kebahagiaan bhutan dan konsistensi uni eropa

advertisement
Kebahagiaan Bhutan dan Konsistensi Uni Eropa
HARIAN SINDO, Monday, 11 October 2010
Tanggal 10 Oktober merupakan hari peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Acara ini adalah
satu-satunya kampanye kesadaran global tahunan, yang diperingati lebih dari 100 negara,dengan
fokus spesifik pada perbaikan pemahaman publik tentang kesehatan jiwa dan gangguan jiwa.
Pada tahun 2010 Direktorat Kesehatan Jiwa dari Kementerian Kesehatan Indonesia memilih
tema “Indonesia Sehat Bebas Pemasungan”. Target itu berlandaskan data terdapat 30.000
penderita terpasung dari total gangguan jiwa berat sebesar 750.000 jiwa.Kementerian Sosial
mendukung program Kementerian Kesehatan terkait paradigma tersebut. Bahkan Kementerian
Sosial juga ikut mengelola Panti Bina Laras di Sukabumi,Banjarmasin, Bengkulu dan Panti
Pemda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Program-program lintas kementerian ini semakin
memperkuat argumen bahwa cakupan kesehatan jiwa tidak lagi cocok jika inklusif menjadi
domain Kementerian Kesehatan saja.Kesehatan jiwa harus inklusif untuk ditangani bersama,
termasuk oleh Kementerian Sosial yang ikut menangani panti-panti yang akan memperkuat
sebuah sistem pelayanan kesehatan jiwa yang tidak lagi terfokus pada basis rumah sakit (jiwa)
tetapi lebih diarahkan pada basis komunitas.
Hanya saja tidaklah semudah membalikkan telapak tangan untuk dapat memosisikan pasien
dengan gangguan jiwa berat dalam basis komunitas karena inklusi sosial dan stigma masih
menjadi paket problem dari kesehatan jiwa. Padahal dengan memprioritaskan kesehatan jiwa,
sangatlah memungkinkan bahwa kesehatan jiwa yang inklusif ikut menjadi pilar kebahagiaan
dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Ala Uni Eropa
Pada bulan Juni 2008 European Pact for Mental Health and Well- Being diluncurkan. Pakta ini
merupakan proposal aksi intersektoral dalam bidang kesehatan jiwa yang mencakup 5 area
prioritas tematik: (1) kesehatan jiwa pada remaja dan pendidikan, (2) pencegahan depresi dan
bunuh diri,(3) kesehatan jiwa dan orang lanjut usia,(4) kesehatan jiwa di tempat kerja, (5)
melawan stigma dan eksklusi sosial. Setelah dua tahun, pakta ini memasuki fase implementasi
area prioritas keempat dengan mempersiapkan konferensi tematis “mempromosikan inklusi
sosial dan melawan stigma untuk kesehatan jiwa dan kesejahteraan.” yang akan diselenggarakan
di Lisbon pada November 2010.
Para pembuat kebijakan dan stakeholders dihimbau untuk berpartisipasi dalam proses
implementasi dan terlibat dengan mengumpulkan contoh-contoh aksi dan membuat rekomendasi.
Hasilhasilnya akan dimasukkan dalam “EU Compass for Action on Mental Health and Wellbeing” yang akan menjadi alat praktis untuk membimbing negara-negara anggota Uni Eropa dan
stakeholders dalam tujuannya untuk meningkatkan kesehatan jiwa dan kesejahteraan populasi
mereka. Sebagai bagian dari langkah EU Compass tersebut, juga dibuat “Database of Good
Practice Examples” sehingga akan memungkinkan bagi para negara anggota, otoritas regional,
dan partner LSM untuk mengakses praktik-praktik terbaik di area tersebut, sehingga tercipta
pertukaran solusi di Uni Eropa.
Instrumen yang termasuk di dalamnya berupa informasi dari berbagai tipe aksi,seperti kebijakan,
program, kampanye, dan pelatihan- pelatihan yang dikembangkan secara nasional,regional,
dan/atau level Uni Eropa. Pada saat menghadiri undangan Uni Eropa pada bulan Juli 2010,
tampak jelas bahwa ada kesinambungan visi misi dan program antara Desk Officer for Mental
Health and Well-Being in the Unit for Health Determinants di European Commission,
Luxembourg,dengan LSM Mental Health Europe (MHE) di Brussels.Walau tentu ada semangat
keraguan pada MHE di dalam proses ini. MHE pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia
ingin menggarisbawahi tentang tantangan implementasi United Nations Convention on the
Rights of Persons with Disabilities.
Dua tahun terakhir ini, banyak negara anggota Uni Eropa mengambil langkah- langkah penting
untuk meratifikasi dan mengimplementasi konvensi yang memberikan sistem perlindungan
konsisten di seluruh dunia dalam mempromosikan dan melindungi hak-hak warga negara
termasuk orang-orang dengan disabilitas dan di antaranya penderita gangguan jiwa. Hanya saja
tidak berbeda dengan Indonesia—yang masih marak dengan kasus pemasungan––, situasi di Uni
Eropa masih jauh dari ideal.Para penderita gangguan jiwa masih sangat berisiko tinggi dalam
mengalami kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Di Eropa, ribuan penderita
gangguan jiwa menghabiskan bertahun-tahun, atau seluruh hidupnya, terisolasi dalam institusi.
Hak mereka untuk membuat keputusan bagi dirinya, termasuk dalam membuat keputusan hidup
sehari-hari,sering dilanggar.
Kebahagiaan Bhutan
Pada saat menghadiri konferensi regional WHO bertemakan “Protecting Health from Climate
Change” minggu lalu, tidak ada perselisihan dari negara peserta terkait saran dari delegasi RI
yang menginginkan metode perubahan iklim harus mengindahkan aspekaspek kesehatan jiwa.
Fokus utamanya dalam proses adaptasi manusia agar tidak terkaget-kaget pada saat mengubah
gaya hidupnya menjadi ramah lingkungan dan tidak boros energi. Belum lagi dengan kesiapan
hidup menghadapi bencana alam dan juga bencana terkait perubahan iklim seperti cuaca
ekstrem.Kesamaan persepsi terkait kesehatan jiwa ini sangatlah mudah disepakati dalam resolusi
bersama, namun untuk diimplementasikan oleh semua negara tentu tidaklah mudah.
Sri Lanka adalah salah satu negara yang cepat mencanangkan Undangundang Kesehatan Jiwa
pascatsunami 2004,padahal korban jiwa di Indonesia jauh lebih tinggi daripada Sri Lanka.
Bhutan, yang terkenal dengan julukan “thelastshangri-laonearth”, juga tidak luput dari deraan
perubahan iklim.Namun proses adaptasi rakyat Bhutan terhadap perubahan iklim tersebut
mungkin tidaklah terlalu berat. Bertepatan dengan penobatan Raja Bhutan kelima, Jigme Khesar
Namgyel Wangchuck pada bulan November 2008,pemerintahan Kerajaan Bhutan mengadopsi
“Gross National Happiness index”(GNH) untuk merefleksikan nilai-nilai GNH,menetapkan
standar, menilai kebijakan dan performa dari negara Bhutan.
Raja Khesar menggarisbawahi bahwa tujuan utama dari perubahan- perubahan
sosial,ekonomi,dan politik di Bhutan adalah untuk pencapaian GNH. Dia beranggapan bahwa
masyarakat dengan GNH adalah masyarakat tercerahkan yang mana kebahagiaan dan
kesejahteraan masyarakat yang penuh “kehangatan” adalah tujuan utama dari pemerintahannya.
Kalimat “gross national happiness is more important than gross domestic product (GDP)”
diperkenalkan oleh Raja Bhutan keempat yang merupakan penulis dari GNH. Fakta bahwa GDP
perlu diarahkan pada kebahagiaan pada tahun 1970-an dan 1980-an merupakan hal yang cukup
baru.
Tidak ketinggalan, konsep GNH juga mengindahkan kaidah psikologi. Sejak saat itu,GNH telah
menarik perhatian dunia,dan opini pun mulai berkonvergensi pada kebahagiaan sebagai tujuan
kolektif. Gaya hidup masyarakat Bhutan juga mencerminkan 4 pilar GNH: (1).Perkembangan
ekonomi yang sustainable.(2).Preservasi budaya. (3). Preservasi lingkungan hidup. (4).Good
governance. Pada akhirnya, keunikan dari masing-masing negara memberikan kebebasan pada
negara tersebut untuk memberlakukan falsafah berbangsa bernegara,mempertahankan nilai, dan
merancang strategi yang sesuai.
Dengan gambaran yang berbeda antara Uni Eropa dan Bhutan tentu bisa menjadi inspirasi bagi
bangsa Indonesia terutama dalam konteks kebijakan kesehatan jiwa. Saat ini yang menjadi
masalah utama adalah stigma dan mispersepsi sehingga kasus psikotik banyak dipasung karena
dianggap kesurupan roh jahat dan tidak sadar telah melanggar berat hak asasi manusia.
Serta agenda lain yang juga sudah darurat menunggu realisasi terkait strategi proses adaptasi
bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim.Maka para pemangku tanggung jawab
perlu tegas menjaga konsistensi perjuangan legislasi yang memang darurat dan
mempertimbangkan penerapan konsep kebahagiaan (jiwa) sebagai tujuan akhir pembangunan.(*)
dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Demokrat
Download