2 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara biogeografi, perairan laut dunia dibagi menjadi 18 wilayah. Laut Asia Timur dinamakan wilayah-13 yang meliputi: Laut Andaman, Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura, Laut Timor, Laut Sulawesi, Laut Sulu, dan Laut Philipina. Wilayah 13 mempunyai perairan dangkal (paparan benua) dan perairan laut jeluk (dalam). Dalam wilayah ini terdapat pulau–pulau yang saling berhubungan melalui selatselat. Indonesia dikenal oleh masyarakat dunia sebagai negara kepulauan (the archipelagic country) terbesar di dunia, terdiri dari 17.504 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 95.200 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada sekitar 104.000 km (Dahuri, et al., 2009). Luas wilayah darat Indonesia sekitar 1,9 juta km2. Sementara itu, wilayah lautnya mencapai 5,8 juta km2, yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan laut territorial, 2,8 juta km2 perairan laut nusantara, dan 2,7 juta km2 perairan laut ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Wilayah perairan laut nusantara dan laut territorial Indonesia terdiri dari tiga tipe ekosistem utama, yaitu : (1) perairan dangkal di wilayah barat (Paparan Sunda), (2) perairan dangkal di wilayah timur (Paparan Sahul), (3) dan wilayah laut jeluk/dalam (deep sea) yang mencakup Selat Makasar dan Laut Banda. Laut jeluk lainnya yang berada di wilayah perairan Indonesia adalah Selat Bali, Laut Flores, Laut Sulawesi, dan Laut Maluku. Sedangkan samudera (lautan) yang mengitari perairan Indonesia adalah Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Tabel 1). Perairan Laut Indonesia dipengaruhi oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Massa air yang berasal dari Samudera Pasifik masuk dari arah utara kemudian ke Samudera Hindia melalui selat-selat, terutama di Nusa Tenggara. Karena posisinya terletak diantara dua benua yaitu Asia dan Australia, Perairan Indonesia menjadi sangat strategis sebagai kawasan lintasan berbagai macam kapal laut, mulai dari kapal niaga, kapal tanker, kapal ikan, sampai dengan kapal 14 perang. Lalu lintas ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya alam hayati perairan, terutama bila terjadi tabrakan kapal tanker sehingga tumpahan minyak dalam jumlah besar masuk ke dalam ekosistem perairan. Tabel 1 Luas Wilayah Perairan Laut Teritorial Indonesia Wilayah dan Sub-Wilayah Paparan Sunda Selat Malaka Laut Cina Selatan (bagian Indonesia) Laut Jawa (termasuk Selat Sunda) Luas (km2) 686.000 55.000 250.000 381.000 Paparan Sahul Laut Arafura Perairan sekitarnya 160.000 143.500 16.500 Laut Hindia Sumatera, Pantai Barat Jawa, Pantai Selatan Selat Bali Pulau-Pulau Sunda Kecil bagian Selatan 132.000 70.000 30.000 2.500 30.000 Laut-Laut Jeluk Selat Makasar, perairan sekitar Sulawesi, pulau-pulau Sunda Kecil bagian utara Laut Flores Laut Banda Maluku (termasuk Irian Jaya bagian utara dan barat) 1.694.000 594.000 100.000 100.000 900.000 Sumber: Dwiponggo (1987) Ekosistem perairan laut dapat dibagi menjadi dua, yaitu perairan laut pesisir (yang meliputi daerah paparan benua), dan laut lepas atau laut oseanik. Penetapan batas wilayah pesisir sampai saat ini belum ada definisi baku. Namun ada kesepakatan dunia bahwa wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Ditinjau dari garis pantai (coastline), suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai (long-shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore). Penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah, misalnya batas wilayah pesisir Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung 15 Nasikonis dan Pulau Sabu; dan batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah antara Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur. Akan tetapi, penetapan batas wilayah pesisir secara tegak lurus terhadap garis pantai belum diperoleh kesepakatan, karena batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Sebagai contoh RRC (Republik Rakyat Cina) menetapkan wilayah pesisir ke arah darat sejauh 15 km dari garis pantai, dan ke arah laut sejauh 15 km. Sedangkan Negara Bagian Washington (Amerika Serikat) dan Queensland (Australia) menetapkan batas wilayah pesisir sejauh 3 mil laut dari garis dasar (coastal base line). Perbedaan tersebut dapat dimengerti, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumber daya, dan sistem pemerintahan tersendiri (Dahuri, et al., 2001). Dalam suatu wilayah pesisir biasanya terdapat lebih dari satu jenis ekosistem pesisir dan sumber daya alam (SDA). Tipe ekosistem pesisir Indonesia dideskripsikan atas dasar komunitas hayati dan penggenangan oleh air (Kartawinata dan Soemodihardjo, 1976; Nontji, 1987). Berdasarkan sifatnya, ekosistem pesisir dapat bersifat alami (natural) atau buatan (man made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (sea grass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuari, laguna, delta, dan ekosistem pulau kecil. Ekosistem pesisir tersebut ada yang terus menerus tergenangi air dan ada pula yang hanya sesaat. Sedangkan ekosistem buatan antara lain adalah tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, dan kawasan pemukiman. Berbagai macam ekosistem pesisir yang terdapat di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting, baik ditinjau dari segi ekologis maupun ekonomis. Sayangnya informasi mengenai fungsi ekologis, khususnya tentang keanekaragaman hayati yang terdapat pada masing-masing ekosistem di daerah pesisir, relatif masih sangat kurang. Hal ini akan menjadi kendala yang sangat serius bagi pelaksanaan pengelolaan daerah pesisir dan laut secara komprehensif, apalagi jika dikaitkan dengan peran ekologis maupun ekonomis dari masingmasing ekosistem tersebut, dalam menunjang kegiatan pembangunan di Indonesia pada masa yang akan datang. 16 Adapun SDA yang terdapat dalam wilayah pesisir dan lautan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) SDA yang dapat pulih (renewable resources), (2) SDA yang tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). SDA dapat pulih antara lain berupa sumberdaya perikanan; hutan mangrove; senyawa bioaktif (bioactive substances atau natural products) yang terdapat dalam tubuh organisme laut yang menjadi bahan baku untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, bio-energi, dan beragam industri lainnya; energi pasang surut; energi gelombang; dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). SDA tidak dapat pulih terdiri dari minyak dan gas, bauksit, timah, bijih besi, emas, mangan, dan mineral serta bahan tambang lainnya. Jasa-jasa lingkungan antara lain meliputi fungsi ekosistem pesisir dan laut sebagai media transportasi, tempat untuk rekreasi dan pariwisata, penetralisir (asimilasi) limbah, sumber plasma nutfah (gene pool), regulator iklim, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, dan fungsi-fungsi penunjang (life-supporting functions) lainnya. Segenap SDA dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat dalam wilayah pesisir dan lautan tersebut dapat dimanfaatkan setidaknya melalui 11 sektor ekonomi, yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pariwisata bahari, (6) pertambangan dan energi, (7) perhubungan laut, (8) kehutanan (coastal forestry, seperti hutan mangrove), (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional (Dahuri, 2009). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan SDA non-konvensional adalah SDA yang terdapat di wilayah pesisir dan Lautan Indonesia, tetapi karena kendala teknis atau ekonomis, SDA tersebut belum dapat dimanfaatkan. Contohnya, gas hidrat yang terdapat di Lautan Hindia bagian Pantai Barat Sumatera dan Pantai Selatan Jawa, mineral laut dalam, sumberdaya perikanan laut dalam, dan industri air laut dalam (deep-sea water industry). 2.2 Sumberdaya Perikanan Berbagai spesies ikan dan biota laut lainnya yang menjadi target kegiatan perikanan tangkap di seluruh dunia, tidak terkecuali di Cirebon, hidup dan tumbuh 17 berkembang tidak sendirian di dalam suatu ekosistem laut. Oleh karenanya, untuk dapat mengelola kegiatan (usaha) perikanan tangkap di laut dengan benar, yakni mensejahterakan seluruh pelaku usaha (khususnya nelayan), memerlukan pemahaman yang memadai tentang struktur, karakteristk, dan dinamika ekosistem laut yang merupakan tempat (habitat) hidupnya ikan dan biota laut lain yang menjadi target usaha penangkapan ikan. Jenis-jenis ikan dan biota laut lain yang menjadi target penangkapan para nelayan itu hidup bersama dengan jenis-jenis ikan dan biota lain (non-target fishes), yang satu sama lain saling berinteraksi. Kondisi kehidupan, perkembangbiakan, dan pertumbuhan ikan target di laut, selain dipengaruhi oleh beragam jenis ikan dan biota lainnya juga sangat bergantung pada kondisi, karakteristik, dan dinamika lingkungan fisik laut itu sendiri. Dalam ilmu ekologi, semua makhluk hidup (biota atau organisme) yang ada dalam suatu ekosistem laut dikategorikan sebagai komponen biotik. Sementara itu, semua unsur fisik (unsur non-hayati atau non-living elements), seperti topografi dasar laut, arus, gelombang, pasang-surut, suhu, salinitas, kekeruhan (turbidity), dan kandungan berbagai macam unsur serta senyawa kimia suatu ekosistem laut, dinamakan komponen abiotik (Odum, 1971; Nybakken, 1986). Banyaknya jenis (spesies) ikan dan biota laut lain yang menjadi target penangkapan para nelayan di dunia, khususnya di wilayah laut tropis seperti Indonesia, bisa mencapai ratusan. Namun, kesemua jenis ikan dan biota laut lain itu, dalam nomenklatur FAO biasa dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, dan 2 kelompok tambahan. Empat kelompok utama yang dimaksud adalah: ikan (finfish), udang-udangan (crustaceans), kekerangan (molluscs), dan echinodermata. Adapun dua kelompok tambahan adalah elasmobranches (ikanikan bertulang rawan, seperti ikan pari, cucut, dan hiu), dan porifera seperti sea sponge. Dalam hal sumberdaya perikanan, perairan laut Indonesia merupakan salah satu perairan yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia (Tabel 2). Jumlah spesies biota perairan laut masih terus bertambah sejalan dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi serta intensifnya kegiatan penelitian kelautan, terutama aspek keanekaragaman hayati. Jumlah jenis ikan akan lebih banyak lagi 18 bila ditambahkan dengan beberapa spesies ikan yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang yang ditemukan dalam 20 tahun terakhir, terutama di Kawasan Timur Indonesia. Tabel 2 Keanekaragaman Hayati Beberapa Jenis Kelompok Biota Laut Indonesia Kelompok Utama Tumbuhan Karang Sponge Moluska Krustasea Echinodermata Ikan Reptil Burung Mamalia Kelompok Alga hijau Alga coklat Alga merah Lamun Mangrove Scleratinians* Soft corals Gorgonians Desmospongia Gastropoda Bivalvia* Stomatopoda Brachyura Crinodea* Asteroidea* Ophiuroidea* Echinoidea* Holothuridea* Ikan daerah pesisir Penyu Buaya Burung laut* Hiu dan Dolphin Dugong Jumlah Spesies 196 134 452 12 38 350 210 350 850 1500 1000 102 1400 91 87 142 284 141 Van Bosse, 1928 Van Bosse, 1928 Van Bosse, 1928 Kiswara (pers. Comm.) Soegiarto & Pollunin, 1981 Best et al. 1980 Diperkirakan Diperkirakan Diperkirakan Kastoro (kom. pribadi)) Valentine, 1971 Moosa (kom. pribadi) (diperkirakan ) Moosa Clark and Rowe, 1971 Clark and Rowe, 1971 Clark and Rowe, 1971 Clark and Rowe, 1971 Clark and Rowe, 1971 > 2000 Bleeker, 1859 6 148 29 1 Sumber Marquez, 1990 Diperkirakan Suwelo, 1988 Soegiarto and Polunin, 1981 Sumber: Soegiarto and Polunin, (1981); Mossa dkk. (1996). Keterangan : (*) di perairan Indonesia dan sekitarnya Kelompok utama biota yang memiliki jumlah spesies terbanyak di perairan Laut Indonesia adalah moluska atau kerang-kerangan (2.500 spesies), yang meliputi kelompok gastropoda yang terdiri dari 1.500 spesies dan kelompok bivalvia yang terdiri dari 1.000 spesies. Sementara itu, ikan merupakan kelompok utama biota laut yang memiliki jumlah spesies terbanyak kedua (lebih dari 2.000 spesies), dan beberapa spesies diketahui mempunyai nilai ekonomi penting, 19 seperti ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Ikan pelagis kecil diperkirakan meliputi lebih dari 1.200 spesies, seperti kembung, layang, lemuru, selar dan teri, yang penyebarannya berada di perairan dekat pantai, dimana proses penyebarannya berada di perairan dekat pantai, dimana proses penaikan massa air (upwelling) sering terjadi. Sedangkan ikan pelagis besar yang jumlahnya lebih sedikit seperti tuna, cakalang, hiu, dan setuhuk banyak ditemukan di zona permukaan (pelagic zone) laut jeluk atau ZEEI, seperti di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Kelompok utama organisme yang memiliki jumlah spesies terbanyak ketiga adalah krustasea, yang terdiri dari kelompok brachyuran (1.400 spesies) dan stomapoda (102 spesies). Di antara kelompok brachyuran tersebut, ada 83 jenis udang dari keluarga Penaeidae (Crosnier 1984 dalam Sumiono dan Priyono,1998), dan hanya sebagian kecil yang memiliki nilai ekonomin langsung (direct use value), yaitu lobster / udang karang, udang kipas, udang ronggeng, dan udang laut jeluk. Dalam urutan berikutnya adalah kelompok utama hewan karang (910 spesies), sponge (580 spesies), tumbuhan (832 spesies), echinodermata (745 spesies), burung (148 spesies), mamalia (29 spesies), dan reptil (6 spesies). Berdasarkan pada kondisi oseanografi dan penyebaran stok ikan, perairan laut Indonesia dibagi menjadi 9 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Kemudian seiring dengan bertambahnya informasi ilmiah yang berhasil dikumpulkan, pada 2007 seluruh wilayah perairan laut Indonesia dikelompokkan menjadi 11 WPP. Menurut Komisi Pengkajian Stok Ikan Nasional (2010), total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,5 juta ton per tahun atau sekitar 7,2% dari MSY laut dunia (90 juta ton/tahun) (FAO, 2008). Potensi produksi lestari tersebut terdiri dari: (1) ikan pelagis besar 1,45 juta ton, (2) ikan pelagis kecil 3,65 juta ton, (3) ikan demersal 1,45 juta ton, (4) ikan karang 145,3 ribu ton, (5) udang paneid 98,3 ribu ton, (6) lobster 4,8 ribu ton, dan (7) cumi-cumi sebesar 28,3 ribu ton (Tabel 3). Sedangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) adalah 80 – 90 % dari potensi produksi lestari atau sekitar 5,20 – 5,85 juta ton per tahun (FAO’s Code of Conduct for Responsible Fisheries, 1995). 20 Tabel 3 Estimasi Potensi Produksi Lestari Sumberdaya Ikan Pada Setiap WPP-RI, 2010. Potensi Produksi Ikan Pada Masing-Masing Wilayah Pengelolaan Perikanan (ribu/ton) KELOMPOK SUMBERDAYA IKAN Selat Malaka Samudera Hindia Laut Cina Selatan Laut Jawa Selat Makassar – Laut Flores Laut Banda Teluk Tomini – Laut Seram Laut Sulawesi Samudera Pasifik Laut Arafura – Laut Timor TOTAL WPP-571 WPP-572 WPP-573 WPP-711 WPP-712 WPP-713 WPP-714 WPP-715 WPP-716 WPP-717 WPP-718 Ikan Pelagis Besar 27,7 164,8 201,4 66,1 55,0 193,6 104,1 106,5 70,1 105,2 50,9 1.145,4 Ikan Pelagis Kecil 147,3 315,9 210,6 621,5 380,0 605,4 132,0 379,4 230,9 153,9 468,7 3.645,7 Ikan Demersal 82,4 68,9 66,2 334,8 375,2 87,2 9,3 88,8 24,7 30,2 284,7 1.452,5 Udang Penaeid 11,4 4,8 5,9 11,9 11,4 4,8 - 0,9 1,1 1,4 44,7 98,3 Ikan Karang Konsumsi 5,0 8,4 4,5 21,6 9,5 34,1 32,1 12,5 6,5 8,0 3,1 145,3 Lobster 0,4 0,6 1,0 0,4 0,5 0,7 0,4 0,3 0,2 0,2 0,1 4,8 Cumi-cumi 1,9 1,7 2,1 2,7 5,0 3,9 0,1 7,1 0,2 0,3 3,4 28,3 276,0 565,2 491,7 1.059,0 836,6 929,7 278,0 595,6 333,6 299,1 855,5 6.520,1 Total Sumber : Komnaskajiskan-KKP ( 2010). 21 Sementara itu, tingkat pemanfaatannya pada 2009 sebesar 4,81 juta ton atau 75,2 persen dari MSY. Dan, pada 2010 tingkat pemanfaatan itu mencapai 5,06 juta ton atau sekitar 77,8 persen dari MSY (KKP, 2010). Lima belas jenis ikan laut utama (dominan) yang selama ini dihasilkan dari kegiatan penangkapan di perairan laut Indonesia, atas dasar urutan volume hasil tangkapannya adalah: layang (Scad), cakalang (Skipjack tuna), kembung (Short-bodied mackerel), lemuru (Balinese sardines), teri (Anchovies), tembang (Goldstrip Sardinella), tongkol komo (Eastern little tuna), selar (Trevallies), tongkol krai (Frigate tuna), tongkol abu-abu (Longtail tuna), kakap merah/bambangan (Red snapper), tenggiri (Narrow-barred Spanish mackerel), madidihang (Yellowfin tuna), peperek (Pony fishes), dan kakap putih (Barramundi/Giant sea perch). Ada puluhan jenis ikan lainnya, yang volume hasil tangkapannya tidak begitu besar, seperti ikan tuna sirip biru selatan (Shouthern bluefin tuna), ikan terbang, baronang, layur, ikan sebelah, dan jenis-jenis ikan karang. Lima (the top five) propinsi penghasil ikan tangkapan dari laut terbesar berturut-turut adalah propinsi Maluku, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Tingkat pemanfaatan untuk setiap kelompok jenis ikan laut di setiap WPP pada 2010 adalah sebagai berikut (Komnaskajiskan, 2010): • WPP 571 (Selat Malaka dan Laut Andaman): (1) ikan pelagis besar belum dapat dipastikan, karena minimnya data dan informasi, (2) ikan pelagis kecil fully exploited (terkesploitasi penuh), (3) ikan demersal sudah overfishing, dan (4) udang sudah overfishing. • WPP 572 (Samudra Hindia Barat Sumatra dan Selat Sunda): (1) ikan pelagis besar fully exploited, (2) ikan pelagis kecil moderately exploited, (3) ikan demersal fully exploited, dan (4) udang fully exploited. • WPP 573 (Samudra Hindia Selatan Jawa hingga Nusa Tenggara): (1) ikan pelagis besar fully exploited, (2) ikan pelagis kecil fully exploited, (3) ikan demersal fully exploited, dan (4) udang fully exploited. • WPP 711 (Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan: (1) ikan pelagis besar belum dapat dipastikan, (2) ikan pelagis kecil sudah overfishing, (3) ikan demersal fully exploited, dan (4) udang masih moderately exploited (tingkat pemanfaatan) lebih kecil dari pada MSY yang artinya tingkat 22 pemanfaatan (jumlah kapal ikan) masih bisa ditambah sampai mendekati MSY. • WPP 712 (Laut Jawa): (1) ikan pelagis besar belum dapat dipastikan, (2) ikan pelagis kecil sudah overfishing, (3) ikan demersal fully exploited, dan (4) udang fully exploited. • WPP 713 (Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali): (1) ikan pelagis besar belum dapat dipastikan, (2) ikan pelagis kecil moderately exploited, (3) ikan demersal fully exploited, dan (4) udang sudah overfishing. • WPP 714 (Laut Banda): (1) ikan pelagis besar moderately exploited, (2) ikan pelagis kecil moderately exploited, (3) ikan demersal di sebagian wilayah perairan masih underexploited dan di sebagian wilayah perairan lainnya belum dapat dipastikan, dan (4) udang belum dapat dipastikan. • WPP 715 (Laut Maluku, Teluk Tomini, dan Laut Seram): (1) ikan pelagis besar fully exploited, (2) ikan pelagis kecil moderately exploited, (3) ikan demersal moderately exploited, dan (4) udang belum ada data. • WPP 716 (Laut Sulawesi, Laut Halmahera, dan Samudra Pasifik): (1) ikan pelagis besar sudah overfishing, (2) ikan pelagis kecil belum dapat dipastikan, (3) ikan demersal belum dapat dipastikan, dan (4) udang belum ada data. • WPP 717 (Samudera Pasifik) : (1) ikan pelagis besar over ekkploitasi, (2) ikan pelagis kecil belum dapat dipastikan, (3) ikan demersal belum dapat dipastikan, dan (4) udang sudah belum dapat dipastikan. • WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor): (1) ikan pelagis besar belum dapat dipastikan, (2) ikan pelagis kecil moderately exploited, (3) ikan demersal di sebagian wilayah perairan sudah overfishing dan di sebagian wilayah perairan lainnya fully exploited, dan (4) udang sudah overfishing. 23 Tabel 4 Tingkat Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Setiap WPP-RI, 2010 Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Malaka Laut Cina Selatan Laut Jawa Laut Flores – Selat Makasar Laut Banda Laut Arafura Teluk Tomini – Laut Malukku Samudera Pasifik Laut Sulawesi Barat Sumatera Samudera Hindia Selatan Jawa – Nusa Tenggara Status Pemanfaatan Stok Pelagis Demersal Udang Kecil O O F F M O F F O F O M U/UN UN M FO M M M UN UN UN UN UN UN Pelagis Besar UN UN UN UN M UN F O O F F M F F F F F Sumber : Komnaskajiskan-KKP ( 2010) Keterangan : O : overfishing; F : fully exploited; M : moderately exploited; UN : belum dapat dipastikan . Dari status tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut diatas (Tabel 4), jelas bahwa peluang untuk menambah armada kapal ikan (tingkat pemanfaatan) secara nasional hanya tinggal untuk 3 persen dari MSY kalau mengikuti anjuran FAO’s Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995). Akan tetapi, untuk kondisi negara seperti Indonesia, dimana angka pengangguran dan kemiskinan masih tinggi, kita bisa memanfaatkan sumberdaya ikan laut sampai pada tingkat MSY. Dengan kata lain, kita masih bisa menambah armada kapal ikan untuk menangkap ikan sebanyak 23 persen dari MSY. Satu hal yang harus diingat di sini, bahwa ketika tingkat pengangguran dan kemiskinan sudah menurun sampai pada batas yang bisa ditolerir di sebuah negara yang maju dan makmur, maka kita harus mengurangi armada kapal ikan (jumlah nelayan) sampai pada tingkat pemanfaatan sebesar 80% dari MSY sumberdaya ikan laut. Adapun MSY sumberdaya perikanan di perairan umum diperkirakan sebesar 900.000 ton/tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada 2010 sebesar 3,39 juta ton (KKP, 2010) atau baru sekitar 7,2 persen dari total potensinya . Ada 17 jenis ikan utama yang dipanen (ditangkap) dari perairan umum, dengan urutan volume hasil tangkapan sebagai berikut: gabus, sepat siam, lais, tambakan, tawes, lele, nila, baung, mujair, betok, patin jambal, mas, belida, betutu, sepat rawa, toman, dan 24 lampan. Selain ikan, 3 jenis udang yang umum ditangkap dari perairan umum adalah: udang galah (giant freshwater prawn), udang air tawar (freshwater shrimp), dan jenis udang lainnya. Organisme perairan lain yang biasa ditangkap oleh para nelayan perairan umum, antara lain adalah: remis, siput, buaya, katak benggala, kodok, dan kura-kura (labi-labi). Produksi penangkapan dari perairan umum didominasi oleh Propinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur yang keempatnya menyumbang 44 persen dari total produksi nasional. 2.3 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Menurut Undang-Undang No. 45/2009 tentang Perubahan atas UU No.31/2004 tentang Perikanan, bahwa yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (Pasal 1 , Ayat 1). Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan, dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya (UU No. 45/2009, Pasal 1, Ayat 5). Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (UU No. 45 /2009, Pasal 1, Ayat 7). Pengelolaan perikanan tangkap adalah mengawasi atau menyesuaikan operasi-operasi penangkapan (jumlah penangkapan, tipe alat yang dipakai, ukuran ikan-ikan yang tertangkap) untuk mengoptimasikan pemanfaatan dari suatu sumberdaya ikan (Parson, 1980 in Merta, 1989). Oleh karenanya, pengelolaan 25 perikanan meliputi tidak saja cara-cara pengaturan yang bersifat pembatasan, tetapi juga rencana-rencana pengembangan yang didasarkan kepada pengetahuan mengenai sumberdaya ikan yang tersedia. Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu (1) perikanan lepas pantai (offshore fisheries); (2) perikanan pesisir (coastal fisheries); dan (3) perikanan darat (inland fisheries). Kegiatan perikanan pesisir dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir (Dahuri et al., 1996). Perikanan pesisir ialah kegiatan menangkap populasi hewan air (ikan, udang, kerang-kerangan) dan memanen tumbuhan air (ganggang, rumput laut) yang hidup liar di perairan sekitar pantai. Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap per satuan upaya (catch per unit of effort) yang disebabkan oleh (1) penangkapan berlebihan (overfishing) terhadap sumberdaya ikan, dan (2) degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan (Dahuri et al., 1996). Kelebihan tangkapan (overfishing) dapat diartikan ke dalam dua pengertian yaitu ”growth overfishing” dan ”recruitment overfishing”. Pada saat hasil tangkapan menurun dengan naiknya jumlah upaya penangkapan, maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Kedua kemungkinan ini bisa salah satu atau secara bersamaan terjadi. Pertama adalah bahwa ikan ditangkap begitu muda sehingga mereka tidak diberi kesempatan untuk tumbuh mencapai ukuran yang cukup. Walaupun naiknya jumlah upaya penangkapan akan menaikkan ”jumlah” ikan yang tertangkap, namun berat rata-ratanya akan terus menurun dan pada akhirnya berat total juga turun. Hal ini disebut ”growth overfishing”. Kedua adalah bahwa jumlah ikan yang berukuran besar tinggal sedikit sekali hingga tidak menghasilkan anak ikan secara mencukupi. Dengan kata lain karena jumlah induk sangat sedikit maka rekruitmen menjadi sangat kecil. Dalam keadaan ini jumlah ikan kecil yang tertangkappun akan menurun terus. Hal ini merupakan terjadinya ”recruitment over fishing” (Sparre dan Venema, 1999). 26 2.3.1 Sistem Perikanan Pada dasarnya usaha perikanan tangkap dimana pun berada merupakan sebuah sistem, yang terdiri dari 3 sub-sistem yaitu: (1) sub-sistem alam (natural sub-system), (2) sub-sistem manusia (human sub-system), dan (3) sub-sistem pengelolaan (management sub-system) (Charles, 2001). Ketiga sub-sistem itu juga merupakan sebuah sistem tersendiri yang memiliki berbagai sub-sistem (komponen) masing-masing (Gambar 2). SistemAlami alami Sistem Sistem Pengelolaan Komunitas Kebijakan & Perencanaan Pengembangan perikanan Spesies & Populasi ikan Pengelolaan perikanan Penelitian perikanan Habitat Lingkungan Perairan Faktor eksternal seperti perubahan iklim Sistem manusia Faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah Nelayan dan sarana Pemukiman & komunitas Faktor eksternal seperti kebijakan ekonomi, struktur pasar, dll Pasca panen & pasar Lingkungan sosial ekonomi Gambar 2 Subsistem dan komponen dalam yang menyusun suatu sistem perikanan tangkap (Charles 2001) Dalam sebuah sistem, termasuk sistem perikanan tangkap, semua sub-sistem (komponen) saling berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu (Day and Hall, 1978). Oleh sebab itu, pengkajian tentang nelayan, terutama faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan serta cara untuk mengatasi nya, harus pula memahami setiap sub-sistem beserta karakteristik dan dinamika nya yang membentuk sistem perikanan tangkap. 27 2.3.2 Tujuan Pengelolaan Perikanan Tangkap Ada dua tujuan pengelolaan perikanan tangkap yang sering dibicarakan dan perlu diketahui, yaitu mencapai MSY (Maximum Sustainable Yield) dan MEY (Maximum Economic Yield). Sedangkan tujuan lain yang jarang dibicarakan adalah mengoptimumkan kondisi-kondisi sosial atau meminimumkan konflik di dalam sektor perikanan (Gulland, 1974 in Merta, 1989). Menurut Fricke (1985) dalam Merta (1989), bahwa untuk mencapai manfaat terbaik dari suatu sumberdaya, para pengelola haruslah menyeimbangkan dampak-dampak dari ekologi sumberdaya, ekonomi dan sosial dalam membuat keputusan atau memaksimumkan keuntungan-keuntungan biologi atau biomassa, ekonomi dan sosial. Menurut Boer dan Aziz (2007) salah satu tujuan akhir menemukan pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang tepat adalah demi tercapainya kesejahteraan para nelayan. Tujuan utama lainnya adalah untuk penyediaan pangan dan bahan baku industri, penghasil devisa serta untuk mengetahui porsi optimum besarnya pemanfaatan oleh armada penangkapan. Sementara itu, Charles (2001) berpendapat bahwa tujuan akhir dari pengelolaan perikanan tangkap adalah untuk mewujudkan sosok perikanan tangkap yang berkelanjutan (sustainable fisheries). Selanjutnya, Charles (2001) menjelaskan bahwa ada empat kelompok indikator yang menggambarkan sebuah sistem perikanan tangkap yang berkelanjutan, yakni: a) Keberlanjutan ekologis (ecological sustainability), yakni suatu kondisi dimana kualitas dan kesehatan ekosistem perairan terpelihara dengan baik, agar sumberdaya ikan yang hidup di dalamnya dapat tumbuh dan berkembang biak secara optimal, dan tingkat penangkapan sumberdaya ikan tidak melampaui kemampuan pulih (renewable capacity) nya, sehingga hasil tangkapan secara keseluruhan baik pada tingkat kabupaten/kota, propinsi, maupun nasional dapat berlangsung secara berkelanjutan. b) Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability), yaitu suatu kondisi dimana sistem usaha perikanan tangkap mampu memelihara atau meningkatkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional; dan 28 meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha (nelayan dan mereka yang terlibat dalam kegiatan industri hulu serta industri hilir perikanan tangkap) secara adil dan berkelanjutan. c) Keberlanjutan masyarakat (community sustainability), yakni terpeliharanya atau semakin membaiknya kualitas kehidupan masyarakat pelaku usaha perikanan tangkap beserta segenap sistem nilai keutamaan individu (seperti budaya kerja keras, kreatif, budaya menabung, jujur, dan disiplin) dan sistem nilai keutaman kelompok nya, seperti semangat toleransi, saling menghormati, kerjasama, dan pengorbanan untuk kepentingan bersama. d) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability), yaitu suatu kondisi dimana semua pranata kelembagaan (institutional arrangements) yang terkait dengan sistem perikanan tangkap (seperti pelabuhan perikanan, pemasok sarana produksi, pengolah dan pemasar hasil tangkapan, dan lembaga keuangan) dapat berfungsi secara baik dan benar serta berkelanjutan. Selain keberlanjutan (sustainability), sosok perikanan tangkap yang berhasil adalah juga yang mampu meredam dan pulih kembali dari segenap tekanan, distorsi, gangguan, dan gejolak baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun fenomena alam, seperti El-Nino, La-Nina, dan perubahan iklim global (global climate change). Dengan perkataan lain, sistem perikanan tangkap yang sukses harus berkelanjutan (sustainable) dan lentur (resilience) terhadap sejumlah gangguan dan distorsi. Untuk dapat mewujudkan sosok perikanan tangkap yang berhasil seperti itu, maka setiap kebijakan, program, kegiatan, dan teknik manajemen hendaknya disusun berdasarkan pada karakteristik, struktur, dinamika, dan interaksi dari berbagai sub-sistem (komponen) yang membentuk sistem perikanan tangkap. 2.3.3 Teknik-Teknik Pengelolaan Perikanan Tangkap Beberapa teknik pengelolaan perikanan tangkap yang biasanya diterapkan adalah melalui penutupan musim penangkapan, penutupan daerah pemijahan, pembatasan ukuran ikan yang tertangkap, pembatasan alat dengan cara 29 mengontrol selektivitas dan ”fishing power”-nya, menentukan kuota hasil tangkapan, dan pengawasan terhadap jumlah penangkapan melalui pembatasan terhadap jumlah kapal dan jumlah penangkapan oleh masing-masing kapal (Gulland, 1971 in Merta, 1989). Oleh Tait (1981) dalam Merta (1989), teknik-teknik pengelolaan perikanan tangkap dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu (1) pembatasan jumlah total penangkapan dan (2) memberikan perlindungan khusus terhadap ikan-ikan muda yang menjamin bahwa mereka dapat mencapai ukuran yang layak dan mempunyai kesempatan untuk memijah sebelum tertangkap. Pembatasan jumlah total penangkapan dilakukan dengan cara: • Penghentian secara total penangkapan terhadap jenis yang dieksploitasi secara berlebihan; • Membatasi hasil tangkapan tahunan total yang diizinkan (TAC = Total Allowable Catch); • Membatasi ukuran dari armada penangkapan; • Membatasi lamanya musim penangkapan atau jam-jam yang diizinkan; dan • Mengatur ukuran dan tipe dari alat tangkap. Sementara perlindungan terhadap ikan-ikan muda dilakukan dengan cara: • Melarang penangkapan ikan-ikan kecil; • Menutup daerah-daerah pemijahan/atau asuhan dari penangkapan; dan • Menentukan penggunaan ukuran-ukuran minimum dari mata jaring atau pancing. Menurut Merta (1989), beberapa alternatif dalam pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella longiceps) antara lain: • Mengurangi jumlah kapal; • Mengurangi jumlah trip; • Penutupan musim penangkapan; • Memperbesar mata jaring; • Melarang alat tangkap bagan; dan • Mengganti alat tangkap payang. 30 Dalam pada itu, para ahli perikanan lain seperti Charles (2001) dan McClanahan dan Castilla (2007) mengelompokkan teknik manajemen perikanan tangkap (fisheries management measures) secara garis besar ke dalam lima kategori: (1) pengendalian upaya tangkap/input (input/effort control); (2) pengedalian hasil tangkap/output (output/catch control); (3) pengaturan teknologi penangkapan; (4) insentif dan disinsentif ekonomi (indirect economic instruments); dan (5) pengelolaan berbasis ekosistem. a. Pengendalian Upaya Tangkap (Input/Effort Control) Pada prinsipnya, dalam rangka menjamin usaha perikanan tangkap supaya terus menguntungkan dan stok ikan tetap lestari, maka teknik manajemen ini mengatur/mengendalikan upaya tangkap atau fishing effort) yang diperbolehkan beroperasi di suatu wilayah perairan (fishing ground). Meskipun upaya tangkap merupakan kumpulan (kombinasi) berbagai input, namun ada empat unsur (input) yang lazim digunakan dalam menentukan besarnya upaya tangkap dari suatu armada penangkapan ikan (fishing fleet), yaitu: (1) jumlah kapal ikan; (2) rata-rata kemampuan menangkap ikan dari setiap kapal ikan yang biasanya ditentukan oleh ukuran kapal, jumlah dan keahlian ABK, jenis dan kuantitas alat tangkap, alat penunjang (fish finder, peta perkiraan lokasi ikan, dll), dan input fisik lainnya; (3) rata-rata intensitas operasi setiap kapal ikan per satuan waktu di laut, yang berarti mengukur proporsi dari kemampuan menangkap dari kapal yang sebenarnya teralisir di laut; dan (4) rata-rata waktu operasi setiap kapal ikan di laut. Secara matematis, upaya tangkap dirumuskan sebagai berikut: Upaya tangkap = (Jumlah kapal ikan) x (Kemampuan kapal menangkap ikan) x (Intensitas) x (Lamanya kapal beroperasi di laut) Dari rumus di atas jelas, bahwa bila salah satu unsur tersebut besarnya adalah nol, maka upaya tangkap pun menjadi tidak ada (nol). Dengan kata lain, tidak ada aktivitas penangkapan ikan. Pada kenyatannya, selain keempat unsur tersebut, sebenarnya upaya tangkap juga bergantung pada keahlian dan pengalaman dari fishing master, nahkoda kapal, dan ABK. Namun dalam analisis, faktor keahlian dan pengalaman ini jarang dipertimbangkan. Secara garis besar, 31 ada lima teknik manajemen yang termasuk ke dalam pengendalian upaya tangkap, yaitu: (1) membatasi jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi, (2) membatasi kemampuan menangkap setiap kapal ikan, (3) membatasi intensitas operasi penangkapan ikan, (4) membatasi lama waktu menangkap ikan di laut, dan (5) membatasi lokasi penangkapan ikan. a.1. Pembatasan jumlah kapal ikan (limiting entry) Teknik ini merupakan salah satu yang paling populer diterapkan dalam pengelolaan perikanan tangkap. Caranya dengan membatasi jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) melalui pemberian surat izin penangkapan ikan kepada pemilik (perusahan) kapal ikan tertentu. Pemerintah Indonesia termasuk yang mengandalkan teknik manajemen perikanan tangkap ini sejak tahun 1970-an sampai sekarang. a.2. Pembatasan kemampuan menangkap setiap kapal ikan (limiting the capacity per fishing vessel) Pengendalian upaya tangkap tidak cukup hanya dengan cara membatasi jumlah kapal ikan yang diizinkan beroperasi di suatu WPP, karena setiap kapal ikan memiliki kemampuan menangkap ikan (fishing power) berbeda. Oleh sebab itu, pembatasan terhadap unsur-unsur yang menentukan kemampuan menangkap ikan setiap kapal ikan juga mesti dilakukan. Biasanya, instansi pengelola (management authority), seperti KKP, dan dinas perikanan dan kelautan tingkat propinsi serta kabupaten/kota membatasi: (1) ukuran kapal ikan, terutama panjang atau kemampuan menampung (holding capacity); dan (2) jumlah atau besarnya alat tengkap (fishing gears) yang boleh dioperasikan. a.3. Pembatasan intensitas operasi penangkapan ikan (limiting the intensity of fishing operation) Dalam prakteknya, teknik ini paling sulit untuk dikendalikan. Karena, intensitas penangkapan bukan hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya fisik dan kuantitatif seperti jumlah alat tangkap dan jumlah ABK, tetapi juga dipengaruhi oleh seberapa jauh fishing master dan para ABK 32 bekerja keras, serta hal-hal di luar kekuasaan (control) manusia seperti kondisi gelombang laut dan cuaca. a.4. Pembatasan lamanya /waktu operasi penangkapan ikan (limiting the time of fishing operation) Setiap kapal ikan dengan berapa besar kemampuan tangkapnya dan seberapa tinggi keahlian fishing master dan para ABK nya, tidak akan dapat menangkap ikan, apabila kapal ikan tersebut tidak beroperasi di laut, daerah penangkapan ikan (fishing ground). Karena itu, pembatasan lamanya kapal ikan beroperasi di laut (biasanya dihitung atas dasar lamanya hari kapal ikan di laut) menjadi teknik manajemen yang semakin banyak digunakan oleh para pengelola perikanan tangkap. a.5. Pembatasan lokasi penangkapan ikan (limiting the location of fishing) Pada umumnya distribusi stok atu biomasa ikan di laut tidak merata, ada lokasi (kawasan) laut yang banyak ikannya, dan ada yang tidak, yang keberadaannya juga dipengaruhi oleh musim dan faktor-faktor oseanografis. Oleh karena itu, salah satu teknik manajemen yang sudah lazim digunakan adalah dengan cara mengalokasikan lokasi (kawasan) perairan laut tertentu kepada beberapa individu nelayan, beberapa keluarga, perusahaan perikanan, atau kelompok masyarakat. Teknik ini dapat dilaksanakan berdasarkan pada tataran individu nelayan dalam bentuk territorial use rights in fishing (TURFs, hak pengusahaan wilayah perikanan), atau berbasis pemerintah seperti contoh pada Tabel 5. Tabel 5 Kawasan Zonasi untuk kegiatan perikanan tangkap di Malaysia A B Jarak dari garis pantai (km) 8 8-19 C 19-48 D >48 Deskripsi Peruntukan Nelayan tradisional Pukat harimau yang dioperasikan sendiri oleh pemiliknya dan purse-seiners < 40 GT Pukat harimau dan purse-seiners > 40 GT yang dimiliki dan dioperasikan oleh nelayan Malaysia Perikanan laut dalam dengan kapal ikan ≥ 70 GT dan kapal ikan asing melalui joint venture atau charter Sumber : Abdullah dan Kuperan 1997 33 Tantangan dan kendala dalam mengimplementasikan teknik manajemen atas dasar pengendalian upaya tangkap adalah akal-akalan para nelayan atau perusahan perikanan untuk cari cara agar dapat kapasitas penangkapan kapal ikannya. Contohnya, pembatasan panjang kapal ikan dengan maksud untuk mengurangi kapasitas penangkapan (fishing power) kapal tersebut. Nelayan atau perusahaan perikanan bisa saja mentaati ukuran panjang kapal, tetapi mereka mengakalinya dengan memperlebar ukuran kapal. Sehingga, kapasitas penangkapan kapal termaksud tetap atau bahkan bisa lebih besar. Demikian juga halnya dengan pembatasan ukuran mata jarring (mesh size) pada pukat harimau (trawler), nelayan atau perusahaan perikanan mengakalinya dengan memperpanjang waktu operasi penangkapan. Oleh sebab itu, agar teknik manajemen perikanan tangkap ini dapat berhasil, maka kita harus menerapkan kombinasi dari beberapa teknik manajemen di atas. b. Pengendalian Hasil Tangkap (Output/Catch Control) Dalam teknik manajemen yang berbasis pada pengendalian upaya tangkap seperti diuraikan di atas, fokusnya adalah bagaimana membatasi berbagai komponen dari upaya tangkap (inputs), sedangkan manajemen yang berbasis pada pengendalian hasil tangkap, fokusnya adalah mengendalikan hasil tangkap (catch) nya. Ada empat jenis teknik manajemen yang termasuk ke dalam kelompok manajemen berbasis pengendalian hasil tangkap. b.1. Jumlah ikan hasil tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch, TAC) Sampai saat ini, teknik manajemen inilah yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Jumlah hasil Tangkap yang Diperbolehkan (JTB) adalah besarnya biomasa ikan (biota perairan lainnya) yang diizinkan untuk ditangkap/dipanen dalam kurun waktu tertentu (setahun) dari suatu WPP. Myoritas pakar dan praktisi perikanan di dunia meyakini, bahwa bila kita menangkap stok ikan sebanyak/sebesar JTB, maka diharapkan stok ikan tersebut tetap lestari (sustained) dan usaha perikanan tangkap pun akan menguntungkan dan berkelanjutan. Menurut FAO (1995), JTB adalah sekitar 80% dari MSY (Maximum Sustainable Yield atau potensi produksi lestari) dari stok ikan yang terdapat dalam suatu WPP. 34 Apabila JTB ini kita terapkan untuk kondisi perikanan tangkap Indonesia, dimana potensi lestari stok ikan secara agregat untuk seluruh laut Indonesia adalah 6,5 juta ton/tahun; maka JTB nya adalah kurang lebih sebesar 5,2 juta ton/tahun. Persoalannya adalah, bahwa angka total potensi lestari itu sangat agregatif dan kasar, baik ditinjau dari jenis stok ikan maupun unit WPP. b.2. Kuota individu nelayan/kapal ikan (Individual quotas) Jumlah hasil tangkapan (kuota) per individu (individual quota) adalah besarnya jumlah atau biomasa ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap oleh setiap kapal ikan dalam kurun waktu tertentu. Dalam prakteknya, teknik ini bisa berupa pembatasan besarnya biomasa ikan yang boleh ditangkap setiap kali kapal melaut (trip limits), atau dalam kurun waktu setahun (on an annual basis), dimana kuota individual ini merupakan nisbah atau proporsi (a fraction) dari JTB. Selanjutnya, kuota individual dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: (1) kuota individual yang dapat diperjual-belikan atau dipindah-tangankan (Individual Transferable Quotas, ITQs); dan (2) kuota individual yang tidak dapat diperjual-belikan (Individual Non-Transferable Quotas, INTQs). b.3. Kuota masyarakat (Community quotas) Pada prinsipnya, kuota masyarakat sama dengan kuota individu, tetapi dalam hal ini kuota tersebut diberikan kepada masyarakat. Hal ini seiring dengan semakin berkembangnya pengelolaan sumberdaya alam, termasuk perikanan, yang berbasis masyarakat (community-based management). Tiga kelebihan dari kuota masyarakat adalah: (1) menghadirkan manajemen lebih ke tingkat lokal, tidak pada tingkat pusat atau di tangan pemerintah saja; (2) melibatkan lembaga-lembaga lokal, sehingga rancangan manajemen diharapkan lebih sesuai dengan kondisi setempat serta aspirasi masyarakat, dengan demikian aturan main pun lebih bisa ditaati bersama oleh segenap warga nelayan; dan (3) secara moral masyarakat lebih patuh kepada peraturan yang disepakati bersama. Dalam kuota masyarakat, biasanya pembagian kuota kepada anggota nelayan ditentukan secara musyawarah, sementara instansi pemerintah 35 sebagai mediator serta fasilitator saja. Lebih dari itu, pemantauan terhadap pelaksanaan teknik manajemen ini juga pada umumnya dikerjakan oleh masyarakat sendiri, sehingga diharapkan ada semacam rasa memiliki (sense of belonging) terhadap kelestarian sumberdaya ikan. b.4. Pengendalian stok ikan yang tersisa (Escapement control) Filosofi yang mendasari teknik manajemen ini adalah bahwa kita harus memastikan ada ditangkap/dipanen) sejumlah di laut stok ikan dengan yang kuantitas disisakan (biomasa) (tidak dan komposisi/keragaman jenis yang mencukupi, sehingga proses pemijahan dan rekrutmen masih bisa berlangsung normal. Dengan demikian, stok ikan di laut tetap bisa lestari dan kegiatan usaha perikanan tangkap bisa terus eksis dan menguntungkan. Teknik manajemen ini pada umumnya diterapkan dalam perikanan anadromous atau katadromous seperti ikan salmon dan sidat. c. Pendekatan Teknis Pada dasarnya teknik manajemen perikanan tangkap yang termasuk ke dalam kelompok ini dimaksudkan untuk membatasi dimana, kapan, dan bagaimana kegiatan penangkapan ikan dilakukan terhadap stok ikan tertentu. Harapannya adalah agar kelestarian stok ikan tersebut tetap terjaga, serta secara simultan usaha penangkapan ikan dapat berlangsung secara menguntungkan dan berkelanjutan. Ada empat macam pendekatan teknik, yaitu: (1) pembatasan alat tangkap (fishing gear restrictions), (2) pembatasan ukuran mata jaring (mesh size limits), (3) penutupan daerah penangkapan (closed areas), dan (4) pembatasan musim penangkapan (closed seasons). c.1. Pembatasan penggunaan alat tangkap Teknik membatasi penggunaan alat tangkap yang populer di Indonesia adalah pelarangan operasi pukat harimau (trawlers), jaring arad, dan lainnya di daerah-daerah perairan tertentu. Dari segi konservasi, larangan penggunaan pukat harimau, terutama bottom trawling, dimaksudkan untuk menghindari kerusakan habitat dasar perairan, dan juga agar proses pemijahan ikan dan biota laut lainnya tidak terganggu. Pada prinsipnya, 36 pembatasan penggunaan alat tangkap yang efisien seperti pukat harimau berarti mengurangi efisiensi kegiatan penangkapan ikan itu sendiri. Oleh karena itu, pada implementasinya, teknik ini cukup menghadapi banyak kendala. c.2. Pembatasan ukuran mata jaring Pembatasan ukuran mata jaring dimaksudkan agar ikan-ikan kecil (juveniles) bisa lolos, tidak tertangkap. Sehingga, ikan-ikan kecil ini punya kesempatan untuk tumbuh menjadi dewasa dan melahirkan berjuta atau bermilyar anak-anak ikan yang menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Teknik ini juga diterapkan untuk melindungi mamalia laut atau spesies lain yang berstatus dilindungi (protected species menurut IUCN atau pemerintah). Contohnya penggunaan TED (Turtle Excluder Device) guna meloloskan penyu dari operasi pukat ikan atau purse seiners. Di negara-negara maju seperti Kanada, Islandia, Norwegia, dan Australia, penegakkan hukum (law enforcement) untuk teknik ini dilakukan dengan mengawasi ukuran biota laut yang tertangkap (lobster, kepiting, ikan, dan lainnya) di tempat-tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan). Bila ada nelayan yang mendaratkan lobster yang ukurannya lebih kecil dari yang sudah ditetapkan peraturan atau undang-undang, maka nelayan itu dikenakan sanksi atau hukuman. Karena itu, nelayan di negara-negara yang sudah bener itu, akan segera mengembalikan hasil tangkapan ke laut, jika ukurannya lebih kecil dari ketentuan. c.3. Penutupan daerah dan musim penangkapan ikan Penutupan daerah penangkapan ikan dilakukan di daerah-daerah perairan laut yang biasanya menjadi tempat berpijahnya ikan dan biota lainnya (spawning grounds), daerah asuhan (nursery grounds) dimana gerombolan ikan muda atau juveniles terkonsentrasi, alur ruaya (migratory routes) ikan pelagis besar seperti ikan tuna dan cakalang, dan habitat lainnya yang perlu dilindungi untuk menjamin kelestarian stok ikan. Teknik penutupan daerah penangkapan ikan ini dapat dilakukan untuk selamanya (permanen) atau sementara tergantung kondisi dan situasi nya. Sedangkan, penutupan musim 37 penangkapan ikan biasanya dilakukan pada saat terjadinya musim pemijahan ikan di suatu daerah penangkapan ikan. d. Pendekatan Ekonomi Tidak Langsung Kalau pada tiga kelompok teknik manajemen perikanan tangkap yang diatur adalah kegiatan penangkapan ikan, stok ikan, atau habitat nya; maka pada pendekatan ekonomi ini pengendalian usaha perikanan tangkap dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan cara pengenaan pajak (royalti) atau pemberian subsidi. Pajak dapat dikenakan terhadap hasil tangkapan atau upaya tangkap seperti setiap hari melaut sebuah kapal ikan dikenakan pajak sebesar Rp. 100.000,-. Dengan adanya pajak, diharapkan nelayan akan mengurangi intensitas penangkapan terhadap stok ikan yang menurut Otoritas Manajemen (KKP) telah overfishing, sehingga dalam kurun waktu tertentu stok ikan yang overfishing tersebut akan pulih. Sebaliknya, bila kita hendak meningkatkan intensitas penangkapan terhadap stok ikan di suatu wilayah perairan yang belum dimanfaatkan sama sekali (underfishing), seperti ZEEI Pasifik dekat Papua, maka kita dapat memberikan subsidi kepada para nelayan atau pengusaha perikanan dengan menyediakan bahan bakar yang lebih murah. Di Kanada, subsidi diberikan berupa uang tunjangan kepada nelayan selama nelayan dilarang melaut oleh Pemerintah, dengan tujuan mengamankan masa pemijahan ikan, sehingga kelestariannya terpelihara. e. Manajemen Berbasis Ekologi Hampir semua teknik manajemen perikanan tangkap yang diuraikan terdahulu dasarnya adalah mengendalikan aktivitas penangkapan terhadap satu jenis stok ikan (a single fish stock). Akhir-akhir ini disadari, bahwa pendekatan manajemen perikanan tangkap yang hanya fokus pada satu jenis stok ikan yang menjadi target usaha penangkapan adalah keliru atau kurang tepat. Karena pada kenyataannya di laut, suatu jenis ikan tidak hidup sendirian. Ikan tersebut berinteraksi dengan ikan atau biota laut lainnya melalui hubungan mangsa-memangsa (predator-prey interactions), kompetisi memperebukan jenis makanan atau tempat (ruang) kehidupan yang sama. Kehidupan stok ikan di laut juga dipengaruhi oleh faktor- 38 faktor abiotik lingkungan laut seperti suhu, salinitas, arus, gelombang, dan iklim. Atas dasar pertimbangan inilah, sejak akhir 1980-an telah berkembang teknik pendugaan stok ikan (fish stock assessment) berdasarkan pada pertimbangan ekosistem atau ekologi, seperti Program Komputer ECOPATH dan ECOBASE yang dikembangkan oleh ICLARM dan Fisheries Center, Univbersity of British Columbia, Canada. Beranjak dari pendugaan stok ikan yang berbasis ekologi iniliah, teknik menajemen diterapkan secara lebih akurat. Contoh yang paling baik dalam menerapkan teknik manajemen perikanan tangkap berbasis ekologi adalah menetapkan suatu daerah perairan laut dengan luasan tertentu sebagai sebagai Kawasan Konservasi Laut (Marine Protected Area). Filosofi Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah bukan melindungi satu jenis stok ikan saja dari kegiatan usaha penagkapan ikan atau aktivitas manusia lainnya, tetapi yang dilindungi adalah suatu kawasan perairan sebagai satu satuan ekosistem laut. Dengan demikian, yang dilestarikan oleh KKL bukan hanya keanekaragaman (biodiversity) pada tingkat (level) spesies, tetapi juga tingkat gen, populasi, komunitas, dan proses-proses ekologis (life-supporting functions) yang menentukan kelestarian keseluruhan ekosistem laut tersebut. Implementasi KKL secara benar telah membuahkan keberhasilan dan sekaligus membuktikan teori ekologi, bahwa bila suatu ekosistem laut yang telah mengalami kerusakan akibat overeksploitasi diamankan, tidak dieksploitasi untuk jangka waktu tertentu, maka ekosistem tersebut bisa pulih kembali. Dari KKL yang telah pulih diekspor milyaran larvae dan juveniles ikan serta berbagai jenis biota lainnya ke kawasan perairan sekitarnya. Oleh sebab itu, kawasan perairan di sekitar KKL menjadi semakin subur dan produktif dengan berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya, yang pada gilirannya meningkatkan hasil tangkap para nelayan yang beroperasi di kawasan perairan sekitar KKL termaksud. Kisah keberhasilan (success stories) tentang KKL dalam kaitannya dengan manajemen perikanan tangkap yang menguntungkan dan berkelanjutan dapat dijumpai di Malaysia, Pilipina, Australia, Selandia Baru, dan beberapa negara Amerika Latin dan Pasifik Selatan. 39 2.4 Integrasi Subsektor Perikanan Tangkap ke dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Aktivitas perikanan tangkap di wilayah perairan laut, khususnya laut pesisir (coastal waters, nearshore waters), tidak berdiri sendiri. Di dalam wilayah (ruang) laut itu terdapat pula berbagai kegiatan ekonomi (pembangunan) lainnya, seperti pariwisata bahari, pengeboran dan penyulingan minyak dan gas, pertambangan umum, perhubungan laut dan pelabuhan, dan budidaya laut (mariculture). Subsektor perikanan tangkap berinteraksi dan saling mempengaruhi dengan sektor-sektor pembangunan lainnya melalui perebutan ruang wilayah laut, limbah yang dihasilkan oleh masing-masing sektor, produk dan jasa yang dihasilkan oleh masing-masing sektor, dan perebutan tenaga kerja. Diantara sektor-sektor pembangunan tersebut, perikanan tangkap dalam banyak hal lebih sebagai sektor yang dirugikan, karena lebih banyak menerima dampak negatip (impact taker) dari sektor-sektor lainnya dari pada sebagai penghasil dampak negatip (impact maker) (Scialabba, 1998). Dalam hal pencemaran, kegiatan perikanan tangkap sedikit sekali atau bahkan tidak membuang limbah ke laut. Sebaliknya, pengeboran migas, pertambangan, perhubungan laut dan pelabuhan, dan sektor lainnya pada umumnya membuang limbah ke laut dalam jumlah yang cukup besar dan mengandung bahan pencemar (pollutants) yang lebih membahayakan kehidupan biota laut dan manusia, seperti logam berat dan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) lainnya. Sektor-sektor pembangunan tersebut bersama dengan pembangunan pesisir (coastal development) seperti pembangunan pelabuhan, dermaga (jetty), pemecah gelombang (breakwaters), dan reklamasi lahan dan perairan pesisir untuk kawasan tambak, industri, perumahan (real estate), pusat bisnis dan perbelanjaan (business and shopping centers), dan lainnya biasanya merusak dan mengalih fungsikan mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuari, dan ekosistem pesisir lainnya menjadi ekosistem buatan (man-made ecosystems). Padahal, ekosistem-ekosistem pesisir tersebut merupakan pusat keanekaragaman hayati dan daerah pemijahan (spawning grounds) serta daerah asuhan (nursery grounds) dari sekitar 85 persen dari seluruh ikan dan biota laut tropis lainnya (Berwick, 1983). 40 Dengan perkataan lain, berbagai ekosistem pesisir tersebut sangat menentukan kelestarian (sustainability) dari sumber daya ikan dan usaha perikanan tangkap. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan tangkap akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin berhasil, jika dalam design dan implementasi nya tidak melibatkan sektor-sektor pembangunan lainnya secara terpadu (Dahuri, et al., 1996; Chua, 2007; dan White, et al., 2007). Selain menerima dampak dari berbagai kegiatan pembangunan (manusia) yang ada di dalam wilayah pesisir itu sendiri, wilayah perairan pesisir laut pesisir (yang merupakan habitat dari sumber daya ikan yang menjadi target kegiatan perikanan tangkap) juga menerima dampak (externalities) dari berbagai macam kegiatan pembangunan dan proses alam yang berlangsung di daratan (lahan atas). Pada umumnya, eksternalitas tersebut berupa bahan pencemar dari berbagai aktivitas pembangunan dan manusia (rumah tangga, perkotaan, industri, pertambangan, pertanian, dan lainnya) yang terangkut melalui aliran air sungai, aliran air permukaan (run-off) ketika turun hujan, atau aliran air tanah (ground water) yang bermuara ke laut. Bahan pencemar dari daratan ke laut juga bisa melalui udara, yaitu berupa gas buang (emissions) dari pabrik-pabrik seperti SOx (sulfur oksida) dan NOx (nitrogen oksida), dan terdposisi di laut (atmospheric deposistion) (Clark, 2000). Jenis eksternalitas lain dari beragam aktivitas pembangunan dan manusia di daratan yang dapat menimbulkan dampak negatip terhadap ekosistem laut, khususnya laut pesisir, adalah sedimen dan perubahan aliran air sungai. Sedimen biasanya berasal dari tanah (top soil) yang tererosi oleh terpaan air hujun pada areal lahan yang tidak bervegetasi atau kawasan hutan yang mengalami penggundulan. Kemudian, sedimen itu terbawa ke laut melalui aliran air sungai maupun runoff. Endapan sedimen di laut dapat mengakibatkan organisme yang hidup di dasar (benthic organisms) tertimbun (smothered), insang ikan terlapisi yang dapat membuat ikan mati lemas (asphyxia), dan kolom air menjadi keruh yang menghambat proses fotosintesa serta menurunnya produktivitas primer perairan laut (Clark, 2002). Sementara itu, konstruksi bendungan (waduk), check dam, landasan pacu pelabuhan (runway), dan coastal constructions lainnya dapat merubah pola aliran 41 air di wilayah laut pesisir, yang bisa berdampak negatip terhadap sub-sektor perikanan tangkap (Clark, 1992). Dengan demikian, kelestarian sumber daya ikan dan usaha perikanan tangkap di laut tidak bisa terlepas dari pengelolaan kegiatan pembangunan dan manusia yang berlangsung di lahan atas (upland areas). Dengan perkataan lain, keterpaduan ruang (spatial integration) sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang merupakan habitat (tempat) hidup ikan dan beragam biota laut lainnya yang menjadi target usaha penangkapan ikan. Meskipun pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management, ICM) sangat penting bagi keberlanjutan sumber daya ikan dan usaha perikanan tangkap di laut, tetapi tidak berarti ICM akan menggeser atau meniadakan peran pengelolaan perikanan tangkap. ICM justru bersifat komplementer dan mendukung pengelolaan perikanan tangkap agar usaha perikanan tangkap di laut dapat berlangsung secara menguntungkan, optimal, dan berkelanjutan (Cicin-Sain and Knect, 1998). Dalam prakteknya, pengelolaan perikanan tangkap fokus pada bagaimana menerapkan segenap pendekatan dan teknik pengelolaan (management measures) yang dapat memastikan kelestarian sumber daya ikan dan usaha perikanan tangkap, seperti penetapan kuota penangkapan (total allowable catch), pembatasan ukuran mata jaring, closed areas, closed seasons, dan pemberlakuan kawasan konservasi laut (marine protected area, MPA) (Charles, 2001). Pada saat yang sama, ICM mengamankan sumberdaya ikan dan usaha perikanan tangkap dengan cara melindungi habitat (ekosistem) dimana ikan dan biota laut lainnya hidup, tumbuh, dan berkembang biak dari pencemaran, sedimentasi, perusakan ekosistem pesisir secara fisik, dampak negatip dari perubahan iklim global, dan tekanan lingkungan (environmental pressures) lainnya (Dahuri, et al.; Chua, 2007). ICM melindungi dan mendukung subsektor perikanan tangkap antara lain dengan cara mengimplementasikan dan menegakkan hukum (law enforcement) tata ruang darat-pesisir-lautan secara terpadu, pengendalian pencemaran baik yang berasal dari sumber-sumber pencemaran di darat (land-based pollution sources) maupun dari sumber-sumber pencemaran di laut (marine-based pollution sources), pedoman konstruksi dan rekayasa pesisir dan lautan (guidelines for 42 coastal and ocean engineering and constructions), konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation), dan mitigasi dan adaptasi bencana alam (Clark, 1992; Dahuri, et al., 1996; Chua, 2007; dan White, et al., 2007). 2.5 Karakteristik Masyarakat Nelayan Karakteristik masyarakat nelayan yang hidup di kawasan pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris. Hal ini disebabkan oleh karakteristik sumberdaya alam yang menjadi tumpuan hidup mereka juga berbeda. Masyarakat agraris menghadapi sumberdaya alam yang dapat dikontrol, mobilitas usaha relatif rendah dan elemen resikopun tidak terlalu besar. Sedangkan nelayan yang bekerja menangkap ikan di laut menghadapi sumberdaya alam yang terbuka dan sulit dikontrol, keadaan ini menyebabkan mereka harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal, elemen resikonya menjadi sangat tinggi, akibatnya nelayan memiliki karakteristik yang keras dan tegas (Satria, 2002). Masyarakat nelayan digambarkan sebagai masyarakat yang relatif tertinggal dan terpinggirkan, mereka hidup dalam berbagai keterbatasan, baik keterbatasan ekonomi, sosial, politik dan pendidikan. Keterbatasan ekonomi dapat kita lihat pada tingkat pendapatan nelayan yang pada umumnya masih rendah. Keterbatasan sosial terwujud pada ketidak mampuan masyarakat nelayan dalam mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi pasar secara menguntungkan, pola hubungan patron-client yang sudah lama terjalin antara nelayan dengan juragan sangat tidak menguntungkan bagi nelayan. Adanya sistem nilai yang dipaksakan dari atas mengakibatkan terjadinya keterbatasan politik dari masyarakat nelayan, yang terwujud pada tidak dilibatkannya nelayan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah penentuan pengurusan KUD Mina yang tidak dipilih oleh masyarakat nelayan, tetapi ditentukan dari atas. Adapun keterbatasan pendidikan tercermin pada kondisi sumberdaya manusia yang masih rendah, terutama jika dibandingkan dengan komunitas lain di luar nelayan. Wahyono, et al. (2001), mengatakan rendahnya sumberdaya masyarakat nelayan disamping disebabkan oleh jauhnya fasilitas pendidikan dari wilayah mereka, juga disebabkan oleh kondisi ekonomi 43 mereka yang tidak memungkinkan untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam konteks masyarakat tradisional, nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut sebagai mata pencahariannya. Mereka umumnya hidup di kawasan pesisir pantai dan sangat dipengaruhi oleh kondisi alam terutama angin, gelombang, dan arus laut. Menurut Kusnadi (2002), penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang: (1) penguasaan alat-alat produksi (peralatan tangkap), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan pemilik atau juragan (orenga) dan nelayan buruh (pandhiga); (2) tingkat skala investasi modal usaha, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil; (3) tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki modal dan sarana penangkapan. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut. Pola hubungan nelayan buruh dengan juragan disebut sebagai patron-client. Pola hubungan ini sudah lama terjadi dan sangat tidak menguntungkan bagi nelayan buruh, karena pola tersebut menyebabkan nelayan buruh sangat tergantung pada juragan sebagai patron. Juragan sebagai rentenir dengan suku bunga yang tinggi perbulan, sekaligus penampung hasil tangkapan dengan harga termurah. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya milik umum (commons property resources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapapun. Hal ini mendorong kebebasan yang penuh bagi setiap individu atau kelompok masyarakat untuk memanfaatkannya secara optimal tanpa memperhatikan kerusakan sumberdaya perikanan serta akibat-akibat serius yang akan ditimbulkannya. Para pemilik modal dan alat-alat produksi memiliki jangkauan kapasitas penangkapan ikan yang lebih besar dibandingkan nelayan buruh. Ketimpangan kapasitas ini akan menimbulkan konflik sosial yang terjadi karena kecemburuan sosial, yang dipicu oleh kenyataan bahwa salah satu pihak memperolah bagian terbesar dari eksploitasi sumberdaya perikanan sedangkan pihak yang lain justru sebaliknya. 44 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ditjen Perikanan (2000) mengklasifikasi nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaannya yaitu: 1) Nelayan penuh, adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk pekerjaan penangkapan ikan. 2) Nelayan sambilan utama, adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk penangkapan ikan, disamping itu mereka dapat mempunyai pekerjaan lain. 3) Nelayan sambilan tambahan, adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan. Sementara itu, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi yaitu: 1) Peasant-fisher (nelayan tradisional) - Hasil tangkapan yang dijual lebih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, bukan diinvestasikan. - Umumnya masih menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama. 2) Post-peasant-fisher - Penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju. - Orientasi pasar - Tenaga kerja sudah meluas dan tidak bergantung pada anggota keluarga. 3) Commercial fisher - Orintasi pada peningkatan keuntungan - Skala usaha besar - Teknologi lebih modern - Tenaga kerja banyak mulai buruh hingga manajer. 4) Industrial fisher - Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju. 45 - Relatif lebih padat modal. - Memberikan pendapatan yang lebih tinggi baik untuk pemilik maupun tenaga kerja lainnya. - Menghasilkan produk untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. 2.6 Kemiskinan Masyarakat Nelayan dan Penyebabnya Kawasan pesisir (coastal zone) adalah daerah pertemuan antara ekosistem laut dan darat, yang merupakan tempat atau habitat bagi berbagai mahluk hidup serta mengandung berbagai sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kawasan ini pada umumnya merupakan tempat konsentrasi pemukiman penduduk beserta segenap aktivitas pembangunannya. Menurut Cicin-Sain and Knecht (1998), lebih dari separuh jumlah penduduk dunia bermukim di kawasan pesisir, dan sekitar dua pertiga kota-kota besar dunia juga terletak di kawasan ini. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir lebih besar ketimbang yang terjadi di daerah hulu (upland areas). Oleh karena itu, berbagai persoalan sosial ekonomi muncul di kawasan pesisir sebagai akibat dari banyaknya kegiatan manusia di tempat ini. Salah satu persoalan pokok adalah kemiskinan. Studi komprehensif Bank Dunia memperkirakan dari enam milyar penduduk bumi, sekitar 1,2 milyar orang berpenghasilan kurang dari US$ 1 setiap hari. Dengan kata lain, mereka hidup dalam kemiskinan total. Sedangkan 2,8 milyar orang memiliki penghasilan kurang dari US$ 2 per hari. Artinya, sekitar 4 milyar orang penduduk bumi hidup dalam kemiskinan (Sutjipto, 2006). Kemiskinan merupakan masalah sosial utama umat manusia saat ini. Ada yang mengatakan nelayan itu miskin, bahkan termiskin diantara orang miskin. Menurut Dahuri (2000), salah satu ciri utama masyarakat pesisir adalah masalah kemiskinan. Sulit untuk dipungkiri bahwa kemiskinan adalah sebagai problem yang multidimensional. Bahkan banyak pihak beranggapan bahwa kemiskinan adalah akar dari segala akar persoalan kemanusiaan, karena kemiskinan dapat menimbulkan kriminalitas, radikalisme dan terorisme. Para ilmuwan sosial melihat kemiskinan dari tiga pendekatan definisi secara luas (Njeru, 2004) 46 1) Kemiskinan Absolut Kemiskinan absolut berkenaan dengan keperluan untuk nafkah hidup berdasarkan perkiraan syarat nafkah hidup minimum, meliputi kebutuhan dasar manusia dan sumber kebutuhan untuk memelihara kesehatan dan ketangkasan fisik. Sumber kebutuhan yang dimaksud meliputi kualitas dan kuantitas makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Semua ini diperlukan sebagai kebutuhan untuk hidup sehat. Kebutuhan dasar hidup tersebut kemudian dihitung dan nilainya merupakan garis kemiskinan. Mereka yang penghasilannya dibawah garis kemiskinan tersebut adalah orang miskin. Penerapan dan ukuran kemiskinan absolut didasarkan pada beberapa indikator seperti, tingkat indek kehidupan (level of living index), diarahkan kepada kebutuhan dasar seperti: makanan, tempat tinggal, dan kesehatan. Kebutuhan dasar manusia ini telah diperluas untuk memasukkan kebutuhan dasar sosial dan budaya seperti kebutuhan untuk pendidikan, keamanan, waktu luang dan rekreasi. 2) Kemiskinan Relatif Kemiskinan relatif berkenaan dengan penggunaan ukuran relatif baik dalam hal waktu maupun tempat dalam penaksiran kemiskinan. Kemiskinan relatif dipandang sebagai perbaikan dari konsep ukuran absolut. Dalam penerapan kemiskinan relatif berdasarkan pada pertimbangan dari anggota masyarakat tertentu, sehubungan dengan apa yang mereka lihat sebagai ukuran mata pencaharian yang layak dan dapat diterima. Oleh karena itu, kemiskinan relatif sangat fleksibel dan cepat berubah. Dalam beberapa kasus seseorang bisa dianggap miskin jika tidak mempunyai mesin cuci, fasilitas kesehatan yang modern, pendidikan tinggi, fasilitas hiburan, dan mobil pribadi. Akan tetapi untuk orang lain ini semua dianggap mewah. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk "termiskin", misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut 47 pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti "orang miskin selalu hadir bersama kita". Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih tinggi dari pada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998). Paper tersebut menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15 persen di Amerika Serikat dan juga mendekati 15 persen di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang di kategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia. Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir empat dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50 persen dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat. Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. 3) Kemiskinan Subjektif Kemiskinan subjektif berhubungan dekat dengan kemiskinan relatif, tetapi lebih banyak menggunakan perasaan individu maupun kelompok apakah benar-benar merasa miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia merumuskan konsep kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana ketidak berdayaan atau ketidak mampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia. Ukuran garis 48 kemiskinan bermacam-macam tergantung pada institusi yang mengeluarkannya. BPS menerapkan garis kemiskinan dengan ukuran kalori, dimana masyarakat dikatakan miskin jika tingkat pengeluaran untuk makan kurang dari 2.100 kalori per orang per hari. Pada tahun 2002, untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum diperlukan biaya Rp 82.328 per orang per bulan, sedangkan untuk kebutuhan non pangan diperlukan biaya Rp 28.957 per orang per bulan, maka jumlah garis kemiskinan ditetapkan sebesar Rp 111.285 per orang per bulan (BPS; BAPPENAS dan UNDP, 2004). Sementara itu, Bank Dunia menggunakan ukuran pendapatan. Orang yang memiliki pendapatan kurang dari US$ 2 per orang per hari digolongkan miskin. Sedangkan Sajogyo menggunakan ukuran pengeluaran setara beras. Orang yang tingkat pengeluaran beras kurang dari 320 kg per tahun digolongkan miskin. Jika ukuran garis kemiskinan hanya berdasarkan kalori atau tingkat pengeluaran untuk makan saja menurut pendapat saya kurang tepat, karena manusia selain makan perlu pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan sebagai kebutuhan dasar untuk hidup normal. Ukuran yang ditetapkan oleh Bank Dunia lebih tepat karena dengan pendapatan US$ 2 per orang per hari bisa digunakan untuk kebutuhan makan dan bukan makan. Jadi penduduk miskin didefinisikan sebagai mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan pokok pangan dan non pangan. Berdasarkan faktor penyebabnya, dalam studi kemiskinan dikenal adanya kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan alamiah. 1) Kemiskinan Struktural Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur sosial-ekonomi dan politik yang ada. Golongan nelayan tertentu tidak memiliki akses terhadap modal atau kegiatan ekonomi produktif akibat pola institusional yang diberlakukan. Menurut Dahuri (2005a), bahwa kemiskinan yang menggelayuti sebagian besar rakyat kita disebabkan terutama karena problem struktural. Artinya kebijakan pemerintah sejak era Orde Baru sampai sekarang cenderung membuat rakyat kecil (kelompok usaha mikro, kecil dan menengah) memiliki akses yang sangat terbatas atau tidak memiliki akses 49 sama sekali terhadap aset ekonomi produktif. Sementara pengusaha besar menikmati akses yang boleh dikatakan berlimpah dan mudah terhadap aset ekonomi produktif (permodalan, informasi, teknologi, manajemen, infrastruktur, dan perlindungan usaha). Masyuri (1999), juga menyimpulkan bahwa kemiskinan nelayan lebih disebabkan oleh struktur ekonomi nelayan dan bukan oleh sumberdaya yang terbatas. Pola hubungan nelayan dengan jurangan (patron-client) dan sistem bagi hasil yang tidak seimbang mengakibatkan kemiskinan struktural nelayan menjadi lestari. Hal ini disebabkan ketergantungan nelayan kepada juragan, dan nelayan tidak memiliki mata pencaharian alternatif dan sumber keuangan lainnya untuk menutupi biaya hidup pada saat kondisi dimana nelayan tidak bisa beraktivitas sama sekali (paceklik). Guna mencukupi kebutuhan hidupnya, mereka mengutang pada juragan (pemilik faktor produksi) dengan prasyarat hasil tangkapan saat kondisi alam membaik harus dijual pada juragan dengan harga ditentukan oleh juragan. Kusnadi (2003) menjelaskan bahwa, dua pranata sosial ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat nelayan, seperti pranata penangkapan dan pemasaran hasil tangkapan, dipandang sebagai hal-hal krusial yang menjadi penyebab timbulnya kemiskinan struktural. 2) Kemiskinan Kultural Kemiskinan Kultural dipandang sebagai kemiskinan yang terjadi akibat kultur atau budaya yang tidak produktif, seperti perilaku malas, cepat puas diri, konsumtif yang bersumber pada nilai-nilai lokal yang memang tidak kondusif untuk suatu kemajuan. Akibatnya tingkat pendidikan rendah, susah menerima inovasi baru, keterampilan rendah dan akhirnya berlanjut pada produktivitas rendah, pendapatan rendah, gizi keluarga rendah dan seterusnya. Kemiskinan kultural diduga terjadi karena kekayaan sumberdaya laut yang sangat berlimpah sehingga mereka tidak tertantang untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak guna memenuhi kebutuhan hidupnya. 3) Kemiskinan Alamiah Kemiskinan alamiah dipahami terjadi akibat faktor alam, bahwa kondisi sumberdaya alam yang ada tidak mendukung mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif. Pada periode waktu tertentu nelayan tidak bisa 50 melaut karena angin kencang, gelombang besar, arus kuat sehingga kondisi ini sangat mempegaruhi pendapatan mereka (musim paceklik). Disamping itu, mereka tidak mempunyai alternatif pekerjaan lain karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia nelayan, mereka tidak memiliki keterampilan lain selain menjadi nelayan. Kelangkaan sumberdaya perikanan dapat terjadi akibat kerusakan ekosistem laut karena faktor alam maupun aktivitas manusia. Hal ini terjadi karena sumberdaya pesisir secara “de-facto” bersifat akses terbuka dan dipengaruhi kondisi lingkungan dan musim (Dahuri, 2002). Ketergantungan terhadap lingkungan dan musim itu mengakibatkan setiap kegiatan pembangunan yang mengganggu atau mencemari lingkungan akan menekan ketersediaan sumberdaya perikanan dan menyebabkan aktivitas produksi menjadi fluktuatif. Kerusakan ekosistem laut juga tidak terlepas dari akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas sosial-ekonomi di kawasan daratan dan pesisir. Pabrik-pabrik atau pertambangan di kawasan hulu yang sering membuang limbah ke laut melalui sungai-sungai terdekat sangat membahayakan kelangsungan ekosistem laut, pencemaran yang terjadi akan menyebabkan sumberdaya hayati rusak dan punah. Untuk mendapatkan hasil tangkapan nelayan harus berlayar jauh ke laut lepas dan hal ini tentunya meningkatkan biaya operasional, sedangkan hasil tangkapan yang diperolah belum tentu bisa menutupi biaya operasional. Jadi jelas secara sistematis, kerusakan lingkungan baik oleh faktor alam maupun aktivitas manusia dapat menimbulkan proses pemiskinan masyarakat nelayan. Penyebab kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dikalangan masyarakat nelayan dilaterbelakangi oleh sebab-sebab yang kompleks. Menurut Kusnadi (2003), sebab-sebab yang kompleks tersebut dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu sebab yang bersifat internal dan sebab eksternal. Kedua kategori sebab kemiskinan tersebut saling berinteraksi dan melengkapi. 1) Sebab kemiskinan yang bersifat internal, berkaitan dengan kondisi didalam sumberdaya manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka. Sebab-sebab internal ini mencakup masalah: (1) keterbatasan kualitas sumberdaya manusia nelayan, (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan, (3) hubungan kerja antara pemilik perahu dengan nelayan buruh 51 dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh, (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan, (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut, dan (6) gaya hidup yang dipandang ”boros” sehingga kurang berorientasi ke masa depan. 2) Sebab kemiskinan yang bersifat eksternal, berkaitan dengan kondisi diluar diri dan aktivitas kerja nelayan. Sebab-sebab eksternal ini mencakup masalah: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial, (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara, (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran, praktek penangkapan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konvensi hutan bakau di kawasan pesisir, (4) penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, (5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pascapanen, (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor nonperikanan yang tersedia di desa-desa nelayan, (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun, dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal, dan manusia. Sehubungan dengan sebab-sebab kemiskinan yang dikemukakan Kusnadi (2003), maka kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiah dapat disebut sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh faktor eksternal, sedangkan kemiskinan kultural disebabkan oleh faktor internal yang ada dalam diri masyarakat nelayan itu sendiri. 2.7 Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Walaupun Indonesia memiliki potensi besar dalam hal sumberdaya laut, namun kita masih belum mampu mengubah sumberdaya potensial itu menjadi sumberdaya yang kongkrit. Kekayaan sumberdaya kelautan kita tidak mencerminkan wujud kesejahteraan SDM kelautan (nelayan). Pada umumnya masyarakat nelayan masih hidup dalam keterbatasan, baik keterbatasan ekonomi, sosial, politik, maupun pendidikan. Keterbatasan ekonomi nampak pada tingkat pendapatan nelayan yang pada umumnya masih rendah. Keterbatasan sosial 52 terwujud pada ketidakmampuan masyarakat nelayan dalam mengembangkan organisasi ke luar lingkungan kerabat mereka (Boedhisantoso, 1999). Karena itulah nelayan mengalami nasib terpinggirkan dari proses kemajuan. Ketidakmampuan nelayan mengembangkan organisasi merupakan akibat dari adanya sistem nilai yang dipaksakan dari atas (top down) terhadap masyarakat lokal, sehingga menyebabkan tatanan masyarakat tidak berkembang dengan baik. Sistem nilai yang dipaksakan dari atas ini juga mengakibatkan terjadinya keterbatasan politik dari masyarakat nelayan, yang terwujud pada tidak dilibatkannya mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, walaupun keputusan tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Keterbatasan pendidikan dapat dilihat pada kondisi sumberdaya manusia yang masih rendah. Surya, et al. (2002) mengatakan bahwa 85 persen tenaga kerja yang bergerak disektor penangkapan ikan masih merupakan nelayan tradisional. Berdasarkan kondisi masyarakat nelayan yang masih termarjinalkan tersebut, maka pemberdayaan masyarakat pesisir merupakan paradigma yang penting dalam pelaksanaan pembangunan guna peningkatan kesejahteraan nelayan. Di dalam pemberdayaan masyarakat nelayan, faktor yang paling penting adalah bagaimana mendudukkan masyarakat nelayan pada posisi pelaku (subjek) pembangunan yang aktif. Pendekatan yang dilakukan adalah menjadikan nelayan sebagai subjek penuh dari setiap pengembangan. Artinya nelayan harus merumuskan permasalahan yang dihadapi, dan sedapat mungkin mencari alternatif pemecahaannya, sedangkan pemerintah membantu agar alternatif pemecahan itu bisa dilaksanakan. Ada dua elemen terpenting di dalam konsep pemberdayaan yaitu mempertemukan peran pemerintah dan masyarakat nelayan secara egaliter. Masyarakat nelayan dengan potensi sosialnya dan pemerintah dengan kebijakannya, secara bersama-sama akan memberi corak warna terhadap pengelolaan sumberdaya. Menurut Hikmat (2001), sebenarnya masyarakat memiliki banyak potensi, baik dari sumber-sumber daya alam yang ada maupun dari sumber-sumber sosial budaya. Masyarakat memiliki kekuatan yang bila digali dan disalurkan akan berubah menjadi energi yang besar untuk mengatasi masalah yang mereka alami. Masyarakat lebih memahami kebutuhan dan permasalahan yang mereka hadapi. 53 Untuk itu, harus diberdayakan agar mereka lebih mampu mengenali kebutuhankebutuhannya dan dilatih untuk dapat merumuskan rencana-rencananya serta melaksanakan pembangunan secara mandiri dan swadaya. Meskipun demikian sangat sulit bagi masyarakat nelayan untuk keluar dari kemiskinan tanpa adanya uluran tangan dari pihak lain. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan nelayan pada bakul yang menyebabkan pendapatan nelayan tidak maksimal, karena mereka harus menjual hasil tangkapan kepada pedagang ikan dengan harga yang ditentukan secara sepihak. Ketergantungan ini menyebabkan nelayan terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diterobos tanpa bantuan pihak lain. Oleh karena itu Wahyono, et al. (2001), menyatakan bahwa langkah pertama yang perlu dilakukan untuk memberdayakan nelayan adalah keberadaan suatu lembaga yang mampu menggantikan peran yang selama ini dilakukan oleh bakul, terutama dalam pemberian pinjaman uang, baik untuk modal maupun untuk kebutuhan yang lain. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan lembaga keuangan, sehingga nelayan dapat memenuhi kebutuhan modalnya dari lembaga keuangan tersebut. Menurut Satria (2002), pemberdayaan masyarakat pesisir paling tidak memiliki dua dimensi pokok, yaitu dimensi kultural dan dimensi struktural. Dimensi kultural mencakup upaya-upaya perubahan perilaku ekonomi, orientasi pendidikan, sikap terhadap perkembangan teknologi, dan kebiasaan-kebiasaan. Pemberdayaan kultural ini diperlukan untuk mengatasi kemiskinan kultural. Dimensi struktural mencakup upaya perbaikan struktur sosial sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Perbaikan struktural umumnya berupa penguatan partisipasi nelayan untuk selanjutnya dapat berhimpun dalam suatu kelompok dan organisasi yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka. Wahyono, et al. (2001), menyatakan bahwa penerapan program pemberdayaan nelayan tidak dapat dilakukan secara nasional, melainkan harus bersifat regional bahkan lokal. Ini disebabkan masing-masing nelayan memiliki permasalahan yang spesifik, yang belum tentu sama antara satu daerah dengan daerah lain. Kondisi ketidakberdayaan dan kemiskinan nelayan sangat terkait dengan karakteristik lingkungan sumberdaya yang melingkupi mereka, dan relasi-relasi sosial ekonomi. Oleh sebab itu dalam penerapan pemberdayaan 54 nelayan perlu memperhatikan kondisi riil yang ada di masyarakat nelayan. Proses pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan jika ada sikap proaktif dari masyarakat nelayan dalam setiap kegiatan. Sikap proaktif ini meliputi proses perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi, serta berperan dalam pengambilan keputusan. 2.8 Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan menekankan pada pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan terpeliharanya daya dukung ekosistem perairan dan stok sumberdaya hayati yang terdapat di dalamnya secara seimbang. Menurut Dahuri (2000), berdasarkan visi dan misi pembangunan kawasan pesisir dan lautan, kebijakan yang diperlukan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Meningkatkan efisiensi pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan berdasarkan kompatabilitas ekosistem dan potensi komoditas serta permintaan pasar 2) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir terutama kelompok masyarakat yang matapencahariannya berhubungan langsung dengan sumberdaya alam. 3) Meningkatkan pendayagunaan sumberdaya alam yang terdiri atas barang dan jasa-jasa lingkungan untuk kebutuhan konsumsi domestik dan ekspor serta sebagai bahan baku pengembangan industri manufaktur dalam negeri yang berbasis sumberdaya kelautan. 4) Memberdayakan masyarakat pesisir untuk mengembangkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan, efisien dan berkeadilan. 5) Memperkaya dan meningkatkan mutu sumberdaya alam melalui upaya-upaya mitigasi bencana, pengkayaan stok sumberdaya alam dan lingkungan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara bertanggungjawab serta merehabilitasi lingkungan dan sumberdaya yang rusak. Pada dasarnya kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan diarahkan untuk mencapai dua tujuan yaitu: (1) pendayagunaan potensi pesisir dan laut 55 untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan pelaku pembangunan, dan (2) untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan. Sejak 1974, pemerintah telah mengeluarkan program bantuan kredit melalui Bank Rakyat Indonesia. Pada tahun-tahun berikutnya berbagai program kredit diberikan kepada nelayan, seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), dan Kredit BIMAS, serta program-program kredit bergulir lainnya. Namun demikian program bantuan kredit tersebut atau program-program bantuan lainnya belum mampu mengatasi kesulitan sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Pengembalian bantuan kredit mengalami kemacetan dan tidak bergulir. Menurut Kusnadi (2000), hambatan pengembalian bantuan kredit tersebut banyak disebabkan oleh tingkat penghasilan nelayan yang sangat kecil akibat kesulitan memperoleh hasil tangkapan, besarnya biaya operasi, kerusakan peralatan tangkap, jaringan perdagangan ikan yang merugikan nelayan, dan persepsi yang salah terhadap program bantuan pemerintah. Kebijakan modernisasi perikanan yang mulai dilakukan pada awal tahun 70an diarahkan untuk meningkatkan produksi perikanan nasional. Hasil dari peningkatan produktivitas tersebut diharapkan dapat memperbaiki kualitas kesejahteraan kehidupan nelayan. Namun sebaliknya setelah lebih dari seperempat abad kebijakan modernisasi perikanan dilaksanakan, tingkat kesejahteraan hidup nelayan tidak banyak berubah secara substantif. Yang terjadi justru sebaliknya yakni melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi antar kelompok sosial dalam masyarakat nelayan dan meluasnya kemiskinan (Kusnadi, 2002). Penggunaan teknologi penangkapan yang modern tidak serta merta dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat pesisir dalam jangka panjang. Pemakaian teknologi yang serba canggih hanya menguntungkan dalam jangka pendek dan menutup peluang model pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, karena mendorong timbulnya situasi ”overfishing”. Dalam menyikapi kebijakan modernisasi perikanan, tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluangpeluang yang tersedia. Kemudahan akses terhadap sumberdaya ekonomi dan 56 politik yang tersedia hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil nelayan, sedangkan sebagian besar nelayan tetap dalam kemiskinan, khususnya nelayan tradisional atau nelayan buruh. Studi-studi tentang kemiskinan nelayan yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung selama ini justru meningkatkan ketimpangan pendapatan, kesenjangan sosial, dan kemiskinan di kalangan nelayan (Suyanto, 1993). Nelayan yang bisa bertahan atau meningkat kesejahteraan hidupnya adalah nelayan-nelayan bermodal besar, yang kemampuan jelajah penangkapannya hingga ke lepas pantai (off-shore). Jumlah mereka relatif kecil, sebaliknya nelayan tradisional atau nelayan buruh dengan modal usaha dan kepemilikan peralatan yang terbatas, harus puas dengan kenyataan hidup dan persaingan yang semakin keras dalam memperolah hasil tangkapan. Melihat kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan strategis pembangunan selama ini belum mampu dilaksanakan secara efektif dan belum berhasil secara optimal meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan, maka perlu mengkaji kembali kebijakan-kebijakan strategis tersebut. Sebaiknya kebijakan pembangunan masyarakat nelayan harus dilihat dalam perspektif yang luas dan integratif dengan memperhatikan karakteristik sumberdaya alam, struktur sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda. Kebijakan modernisasi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan yang sudah digulirkan harus disertai dengan sosialisasi pilihan teknologi penangkapan yang adaptif serta pemahaman yang baik terhadap kelestarian lingkungan kelautan. Untuk mengatasi konflik dalam memperebutkan sumberdaya perikanan penegakan peraturan harus dilakukan dan diiringi dengan penegakan hukum. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976, yang menetapkan secara jelas jalur-jalur penangkapan nelayan tradisional dan nelayan modern merupakan perlindungan terhadap hak-hak nelayan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Begitu juga dengan Keppres No. 39/1980 dimaksudkan untuk menyelamatkan kerusakan sumberdaya perikanan akibat pengoperasian pukat harimau yang tidak bersifat selektif terhadap sumberdaya hayati laut, dan dapat menyebabkan keresahan sosial nelayan-nelayan tradisional. 57 Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah propinsi, kabupaten, dan atau kota mempunyai kewenangan dalam mengelola wilayah lautnya, hingga batas yang telah ditetapkan, yaitu 12 mil wilayah laut dari garis pantai berada di bawah kewenangan pemerintah propinsi dan sepertiganya (4 mil) menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. Agar tidak timbul permasalahan atau konflik sesama pemanfaat sumberdaya, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah perbatasan, baik antar propinsi, kabupaten ataupun kota, maka dalam pengelolaannya harus dilakukan secara baik dan hati-hati. Kemiskinan benar-benar merupakan masalah multidimensi yang memerlukan kebijakan dan program intervensi multi-dimensi, agar supaya kesejahteraan individu meningkat sehingga membuatnya terbebas dari kemiskinan. 2.9 Penelitian Terdahulu Tentang Kemiskinan Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir yang hidup di wilayah pesisir dalam hal ini nelayan, memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat yang bukan nelayan. Karakteris masyarakat nelayan yang memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain terkait dengan ketergantungan atau hasil interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumberdaya yang ada di dalamnya. Ketergantungan yang tinggi terhadap kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan akar kemiskinan nelayan. Disamping itu rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan untuk melakukan diversifikasi usaha menyebabkan tingkat pendapatan nelayan rendah, hal ini juga memberikan kontribusi terhadap kemiskinan masyarakat nelayan. Istiqlaliyah Muflikhati (2010) dalam disertasinya mengatakan bahwa , karakteristik keluarga di Pantai Utara (Pantura) dan Pantai Selatan (Pansela) Jawa Barat berbeda secara signifikan, begitu juga dengan keluarga nelayan dan bukan nelayan berbeda secara signifikan. Keluarga nelayan di Pantura memiliki jumlah keluarga, total aset, pendapatan dan pengeluaran perkapita lebih besar dibandingkan dengan keluarga nelayan di Pansela. Sebaliknya tingkat pendidikan ayah dan ibu pada keluarga nelayan di Pantura lebih rendah dibandingkan dengan keluarga nelayan di Pansela. Jika kesejahteraan hanya diukur dari sisi ekonomi 58 maka tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di Pantura lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga nelayan di Pansela. Beberapa hasil-hasil penelitian terdahulu lainnya tentang karakteristik dan kemiskinan masyarakat pesisir khususnya nelayan manyatakan bahwa, angka kemiskinan masyarakat pesisir terus meningkat. Hasil penelitian di pesisir Kabupaten Subang menyatakan 80% penduduknya dalam kemiskinan multidimensi, 36% diantaranya kronis (Rochana, 2010). Hery Edy (2004) dalam disertasinya mengatakan bahwa, pendapatan riil masyarakat pesisir di Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Boalemo berada di bawah upah mínimum regional (UMR), oleh sebab itu masyarakat perlu diberdayakan. Hasil penelitian identifikasi bentuk kemiskinan nelayan di Desa Eretan Wetan melalui kajian sosial budaya, mampu mengidentifikasi bentuk kemiskinan yang terjadi. Kemiskinan absolut memerlukan kebijakan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan mínimum sebelum mereka mampu untuk memberdayakan dirinya sendiri (Hartono, 2006). Berdasarkan profil sosial budaya masyarakat nelayan perairan laut Indonesia, menunjukkan bahwa masyarakat nelayan masih memiliki karakter masyarakat pedesaan. Namun demikian telah tampak pula adanya transisi sosial budaya dari masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban. Kajian sosial budaya terhadap nilai dan norma, kepercayaan lokal, sistem produksi diketahui bahwa masyarakat nelayan di Desa Pasauran, Kabupaten Serang Banten masih merupakan masyarakat dengan karakter modal sosial terikat. Sementara itu hasil penelitian Purwanti (2009) tentang prilaku ekonomi rumah tangga nelayan skala kecil dalam mencapai ketahanan pangan di pedesaan pantai Jawa Timur, menunjukkan bahwa kredit nelayan dari bakul ikan lebih banyak digunakan untuk konsumsi pangan daripada untuk peralatan melaut (Lampiran 1).