KORUPSI DAN KENAIKAN HARGA BBM : BUAH DARI PELAYANAN TERHADAP SISTEM BESAR KAPITALISME Oleh Awang Munawar1 “Bumi ini masih mampu untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak akan pernah mampu untuk memenuhi keserakahan manusia!” (Mahatma Gandhi). This paper examines the problem of corruption within the political context and power in government, to see whether a government policy such as policy-material price increases fuel oil (BBM) is related to corrupt practices. The analysis focuses on democratic governance system which capitalist liberal ideology with its base "market" rather than "state". Furthermore, it also examines whether the values of liberal capitalist influence the government's views about government corruption and moral attitude towards corruption behavior. Main hypothesis of this paper are: the orientation behavior of the power of corruption into the Indonesian government is hiding behind "democracy" and continued rampant in the bureaucracy and political parties because reciprocally with the practice of kinship politics and political cartel, which is reinforced through a system of liberal capitalism to maintain and perpetuate power. Keys worlds : cooruption, political power, and capitalism Pendahuluan Sesuai dengat pernyataan Mahatma Gandhi di atas, berpolitik yang sejatinya sangat luhur diselewengkan menjadi jalan sesat. Politik pun berubah menjadi sangat nista di tangan orang-orang yang tunamoral dan tak beretika. Pikiran dan hati mereka hanya berisi ambisi kekuasaan untuk memuaskan hasrat hedonis dan syahwat materi. Oleh sebab itu, demi memenuhi syahwat politik yang berdimensi materi, politisi tak segan melakukan korupsi berskala besar. Dalam hal ini, mereka mengatasnamakan demokrasi, hukum, aturan dan kewenangan hak, serta legitimasi terutama tentang (alokasi) anggaran, mereka menggangsir uang rakyat melalui aneka modus operandi: meminta uang komisi untuk memuluskan proyek APBN dan memasang tarif untuk menyetujui pasal dalam pembuatan undang-undang. Kemudian, mengutip uang pelicin sebagai imbalan persetujuan setiap pembuatan kebijakan publik dan aneka modus lain yang serupa. Korupsi politik yang melibatkan politisi pemangku jabatan publik lazim disebut political extortion in the process of public policy-making. Jadi, politisi yang terlibat korupsi itu sesungguhnya kumpulan para pemalak atau pemeras tingkat tinggi (baca: kriminal elite, atau white colour crime, bukan kejahatan politik). Kini, praktik korupsi politik demikian sudah menjadi gejala umum di kalangan politisi dan melanda hampir semua parpol, baik partai berbasis agama maupun partai sekuler. Sungguh menarik, politisi acap berlaku heroik dengan mengumandangkan jargon-jargon antikorupsi untuk memikat publik dan demi pencitraan. Mereka tak henti menggaungkan retorika politik bahwa korupsi ialah tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan prinsip agama dan moralitas publik. Namun, di balik retorika politik anti-korupsi itu, politisi justru kerap terlibat skandal korupsi untuk kepentingan kekuasaan. Politisi telah mempertontonkan hipokrisi politik yang sangat nyata. Hal itu tecermin pada kata dan perbuatan yang tidak sejalan. Tidak salah bila publik menilai politisi sesungguhnya gerombolan kaum hipokrit, yang dalam bahasa agama disebut kaum munafik. Saksikan, hipokrisi politik dan mental kaum hipokrit secara terang benderang didemonstrasikan para politisi Partai Demokrat. Harus ditegaskan bahwa kaum hipokrit 1 Awang Munawar, dosen ilmu politik dan hubungan internasional Fisip Unpas Bandung. 1 memang bukan hanya monopoli politisi Demokrat. Banyak pula kaum tersebut di kalangan politisi di semua parpol. Namun, dalam kasus Demokrat, hipokrisi politik ini menjadi sangat menarik. Masih segar dalam ingatan publik, pada Pemilu 2004 dan 2009 Partai Demokrat dengan bangga mengusung tema kampanye anti-korupsi melalui iklan “katakan tidak pada korupsi!” Iklan yang bertujuan menipu publik itu diperankan bintang-bintang ternama, yang salah satunya (Angelina Sondakh) yang kini justru berstatus tersangka dalam kasus korupsi wisma atlet.2 Sejauh ini, kasus-kasus korupsi berskala besar selalu berada di wilayah kelam yang nyaris mustahil dapat dibongkar. Aneka skandal korupsi raksasa selalu terkait dengan politik, atau berhubungan dengan pemegang otoritas negara, dan bersarang di pusat-pusat kekuasaan yang melibatkan aktor-aktor politik berpengaruh. Mengingat praktik korupsi beroperasi di lembaga-lembaga publik dan terjadi di wilayah administrasi pemerintahan negara, korupsi niscaya merepresentasikan relasi kuasa di antara kekuatan kekuatan politik dan aktor-aktor negara. Untuk itu, dalam wacana politik-ekonomi modern, korupsi disebut the misuse of public powers for private benefits, terutama ketika kontrol publik absen dalam penyelenggaraan pemerintahan dan warga negara kehilangan akses dan tak punya ruang untuk menjalankan fungsi kritik publik dalam proses politik kenegaraan. Mengikuti pandangan ini, seorang ahli politik-ekonomi Universitas Michigan, Arvind Jain, menulis dengan terang: "Corruption seems to result from an imbalance between the processes of acquisition of positions of political power in a society, the rights associated with those positions of power, and the rights of citizens to control the use of that power".3 Sungguh, suatu pola relasi kuasa yang amat kompleks di antara kekuatan kekuatan politik di dalam struktur pemerintahan negara menyebabkan praktik korupsi menjadi pelik dan rumit yang sangat sulit diurai. Kesulitan untuk mengurai kasus korupsi itu lebih karena ada konflik kepentingan di antara para pemangku kekuasaan dan aktor politik, baik langsung maupun tak langsung terlibat dalam suatu kasus korupsi. Dalam perspektif demikian, tak heran bila muncul penyataan satirikal: “tanpa korupsi tak ada politik”. Keduanya seperti dua sisi koin mata uang. Meski bernada sinikal, ungkapan klasik ini amat populer yang lazim dijumpai di buku-buku teks ilmu politik, dalam debat akademik di ruang-ruang kuliah, dan mengemuka sebagai wacana umum di aneka ruang publik. Sedemikian kuat pertautan antara politik dan korupsi sehingga ungkapan without corruption there is no politics seolah sudah menjadi kebenaran aksiomatik. Saksikan, praktik politik pun penuh dengan kontroversi. Kekuasaan politik yang besar makin membuka peluang praktik korupsi berskala masif dan gigantik. Semakin tinggi jabatan politik dalam struktur kekuasaan, ongkos yang diperlukan untuk meraihnya pun kian mahal. Dalam banyak kasus, ongkos politik itu bersumber dari atau berujung ke korupsi. Tak pelak, bangunan kekuasaan politik pun ditopang oleh korupsi yang mengakar di dalam tubuh lembaga-lembaga negara. Dalam konteks percaturan politik di Indonesia, ungkapan tanpa korupsi tak ada politik jelas menggambarkan realitas sosial yang dapat dilihat secara kasatmata. Kita bisa merujuk segudang fakta keras dan bukti empiris karena sudah banyak politisi dan pejabat negara yang diadili dan dihukum akibat perbuatan korupsi. Puluhan bupati, wali kota, dan 2 3 Lampung Post, 21 Pebruari 2012. Lihat Arvind K. Jain, The Political Economy of Corruption, Routledge 2007. 2 gubernur menjadi tersangka dan dimejahijaukan atas dakwaan korupsi. Banyak pula anggota parlemen bahkan (mantan) menteri sudah mendekam di balik jeruji besi karena melakukan pidana korupsi. Ini semua mengonfirmasikan kebenaran aksiomatik ungkapan bernada sinikal tersebut. Dalam konteks ini pula, kita dapat memahami mengapa kasus penggelapan uang pajak oleh Gayus Tambunan dan skandal dana talangan kasus Bank Century yang dikaitkan dengan kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 punya resonansi politik sangat kuat. Untuk kasus Gayus berimpitan dengan perusahaan-perusahaan besar yang, antara lain, berhubungan dengan beberapa tokoh politik berpengaruh yang memimpin atau pengurus parpol besar. Padahal, nominal uang yang digelapkan oleh Gayus "hanya" Rp104 miliar. Jumlah ini terbilang lebih "kecil" dibandingkan dengan uang Rp. 932 miliar—sembilan kali lipat lebih besar—milik Bahasyim Assifie yang diduga hasil kejahatan pencucian uang dan penggelapan pajak, yang mengemuka dalam sidang di pengadilan. 4 Pun demikian ketika Partai Demokrat memenangi Pemilu 2009 secara amat fantastik dengan peningkatan perolehan suara sampai 300% dan Presiden Yudhoyono berhasil terpilih kembali untuk masa jabatan kedua, skandal dana talangan Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun meledak. Banyak pihak, terutama para politisi, mengaitkan skandal Century ini dengan dua kemenangan dalam pemilu yang amat mencengangkan itu. Ramai diperbincangkan, Partai Demokrat diduga menerima aliran dana talangan itu untuk biaya kampanye pemilu baik melalui mobilisasi massa maupun aneka ragam iklan di media cetak dan elektronik yang amat masif. Tak pelak, spekulasi keterlibatan elite-elite Demokrat dan orang orang terdekat Presiden dalam skandal Century pun merebak. Dapat dimaklumi bila kemenangan spektakuler Demokrat—SBY tetap menyisakan kemasygulan di banyak kalangan sampai hari ini. Maka, ungkapan lama 'behind every great victory lies a big crime' selalu relevan untuk dikaitkan dengan aneka peristiwa politik yang tak sepenuhnya bisa dicerna oleh nalar publik. Sastrawan terkemuka Prancis, Honoré de Balzac, dua abad silam bahkan sudah menuturkan: "Le secret des grandes fortunes sans cause apparente est un crime oublié, parce qu' il a été proprement fait." Kutipan ini berarti: rahasia suatu sukses besar yang Anda sendiri tak mampu memberi penjelasan selalu tersembunyi suatu tindak kejahatan yang tak akan pernah bisa diungkap karena dilakukan dengan amat rapi. Kutipan ini mungkin dapat membantu untuk memahami aneka skandal korupsi berskala besar yang terkait praktik politik di Indonesia. Skandal korupsi dalam politik itu sulit diungkap karena beroperasi di dalam organ-organ kekuasaan, berkelindan dalam jaringan politik yang berlapis-lapis, dan melibatkan tokoh-tokoh politik penting yang memangku kekuasaan dalam struktur pemerintahan negara. Dalam konteks inilah kita dapat membaca mengapa skandal Bank Century, yang oleh DPR—setelah melalui investigasi lama—dinilai melanggar hukum, tak kunjung dapat dituntaskan oleh aparat penegak hukum. Inilah diktum universal: tanpa korupsi tak ada politik.5 Membongkar Akar Korupsi dan Sistem Kapitalisme : Sebuah Tinjuau Konseptual dan Empiris dari Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Fenomena korupsi merupakan fenomena yang hangat dibicarakan belakangan ini di berbagai media, terungkapnya berbagai kasus korupsi gigantis menjadikan isu ini menjadi 4 antaranews. com, 30/9/2010. 5 Uraian ini diolah dari Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, UK. Ia menulis disertasi PhD-nya, Political Power, Corruption, and Witchcraft in Modern Indonesia di Department of Anthropology--University of Sussex, United Kingdom. 3 headline di media-media baik nasional maupun lokal, selain efek yang ditimbulkannya, tidak hanya di Indonesia di negara-negara maju semisal Amerika Serikat pun masih sering terjadi praktek korupsi. Banyak (bahkan hampir semua ahli) berpandangan bahwa praktek korupsi lahir akibat moral pemimpin yang rendah sehingga memungkinkan praktek korupsi marak terjadi, pandangan semacam ini seolah beranggapan bahwa individu memiliki kemampuan berkehendak, sehingga apapun yang individu kehendaki akan terwujud, apabila sesorang telah menanamkan pada dirinya untuk tidak korupsi, maka dia tidak akan korupsi, pandangan ini menolak interfensi lingkungan yang kuat terhadap moralitas dan kesadaran seseorang. Menurut Muhammad Haedir (2012), seseorang melakukan korupsi lebih diakibatkan oleh ketidakpedulian seseorang dengan lingkungannya, pelaku korupsi mungkin saja berpandangan bahwa seolah hanya dirinyalah yang akan hidup di dunia tanpa memikirkan masyarakat yang akan sengsara dengan perbuatannya. Dari pendapat diatas, memperlihatkan bahwa sebenarnya moralitas utama dari koruptor adalah moralitas individualistik, yang di bentuk tentunya oleh watak atau moralitas masyarakat yang semakin individualis, memikirkan diri sendiri dan tidak mau peduli. Tentunya penting pula untuk sedikit mengkaji dari mana sebuah watak atau moralitas individualistik ini muncul dan berkembang, untuk mencari akar masalah korupsi yang sebenarnya, mengingat moralitas inilah yang dominan mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi, sebuah watak yang tidak peduli terhadap kondisi masyarakat. Dalam konteks ini pun, menurut pandangan penulis sangat diduga kuat bahwa teori ekoniomi dan politik liberal yang menonjolkan (mengedepankan) persaingan antar individu untuk mengejar kemewahan dan kekuasaan dunia adalah sistem yang paling bisa disalahkan dalam praktek kehidupan kita. Sistem ekonomi-politik liberal ini diperkenalkan oleh Adam Smith yang menginginkan kebebasan individu untuk bersaing, sehingga manusia dibentuk tidak dalam posisi masyarakat, tapi dibentuk dalam posisi individu yang terpisah satu sama lain. Dengan demikian, jika watak individualistik ini sangat dekat dengan liberalisme maka watak ini tidak dapat dilepaskan dari watak sistem ekonomi-politik kapitalisme yang menumpukan kepemilikan modal atau kekuasaan pada satu atau dua orang saja. Untuk itu penting pula mengkaji bagaimana sistem ekonomi-politik kapitalisme bekerja sebagai akar dari individualistik, terutama yang embedded dengan sistem pemerintahan presidensil yang berbasis multi-partai, seperti Indonesia. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah Indonesia menaikan harga BBM misalnya, lagi-lagi, asumsinya adalah dari pernyataan “pangeran adidaya Amerika Serikat” (sang kapitalis), bahwa kenaikan BBM karena permintaan pasar meningkat dan situasi politik “Timur Tengah” yang tidak stabil. Memang, jika memakai logika kapitalisme, dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari, harga BBM selalu mengalami kenaikan dan penurunan, hal ini karena pengaruh “pasar”, jangankan BBM, harga apapun mengalami hal yang demikian, lalu apa masalahnya dengan Indonesia saat ini ? Indonesia adalah negara yang berasaskan Pancasila, setidaknya itulah yang dikatakan oleh konstitusi (UUD 1945), negara yang sistem ekonominya sesuai dengan pasal 33 : ayat “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sangat jelas dalam konstitusi tersebut bahwa segala yang menjadi hajat hidup orang banyak, negara akan menjamin. Indonesia bukanlah negara seperti Amerika Serikat, di mana “pasar” adalah satu-satunya yang menentukan harga, Indonesia dapat mengintervensi harga-harga sampai tingkatan eceran. Lalu mengapa dari presiden ke presiden di Indonesia merasa 4 terpaksa untuk menaikkan harga minyak karena menyesuaikan dengan pasar harga minyak dunia. Apakah uang negara tidak ada lagi, atau Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja (RAPBN) tidak mengantisipasinya. Saya kira, hanya Presiden dan Menteri Keuangan yang mengetahui jawabannya. Kapitalisme tidak hanya dikenal sebagai sistem produksinya yang masif yang mengakibatkan over produksi, penjajahan (imperialisme), impor/ekspor barang-barang yang mematikan produk lokal, dan lain-lain. Lebih jauh, sistem kapitalisme merupakan sebuah sistem yang bekerja dengan sistem kelas yang menurut Karl Marx kelas menggambarkan tentang konflik atau pertentangan antara kelas yang memiliki kapital yang oleh Marx disebut sebagai kelas penindas dan mereka yang tidak memiliki kapital (modal) dengan demikian terpaksa menjual tenaganya kepada kelas penindas, Karl Marx menyebutnya sebagai kelas tertindas. Dimanapun dan dalam zaman apapun itu kelas penindas selalu memiliki superioritas dengan kekuatan modal yang mereka miliki, termasuk superioritas budaya. Dengan demikian mereka (kelas tertindas) akan dengan mudah mengikut budaya dan perilaku kelas penindas. Dari sinilah Gramscy mengembangkan teorinya tentang Hegemoni. Dari pola hidup kelas penindas yang bermewah-mewah mengakibatkan kelas tertindas juga ingin merasakan hal tersebut, maka berlomba-lombalah mereka menjadi (minimal dekat dengan) kelas penindas tersebut. Watak konsumerisme berkembang memaksakan memiliki sesuatu diluar kemampuannya, disinilah kemudian manusia mengembangkan diri sebagai seorang yang mementingkan diri sendiri, untuk sebuah kesenangan dan kemewahan dengan cara apapun, mulai dengan cara mencuri, hingga merampok uang negara (korupsi). Bisa dibayangkan bagaimana eksistensi Indonesia dalam konteks global kini. Dengan demikian, kapitalisme mengembangkan dirinya dengan sebuah watak yang mengamini watak rakus. Para penindas (kaum kapitalis yang memiliki kekuatan modal bekerja sama dengan penguasa/aparat negara dan juga partai politik) akan melakukan segala daya upaya dalam rangka penumpukan modal pada dirinya sendiri, kerabatnya atau mitra bisnisnya tanpa memperdulikan orang lain yang menerima dampak atas perbuatannya, misalnya pengerusakan lingkungan oleh perusahaan tambang, perampasan tanah oleh perusahaan-perusahaan baik nasional maupun internasional, penerapan upah murah bagi buruh, dan lain-lain. Dalam konteks politik di Indonesia, lebih parahnya lagi, semua itu dilakukan dengan proses dan prosedur demokrasi, bahkan dilakukan melalui legitimasi aturan yang dibuat melalui proses legislasi di DPR, yang sangat kuat dugaan proses legislasi di DPR pun dipenuhi dengan tindakan dan aroma politik kekerabatan dan politik kartel, yang mana melalui gratifikasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan besar dengan anggotaanggota DPR.6. Karakter jahat dan rakus dari individu-individu yang telah tergambarkan inilah yang kemudian berkembang luas, tidak hanya kepada mereka yang telah memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi, tapi juga kepada calon-calon pemimpin karena konsep untuk menumpuk-numpuk harta dengan cara apapun telah mengakar hingga ke berbagai kantong kekuasaan, baik di tingkat elit dari mulai partai-partai politik di tingkat nasional, maupun di wilayah lokal bawah massa sampai ke pelosok desa. 6 Gejala ini dapat diungkap dengan terbongkarnya dugaan kasus suap deputi gubernur BI dan gratifikasi yang dilakukan oleh Freeport terhadap aparat kepolisian di papua.Termasuk dalam hal ini gejala politik kekerabatan dan politik kartel di Indonesia yang sedang menjadi konsen penulis untuk penelitian disertasi doktor. 5 Sangatlah kuat bahwa ketika sebuah pemerintahan negara yang menganut sistem ekonomi-politik kapitalisme yang mengutamakan kepentingan individu untuk mengejar keuntungan dan kekuasaan sebesar-besarnya akan berpengaruh pada sistem-sistem lain dalam masyarakat, termasuk watak atau moral individu dalam masyarakatnya. Individu-individu dalam masyarakat akan sangat mementingkan kepentingan individu, atau paling jauh kepada kerabat dan patronnya. Artinya, persoalan korupsi disini bukanlah persoalan hukum semata, tapi juga merupakan persoalan ideologi ekonomi-politik yang dianut oleh suatu sistem pemerintahan negara, juga bukan saja persoalan moral pelaku, tapi lebih pada persoalan watak masyarakat yang sangat individualis, sehingga untuk memberantas korupsi, tidak cukup dengan penegakan hukum semata, juga tidak cukup dengan pendidikan moral dan agama, tapi yang paling penting adalah mengubah pandangan atau ideologi ekonomi-politik yang dianut oleh pemerintahan negara terutama sikap dan prilaku pemimpin negara atau pemimpin pemerintahannya. Sebab boleh jadi sistem dan ideologi ekonomi-politik itu baik, tapi apabila prilaku pemimpinnya buruk sama saja menjerumuskan rakyatnya ke jurang kesengsaraan. Dalam konteks kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, secara ekonomi-politik bisa dikatakan bahwa minyak bumi adalah salah satu sumber energi utama manusia saat ini. Karenanya, siapa yang mengontrol cadangan minyak bumi terbesar, dia secara relatif mengontrol dunia. Sementara itu, konsumen minyak bumi terbesar di dunia adalah Amerika Serikat. Kalau konsumen terbesar minyak bumi adalah Amerika Serikat, maka produsen minyak bumi terbesar adalah daerah Timur Tengah. Tidaklah begitu mengherankan kiranya jika berbagai konflik di Timur Tengah selalu melibatkan Amerika. Kini, Amerika berusaha mengontrol daerah Timur Tengah bukan melalui intervensi militer secara langsung, tapi melalui sekutu-sekutunya, yaitu Israel, dan Arab Saudi. Jadi, kepentingan Amerika di Timur Tengah adalah minyak. Dan kepentingan ini semakin menguat dengan adanya relokasi industri di Amerika, karena relokasi industri membuat permintaan akan sumber energi minyak bumi di negara-negara berkembang meningkat, sehingga Amerika mendapat “pesaing baru” dalam hal konsumsi minyak bumi. Dari hal ini, mengapa sistem ekonomi-politik liberal kapitalisme Amerika Serikat “nyaman” untuk masyarakat Amerika ? Sederhana jawabannya adalah perilaku pemimpin Amerika. Demikian juga untuk memulihkan tingkat keuntungan ekonomi Amerika, salah satu langkah yang diambil oleh perusahaan-perusahaan Amerika (by non-state actor), adalah relokasi industri ke negara-negara dengan upah buruh murah dan pajak yang rendah. Perkembangan teknologi komputer dan komunikasi memang memungkinkan adanya perusahaan yang secara spasial terdesentralisasi, dan faktor modal (kapital dan pasar) sangatlah determinan. Sejak inilah ideologi kapital dan pasar yang lebih banyak diperakkan oleh TNC (non state) bersama-sama negara (state) menguat dalam hubungan internasional global. Dalam hal ini, Amerika Serikat bisa bangga dengan Microsoft, General Motors dan TNCs lainnya. Persoalan berikutnya bagaimana dengan kinerja Indonesia sebagai state, dan bagaimana pula dengan perusahaan-perusahannya di kancah persaingan hubungan internasional global ini. Adakah yang sudah expansif, seperti halnya India dan China, atau tetap jago kandang ? Penutup Dalam kesimpulan ini, saya kemukakan dengan istilah penutup yang berupa beberapa pertanyaan penting adalah bahwa permasalahan bagi Indonesia adalah tidak bisa terlepas dari contestasi, antara choice, atau strategy ? Kontestasi yang dimaksudkan di sini adalah adanya perhelatan antara keputusan yang dibuat oleh market (concent) atau state (coercion), Pilihannya adalah apakah rational choice atau afection ? Dan, strategi adalah formulasi kebijakan yang tepat, bukan kebijakan yang populis. 6 Semua permasalahan tersebut tentunya berkaitan dengan tema-tema yang telah diuraikan di atas, atau dengan kata lain dalam konteks ini saling berhubungan dimana solusi untuk satu set masalah, sering dapat ditemukan di solusi untuk set berikutnya. References : Akhil Gupta, Blurred Boundaries: The Discourse of Corruption, the Culture of Politics, and the Imagined State, 1995. Antonius Made Tony Supriatma, ‘Menguatnya Politik Kartel Para “Bos”,’ dalam Prisma, No.2, Vol.28, LP3ES, Jakarta, Oktober 2009. Engdahl, William. A Century of War: Anglo-American Oil Politics and the New World Order, ed. rev. London: Pluto Press, 2004. Haller and Shore, Corruption: Anthropological Perspectives, 2005 Harvey, David. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press, 2003. Heinberg, Richard. The Party’s Over: Oil, War and the Fate of Industrial Societies. Gabriola Island: New Society Publishers, 2005. Moseley, Fred. “Marxian Crisis Theory and the Postwar U.S. Economy,” 2003. Dalam http://www.mtholyoke.edu/~fmoseley/working%20papers/PWCRISIS.pdf . Perrucci, Robert dan Carolyn C. Perrucci. America at Risk: The Crisis of Hope, Trust, and Caring. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2009. 7