1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan
ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk
membiayai berbagai program pembangunan yang direncanakan. Oleh karena itu,
kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget
deficit, yakni kondisi dimana jumlah anggaran belanja lebih besar daripada
pendapatannya. Adapun besarnya defisit anggaran yang dialami Indonesia selama
kurun waktu 13 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Sumber: Bank Indonesia, 2011 diolah
Gambar 1.1. Besarnya Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Periode
1998 hingga 2009 (dalam miliar rupiah)
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa selama periode tahun 1998 hingga 2011,
besarnya defisit anggaran yang terjadi menunjukkan trend yang terus meningkat.
Pada periode tahun 1999, besarnya defisit anggaran sempat mengalami penurunan
bila dibandingkan dengan tahun 1998, kemudian terus mengalami kenaikan
2
hingga mencapai angka defisit anggaran sebesar 40.485 miliar rupiah pada tahun
2001. Defisit anggaran yang begitu besar di tahun 2001 tersebut merupakan
dampak akibat krisis moneter yang terjadi di tahun 1998. Pada periode tahun 2002
hingga 2008, besarnya defisit anggaran berfluktuasi hingga mencapai angka
tertinggi di tahun 2011. Defisit anggaran pada tahun tersebut mencapai angka
124.656 miliar rupiah.
Besarnya defisit anggaran yang terjadi ditutupi baik dari pembiayaan dalam
negeri maupun luar negeri dengan proporsi tertentu. Adapun besarnya porsi
pembiayaan dalam maupun luar negeri untuk menutupi defisit anggaran yang
terjadi pada tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut.
Sumber : Bank Indonesia Indonesia, 2011, diolah
Gambar 1.2 Proporsi Sumber Pembiayaan Defisit Anggaran Pendapatan
Belanja Negara Periode Tahun 2011
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi
selama periode tahun 2005 hingga 2010, pemerintah mengandalkan sumber
pembiayaan yang berasal dari perbankan dalam negeri, privatisasi, penjualan aset
3
program restrukturisasi, dana penerbitan obligasi negara, dan pinjaman luar
negeri.
Dari beberapa sumber pembiayaan yang ada, porsi terbesar untuk menutupi
defisit anggaran yang terjadi berasal dari obligasi negara yakni sebesar 74 persen.
Dana penerbitan obligasi baru digunakan secara efektif dan menjadi instrumen
utama pembiayaan APBN sejak tahun 2005. Hal ini menunjukan betapa
pentingnya dana penerbitan obligasi pemerintah sebagai andalan demi
terlaksananya kebijakan ekspansi fiskal dengan pola deficit budget yang
diterapkan oleh pemerintah Indonesia selama ini.
Proporsi pembiayaan defisit anggaran yang sebagian besar berasal dari dana
penerbitan obligasi pada akhirnya menyebabkan pemerintah memutuskan untuk
meningkatkan penawaran obligasi di pasar sekuritas secara terus menerus. Dana
dari penerbitan obligasi ini kemudian digunakan untuk beberapa hal, di antaranya
adalah refinancing utang lama yang jatuh tempo dan refinancing dilakukan
dengan utang baru yang mempunyai term dan condition yang lebih baik.
Ditinjau dari kepemilikannya, obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah dapat
dibedakan menjadi tiga, yakni obligasi yang dimiliki oleh pihak bank, non-bank,
dan asing. Adapun data mengenai posisi kepemilikan asing atas obligasi tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1.3.
4
Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah
Gambar 1.3 Posisi Surat Berharga Negara (SBN) Domestik yang Dimiliki
Bukan Penduduk (Asing) Periode Tahun 2006 Hingga 2011
(dalam Juta Dollar)
Gambar 1.3 menunjukkan bahwa kepemilikan asing terhadap SBN menunjukkan
trend yang terus meningkat selama periode Agustus 2004 hingga Agustus 2010.
Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan pemerintah semakin kuat
terhadap pihak asing dalam hal memperoleh pendanaan yang dibutuhkan untuk
menutupi defisit anggaran yang terjadi. Porsi kepemilikan asing terhadap SBN
yang terus meningkat perlu diwaspadai sebab hal tersebut berdampak pada jumlah
utang luar negeri pemerintah yang semakin besar. Apabila penerbitan SBN dan
kepemilikan asing terhadap SBN tersebut tidak dibatasi, maka kondisi ini akan
memicu semakin besarnya jumlah utang luar negeri pemerintah sehingga tidak
menutup kemungkinan, di masa mendatang, pemerintah akan terjerat krisis utang
yang akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Defisit APBN yang terjadi menuntut adanya sumber pembiayaan untuk
menutupinya, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Pembiayaan yang
5
berasal dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau multilateral maupun
SBN yang dimiliki oleh asing. Pembiayaan dari luar negeri yang semakin
meningkat berdampak pula semakin besarnya posisi utang luar negeri pemerintah.
Secara keseluruhan, posisi utang luar negeri pemerintah juga mengindikasikan
adanya potensi krisis utang yang mungkin melanda Indonesia di waktu
mendatang. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 1.4.
Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah
Gambar 1.4 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Pemerintah Per Triwulan
Keempat Periode 1999 Hingga 2010 (dalam juta USD)
Gambar 1.4 menunjukkan bahwa selama periode tahun 1999 hingga 2010, posisi
utang luar negeri pemerintah menunjukkan trend yang terus meningkat. Hal ini
mengindikasikan bahwa kondisi keuangan pemerintah semakin menunjukkan
ketergantungan yang semakin besar terhadap pembiayaan dari pihak asing, berupa
pinjaman bilateral atau multilateral maupun dari dana hasil penerbitan Surat
Berharga Negara (SBN) yang kemudian dimiliki oleh pihak asing. Kondisi
ketergantungan tersebut dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kesehatan
6
keuangan pemerintah apabila terjadi guncangan (shock) sebagai dampak
ketidakpastian lingkungan perekonomian global yang terjadi saat ini. Jika
ketergantungan yang semakin kuat tersebut terus terjadi dalam periode waktu
yang lama, maka tidak menutup kemungkinan bila di masa yang akan datang
pemerintah akan terjerat krisis utang seperti yang dialami negara-negara Uni
Eropa saat ini.
Utang luar negeri Indonesia selain dimiliki oleh sektor publik, juga dimiliki
oleh sektor swasta. Sektor swasta yang memiliki utang luar negeri ini mencakup
sektor lembaga keuangan (bank dan nonbank) serta sektor bukan lembaga
keuangan. Adapun posisi utang luar sektor swasta dapat dilihat pada Gambar 1.5.
Sumber : Bank Indonesia, 2011,diolah
Gambar 1.5 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Sektor Swasta Per Kuartal
Keempat Periode 1999 hingga 2010 (dalam juta USD)
Gambar 1.5 menunjukkan bahwa posisi utang luar negeri pihak swasta
menunjukkan trend yang terus meningkat selama periode tahun 1999 hingga
2010. Posisi utang luar negeri sektor swasta mencapai nilai tertinggi pada periode
tahun 2011 yakni mencapai 106.114 juta USD. Utang luar negeri tersebut
7
mencakup pinjaman, utang dagang, serta surat utang yang diterbitkan luar negeri
dan dalam negeri yang dimiliki bukan oleh penduduk. Apabila jumlah utang luar
negeri sektor swasta terus meningkat dari waktu ke waktu tanpa diiringi
peningkatan produktivitas sektor riil dalam negeri, maka pada jangka panjang
sektor swasta akan mengalami kesulitan dalam hal pembayaran kembali utangutang tersebut yang akan berdampak pada terjadinya guncangan perekonomian.
Secara substansi, utang luar negeri merupakan sumber pembiayaan uang
digunakan untuk menutupi kebutuhan investasi di suatu negara. Kegiatan investasi
sangat penting untuk dilakukan di suatu negara demi menggiatkan perekonomian
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Kegiatan tersebut
membutuhkan dana dalam jumlah yang cukup besar, sehingga di beberapa negara
tertentu sumber pembiayaan dalam negeri yang tersedia, misalnya dari tabungan
domestik, tidak mampu mencukupi kebutuhan dana investasi yang akan
dilakukan. Untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan tersebut, maka utang luar
negeri dilakukan. Adanya utang luar negeri ini menimbulkan kewajiban bagi
negara debitur untuk mengembalikan utang tersebut beserta bunganya di masa
mendatang. Oleh karena itu, pembiayaan yang bersumber dari utang luar negeri
ini harus dikelola dengan baik dan dialokasikan untuk kegiatan investasi sektor
riil yang produktif sehingga dapat memberikan rate of return yang tinggi di
kemudian hari. Hal ini penting untuk mendukung kemampuan likuiditas negara
debitur dalam melakukan pembayaran kembali atas jumlah pokok dan bunga dari
utang luar negeri tersebut, sehingga negara debitur akan terhindar dari jeratan
krisis utang seperti yang melanda Uni Eropa saat ini.
8
Penggunaaan utang luar negeri yang dialokasikan untuk kegiatan yang tidak
produktif tanpa pengawasan yang baik dapat menyebabkan terjadinya krisis utang
seperti yang saat ini melanda negara-negara di kawasan Uni Eropa (European
Union/EU). Krisis utang yang berdampak sistemik tersebut diawali dengan
kondisi gagal bayar yang dialami negara Yunani. Hal ini disebabkan karena
ketiadaan pengawasan yang ketat dalam alokasi penggunaan utang luar negeri di
negara tersebut. Defisit APBN Yunani mencapai 13,6 persen dari produk
domestik bruto (PDB). Nilai ini melebihi batas ketentuan yang tercantum dalam
Maastricht Treaty (Undang-Undang Dasar anggota Uni Eropa), yang menyatakan
bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN maksimum
3 persen dari PDB nya. Defisit APBN yang dialami Yunani tersebut selanjutnya
dibiayai dari dari dana yang bersumber dari penerbitan obligasi oleh pemerintah
sehingga menyebabkan utang luar negeri Yunani terus terakumulasi mencapai 172
persen dari PDB per Juni 2011. Nilai ini melebihi batas ketentuan yang tercantum
dalam Maastricht Treaty yang menyatakan bahwa negara-negara anggota Uni
Eropa harus memiliki total utang luar negeri maksimum 60 persen dari PDB nya
(Quéré, Bénassy dan Boone, 2010).
Dana yang bersumber dari penerbitan obligasi pemerintah sebagian besar
digunakan untuk berbagai program yang sifatnya konsumtif dan pembiayaan
sosial bagi masyarakat Yunani. Dana tersebut tidak digunakan untuk membiayai
kegiatan investasi produktif, sehingga tidak memberikan dampak multiplier effect
yang besar bagi pertumbuhan ekonomi Yunani sehingga tidak memberikan rate of
return bagi pemerintah. Akibatnya, pada saat sebagian besar obligasi pemerintah
9
mengalami jatuh tempo pada periode bulan Mei tahun 2010, pemerintah Yunani
mengalami kesulitan likuiditas sehingga terjadi kondisi gagal bayar yang dialami
negara tersebut. Kondisi krisis utang yang dialami Yunani tersebut memicu
terjadinya krisis perbankan di kawasan Uni Eropa. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar pemegang obligasi Yunani adalah bank-bank di negara-negara Uni
Eropa. Dengan demikian, krisis utang Yunani berdampak luas dan sistemik
terhadap perekonomian negara-negara lain di kawasan Uni Eropa. Oleh karena
itu, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memutuskan melakukan bail
out dengan menggelontorkan dana sebesar 14.5 miliar Euro dalam rangka
melakukan pembayaran atas obligasi-obligasi pemerintah Yunani yang jatuh
tempo tersebut. Jumlah itu masih akan ditambah dengan komitmen dari IMF dan
tambahan dana talangan dari Uni Eropa untuk membayar utang-utang jatuh tempo
lainnya (Arghyrou dan Tsoukalas, 2010).
Selain Yunani, bank-bank di negara kawasan Uni Eropa juga banyak yang
memegang obligasi-obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah negara Irlandia,
Italia, Portugal, dan Spanyol. Meskipun hanya Yunani yang mengalami gagal
bayar dan membutuhkan restrukturisasi untuk pembayaran obligasi-obligasi yang
telah jatuh tempo tersebut, namun kondisi gagal bayar dan restrukturisasi meluas
terjadi pada beberapa negara lainnya. Hal ini memicu terjadinya krisis perbankan
dengan dampak lebih besar. Kondisi ini berakibat buruk pada perekonomian
negara-negara Uni Eropa sehingga secara keseluruhan, kawasan tersebut
mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2009 hingga saat ini.
10
Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh negara-negara di kawasan Uni
Eropa, maka sumber pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri dalam
jumlah yang besar perlu diantisipasi sedini mungkin. Suatu sistem deteksi dini
perlu untuk dibangun agar pemerintah dapat memperkirakan periode waktu
kemungkinan terjadinya krisis utang secara tepat. Hal ini penting bagi pemerintah
sehingga dapat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang
bersifat antisipatif. Dengan adanya impelementasi kebijakan-kebijakan ekonomi
secara tepat, maka diharapkan krisis utang dapat diantisipasi dengan baik
sehingga mengurangi kemungkinan dampak sistemik yang terjadi secara meluas
akibat krisis utang tersebut.
Berdasarkan data yang telah ditunjukkan sebelumnya, terlihat bahwa
komposisi utang luar negeri pemerintah dan swasta menunjukkan trend yang terus
meningkat pada tiap periodenya. Hal ini mengakibatkan akumulasi utang luar
negeri Indonesia dalam jumlah yang besar. Kondisi tersebut dapat meningkatkan
eksposur bagi perekonomi Indonesia apabila terjadi guncangan ekonomi yang
dipengaruhi oleh lingkungan eksternal perekonomian global. Guncangan tersebut
dapat mengarahkan perekonomian Indonesia pada kondisi krisis utang luar negeri.
Hal ini disebabkan karena adanya guncangan eksternal dapat meningkatkan
eksposur utang luar negeri. Eksposur utang luar negeri yang berlebihan dapat
memberikan tekanan depresiatif terutama karena faktor sentimen negatif. Utang
luar negeri yang tidak terkendali dan bermasalah secara berkepanjangan (misalnya
harus melalui proses rescheduling berulang-ulang) akan meningkatkan premi
risiko dan biaya pinjaman yang pada akhirnya akan menurunkan credit rating dan
11
memberi tekanan pada nilai tukar. Depresiasi rupiah akan memberikan tekanan
terhadap inflasi melalui pass through effect, sehingga akan mengurangi dampak
positif depresiasi rupiah terhadap transaksi berjalan (current account). Padahal,
peningkatan surplus transaksi berjalan sangat diperlukan untuk menutupi
kewajiban pembayaran utang luar negeri. Dengan demikian, jelas bahwa risiko
yang ditimbulkan akibat ketidakmampuan pembayaran utang luar negeri akan
berimplikasi negatif pada aspek moneter berupa tekanan terhadap nilai tukar dan
mengancam stabilitas makroekonomi secara keseluruhan yang bahkan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak yang dapat terjadi akibat krisis
utang luar negeri, maka perlu adanya suatu sistem deteksi dini yang dapat
menandai kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Terdapat dua fungsi
utama dalam suatu sistem deteksi dini. Pertama adalah mengantisipasi terjadinya
krisis utang luar negeri dan yang kedua adalah mengantisipasi dampak akibat
krisis utang luar negeri. Fungsi pertama berperan sebagai pertimbangan
pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan antisipatif agar krisis yang
diprediksi akan terjadi, dapat dihindari. Fungsi kedua adalah jika kemudian krisis
utang luar negeri tidak terhindarkan, maka sistem deteksi dini ini berperan sebagai
dasar pertimbangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penanggulangan
serta antisipasi penyebaran dampak krisis. Dengan demikian, pembangunan
sistem deteksi dini ini menjadi sangat penting sebagai peringatan kemungkinan
terjadinya krisis utang di Indonesia.
12
1.2 Permasalahan
Kondisi APBN Indonesia selalu mengalami defisit sehingga membutuhkan
pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut. Sejak tahun 2005, sumber utama
pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut berasal dari penerbitan obligasi. Dari
waktu ke waktu, porsi kepemilikan obligasi semakin besar dikuasai oleh pihak
asing. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa salah satu sumber
pembiayaan APBN utama adalah utang luar negeri. Bila kondisi ini terus
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, maka utang luar negeri
pemerintah akan terakumulasi dalam jumlah yang besar.
Utang luar negeri pihak swasta juga menunjukkan trend yang terus meningkat
dari waktu ke waktu. Peningkatan eksposur juga terjadi seiring dengan semakin
kurangnya pengawasan terhadap alokasi penggunaan utang luar negeri sektor
swasta tersebut. Berbagai kegiatan perekonomian yang digerakkan sektor swasta
sebagian besar didanai dari pembiayaan utang luar negeri. Kondisi tersebut
semakin menguatkan indikasi adanya ketergantungan Indonesia terhadap sumber
pembiayaan dari pihak asing dalam bentuk utang luar negeri. Hal ini akan
menyebabkan perekonomian Indonesia semakin rentan terhadap perubahan
eksternal yang terjadi. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bila di
masa mendatang Indonesia bisa mengalami krisis utang luar negeri. Oleh karena
itu, sangatlah penting untuk mengembangkan suatu mekanisme deteksi
kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar
langkah-langkah preventif dan antisipatif dapat segera diimplementasikan untuk
membenahi perekonomian secara keseluruhan supaya terhindar dari krisis utang
yang mungkin melanda Indonesia.
13
Berdasarkan uraian di atas, maka penting artinya bagi Indonesia untuk
memiliki suatu sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia. Oleh karena itu,
permasalahan yang akan diteliti adalah :
1.
Apa saja indikator-indikator yang dapat menjadi Coincident, Leading dan
Lagging Indicators terjadinya krisis utang luar negeri di Indonesia?
2.
Bagaimana rancang bangun dan mekanisme bekerjanya early warning
system krisis utang di Indonesia?
3.
Apa saja kebijakan yang diperlukan dalam rangka menghindari dan
menanggulangi terjadinya krisis utang di Indonesia ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini adalah :
1.
Untuk menentukan indikator-indikator yang dapat menjadi Coincident,
Leading dan Lagging Indicators terjadinya krisis utang luar negeri di
Indonesia
2.
Untuk menentukan rancang bangun dan mekanisme bekerjanya early
warning system krisis utang di Indonesia
3.
Untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam
rangka menghindari dan menanggulangi terjadinya krisis utang di
Indonesia
14
1.4 Manfaat
Secara khusus, manfaat yang dapat diperoleh melalui skripsi yang membahas
penyusunan sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Manfaat bagi penulis, yakni dapat mengembangkan pemahaman dan
kemampuan dalam menganalisis fenomena ekonomi, khususnya dalam hal ini
krisis utang yang mungkin melanda Indonesia pada periode waktu mendatang.
2. Manfaat bagi pengambil kebijakan, yakni dapat dengan segera merancang dan
mengimplementasikan
kebijakan
ekonomi
yang
tepat
dalam
rangka
memperkuat perekonomian dari sisi fiskal. Pemerintah diharapkan secara tepat
dapat menggunakan sistem deteksi dini ini untuk memprediksi kemungkinan
terjadinya krisis utang di masa mendatang. Langkah kebijakan pemerintah
yang tepat waktu dan sasaran sangat penting untuk dilakukan untuk
mengantisipasi krisis utang di Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini, dilakukan proses seleksi terhadap berbagai macam
variabel ekonomi dalam rangka penyusunan sistem deteksi dini krisis utang di
Indonesia. Variabel ekonomi yang diseleksi mencakup variabel makroekonomi
domestik dan variabel makroekonomi global selama periode bulan Januari 1990
hingga Desember 2011.
Download