kebijakan migrasi dan masalah kependudukan di uni eropa

advertisement
KEBIJAKAN MIGRASI DAN MASALAH KEPENDUDUKAN DI
UNI EROPA
disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Politik Internasional
Dosen Pengampu:
Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, M.A (IR)
Ririn Tri Nurhayati, M.A
Oleh:
Kelompok 8
Aisyah Febria
Boni Andika
Brian Nova Pratama
Dedi Setiawan
Ezka Amalia
Fatih Wicaksono
Lathifah Azzahro
Mutiara Antartika
Samuel Bashfield
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2012
KEBIJAKAN MIGRASI DAN MASALAH KEPENDUDUKAN DI
UNI EROPA
ABSTRAK
Penulisan paper ini bertujuan untuk mengelaborasi isu yang tengah
berkembang mengenai permasalahan kependudukan dan lingkungan
sebagai suatu tantangan keamanan tradisional bagi suatu Negara. Dalam
hal ini, penulis mengambil studi kasus regionalism Uni Eropa dengan
jumlah penduduk di usia produktif lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah penduduk usia tua. Hal ini tentunya akan menyebabkan semakin
rendahnya tenaga kerja di Uni Eropa dan kedepannya dapat berimplikasi
dalam perekonomian Uni Eropa sendiri. Oleh karena itu, penulis ingin
menganalisis alasan dibalik dikeluarkannya kebijakan menerima dan
mengintegrasikan migran ke Eropa untuk menangani permasalahan
kependudukan melalui neo-liberal institusionalisme.
Kata kunci : Ekonomi, Kependudukan, Neo-liberal institusionalisme, Uni Eropa.
Pendahuluan
Saat ini Uni Eropa tengah menghadapi permasalahan yang sangat penting dan
menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Permasalahan tersebut adalah
jumlah penduduk di usia produktif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk
usia tua. Pada tahun 2010, jumlah penduduk di usia muda (0 – 14 tahun) memberi
kontribusi sebanyak 15,6% dari keseluruhan jumlah populasi di 27 negara anggota Uni
Eropa, jumlah penduduk di usia kerja (15 – 64 tahun) berkontribusi 67%, dan jumlah
penduduk usia tua (65 tahun ke atas) berkontribusi 17,4% dari keseluruhan jumlah
penduduk di Uni Eropa.1 Dari statistik yang dikeluarkan oleh European Commission,
dalam dua dekade terakhir, peningkatan jumlah penduduk di usia kerja hanya mencapai
1
European Commission, Population structure and ageing (online), 1 Desember 2011,
<http://epp.eurostat.ec.europa.eu/statistics_explained/index.php/Population_structure_and_ageing>,
diakses 14 Maret 2012.
1
0,3%, sedangkan peningkatan jumlah penduduk usia tua mencapai 3,7%. 2 Hal ini
tentunya akan menyebabkan semakin rendahnya tenaga kerja di Uni Eropa dan
kedepannya dapat berimplikasi dalam perekonomian Uni Eropa sendiri.
Dengan adanya permasalahan tersebut, Komisi Eropa merumuskan lima
kebijakan penting sebagai respon terhadap perubahan demografi. Kebijakan tersebut
adalah pertama mendukung pembaharuan demografi melalui kondisi yang lebih baik
untuk keluarga dan meningkatkan rekonsiliasi dari kehidupan kerja dan keluarga, kedua
meningkatkan jumlah lapangan kerja dan menambah lama masa kerja dan ketiga
meningkatkan produktifitas dan performa ekonomi melalui investasi dalam bidang
pendidikan dan riset. Kebijakan yang keempat adalah menerima dan mengintegrasikan
migran ke Eropa dan kelima memastikan keuangan publik yang berkelanjutan untuk
menjamin uang pensiun yang memadai, perawatan kesehatan dan perawatan jangka
panjang.3 Dari kelima kebijakan penting yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa tersebut,
muncul
perdebatan
terkait
kebijakan
nomor
empat
yaitu
menerima
dan
mengintegrasikan migran ke Eropa. Paper ini akan mengelaborasi studi kasus melalui
pertanyaan, Mengapa Uni Eropa, dalam hal ini Komisi Eropa, mengeluarkan kebijakan
menerima dan mengintegrasikan migran ke Eropa sebagai salah satu kebijakan untuk
menangani permasalahan kependudukan di Uni Eropa?
Untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat, penulis menggunakan konsep
neo-liberal institusionalisme. Prinsip kunci neo-liberal institusionalisme adalah
mengakui keberadaan aktor non-negara dalam sistem. Para kaum neo-liberal
institusionalisme berpendapat bahwa salah satu cara untuk mencapai perdamaian dan
kesejahteraan adalah meski negara tetap menjadi aktor penting dalam hubungan
internasional, organisasi internasional juga memiliki peran penting di dalamnya.
Organisasi internasional akan terbentuk di sebuah wilayah yang negara-negaranya
memiliki kepentingan yang sama sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
juga mampu merespon masalah-masalah regional yang timbul. Bagi penganut neoliberal institusionalisme, pokok masalah ialah bagaimana membentuk institusi yang
dapat menghimpun secara kolektif sebanyak mungkin preferensi dari para aktor untuk
2
European Commission, Population structure and ageing (online), 14 Maret 2012.
3
European Commission, Demographic Change in the EU (online), <http://ec.europa.eu/social/main.
jsp?catId=502&langId=en>, diakses 14 Maret 2012.
2
menentukan kepentingan kolektif.
4
Sehingga menurut perspektif ini, dalam era
globalisasi dimana semua hal menjadi “terbuka” dan berhubungan satu sama lain,
organisasi internasional akan membantu negara-negara anggotanya yang terkena
permasalahan yang nantinya dapat membahayakan kawasan.
Dalam permasalahan yang diangkat oleh penulis, Uni Eropa merupakan
perwujudan dari neo-liberal institusionalisme. Uni Eropa adalah contoh dari sebuah
komunitas yang terintegrasi sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
mampu merespon masalah-masalah regional yang dihadapinya. Salah satu masalah
regional disini ialah fenomena The Ageing Society yang dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi negara-negara Uni Eropa. Kemudian, Uni Eropa menghimpun
secara kolektif preferensi dari para anggota terkait upaya penyelesaian permasalahan
tersebut.
Pembahasan dalam paper ini dibagi ke dalam tiga bagian, bagian pertama
menyampaikan tentang dampak permasalahan kependudukan bagi negara anggota
disertai dengan sebab-sebab munculnya The Ageing Society, bagian kedua akan
dijelaskan mengenai dampak yang terjadi akibat The Ageing Society yang mayoritas
berimbas pada perekonomian, bagian pembahasan terakhir akan disampaikan hasil
analisis penulis yang dikaitkan dengan konsep neo-liberal institusionalisme yang telah
disampaikan pada pendahuluan.
Permasalahan Kependudukan di Uni Eropa
Masalah kependudukan spesifik yang sedang dihadapi Eropa adalah tentang
jumlah ketersediaan tenaga kerja atau usia produktif yang lebih sedikit daripada mereka
yang sudah tidak produktif. Pertama, definisi dari usia produktif menurut standar Uni
Eropa adalah mereka warga negara anggota Uni Eropa yang berusia antara 15 tahun
hingga 64 tahun. Data tahun 2010 menyebutkan, jumlah usia produktif adalah 67% dari
total penduduk Uni Eropa, sedangkan mereka yang berusia lanjut (di atas 64 tahun)
berjumlah 17.4% dari total penduduk Uni Eropa.5
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 98.
5
European Commission, Population structure and ageing (online), 1 Desember 2011,
<http://epp.eurostat.ec.europa.eu/statistics_explained/index.php/Population_structure_and_ageing>,
diakses 14 Maret 2012.
3
Jika kita hanya melihat dari data ini saja, maka tidak akan ada masalah yang
berarti. Tetapi, permasalahan kependudukan kemudian muncul ketika angka
perbandingan umur ketergantungan (age dependency ratio) yang ada di Uni Eropa
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Fenomena tersebut
dibarengi pula dengan tingkat kelahiran yang semakin menurun. Standar kehidupan
serta life expectancy yang tinggi telah menimbulkan sebuah fenomena sosial yang
mempengaruhi baik itu kehidupan sosial politik maupun ekonomi. Isu kependudukan ini
kemudian dinamai The Ageing Society.
Uni Eropa sendiri mempunyai interpretasi yang berbeda dari fenomena Ageing
Society. Dituliskan dalam sebuah laporan pendek tentang kebijakan Uni Eropa yang
dirilis pada tahun 2008, fenomena ini merupakan indikator kesuksesan mereka dalam
membangun masyarakat yang sejahtera dan makmur dalam artian luas. Artian luas ini
kemudian terbagi-bagi menjadi beberapa aspek seperti dari aspek sosial ekonomi dan
aspek politik. Dari aspek sosial ekonomi, adanya fenomena semacam ini dinilai sebagai
indikator dari tingginya taraf hidup warga Uni Eropa secara umum. Mereka
memperoleh kesehatan yang memadai dan juga kekayaan seta kesejahteraan yang lebih
dari cukup untuk kehidupan mereka hingga mereka pada akhirnya sampai di umur 65
tahun, bahkan lebih.
Dari aspek politik bisa dilihat dari terpenuhinya hak-hak perempuan yang pada
akhirnya bisa dinilai telah disamakan kedudukan atau statusnya dengan pria: bahwa
wanita di Uni Eropa sudah bebas untuk memilih apakah dia akan menjadi seorang
wanita karir, seorang Ibu rumah tangga dan atau menjadi seseorang yang lain. Disini
juga ditemukan indikator bahwa wanita di Eropa juga bebas untuk memilih apakah ia
akan memiliki anak ataukah ia menolak untuk memiliki anak. Nilai-nilai atau normanorma seperti perempuan tidak diperbolehkan untuk bekerja sudah menghilang dari Uni
Eropa.
Di dalam laporan pendek tahun 2008 tersebut juga disebutkan analisa tentang
beberapa faktor yang menyebabkan fenomena Ageing Society:6
6
A. Zaidi, „Feature and Challenges of Population Ageing : The European Perspective‟, Euro Centre
(online), <http://www.euro.centre.org/data/1204800003_27721.pdf>, diakses 4 April 2012.
4
1. Manusia yang berumur panjang. Mereka adalah manusia yang lahir dari
ledakan kelahiran bayi di tahun 1945-1965, dimana umur mereka sangat
mungkin untuk mencapai 65+ di tahun 2010 dan seterusnya;
2. Menurunnya tingkat kelahiran atau kesuburan (fertility rate) sejak
kemunculan fenomena ledakan kelahiran bayi; dan
3. Meningkatnya angka harapan hidup di usia lanjut (yang sepertinya akan
terus berlanjut)
Dari ketiga poin tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa mereka yang lahir
di tahun 1945-1965 akan memasuki masa pensiun atau tidak bekerja di tahun 2000 dan
seterusnya. Kemudian diikuti dengan menurunnya tingkat kelahiran atau kesuburan di
Uni Eropa, hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara yang pensiun dengan
yang bisa bekerja. Ketimpangan inilah yang kemudian, beberapa menilai sebagai sebuah
bencana, beberapa menilai sebagai tantangan baru untuk (sekumpulan) negara maju
seperti di Uni Eropa.
Banyak badan survei dunia yang telah melakukan survei untuk memproyeksikan
secara nyata fenomena ini melalui data, baik itu berupa tabel maupun grafik. Indikator
yang penting dan menandakan bahwa fenomena ageing society ada adalah angka
perbandingan ketergantungan hidup. Komisi Uni Eropa melalui badan statisiknya yaitu
Eurostat melakukan survei terkait fenomena ageing society di Uni Eropa dengan
indikator old-age dependency ratio. Di bawah ini adalah tabel perbandingan antara
angka ketergantungan hidup di Uni Eropa dan bebebrapa negara yang memiliki angka
ketergantungan hidup yang tinggi sejak tahun 2001 hingga 2011.7
Negara
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
EU-27
23.5
23.8
24.1
24.3
24.7
24.9
25.2
25.4
25.6
25.9
-
Jerman 24.5
25.2
25.9
26.8
27.8
28.9
29.9
30.4
30.9
31.4
31.2
27.4
27.9
28.5
28.9
29.3
29.8
30.2
30.4
30.6
30.8
30.9
Italia
Sumber : Eurostat of European Commision 2011: “Old-age-dependency ratio”
7
Eurostat European Commision, Old-age-dependency ratio (online), 2011, <http://epp.eurostat.ec.
europa.eu/tgm/table.do?tab=table&init=1&language=en&pcode=tsdde510>, diakses 4 April 2012 .
5
Tabel di atas membandingkan jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun) dengan
jumlah penduduk usia tua (65 tahun ke atas). Dari tabel diatas dapat kita tark
kesimpulan bahwa diantara 100 orang pekerja di Eropa, 4 orang diantaranya bekerja
untuk
seorang pensiunan
dalam
satu
dekade
terakhir
(2001-2011).
Angka
ketergantungan ini akan terus bertambah apabila pola kependudukan Eropa masih
diwarnai dengan tingginya tingkat harapan hidup, rendahnya tingkat fertilitas atau
kesuburan dan tingkat kematian. Sebuah perusahaan asuransi hidup internasional
(AEGON), bahkan memproyeksikan sebuah prediksi dengan animasi grafis peta Eropa,
dimana pada tahun 2050-an, di hampir seluruh negara anggota Uni Eropa, hanya akan
ada 2 pekerja yang bekerja untuk seorang pensiunan8. Dari prediksi dan perhitungan
yang ada, negara-negara Uni Eropa perlu mengambil kebijakan baru agar mereka bisa
berhadapan dengantantangan yang ada.
Dampak Permasalahan Kependudukan Uni Eropa
Tidak dapat dipungkriri bahwa jumlah penduduk usia produktif Uni Eropa yang
terus menerus menurun belakangan ini memberikan dampak yang cukup signifikan
terhadap kehidupan ekonomi dan sosial bagi masyarakat Uni Eropa, serta bagi
masyarakat internasional. Fakta yang berkembang adalah, tingkat penduduk usia tua
atau manula di Uni Eropa semakin meningkat. Yang artinya penduduk Uni Eropa
dewasa ini cenderung dominan berada di usia yang tidak produktif. Hal ini secara
langsung maupun tidak langsung memberikan dampak, seperti yang dikatakan Axel
Pliinnecke :“Secara umum kita dapat melihat, lewat perubahan demografi, perspektif
pertumbuhan ekonomi di Eropa akan direduksi. Yang menentukan dalam ekonomi
adalah, seberapa banyak kuota penduduk usia produktif pada keseluruhan populasi.
Terlihat kuota warga yang bekerja terus menurun.”.9
Masalah penuaan Uni Eropa ini tidak bisa dipungkiri mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan di dalam maupun diluar Uni Eropa. Apalagi dengan dunia yang
semakin mengglobal dan menimbulkan interkoneksi antar wilayah, negara, bahkan
perseorang dengan yang lain. Dampak pertama adalah semakin menurunnya penduduk
8
AEGON Global Pension, Ageing Population in EU27 and OECD Countries (online),
<http://www.aegonglobalpensions.com/Home/Clients/Ageing-population/>, diakses tanggal 5 April 2012.
9
Kabar
Indonesia,
Eropa
Semakin
Menua
(online),
25
Oktober
2010,
<http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20111025220221>, diakses tanggal 2 April 2012
6
usia kerja akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Uni Eropa akan semakin
kekurangan jumlah pekerja atau buruh mereka padahal mereka sangat berperan dalam
ekonomi Uni Eropa. Seperti yang diketahui bahwa pertumbuhan penduduk
menyumbang antara satu setengah hingga dua pertiga dari kenaikan PDB (Produk
Domestik Bruto). Dengan adanya permasalahan kependudukan ini, diperkirakan tingkat
pertumbuhan ekonomi tahunan pada GDP negara-negara anggota UE akan turun dari
2,4% ke 1,2% antara tahun 2030 dan 2050.10
Kedua, semakin banyaknya penduduk usia tua berpengaruh terhadap sistem
jaminan sosial dan keuangan publik. Belanja publik negara akan semakin meningkat
terutama untuk dana pensiun, jaminan sosial dan kesehatan padahal pendapatan negara
terbatas dengan adanya penurunan dalam GDP mereka. Padahal dalam perjanjian
Maastricht dikatakan bahwa salah satu syarat untuk masuk ke tahap ketiga dalam
European Monetary Union dan mengadopsi mata uang tunggal adalah deficit negara
tidak boleh lebih dari 3% dari GDP dan hutang tidak boleh melebihi 60% dari GDP. Hal
tersebut akan sangat membahayakan keseimbangan sistem dana pensiun dan jaminan
sosial, bahkan lebih buruknya dapat berpengaruh terhadap perekonomian dan mata uang
tunggal Uni Eropa. 11 Apalagi diproyeksikan bahwa pada tahun 2040, pengeluaran
negara-negara anggota Uni Eropa untuk dana pensiun dan jaminan sosial akan
meningkat hingga 8% dari total GDP mereka.12
Ketiga, masalah kependudukan ini akan mempengaruhi permintaan konsumen,
nilai aset, keuntungan perusahaan dan neraca. Permintaan akan cenderung menurun
seperti misalnya dalam pasar mobil, peralatan rumah tangga. Dalam cakup pasar yang
lebih luas, yaitu pasar global jalannya modal arus keluar dan mata uang akan semakin
10
Y. K. Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of
Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, Ankara Avrupa Calismari Dergisi, vol.
9, no. 1, 2010, hal. 68.
11
Europe: Summaries of UE Legislation, The Demographic Future of Erope – from Chllenge to
Opportunity
(online),
<http://europa.eu/legislation_summaries/employment_and_social_policy/
situation_in_europe/c10160_en.htm>, diakses 3 April 2012.
12
Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of
Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, hal. 68.
7
melemah. Inilah salah satunya yang menyebabkan penurunan terhadap nilai mata uang
euro terhadap dolar pada tahun 2001.13
Keempat, terjadi penurunan penjualan terhadap properti. Karena terjadi
penyusutan atau penurunan usia muda di UniEropa, membuat permintaan akan produk
barang dan jasa yang diminati kelompok muda ikut menurun yang salah satunya adalah
properti. Penurunan permintaan akan properti ini lambat-laun akan merusak nilai jual
properti dan ditakutkan akan memicu krisis seperti yang terjadi di Jepangdan AS di
akhir 1980-an.14
Kelima, adanya kenaikan pajak. Kenaikan pajak ini dianggap sebagai salahsatu
kebijakan yang merupakan dampak dari adanya fenomena penuaan Uni Eropa ini.
Kebijakan untuk menaikkan pajak ini harus diambil sebagai akibat melambatnya
pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh minimnya angkatan muda produktif.
Kenaikan pajak ini juga kemudian akan digunakan untuk menanggung resiko di masa
yang akan datang yaitu meningkatnya biaya tanggungan untuk angkatan tua tersebut.15
Di sisi lain masalah kependudukan ini berpengaruh terhadap negara lain selain
anggota Uni Eropa atau dapat dikatakan masyarakat internasional. Hal ini tidak lepas
dari semakin mengglobal dan terhubungnya dunia internasional. Dengan berkurangnya
jumlah angkatan kerja di Uni Eropa, maka membuka kesempatan bagi negara-negara di
luar Uni Eropa yang memiliki permasalahan berupa tingginya jumlah angkatan kerja
namun tanpa adanya lapangan pekerjaan yang mencukupi untuk mengurangi jumlah
angkatan kerja mereka. Apalagi hingga saat ini Uni Eropa masih memiliki daya tarik
bagi masyarakat di luar Uni Eropa. Masalah kependudukan di Uni Eropa ini kemudian
memaksa Komisi Eropa untuk merumuskan kebijakan penanggulangan. Salah satu
kebijakannya adalah kebijakan penerimaan dan pengintegrasian migran terutama buruh
ke Uni Eropa.
13
Global Action on Aging, Depopulation and Ageing in Europe and Japan: The Hazardous Transition to
a Labor Shortage Economy (online), Januari 2002, <http://www.globalaging.org/health/world/
depopulationeuropejapan.htm>, diakses 3 April 2012.
14
Global Action on Aging, Depopulation and Ageing in Europe and Japan: The Hazardous Transition to
a Labor Shortage Economy (online), 3 April 2012.
15
Global Action on Aging, Depopulation and Ageing in Europe and Japan: The Hazardous Transition to
a Labor Shortage Economy (online), 3 April 2012.
8
Kebijakan Migrasi Uni Eropa
Kebijakan untuk menerima dan mengintegrasikan migran ke dalam Uni Eropa
terutama buruh dicetuskan oleh Komisi Eropa dalam Commission Communication - The
demographic future of Europe – From challenge to opportunity. Dalam policy paper
yang dikeluarkan pada tahun 2006 tersebut, ada lima kebijakan yang diajukan oleh
Komisi Eropa untuk mengatasi permasalahan kependudukan dan kebijakan penerimaan
dan pengintegrasian para migran merupakan salah satunya. Peningkatan jumlah migran
terutama buruh ke Uni Eropa dinilai akan mengurangi dampak dari fenomena ageing
society di Uni Eropa baik dalam pertumbuhan penduduk maupun dalam hal ekonomi.
Kebijakan ini mudah diterapkan di Uni Eropa mengingat Uni Eropa masih dianggap
menarik bagi masyarakat internasional. Penerimaan imigran terutama para buruh harus
pula disertai dengan upaya untuk mengintegrasikan imigran tersebut ke negara tujuan di
Uni Eropa. Apalagi ketika seringkali para imigran terutama buruh migran di Uni Eropa
dianggap mencuri pekerjaan orang-orang Eropa dan menimbulkan ketidakstabilan
sosial. Sejak tahun 1997 sebenarnya Uni Eropa telah memasukkan poin integrasi para
migran sebagai pedoman dalam bidang pekerjaan.16
Uni
Eropa
bersama
negara-negara
anggotanya
melalui
kebijakan
ini
mengembangkan kebijakan bersama terkait imigrasi terutama imigrasi tenaga kerja
untuk memenuhi kebutuhan di pasar tenaga kerja. 17 Kebijakan ini menurut Komisi
Eropa
harus
didukung
dengan
adanya
kebijakan
yang
lebih
ketat
dalam
mengintegrasikan para tenaga kerja dari negara-negara di luar Uni Eropa,
mengalokasikan uang yang lebih banyak dan merangkul negara-negara asal para imigran
untuk bekerjasama. 18 Hal yang sama juga berlaku bagi imigran dari negara-negara
anggota Uni Eropa.
Negara-negara anggota Uni Eropa sendiri sebenarnya telah lama memiliki tradisi
untuk menerima imigran, terutama di negara-negara anggotanya. Tujuannya adalah
16
European Commission, Communication from the Commission to the Council, the European
Parliament, the European Economic and Social Committee and the Committee of the Regions on
immigration,
integration
and
employment
(online),
3
Juni
2003,
<http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:52003DC0336:EN:NOT>, diakses 4 April 2012.
17
European Commission, Commission Communication - The demographic future of Europe – From
challenge
to
opportunity
(online),
12
Oktober
2006,
<http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:52006DC0571:EN:NOT>, diakses 4 April 2012.
18
European Commission, Commission Communication - The demographic future of Europe – From
challenge to opportunity (online), 4 April 2012.
9
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memastikan ketersediaan buruh.
Misalnya saja pada tahun 1960an, negara-negara Eropa Barat membuka perbatasannya
untuk para pekerja dari luar negara-negara tersebut agar para pekerja tersebut
mengerjakan pekerjaan yang dianggap tidak cocok dilakukan oleh orang-orang Eropa.19
Pembukaan perbatasan tersebut juga didasari adanya permasalahan demografi atau
kependudukan. Kebijakan imigrasi dalam paying kelembagaan Uni Eropa sendiri sudah
ada sejak Treaty of Rome tahun 1957. Kebijakan untuk menarik migran terutama buruh
memperlihatkan dampaknya pada tahun 1990an, ketika jumlah migrasi bersih menjadi
komponen utama dalam perubahan kependudukan di negara-negara anggota Uni
Eropa.20 Dengan adanya permasalahan kependudukan ini, Uni Eropa menurut laporan
PBB membutuhkan sekitar 1,6 juta imigran setiap tahunnya untuk mempertahankan
populasinya saat ini hingga tahun 2050.21
Analisis
Sudah dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, bahwa secara
nyata fenomena The Ageing Society yang melanda Uni Eropa sudah menjadi
perbincangan hangat oleh para pakar analisis baik sosial maupun ekonomi. Populasi
yang menua di Uni Eropa terjadi lebih cepat dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain
walaupun tidak menutupi kemungkinan pada pertengahan abad ini negara-negara
industri maju yang lain juga akan mengalami permasalahan yang sama. 22 Tindakan
nyata yang diambil oleh Uni Eropa sebagai langkah bersama untuk menyelesaikan
persoalan ini ialah dengan merumuskan lima kebijakan penting sebagai respon terhadap
perubahan demografi. Salah satu dari lima kebijakan yang paling banyak mendapat
19
Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of
Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, hal. 69.
20
European Commission, Communication from the Commission to the Council, the European Parliament,
the European Economic and Social Committee and the Committee of the Regions on immigration,
integration and employment (online), 4 April 2012.
21
Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of
Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, hal. 69.
22
Directorate-General Employment, Social Affairs and Equal Opportunities European Commission,
Demographic Trends, Socio-Economic Impacts and Policy Implications in the European Union – 2007,
Februari
2008,
<http://www.aer.eu/fileadmin/user_upload/Commissions/HealthSocial/EventsAnd
Meetings/2008/Umea/Background/2007_exec_sum_demo.pdf>, diakses 9 April 2012, hal. 3.
10
sorotan publik ialah kebijakan terkait penerimaan dan pengintegrasian migran, terutama
buruh, ke dalam negara-negara Uni Eropa.
Kebijakan terkait penerimaan dan pengintegrasian migran ke dalam negaranegara Uni Eropa menuai banyak sorotan dan analisa dari berbagai pakar sosial maupun
ekonomi. Secara logika sederhana, para migran yang banyak masuk ke dalam Uni Eropa
tentu akan memberikan dampak baik secara sosial maupun ekonomi. Apalagi jika
migran yang masuk berasal dari negara dengan kultur yang jauh berbeda dari kultur
eropa.
Ditambah lagi, muncul faktor historis yang mengakibatkan kebijakan ini menuai
banyak sorotan. Kebijakan terkait migrasi buruh ternyata bukan merupakan wacana
baru bagi Uni Eropa. Sebagai salah satu bentuk regionalisme yang paling sempurna
dalam sistem internasional saat ini, Uni eropa dituntut untuk lebih dapat
menyeragamkan kebijakan-kebijakan satu sama lain. Pemerintahan Uni Eropa tidak
hanya sanggup menyatukan perbedaan-perbedaan antar negara-negara Eropa, tapi juga
telah semakin memperkecil batas-batas antar anggotanya. Batas-batas antar negara Uni
Eropa semakin diperkecil sejak dikeluarkannya Treaty of Rome pada tahun 1957. Hal
tersebut tercantum dalam pasal 39 Treaty of Rome di mana Uni Eropa memasukkan
prinsip kebebasan untuk bergerak bagi modal, barang dan jasa. 23 Prinsip tersebut
semakin dipertegas dalam pasal 48 yaitu para pekerja dapat bergerak lintas negaranegara anggota UE tanpa adanya hambatan untuk tinggal atau bekerja ketika
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan terbuka.
Tujuan awal pembebasan pergerakan manusia yang pada awalnya dimaksudkan
agar penciptaan pasar bersama dalam custom union berjalan secara lebih lancar ternyata
banyak dimanfaatkan oleh pekerja-pekerja dari luar Uni Eropa seperti Afrika, Asia dan
Eropa Timur. Apalagi setelah ditandatanganinya perjanjian Schengen pada tahun 1985
oleh Belanda, Belgia, Jerman, Luxemburg dan Perancis. Sayangnya kemudahan
pergerakan manusia dari luar kawasan eropa tersebut tidak dibarengi dengan
pembentukan peraturan-peraturan tambahan sehingga arus imigran menjadi tidak
terkontrol. Permasalahan ini kemudian melahirkan urgensi di kalangan negara-negara
Uni Eropa akan adanya sebuah undang-undang yang jelas untuk mengatur permasalahan
23
Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of
Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, hal. 68.
11
imigrasi, yang kemudian terwujud melalui pembentukan European Immigration Pact
(EIP) pada Oktober 2008. Perjanjian imigrasi Uni Eropa ini dipandang telah menjadi
satu keharusan yang mendesak mengingat dalam beberapa tahun belakangan telah
terjadi arus imigran gelap yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu,
alasan pembentukan kebijakaan penerimaan migran saat ini ialah sebagai pembenahan
dari kebijakan migran kala itu. Dengan tujuan menyelesaikan persoalan The Ageing
Society, kebijakan migran kali ini dibarengi dengan mekanisme yang jelas, yakni benarbenar menyaring para migran yang terkualifikasi dan kemudian mengintegrasikan
mereka ke dalam kehidupan sosial-politik di Uni Eropa, sehingga tidak menimbulkan
beban sosial maupun ekonomi. Kebijakan migran saat ini dianggap sebagai bentuk
advanced dari kebijakan migran sebelumnya. Sehingga dengan kebijakan migran ini,
diharapkan tidak hanya dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk manula, tetapi juga
sekaligus mencapai target kebijakan migran sebelumnya, terkait perluasan pasar.
Meskipun mendapatkan banyak sorotan dan kritikan, kebijakan penerimaan dan
pengintegrasian migran ini sangat dibutuhkan oleh Uni Eropa untuk menghadapi
dampak ekonomi dari masalah tingginya penduduk usia tua di Uni Eropa. Dengan
adanya kebijakan tersebut, Uni Eropa dapat memenuhi kebutuhan pekerja di Uni Eropa
dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Apalagi beberapa negara di Uni Eropa seperti
Spanyol, Yunani dan Itali sedang menghadapi krisis ekonomi akibat tingginya hutang
mereka dibandingkan GDP mereka. Tentunya, negara-negara tersebut sedang
membutuhkan cara untuk menjaga agar hutang tersebut tidak mengami kenaikan dan
bisa mengalami penurunan. Dengan adanya kebijakan penerimaan dan pengintegrasian
migrant terutama buruh atau pekerja di Uni Eropa, akan sangat membantu mereka untuk
membantu meningkatkan pertumbuhan GDP mereka sehingga nantinya diharapkan
negara-negara tersebut dapat terbebas dari jeratan hutang yang lebih tinggi jumlahnya
dibandingkan dengan pendapatan mereka. Kebijakan penerimaan dan pengintegrasian
migran terutama buruh ini juga menjadi jalan keluar yang paling mudah walaupun
bersifat jangka pendek untuk menghadapi masalah kependudukan di Uni Eropa. Dengan
adanya buruh atau pekerja migran, maka jumlah populasi di Uni Eropa akan tetap
meningkat dan menaikkan rasio ketergantungan antara penduduk usia tua dan penduduk
usia kerja ke arah yang lebih menguntungkan Uni Eropa.
12
Selain menguntungkan Uni Eropa, kebijakan penerimaan dan pengintegrasian
migran buruh ini juga menguntungkan negara asal para migran. Dengan pembukaan
migrasi bagi para buruh di Uni Eropa, maka negara asal para buruh akan mampu
mengurangi jumlah pengangguran di usia kerja yang secara politis menyebabkan
destabilisasi negara.24 Negara asal para migrant juga akan mendapatkan keuntungan dari
segi ekonomi yaitu ketika para buruh migran mengirimkan uang ke negara asal mereka
– misalnya mengirimkan sebagian gaji mereka ke keluarga di negara asal mereka atau
berinvestasi di negara asal mereka - atau remittances dan pertukaran mata uang asing
yang sangat berperan dalam peningkatan GDP negara asal. Aliran pengiriman uang ke
negara asal diangap lebih stabil dibandingkan investasi asing dan arus modal swasta.
Selain itu, negara asal juga akan mendapatkan keuntungan berupa transfer pengetahuan
dan teknologi dari para buruh migran yang bekerja di negara-negara anggota Uni Eropa
di mana dianggap sebagai wilayah yang lebih maju.
Selain itu, berdasarkan konsep neo-liberal institusionalisme, kebijakan migran
ini juga merupakan sebuah preferensi kolektif dari seluruh anggota Uni Eropa dalam
rangka menyelesaikan fenomena The Ageing Society. Meskipun pada dasarnya tidak
semua negara Uni Eropa mengalami persoalan yang sama terkait peningkatan angka
ketergantungan atas usia produktif. Namun, Uni Eropa berusaha menyelesaikan
persoalan ini secara kolektif karena dianggap dapat mengganggu kestabilan
perekonomian seluruh negara anggota. Bahkan jika terus berkepanjangan, bukan tidak
mungkin persoalan The Ageing Society dapat memicu terjadinya krisis yang dapat
berimbas bagi masyarakat internasional lainnya. Karena, belum lama ini kita bisa
melihat fenomena Krisis Yunani yang ternyata juga memberikan dampak cukup
signifikan bagi negara-negara Uni Eropa dan negara-negara lainnya.
Dari kacamata politik internasional, dapat kita analisis bersama bahwa fenomena
The Ageing Society yang melanda sebagian negara Uni Eropa merupakan salah satu
contoh persoalan terkait kependudukan. Kasus Uni Eropa ini dapat kita analisis ke
dalam dua judul kecil, yaitu image dan imbas. Dari sisi image, seperti yang kita ketahui
bahwa Uni Eropa merupakan contoh atau kiblat regionalisme sempurna bagi masyarakat
internasional lainnya. Sehingga keberadaannya akan selalu menjadi sorotan masyarakat
24
World
Savvy
Monitor,
Effect
on
Country
Origin
(online),
2012,
http://worldsavvy.org/monitor/index.php?option=com_content&view=article&id=428&Itemid=813>,
diakses 12 April 2012.
<
13
internasional. Dalam rangka menjaga image baiknya, Uni Eropa tentu akan melakukan
berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dalam kasus ini,
dapat kita tarik sebuah benang merah bahwa kebijakan migran merupakan langkah yang
diambil Uni Eropa dalam menyelesaikan persoalan The Ageing Society yang sedang
mereka hadapi.
Yang kedua dari sisi imbas. Imbas dari fenomena The Ageing Society jika
dibiarkan terlalu lama tanpa adanya upaya penyelesaian sangatlah signifikan. Uni Eropa
sebagai
regionalisme
negara-negara
perekonomian
tinggi
dunia
tentu
telah
memproyeksi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Jika The Ageing
Society dibiarkan berlarut-larut dan membuat perekonomian Uni Eropa menjadi goyah.
Maka hal tersebut tentu akan berimbas kepada politik internasional. Persoalan tersebut
pasti akan menjadi isu internasional, karena akan banyak negara yang juga terkena
imbas dari kegoncangan ekonomi Uni Eropa. Mengingat seperti yang telah dibahas,
bahwa Uni Eropa terdiri dari negara-negara ekonomi besar dunia, yang banyak
memberikan pengaruh bagi sirkulasi keuangan dunia. Sehingga pada dasarnya, isu The
Ageing Society merupakan isu dalam politik internasional, karena secara tidak langsung
akan berdampak bagi masyarakat internasional lainnya. Terutama bagi negara-negara
atau kawasan tetangga Uni Eropa, seperti Afrika dan Asia di mana fenomena
kependudukan di wilayah tersebut saat ini berupa tingginya jumlah orang usia kerja
dibandingkan dengan usia tua. Sehingga Uni Eropa sangat tergantung dengan kawasan
dan negara-negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka akan penduduk usia
kerja.
Kesimpulan
Fenomena ageing society yang ada di Uni Eropa tidak serta merta membuat
masalah tersebut hanya melibatkan Uni Eropa dan negara-negara anggotanya. Pada
kenyataannya masalah ini juga berdampak kepada negara lain di luar Uni Eropa. Begitu
pula dengan kebijakan penerimaan dan pengintegrasian migran yang dicanangkan oleh
Komisi Eropa. Sebagai kebijakan yang merupakan preferensi kolektif negara-negara
anggota, diharapkan kebijakan tersebut dapat mengurangi dampak dari rendahnya
jumlah angkatan usia kerja di Uni Eropa terutama dalam hal ekonomi.
14
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Budiardjo, M., Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Artikel Jurnal
Gumus, Y. K., “Free Movement of Workers in the EU within the Context of
Demographic Challenge of Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to
Germany”, Ankara Avrupa Calismari Dergisi, vol. 9, no. 1, 2010, hal. 63-89.
Artikel Online
AEGON Global Pension, Ageing Population in EU27 and OECD Countries (online),
<http://www.aegonglobalpensions.com/Home/Clients/Ageing-population/>, diakses
tanggal 5 April 2012.
Directorate-General Employment, Social Affairs and Equal Opportunities European
Commission,
Demographic
Trends,
Socio-Economic
Implications in the European Union –
2007
Impacts
and
Policy
(online), Februari 2008,
<http://www.aer.eu/fileadmin/user_upload/Commissions/HealthSocial/EventsAndM
eetings/2008/Umea/Background/2007_exec_sum_demo.pdf>, diakses 9 April 2012.
Europa: Summaries of UE Legislation, The Demographic Future of Erope – from
Chllenge
to
Opportunity
(online),
<http://europa.eu/legislation_summaries/
employment_and_social_policy/situation_in_europe/c10160_en.htm>,
diakses
3
April 2012.
European Commission, Commission Communication - The demographic future of
Europe – From challenge to opportunity (online), 12 Oktober 2006, <http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:52006DC0571:EN:NOT>,
diakses 4 April 2012.
European Commission, Communication from the Commission to the Council, the
European Parliament, the European Economic and Social Committee and the
Committee of the Regions on immigration, integration and employment (online), 3
Juni 2003, <http://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:52003
DC0336:EN:NOT>, diakses 4 April 2012.
15
European
Commission,
Demographic
Change
in
the
EU
(online),
<http://ec.europa.eu/social/main.jsp?catId=502&langId=en>, diakses 14 Maret 2012.
European Commission, Population structure and ageing (online), 1 Desember 2011,
<http://epp.eurostat.ec.europa.eu/statistics_explained/index.php/Population_structur
e_and_ageing>, diakses 14 Maret 2012.
Eurostat
European
Commision,
Old-age-dependency
ratio
(online),
2011,
<http://epp.eurostat.ec.europa.eu/tgm/table.do?tab=table&init=1&language=en&pco
de=tsdde510>, diakses 4 April 2012 .
Global Action on Aging, Depopulation and Ageing in Europe and Japan: The
Hazardous Transition to a Labor Shortage Economy (online), Januari 2002,
<http://www.globalaging.org/health/world/depopulationeuropejapan.htm>, diakses
3 April 2012.
Kabar
Indonesia,
Eropa
Semakin
Menua
(online),
25
Oktober
2010,
<http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20111025220221>, diakses 2
April 2012.
World
Savvy
Monitor,
Effect
on
Country
Origin
(online),
2012,
<
http://worldsavvy.org/monitor/index.php?option=com_content&view=article&id=4
28&Itemid=813>, diakses 12 April 2012.
Zaidi, A., “Feature and Challenges of Population Ageing : The European Perspective”,
Euro Centre (online), <http://www.euro.centre.org/data/1204800003_27721.pdf>,
diakses 4 April 2012.
16
Download