KEBIJAKAN MIGRASI DAN MASALAH KEPENDUDUKAN DI UNI EROPA disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Politik Internasional Dosen Pengampu: Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, M.A (IR) Ririn Tri Nurhayati, M.A Oleh: Kelompok 8 Aisyah Febria Boni Andika Brian Nova Pratama Dedi Setiawan Ezka Amalia Fatih Wicaksono Lathifah Azzahro Mutiara Antartika Samuel Bashfield JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2012 KEBIJAKAN MIGRASI DAN MASALAH KEPENDUDUKAN DI UNI EROPA ABSTRAK Penulisan paper ini bertujuan untuk mengelaborasi isu yang tengah berkembang mengenai permasalahan kependudukan dan lingkungan sebagai suatu tantangan keamanan tradisional bagi suatu Negara. Dalam hal ini, penulis mengambil studi kasus regionalism Uni Eropa dengan jumlah penduduk di usia produktif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tua. Hal ini tentunya akan menyebabkan semakin rendahnya tenaga kerja di Uni Eropa dan kedepannya dapat berimplikasi dalam perekonomian Uni Eropa sendiri. Oleh karena itu, penulis ingin menganalisis alasan dibalik dikeluarkannya kebijakan menerima dan mengintegrasikan migran ke Eropa untuk menangani permasalahan kependudukan melalui neo-liberal institusionalisme. Kata kunci : Ekonomi, Kependudukan, Neo-liberal institusionalisme, Uni Eropa. Pendahuluan Saat ini Uni Eropa tengah menghadapi permasalahan yang sangat penting dan menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Permasalahan tersebut adalah jumlah penduduk di usia produktif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tua. Pada tahun 2010, jumlah penduduk di usia muda (0 – 14 tahun) memberi kontribusi sebanyak 15,6% dari keseluruhan jumlah populasi di 27 negara anggota Uni Eropa, jumlah penduduk di usia kerja (15 – 64 tahun) berkontribusi 67%, dan jumlah penduduk usia tua (65 tahun ke atas) berkontribusi 17,4% dari keseluruhan jumlah penduduk di Uni Eropa.1 Dari statistik yang dikeluarkan oleh European Commission, dalam dua dekade terakhir, peningkatan jumlah penduduk di usia kerja hanya mencapai 1 European Commission, Population structure and ageing (online), 1 Desember 2011, <http://epp.eurostat.ec.europa.eu/statistics_explained/index.php/Population_structure_and_ageing>, diakses 14 Maret 2012. 1 0,3%, sedangkan peningkatan jumlah penduduk usia tua mencapai 3,7%. 2 Hal ini tentunya akan menyebabkan semakin rendahnya tenaga kerja di Uni Eropa dan kedepannya dapat berimplikasi dalam perekonomian Uni Eropa sendiri. Dengan adanya permasalahan tersebut, Komisi Eropa merumuskan lima kebijakan penting sebagai respon terhadap perubahan demografi. Kebijakan tersebut adalah pertama mendukung pembaharuan demografi melalui kondisi yang lebih baik untuk keluarga dan meningkatkan rekonsiliasi dari kehidupan kerja dan keluarga, kedua meningkatkan jumlah lapangan kerja dan menambah lama masa kerja dan ketiga meningkatkan produktifitas dan performa ekonomi melalui investasi dalam bidang pendidikan dan riset. Kebijakan yang keempat adalah menerima dan mengintegrasikan migran ke Eropa dan kelima memastikan keuangan publik yang berkelanjutan untuk menjamin uang pensiun yang memadai, perawatan kesehatan dan perawatan jangka panjang.3 Dari kelima kebijakan penting yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa tersebut, muncul perdebatan terkait kebijakan nomor empat yaitu menerima dan mengintegrasikan migran ke Eropa. Paper ini akan mengelaborasi studi kasus melalui pertanyaan, Mengapa Uni Eropa, dalam hal ini Komisi Eropa, mengeluarkan kebijakan menerima dan mengintegrasikan migran ke Eropa sebagai salah satu kebijakan untuk menangani permasalahan kependudukan di Uni Eropa? Untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat, penulis menggunakan konsep neo-liberal institusionalisme. Prinsip kunci neo-liberal institusionalisme adalah mengakui keberadaan aktor non-negara dalam sistem. Para kaum neo-liberal institusionalisme berpendapat bahwa salah satu cara untuk mencapai perdamaian dan kesejahteraan adalah meski negara tetap menjadi aktor penting dalam hubungan internasional, organisasi internasional juga memiliki peran penting di dalamnya. Organisasi internasional akan terbentuk di sebuah wilayah yang negara-negaranya memiliki kepentingan yang sama sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan juga mampu merespon masalah-masalah regional yang timbul. Bagi penganut neoliberal institusionalisme, pokok masalah ialah bagaimana membentuk institusi yang dapat menghimpun secara kolektif sebanyak mungkin preferensi dari para aktor untuk 2 European Commission, Population structure and ageing (online), 14 Maret 2012. 3 European Commission, Demographic Change in the EU (online), <http://ec.europa.eu/social/main. jsp?catId=502&langId=en>, diakses 14 Maret 2012. 2 menentukan kepentingan kolektif. 4 Sehingga menurut perspektif ini, dalam era globalisasi dimana semua hal menjadi “terbuka” dan berhubungan satu sama lain, organisasi internasional akan membantu negara-negara anggotanya yang terkena permasalahan yang nantinya dapat membahayakan kawasan. Dalam permasalahan yang diangkat oleh penulis, Uni Eropa merupakan perwujudan dari neo-liberal institusionalisme. Uni Eropa adalah contoh dari sebuah komunitas yang terintegrasi sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mampu merespon masalah-masalah regional yang dihadapinya. Salah satu masalah regional disini ialah fenomena The Ageing Society yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara-negara Uni Eropa. Kemudian, Uni Eropa menghimpun secara kolektif preferensi dari para anggota terkait upaya penyelesaian permasalahan tersebut. Pembahasan dalam paper ini dibagi ke dalam tiga bagian, bagian pertama menyampaikan tentang dampak permasalahan kependudukan bagi negara anggota disertai dengan sebab-sebab munculnya The Ageing Society, bagian kedua akan dijelaskan mengenai dampak yang terjadi akibat The Ageing Society yang mayoritas berimbas pada perekonomian, bagian pembahasan terakhir akan disampaikan hasil analisis penulis yang dikaitkan dengan konsep neo-liberal institusionalisme yang telah disampaikan pada pendahuluan. Permasalahan Kependudukan di Uni Eropa Masalah kependudukan spesifik yang sedang dihadapi Eropa adalah tentang jumlah ketersediaan tenaga kerja atau usia produktif yang lebih sedikit daripada mereka yang sudah tidak produktif. Pertama, definisi dari usia produktif menurut standar Uni Eropa adalah mereka warga negara anggota Uni Eropa yang berusia antara 15 tahun hingga 64 tahun. Data tahun 2010 menyebutkan, jumlah usia produktif adalah 67% dari total penduduk Uni Eropa, sedangkan mereka yang berusia lanjut (di atas 64 tahun) berjumlah 17.4% dari total penduduk Uni Eropa.5 4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 98. 5 European Commission, Population structure and ageing (online), 1 Desember 2011, <http://epp.eurostat.ec.europa.eu/statistics_explained/index.php/Population_structure_and_ageing>, diakses 14 Maret 2012. 3 Jika kita hanya melihat dari data ini saja, maka tidak akan ada masalah yang berarti. Tetapi, permasalahan kependudukan kemudian muncul ketika angka perbandingan umur ketergantungan (age dependency ratio) yang ada di Uni Eropa mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Fenomena tersebut dibarengi pula dengan tingkat kelahiran yang semakin menurun. Standar kehidupan serta life expectancy yang tinggi telah menimbulkan sebuah fenomena sosial yang mempengaruhi baik itu kehidupan sosial politik maupun ekonomi. Isu kependudukan ini kemudian dinamai The Ageing Society. Uni Eropa sendiri mempunyai interpretasi yang berbeda dari fenomena Ageing Society. Dituliskan dalam sebuah laporan pendek tentang kebijakan Uni Eropa yang dirilis pada tahun 2008, fenomena ini merupakan indikator kesuksesan mereka dalam membangun masyarakat yang sejahtera dan makmur dalam artian luas. Artian luas ini kemudian terbagi-bagi menjadi beberapa aspek seperti dari aspek sosial ekonomi dan aspek politik. Dari aspek sosial ekonomi, adanya fenomena semacam ini dinilai sebagai indikator dari tingginya taraf hidup warga Uni Eropa secara umum. Mereka memperoleh kesehatan yang memadai dan juga kekayaan seta kesejahteraan yang lebih dari cukup untuk kehidupan mereka hingga mereka pada akhirnya sampai di umur 65 tahun, bahkan lebih. Dari aspek politik bisa dilihat dari terpenuhinya hak-hak perempuan yang pada akhirnya bisa dinilai telah disamakan kedudukan atau statusnya dengan pria: bahwa wanita di Uni Eropa sudah bebas untuk memilih apakah dia akan menjadi seorang wanita karir, seorang Ibu rumah tangga dan atau menjadi seseorang yang lain. Disini juga ditemukan indikator bahwa wanita di Eropa juga bebas untuk memilih apakah ia akan memiliki anak ataukah ia menolak untuk memiliki anak. Nilai-nilai atau normanorma seperti perempuan tidak diperbolehkan untuk bekerja sudah menghilang dari Uni Eropa. Di dalam laporan pendek tahun 2008 tersebut juga disebutkan analisa tentang beberapa faktor yang menyebabkan fenomena Ageing Society:6 6 A. Zaidi, „Feature and Challenges of Population Ageing : The European Perspective‟, Euro Centre (online), <http://www.euro.centre.org/data/1204800003_27721.pdf>, diakses 4 April 2012. 4 1. Manusia yang berumur panjang. Mereka adalah manusia yang lahir dari ledakan kelahiran bayi di tahun 1945-1965, dimana umur mereka sangat mungkin untuk mencapai 65+ di tahun 2010 dan seterusnya; 2. Menurunnya tingkat kelahiran atau kesuburan (fertility rate) sejak kemunculan fenomena ledakan kelahiran bayi; dan 3. Meningkatnya angka harapan hidup di usia lanjut (yang sepertinya akan terus berlanjut) Dari ketiga poin tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa mereka yang lahir di tahun 1945-1965 akan memasuki masa pensiun atau tidak bekerja di tahun 2000 dan seterusnya. Kemudian diikuti dengan menurunnya tingkat kelahiran atau kesuburan di Uni Eropa, hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara yang pensiun dengan yang bisa bekerja. Ketimpangan inilah yang kemudian, beberapa menilai sebagai sebuah bencana, beberapa menilai sebagai tantangan baru untuk (sekumpulan) negara maju seperti di Uni Eropa. Banyak badan survei dunia yang telah melakukan survei untuk memproyeksikan secara nyata fenomena ini melalui data, baik itu berupa tabel maupun grafik. Indikator yang penting dan menandakan bahwa fenomena ageing society ada adalah angka perbandingan ketergantungan hidup. Komisi Uni Eropa melalui badan statisiknya yaitu Eurostat melakukan survei terkait fenomena ageing society di Uni Eropa dengan indikator old-age dependency ratio. Di bawah ini adalah tabel perbandingan antara angka ketergantungan hidup di Uni Eropa dan bebebrapa negara yang memiliki angka ketergantungan hidup yang tinggi sejak tahun 2001 hingga 2011.7 Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 EU-27 23.5 23.8 24.1 24.3 24.7 24.9 25.2 25.4 25.6 25.9 - Jerman 24.5 25.2 25.9 26.8 27.8 28.9 29.9 30.4 30.9 31.4 31.2 27.4 27.9 28.5 28.9 29.3 29.8 30.2 30.4 30.6 30.8 30.9 Italia Sumber : Eurostat of European Commision 2011: “Old-age-dependency ratio” 7 Eurostat European Commision, Old-age-dependency ratio (online), 2011, <http://epp.eurostat.ec. europa.eu/tgm/table.do?tab=table&init=1&language=en&pcode=tsdde510>, diakses 4 April 2012 . 5 Tabel di atas membandingkan jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun) dengan jumlah penduduk usia tua (65 tahun ke atas). Dari tabel diatas dapat kita tark kesimpulan bahwa diantara 100 orang pekerja di Eropa, 4 orang diantaranya bekerja untuk seorang pensiunan dalam satu dekade terakhir (2001-2011). Angka ketergantungan ini akan terus bertambah apabila pola kependudukan Eropa masih diwarnai dengan tingginya tingkat harapan hidup, rendahnya tingkat fertilitas atau kesuburan dan tingkat kematian. Sebuah perusahaan asuransi hidup internasional (AEGON), bahkan memproyeksikan sebuah prediksi dengan animasi grafis peta Eropa, dimana pada tahun 2050-an, di hampir seluruh negara anggota Uni Eropa, hanya akan ada 2 pekerja yang bekerja untuk seorang pensiunan8. Dari prediksi dan perhitungan yang ada, negara-negara Uni Eropa perlu mengambil kebijakan baru agar mereka bisa berhadapan dengantantangan yang ada. Dampak Permasalahan Kependudukan Uni Eropa Tidak dapat dipungkriri bahwa jumlah penduduk usia produktif Uni Eropa yang terus menerus menurun belakangan ini memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kehidupan ekonomi dan sosial bagi masyarakat Uni Eropa, serta bagi masyarakat internasional. Fakta yang berkembang adalah, tingkat penduduk usia tua atau manula di Uni Eropa semakin meningkat. Yang artinya penduduk Uni Eropa dewasa ini cenderung dominan berada di usia yang tidak produktif. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak, seperti yang dikatakan Axel Pliinnecke :“Secara umum kita dapat melihat, lewat perubahan demografi, perspektif pertumbuhan ekonomi di Eropa akan direduksi. Yang menentukan dalam ekonomi adalah, seberapa banyak kuota penduduk usia produktif pada keseluruhan populasi. Terlihat kuota warga yang bekerja terus menurun.”.9 Masalah penuaan Uni Eropa ini tidak bisa dipungkiri mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di dalam maupun diluar Uni Eropa. Apalagi dengan dunia yang semakin mengglobal dan menimbulkan interkoneksi antar wilayah, negara, bahkan perseorang dengan yang lain. Dampak pertama adalah semakin menurunnya penduduk 8 AEGON Global Pension, Ageing Population in EU27 and OECD Countries (online), <http://www.aegonglobalpensions.com/Home/Clients/Ageing-population/>, diakses tanggal 5 April 2012. 9 Kabar Indonesia, Eropa Semakin Menua (online), 25 Oktober 2010, <http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20111025220221>, diakses tanggal 2 April 2012 6 usia kerja akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Uni Eropa akan semakin kekurangan jumlah pekerja atau buruh mereka padahal mereka sangat berperan dalam ekonomi Uni Eropa. Seperti yang diketahui bahwa pertumbuhan penduduk menyumbang antara satu setengah hingga dua pertiga dari kenaikan PDB (Produk Domestik Bruto). Dengan adanya permasalahan kependudukan ini, diperkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan pada GDP negara-negara anggota UE akan turun dari 2,4% ke 1,2% antara tahun 2030 dan 2050.10 Kedua, semakin banyaknya penduduk usia tua berpengaruh terhadap sistem jaminan sosial dan keuangan publik. Belanja publik negara akan semakin meningkat terutama untuk dana pensiun, jaminan sosial dan kesehatan padahal pendapatan negara terbatas dengan adanya penurunan dalam GDP mereka. Padahal dalam perjanjian Maastricht dikatakan bahwa salah satu syarat untuk masuk ke tahap ketiga dalam European Monetary Union dan mengadopsi mata uang tunggal adalah deficit negara tidak boleh lebih dari 3% dari GDP dan hutang tidak boleh melebihi 60% dari GDP. Hal tersebut akan sangat membahayakan keseimbangan sistem dana pensiun dan jaminan sosial, bahkan lebih buruknya dapat berpengaruh terhadap perekonomian dan mata uang tunggal Uni Eropa. 11 Apalagi diproyeksikan bahwa pada tahun 2040, pengeluaran negara-negara anggota Uni Eropa untuk dana pensiun dan jaminan sosial akan meningkat hingga 8% dari total GDP mereka.12 Ketiga, masalah kependudukan ini akan mempengaruhi permintaan konsumen, nilai aset, keuntungan perusahaan dan neraca. Permintaan akan cenderung menurun seperti misalnya dalam pasar mobil, peralatan rumah tangga. Dalam cakup pasar yang lebih luas, yaitu pasar global jalannya modal arus keluar dan mata uang akan semakin 10 Y. K. Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, Ankara Avrupa Calismari Dergisi, vol. 9, no. 1, 2010, hal. 68. 11 Europe: Summaries of UE Legislation, The Demographic Future of Erope – from Chllenge to Opportunity (online), <http://europa.eu/legislation_summaries/employment_and_social_policy/ situation_in_europe/c10160_en.htm>, diakses 3 April 2012. 12 Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, hal. 68. 7 melemah. Inilah salah satunya yang menyebabkan penurunan terhadap nilai mata uang euro terhadap dolar pada tahun 2001.13 Keempat, terjadi penurunan penjualan terhadap properti. Karena terjadi penyusutan atau penurunan usia muda di UniEropa, membuat permintaan akan produk barang dan jasa yang diminati kelompok muda ikut menurun yang salah satunya adalah properti. Penurunan permintaan akan properti ini lambat-laun akan merusak nilai jual properti dan ditakutkan akan memicu krisis seperti yang terjadi di Jepangdan AS di akhir 1980-an.14 Kelima, adanya kenaikan pajak. Kenaikan pajak ini dianggap sebagai salahsatu kebijakan yang merupakan dampak dari adanya fenomena penuaan Uni Eropa ini. Kebijakan untuk menaikkan pajak ini harus diambil sebagai akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh minimnya angkatan muda produktif. Kenaikan pajak ini juga kemudian akan digunakan untuk menanggung resiko di masa yang akan datang yaitu meningkatnya biaya tanggungan untuk angkatan tua tersebut.15 Di sisi lain masalah kependudukan ini berpengaruh terhadap negara lain selain anggota Uni Eropa atau dapat dikatakan masyarakat internasional. Hal ini tidak lepas dari semakin mengglobal dan terhubungnya dunia internasional. Dengan berkurangnya jumlah angkatan kerja di Uni Eropa, maka membuka kesempatan bagi negara-negara di luar Uni Eropa yang memiliki permasalahan berupa tingginya jumlah angkatan kerja namun tanpa adanya lapangan pekerjaan yang mencukupi untuk mengurangi jumlah angkatan kerja mereka. Apalagi hingga saat ini Uni Eropa masih memiliki daya tarik bagi masyarakat di luar Uni Eropa. Masalah kependudukan di Uni Eropa ini kemudian memaksa Komisi Eropa untuk merumuskan kebijakan penanggulangan. Salah satu kebijakannya adalah kebijakan penerimaan dan pengintegrasian migran terutama buruh ke Uni Eropa. 13 Global Action on Aging, Depopulation and Ageing in Europe and Japan: The Hazardous Transition to a Labor Shortage Economy (online), Januari 2002, <http://www.globalaging.org/health/world/ depopulationeuropejapan.htm>, diakses 3 April 2012. 14 Global Action on Aging, Depopulation and Ageing in Europe and Japan: The Hazardous Transition to a Labor Shortage Economy (online), 3 April 2012. 15 Global Action on Aging, Depopulation and Ageing in Europe and Japan: The Hazardous Transition to a Labor Shortage Economy (online), 3 April 2012. 8 Kebijakan Migrasi Uni Eropa Kebijakan untuk menerima dan mengintegrasikan migran ke dalam Uni Eropa terutama buruh dicetuskan oleh Komisi Eropa dalam Commission Communication - The demographic future of Europe – From challenge to opportunity. Dalam policy paper yang dikeluarkan pada tahun 2006 tersebut, ada lima kebijakan yang diajukan oleh Komisi Eropa untuk mengatasi permasalahan kependudukan dan kebijakan penerimaan dan pengintegrasian para migran merupakan salah satunya. Peningkatan jumlah migran terutama buruh ke Uni Eropa dinilai akan mengurangi dampak dari fenomena ageing society di Uni Eropa baik dalam pertumbuhan penduduk maupun dalam hal ekonomi. Kebijakan ini mudah diterapkan di Uni Eropa mengingat Uni Eropa masih dianggap menarik bagi masyarakat internasional. Penerimaan imigran terutama para buruh harus pula disertai dengan upaya untuk mengintegrasikan imigran tersebut ke negara tujuan di Uni Eropa. Apalagi ketika seringkali para imigran terutama buruh migran di Uni Eropa dianggap mencuri pekerjaan orang-orang Eropa dan menimbulkan ketidakstabilan sosial. Sejak tahun 1997 sebenarnya Uni Eropa telah memasukkan poin integrasi para migran sebagai pedoman dalam bidang pekerjaan.16 Uni Eropa bersama negara-negara anggotanya melalui kebijakan ini mengembangkan kebijakan bersama terkait imigrasi terutama imigrasi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan di pasar tenaga kerja. 17 Kebijakan ini menurut Komisi Eropa harus didukung dengan adanya kebijakan yang lebih ketat dalam mengintegrasikan para tenaga kerja dari negara-negara di luar Uni Eropa, mengalokasikan uang yang lebih banyak dan merangkul negara-negara asal para imigran untuk bekerjasama. 18 Hal yang sama juga berlaku bagi imigran dari negara-negara anggota Uni Eropa. Negara-negara anggota Uni Eropa sendiri sebenarnya telah lama memiliki tradisi untuk menerima imigran, terutama di negara-negara anggotanya. Tujuannya adalah 16 European Commission, Communication from the Commission to the Council, the European Parliament, the European Economic and Social Committee and the Committee of the Regions on immigration, integration and employment (online), 3 Juni 2003, <http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:52003DC0336:EN:NOT>, diakses 4 April 2012. 17 European Commission, Commission Communication - The demographic future of Europe – From challenge to opportunity (online), 12 Oktober 2006, <http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:52006DC0571:EN:NOT>, diakses 4 April 2012. 18 European Commission, Commission Communication - The demographic future of Europe – From challenge to opportunity (online), 4 April 2012. 9 untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memastikan ketersediaan buruh. Misalnya saja pada tahun 1960an, negara-negara Eropa Barat membuka perbatasannya untuk para pekerja dari luar negara-negara tersebut agar para pekerja tersebut mengerjakan pekerjaan yang dianggap tidak cocok dilakukan oleh orang-orang Eropa.19 Pembukaan perbatasan tersebut juga didasari adanya permasalahan demografi atau kependudukan. Kebijakan imigrasi dalam paying kelembagaan Uni Eropa sendiri sudah ada sejak Treaty of Rome tahun 1957. Kebijakan untuk menarik migran terutama buruh memperlihatkan dampaknya pada tahun 1990an, ketika jumlah migrasi bersih menjadi komponen utama dalam perubahan kependudukan di negara-negara anggota Uni Eropa.20 Dengan adanya permasalahan kependudukan ini, Uni Eropa menurut laporan PBB membutuhkan sekitar 1,6 juta imigran setiap tahunnya untuk mempertahankan populasinya saat ini hingga tahun 2050.21 Analisis Sudah dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, bahwa secara nyata fenomena The Ageing Society yang melanda Uni Eropa sudah menjadi perbincangan hangat oleh para pakar analisis baik sosial maupun ekonomi. Populasi yang menua di Uni Eropa terjadi lebih cepat dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain walaupun tidak menutupi kemungkinan pada pertengahan abad ini negara-negara industri maju yang lain juga akan mengalami permasalahan yang sama. 22 Tindakan nyata yang diambil oleh Uni Eropa sebagai langkah bersama untuk menyelesaikan persoalan ini ialah dengan merumuskan lima kebijakan penting sebagai respon terhadap perubahan demografi. Salah satu dari lima kebijakan yang paling banyak mendapat 19 Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, hal. 69. 20 European Commission, Communication from the Commission to the Council, the European Parliament, the European Economic and Social Committee and the Committee of the Regions on immigration, integration and employment (online), 4 April 2012. 21 Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, hal. 69. 22 Directorate-General Employment, Social Affairs and Equal Opportunities European Commission, Demographic Trends, Socio-Economic Impacts and Policy Implications in the European Union – 2007, Februari 2008, <http://www.aer.eu/fileadmin/user_upload/Commissions/HealthSocial/EventsAnd Meetings/2008/Umea/Background/2007_exec_sum_demo.pdf>, diakses 9 April 2012, hal. 3. 10 sorotan publik ialah kebijakan terkait penerimaan dan pengintegrasian migran, terutama buruh, ke dalam negara-negara Uni Eropa. Kebijakan terkait penerimaan dan pengintegrasian migran ke dalam negaranegara Uni Eropa menuai banyak sorotan dan analisa dari berbagai pakar sosial maupun ekonomi. Secara logika sederhana, para migran yang banyak masuk ke dalam Uni Eropa tentu akan memberikan dampak baik secara sosial maupun ekonomi. Apalagi jika migran yang masuk berasal dari negara dengan kultur yang jauh berbeda dari kultur eropa. Ditambah lagi, muncul faktor historis yang mengakibatkan kebijakan ini menuai banyak sorotan. Kebijakan terkait migrasi buruh ternyata bukan merupakan wacana baru bagi Uni Eropa. Sebagai salah satu bentuk regionalisme yang paling sempurna dalam sistem internasional saat ini, Uni eropa dituntut untuk lebih dapat menyeragamkan kebijakan-kebijakan satu sama lain. Pemerintahan Uni Eropa tidak hanya sanggup menyatukan perbedaan-perbedaan antar negara-negara Eropa, tapi juga telah semakin memperkecil batas-batas antar anggotanya. Batas-batas antar negara Uni Eropa semakin diperkecil sejak dikeluarkannya Treaty of Rome pada tahun 1957. Hal tersebut tercantum dalam pasal 39 Treaty of Rome di mana Uni Eropa memasukkan prinsip kebebasan untuk bergerak bagi modal, barang dan jasa. 23 Prinsip tersebut semakin dipertegas dalam pasal 48 yaitu para pekerja dapat bergerak lintas negaranegara anggota UE tanpa adanya hambatan untuk tinggal atau bekerja ketika kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan terbuka. Tujuan awal pembebasan pergerakan manusia yang pada awalnya dimaksudkan agar penciptaan pasar bersama dalam custom union berjalan secara lebih lancar ternyata banyak dimanfaatkan oleh pekerja-pekerja dari luar Uni Eropa seperti Afrika, Asia dan Eropa Timur. Apalagi setelah ditandatanganinya perjanjian Schengen pada tahun 1985 oleh Belanda, Belgia, Jerman, Luxemburg dan Perancis. Sayangnya kemudahan pergerakan manusia dari luar kawasan eropa tersebut tidak dibarengi dengan pembentukan peraturan-peraturan tambahan sehingga arus imigran menjadi tidak terkontrol. Permasalahan ini kemudian melahirkan urgensi di kalangan negara-negara Uni Eropa akan adanya sebuah undang-undang yang jelas untuk mengatur permasalahan 23 Gumus, “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demigraphic Challenge of Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, hal. 68. 11 imigrasi, yang kemudian terwujud melalui pembentukan European Immigration Pact (EIP) pada Oktober 2008. Perjanjian imigrasi Uni Eropa ini dipandang telah menjadi satu keharusan yang mendesak mengingat dalam beberapa tahun belakangan telah terjadi arus imigran gelap yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, alasan pembentukan kebijakaan penerimaan migran saat ini ialah sebagai pembenahan dari kebijakan migran kala itu. Dengan tujuan menyelesaikan persoalan The Ageing Society, kebijakan migran kali ini dibarengi dengan mekanisme yang jelas, yakni benarbenar menyaring para migran yang terkualifikasi dan kemudian mengintegrasikan mereka ke dalam kehidupan sosial-politik di Uni Eropa, sehingga tidak menimbulkan beban sosial maupun ekonomi. Kebijakan migran saat ini dianggap sebagai bentuk advanced dari kebijakan migran sebelumnya. Sehingga dengan kebijakan migran ini, diharapkan tidak hanya dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk manula, tetapi juga sekaligus mencapai target kebijakan migran sebelumnya, terkait perluasan pasar. Meskipun mendapatkan banyak sorotan dan kritikan, kebijakan penerimaan dan pengintegrasian migran ini sangat dibutuhkan oleh Uni Eropa untuk menghadapi dampak ekonomi dari masalah tingginya penduduk usia tua di Uni Eropa. Dengan adanya kebijakan tersebut, Uni Eropa dapat memenuhi kebutuhan pekerja di Uni Eropa dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Apalagi beberapa negara di Uni Eropa seperti Spanyol, Yunani dan Itali sedang menghadapi krisis ekonomi akibat tingginya hutang mereka dibandingkan GDP mereka. Tentunya, negara-negara tersebut sedang membutuhkan cara untuk menjaga agar hutang tersebut tidak mengami kenaikan dan bisa mengalami penurunan. Dengan adanya kebijakan penerimaan dan pengintegrasian migrant terutama buruh atau pekerja di Uni Eropa, akan sangat membantu mereka untuk membantu meningkatkan pertumbuhan GDP mereka sehingga nantinya diharapkan negara-negara tersebut dapat terbebas dari jeratan hutang yang lebih tinggi jumlahnya dibandingkan dengan pendapatan mereka. Kebijakan penerimaan dan pengintegrasian migran terutama buruh ini juga menjadi jalan keluar yang paling mudah walaupun bersifat jangka pendek untuk menghadapi masalah kependudukan di Uni Eropa. Dengan adanya buruh atau pekerja migran, maka jumlah populasi di Uni Eropa akan tetap meningkat dan menaikkan rasio ketergantungan antara penduduk usia tua dan penduduk usia kerja ke arah yang lebih menguntungkan Uni Eropa. 12 Selain menguntungkan Uni Eropa, kebijakan penerimaan dan pengintegrasian migran buruh ini juga menguntungkan negara asal para migran. Dengan pembukaan migrasi bagi para buruh di Uni Eropa, maka negara asal para buruh akan mampu mengurangi jumlah pengangguran di usia kerja yang secara politis menyebabkan destabilisasi negara.24 Negara asal para migrant juga akan mendapatkan keuntungan dari segi ekonomi yaitu ketika para buruh migran mengirimkan uang ke negara asal mereka – misalnya mengirimkan sebagian gaji mereka ke keluarga di negara asal mereka atau berinvestasi di negara asal mereka - atau remittances dan pertukaran mata uang asing yang sangat berperan dalam peningkatan GDP negara asal. Aliran pengiriman uang ke negara asal diangap lebih stabil dibandingkan investasi asing dan arus modal swasta. Selain itu, negara asal juga akan mendapatkan keuntungan berupa transfer pengetahuan dan teknologi dari para buruh migran yang bekerja di negara-negara anggota Uni Eropa di mana dianggap sebagai wilayah yang lebih maju. Selain itu, berdasarkan konsep neo-liberal institusionalisme, kebijakan migran ini juga merupakan sebuah preferensi kolektif dari seluruh anggota Uni Eropa dalam rangka menyelesaikan fenomena The Ageing Society. Meskipun pada dasarnya tidak semua negara Uni Eropa mengalami persoalan yang sama terkait peningkatan angka ketergantungan atas usia produktif. Namun, Uni Eropa berusaha menyelesaikan persoalan ini secara kolektif karena dianggap dapat mengganggu kestabilan perekonomian seluruh negara anggota. Bahkan jika terus berkepanjangan, bukan tidak mungkin persoalan The Ageing Society dapat memicu terjadinya krisis yang dapat berimbas bagi masyarakat internasional lainnya. Karena, belum lama ini kita bisa melihat fenomena Krisis Yunani yang ternyata juga memberikan dampak cukup signifikan bagi negara-negara Uni Eropa dan negara-negara lainnya. Dari kacamata politik internasional, dapat kita analisis bersama bahwa fenomena The Ageing Society yang melanda sebagian negara Uni Eropa merupakan salah satu contoh persoalan terkait kependudukan. Kasus Uni Eropa ini dapat kita analisis ke dalam dua judul kecil, yaitu image dan imbas. Dari sisi image, seperti yang kita ketahui bahwa Uni Eropa merupakan contoh atau kiblat regionalisme sempurna bagi masyarakat internasional lainnya. Sehingga keberadaannya akan selalu menjadi sorotan masyarakat 24 World Savvy Monitor, Effect on Country Origin (online), 2012, http://worldsavvy.org/monitor/index.php?option=com_content&view=article&id=428&Itemid=813>, diakses 12 April 2012. < 13 internasional. Dalam rangka menjaga image baiknya, Uni Eropa tentu akan melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dalam kasus ini, dapat kita tarik sebuah benang merah bahwa kebijakan migran merupakan langkah yang diambil Uni Eropa dalam menyelesaikan persoalan The Ageing Society yang sedang mereka hadapi. Yang kedua dari sisi imbas. Imbas dari fenomena The Ageing Society jika dibiarkan terlalu lama tanpa adanya upaya penyelesaian sangatlah signifikan. Uni Eropa sebagai regionalisme negara-negara perekonomian tinggi dunia tentu telah memproyeksi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Jika The Ageing Society dibiarkan berlarut-larut dan membuat perekonomian Uni Eropa menjadi goyah. Maka hal tersebut tentu akan berimbas kepada politik internasional. Persoalan tersebut pasti akan menjadi isu internasional, karena akan banyak negara yang juga terkena imbas dari kegoncangan ekonomi Uni Eropa. Mengingat seperti yang telah dibahas, bahwa Uni Eropa terdiri dari negara-negara ekonomi besar dunia, yang banyak memberikan pengaruh bagi sirkulasi keuangan dunia. Sehingga pada dasarnya, isu The Ageing Society merupakan isu dalam politik internasional, karena secara tidak langsung akan berdampak bagi masyarakat internasional lainnya. Terutama bagi negara-negara atau kawasan tetangga Uni Eropa, seperti Afrika dan Asia di mana fenomena kependudukan di wilayah tersebut saat ini berupa tingginya jumlah orang usia kerja dibandingkan dengan usia tua. Sehingga Uni Eropa sangat tergantung dengan kawasan dan negara-negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka akan penduduk usia kerja. Kesimpulan Fenomena ageing society yang ada di Uni Eropa tidak serta merta membuat masalah tersebut hanya melibatkan Uni Eropa dan negara-negara anggotanya. Pada kenyataannya masalah ini juga berdampak kepada negara lain di luar Uni Eropa. Begitu pula dengan kebijakan penerimaan dan pengintegrasian migran yang dicanangkan oleh Komisi Eropa. Sebagai kebijakan yang merupakan preferensi kolektif negara-negara anggota, diharapkan kebijakan tersebut dapat mengurangi dampak dari rendahnya jumlah angkatan usia kerja di Uni Eropa terutama dalam hal ekonomi. 14 DAFTAR PUSTAKA Buku Budiardjo, M., Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Artikel Jurnal Gumus, Y. K., “Free Movement of Workers in the EU within the Context of Demographic Challenge of Europe: The Case of Labour Migration from Turkey to Germany”, Ankara Avrupa Calismari Dergisi, vol. 9, no. 1, 2010, hal. 63-89. Artikel Online AEGON Global Pension, Ageing Population in EU27 and OECD Countries (online), <http://www.aegonglobalpensions.com/Home/Clients/Ageing-population/>, diakses tanggal 5 April 2012. Directorate-General Employment, Social Affairs and Equal Opportunities European Commission, Demographic Trends, Socio-Economic Implications in the European Union – 2007 Impacts and Policy (online), Februari 2008, <http://www.aer.eu/fileadmin/user_upload/Commissions/HealthSocial/EventsAndM eetings/2008/Umea/Background/2007_exec_sum_demo.pdf>, diakses 9 April 2012. Europa: Summaries of UE Legislation, The Demographic Future of Erope – from Chllenge to Opportunity (online), <http://europa.eu/legislation_summaries/ employment_and_social_policy/situation_in_europe/c10160_en.htm>, diakses 3 April 2012. European Commission, Commission Communication - The demographic future of Europe – From challenge to opportunity (online), 12 Oktober 2006, <http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:52006DC0571:EN:NOT>, diakses 4 April 2012. European Commission, Communication from the Commission to the Council, the European Parliament, the European Economic and Social Committee and the Committee of the Regions on immigration, integration and employment (online), 3 Juni 2003, <http://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:52003 DC0336:EN:NOT>, diakses 4 April 2012. 15 European Commission, Demographic Change in the EU (online), <http://ec.europa.eu/social/main.jsp?catId=502&langId=en>, diakses 14 Maret 2012. European Commission, Population structure and ageing (online), 1 Desember 2011, <http://epp.eurostat.ec.europa.eu/statistics_explained/index.php/Population_structur e_and_ageing>, diakses 14 Maret 2012. Eurostat European Commision, Old-age-dependency ratio (online), 2011, <http://epp.eurostat.ec.europa.eu/tgm/table.do?tab=table&init=1&language=en&pco de=tsdde510>, diakses 4 April 2012 . Global Action on Aging, Depopulation and Ageing in Europe and Japan: The Hazardous Transition to a Labor Shortage Economy (online), Januari 2002, <http://www.globalaging.org/health/world/depopulationeuropejapan.htm>, diakses 3 April 2012. Kabar Indonesia, Eropa Semakin Menua (online), 25 Oktober 2010, <http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20111025220221>, diakses 2 April 2012. World Savvy Monitor, Effect on Country Origin (online), 2012, < http://worldsavvy.org/monitor/index.php?option=com_content&view=article&id=4 28&Itemid=813>, diakses 12 April 2012. Zaidi, A., “Feature and Challenges of Population Ageing : The European Perspective”, Euro Centre (online), <http://www.euro.centre.org/data/1204800003_27721.pdf>, diakses 4 April 2012. 16