Reformasi dalam legislasi pengelolaan perikanan tangkap Indonesia: dari desentralisasi ke regionalisasi Darmawan 1 Pendahuluan Pengakuan terhadap besarnya potensi sumber Jaya perikanan untuk mendukung pembangunan perekonomian di Indonesia terwujud melalui pembentukan satu institusi setingkat departemen pada tahun I *j 9S)1. Sejak saat itu sektor perikanan dikelola secara terpisah dari sektor penaman yang selama menaunginya. Perubahan ataupun peningkatan status tersebut tentunya memiliki herhagai ekspektansi dimana salah satunya adalah meningkatnya kontribusi sektor perikanan terhadap upaya pembangunan nasional. Melalui terwujudnya Departemen Kelautan dan Perikanan(DKP)~, diharapkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan mendapat perhatian lebih banyak dari masa-masa terdahulu dan dapat ditangani secara lebih profesional dalam satu wadah institusi dengan visi dan misi yang jelas. Salah satu pembenahan yang harus dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang berwawasan lingkungan adalah dalam bidang hukum dan perundangan Pada awal berdirinya departemen, dasar hukum utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang tersedia adalah Undang Undang No, 9/1985 tentang Perikanan ditambah dengan beberapa keputusan menteri pertanian di tingkat pelaksanaan. Perkembangan yang pesat dalam berbagai aspek di bidang perikanan baik pads tingkat nasional maupun dunia menyebabkan dasar hukum perundangan tersebut perlu dikaji kembali karena dirasakan tidak lagi memadai untuk menunjang visi dsn misi pengelolaan sumberdaya perikanan yang haru, Makalah ini mengangkat permasalahan hukum perundangan yang terkait dengan upaya perikanan tangkap dan alternatif rezim pengelolaan perikanan tangkap yang dapat dikembangkan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan maupun upaya perikanan tangkap itu sendiri. Alternatif rezim pengelolaan ditinjau pula dari sudut pandang otonomi daerah yang berkembang seiring dengan berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan 2. 2 Legislasi upaya penangkapan ikan menjelang 2004 Pengaturan penangkapan ikan di nusantara telah berlangsung sejak jaman penjajahan dimana wilayah territorial I lindia Belanda pada waktu itu hanya berada disepanjang garis maya 3 (tiga) mil laut* Seiring perkembangan hukum internasional di bidang kelautan, maka klaim terhadap batas leritorial menjadi 12 (dua belas) mil laut. Indonesia yang sejak tahun 1957 memperjuangkan diterimanya knnsep negara ke-pulauan menerapkan pula klaim teritorial tersebut seeara sepihak . Berkembangnya teknologi penangkapan ikan menyebabkan timbulnya persaingan antar nelayan yang memiliki jenis alat tangkap yang berbeda. Untuk mencegah timbulnya kontlik diantara nelayan maka pada tahun 1976, keluar keputusan Menteri Pertanian No. 607/1976 tentang pembagian j alur penangkapan ikan. Peraturan ini membagi daerah penangkapan ikan berdasarkan jarak geografis, jenis alat tangkap dan kapal yang dipergunakannya dengan lujuan memegah konflik antar nelayan karena persaingan dalam memperebutkan sumberdaya ikan. Peraturan ini berlahan selama 23 (dua puluh tiga) tahun sebelum akhirnya diperbaharui oleh Surai Keputusan Menteri Pertanian No. 392 pada tahun t 'J9'J Peraturan baru mi memiliki kesamaan tujuan hanya terdapat perubahan rincian jarak 2 Terjadi perubahan nama dan Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan 4 Kuslvisserij Ordunnantie (Sbld, 1927 Nomor 144 j atau lebih dikenal sebagai Ordonansi Penangkapan Ikan Pantai s Pengumuman Perdana Menteri f I Djuanda tanggal 11 Desember 1957 Pembentukan Departemen Eksplorasi Laut pada bulan November 1999. 2 Undang-Undang No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah 181 dan pembagian jenis alat Ungkap/kapal. Peraturan tersebut sampai kini masih berlaku sehingga dapat dikatakan bahwa penguturan jalur penangkapan ikan di Indonesia telah berlangsung selama hampir 30 (tiga puluh) tahun (Bintora, 2000). Dalam kurun waktu yang panjang tersebut ternyata sulit sekali menerapkan, peraturan ini di lapangan. Selam kondisi geografis yang sangat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah Lainnya, faktor alamiah lautan sendiri merupakan faktor utama sulitnya upaya penegakan hukumnya Berbeda dengan daratan dimana relatif mudah untuk menetapkan batasan geografis, pemberian batas geografis pada permukaan laut dapat dikatakan hampir mustahil dilakukan. Seseorang tidak akan tahu pasti apakah sudah berada di jalur satu atau jalur dua bila tidak memilik) peralatan navigasi yang baik seperti alat GPS, padahal schagian besar nelayan udak memiliki alat tersebut. Jangankan nelayannya, aparat penegak hukumpun helum tentu mempunyai alat tersebut. Sehinpga upaya penegakan hukum terhadap peraturan ini selama lebih kurang 30 tahun boleh dikatakan sangat minim atau bahkan nyaris tidak terlaksana {Darmawan 2006). Salah satu peraturan yang paling penting dalam lingkup pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia adalah Keputusan Presiden No. 39/1980 mengenai larangan digunakannya jaring trawl Kehijakan yang dipicu lehih karena konllik sosial dibanding faktor teknis tersebut sampai kini masih berlaku walaupun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran di hampir seluruh peramu* Indonesia. Berbagai modifikasi alat tangkap yang pada akhirnya serupa dengan jaring trawl dibiarkan karena lidak mampu untuk mencegahnya (Darmawan 2006). Pada tahun 1YS3 keluarlah undang-undang mengenai zone ekonomi ekskluAif Indonesia (UU No. 5/1983) sebagai salah satu antisipasi disetujuinya konvensi hukum laut internasional pada tahun 1982. Satu tahun berikutnya keluarlah peraturan pemerintah No. 15119R4 mengenai pengelolaan sumberdaya alam hayati di zona tersebut Adapun payung hukum terlmgju untuk pengelolaan sumberdaya ikan sendiri baru dikeluhkan pada tahun 1985 melalui Undang-Undang No. 9/1985 tentang perikanan. Pada tahun itu pula Departemen Pertanian yang membawahi urusan perikanan mengeluarkan peraturan (SK Mentan No 473/1985 dan 475/1985) yang membuka secara resmi beroperasinya kapal-kapal ikan asing di Indonesia Pada tahun 1967 telah ada perjanjian kerjasama yang memungkinkan kapal-kapal Jepang beroperasi di perairan Indonesia, tetapi hanya terbatas pada negara tersehut. Sistem yang dipergunakan pada awal dibukanya perairan Indonesia hagi kapal-kapal ikan asing adalah sistem lisensi. Pelaksanaan sistem mi menuntut adanya imbalan {fee) pada perusahaan perikanan nasional yang menjadi mitra, mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan Indonesia dan meningkatkan kinerja perusahaan nasional yang.m<jnjadi agen/mitra kerjasama tersehut Setelah berjalan selama lima tahun maka pada tahun 1990 pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berupa Peraturan Pemerintah Nu. 15/1990 tentang usaha perikanan. Kebijakan tersebut ditindaklanjuti melalui SK Menteri Pertanian Nu. 815/1990 tentang perizinan usaha perikanan dan No. 816/1990 tentang penggunaan kapal perikanan berbendera asing dengan Cara sewa untuk menangkap ikan di ZU01. Pada intinya karena pengusaha nasional belum mampu menambah jumlah armada perikanan sedangkan sistem yang berlaku tidak dapat memberikan hasil yang diinginkan muka pada tahun 1990 sistem lisensi digantikan oleh sistem carter. Sistem yang baru mi mensyaratkan bahwa kapal-kapal ikan asing dapat beroperasi di ZER[ melalui sistem carter oleh perusaliaan perikanan nasional, kapal yang beroperasi harus memakai anak buah berwarga negara Indonesia minimal 30%, mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan Indonesia dan menggunakan alat tangkap yang sesuai dengan penjinannya (Darmawan dan Whita 1997). Pada tahun 1999 sektor perikanan mendapat perhatian yang meningkat dari pemerintahan. Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dirasitkan sangat penting untuk diketok tersendiri sehingga harus dipisahkan dari sektor pertanian dengan didirikannya satu departemen baru dengan nama Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan*. Dalam tahun yang Sama, pemerintah mengeluarkan pula Keputusan Presiden No 161/1999 tentang pembentukan Dewan Maritim Indonesia (DMJ) yang berarti juga membubarkan [kwan Kelautan Nasional (DKN) yang telah ada sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 7711996 Institusi ini memperoleh tugas membantu Presiden Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakan umum di bidang kelautan. Tahun 1999 merupakan babak baru pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia. Melalui Keputusan Presiden No. 136/1999 dan Keputusan Presiden No 145T1999 tentang Perubahan sebutan Menteri Lkspforasi Laut menjadi Menteri Lksplorasi Laut dan Perikanan. 6 182