Uni Eropa Hambat Ekspor Indonesia Jakarta, Kompas Direktur Jenderal (Dirjen) Kerja sama Industri dan Perdagangan Internasional (KIPI) Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) Hatanto Reksodiputro mengatakan, Komisi Eropa kurang menanggapi usulan untuk membuka akses pasar produk ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Sejumlah kebijakan yang diterapkan Komisi Eropa memiliki potensi menghambat ekspor komoditas Indonesia ke negara-negara Uni Eropa. "Komitmen Komisi Eropa untuk membantu RI seharusnya bukan sekadar lip service, tetapi memberikan tindakan yang nyata," kata Hatanto, usai pertemuan dengan Komisi Eropa, Jumat malam (21/12), seperti dikutip Antara di Brussel. Hatanto memaparkan, sejumlah kebijakan Komisi Eropa memiliki potensi menghambat ekspor komoditas RI ke negara-negara Uni Eropa. Kebijakan-kebijakan Komisi Eropa itu, antara lain kebijakan dalam hal komoditas ban karet yang disebut dengan tire emision. Kebijakan itu mengharuskan ban karet itu harus mengeluarkan suara berisik yang sangat minim saat bergesekan dengan jalan. "Alasan Komisi Eropa bahwa hal itu bisa menyebabkan polusi suara, tampaknya terlalu berlebihan," kata Hatanto. Selain itu, menurut Hatanto, Komisi Eropa juga menerapkan kebijakan dedicated container untuk ekspor minyak sawit RI ke negara-negara Uni Eropa. Dengan kebijakan itu, peti kemas yang digunakan untuk membawa minyak sawit RI ke Uni Eropa tidak boleh digunakan untuk membawa komoditas lainnya, selain minyak sawit. "Hal ini tentu saja sangat sulit untuk eksportir RI. Kalau peti kemas tersebut hanya bisa digunakan untuk membawa minyak sawit ke Eropa, lalu pulangnya kosong. Tidak boleh diisi komoditas lain untuk impor ke Indonesia, tentu akan sangat merugikan pengusaha kita," kata Hatanto. Hatanto juga mengeluhkan, kebijakan Komisi Eropa atas beberapa komoditas andalan RI, seperti kayu dan alas kaki yang sudah dikeluarkan dari daftar komoditi yang masuk dalam skema preferensi umum (Generalized System of Preferences/ GSP). Dengan demikian, komoditas tersebut tidak lagi mendapatkan keringanan tarif bea masuk (BM), karena dianggap sudah memiliki pangsa pasar yang luas. "Kita sudah meminta agar komoditas-komoditas andalan tersebut mendapatkan kembali fasilitas GSP dengan waktu terbatas. Misalnya, selama dua atau tiga tahun untuk membantu mengatasi krisis ekonomi yang terjadi saat ini di Indonesia," kata Hatanto. Kendati demikian, ungkap Hatanto, Komisi Eropa sendiri kurang memberikan tanggapan positif terhadap keluhan dan usulan-usulan tersebut. Alasannya, kebijakan-kebijakan itu terkait dengan kebijakan dari masing-masing negara Uni Eropa. (fer)