri sudah terbebani oleh peningkatan penyaluran kredit yang sangat besar pada stimulus 2009 yang membuat stimulus baru akan sulit untuk dikucurkan. Penulis: R. Nugroho Purwantoro Peneliti Lembaga Management FEUI Referensi Alex Frangos ,How Asia Will Fare if Europe Cracks, The Wall Street Journal, 19 Juni 2012 Gerald P. O'Driscoll Jr., How the Euro Will End, The Wall Street Journal, 13 Juni 2012, p. A15 _____,Deus ex Eurobonds, The Wall Street Journal, 25 Mei 2012, p. A12