KORUPSI DAN KENAIKAN HARGA BBM : BUAH DARI

advertisement
KORUPSI DAN KENAIKAN HARGA BBM : BUAH DARI PELAYANAN
TERHADAP SISTEM BESAR KAPITALISME
Oleh Awang Munawar1
“Bumi ini masih mampu untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak akan pernah
mampu untuk memenuhi keserakahan manusia!” (Mahatma Gandhi).
This paper examines the problem of corruption within the political context and power
in government, to see whether a government policy such as policy-material price increases
fuel oil (BBM) is related to corrupt practices. The analysis focuses on democratic governance
system which capitalist liberal ideology with its base "market" rather than "state".
Furthermore, it also examines whether the values of liberal capitalist influence the
government's views about government corruption and moral attitude towards corruption
behavior. Main hypothesis of this paper are: the orientation behavior of the power of
corruption into the Indonesian government is hiding behind "democracy" and continued
rampant in the bureaucracy and political parties because reciprocally with the practice of
kinship politics and political cartel, which is reinforced through a system of liberal
capitalism to maintain and perpetuate power.
Keys worlds : cooruption, political power, and capitalism
Pendahuluan
Sesuai dengat pernyataan Mahatma Gandhi di atas, berpolitik yang sejatinya sangat
luhur diselewengkan menjadi jalan sesat. Politik pun berubah menjadi sangat nista di tangan
orang-orang yang tunamoral dan tak beretika. Pikiran dan hati mereka hanya berisi ambisi
kekuasaan untuk memuaskan hasrat hedonis dan syahwat materi. Oleh sebab itu, demi
memenuhi syahwat politik yang berdimensi materi, politisi tak segan melakukan korupsi
berskala besar. Dalam hal ini, mereka mengatasnamakan demokrasi, hukum, aturan dan
kewenangan hak, serta legitimasi terutama tentang (alokasi) anggaran, mereka menggangsir
uang rakyat melalui aneka modus operandi: meminta uang komisi untuk memuluskan proyek
APBN dan memasang tarif untuk menyetujui pasal dalam pembuatan undang-undang.
Kemudian, mengutip uang pelicin sebagai imbalan persetujuan setiap pembuatan kebijakan
publik dan aneka modus lain yang serupa. Korupsi politik yang melibatkan politisi pemangku
jabatan publik lazim disebut political extortion in the process of public policy-making. Jadi,
politisi yang terlibat korupsi itu sesungguhnya kumpulan para pemalak atau pemeras tingkat
tinggi (baca: kriminal elite, atau white colour crime, bukan kejahatan politik).
Kini, praktik korupsi politik demikian sudah menjadi gejala umum di kalangan politisi
dan melanda hampir semua parpol, baik partai berbasis agama maupun partai sekuler.
Sungguh menarik, politisi acap berlaku heroik dengan mengumandangkan jargon-jargon antikorupsi untuk memikat publik dan demi pencitraan. Mereka tak henti menggaungkan retorika
politik bahwa korupsi ialah tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan prinsip
agama dan moralitas publik. Namun, di balik retorika politik anti-korupsi itu, politisi justru
kerap terlibat skandal korupsi untuk kepentingan kekuasaan. Politisi telah mempertontonkan
hipokrisi politik yang sangat nyata. Hal itu tecermin pada kata dan perbuatan yang tidak
sejalan. Tidak salah bila publik menilai politisi sesungguhnya gerombolan kaum hipokrit,
yang dalam bahasa agama disebut kaum munafik.
Saksikan, hipokrisi politik dan mental kaum hipokrit secara terang benderang
didemonstrasikan para politisi Partai Demokrat. Harus ditegaskan bahwa kaum hipokrit
1
Awang Munawar, dosen ilmu politik dan hubungan internasional Fisip Unpas Bandung.
1
memang bukan hanya monopoli politisi Demokrat. Banyak pula kaum tersebut di kalangan
politisi di semua parpol. Namun, dalam kasus Demokrat, hipokrisi politik ini menjadi sangat
menarik. Masih segar dalam ingatan publik, pada Pemilu 2004 dan 2009 Partai Demokrat
dengan bangga mengusung tema kampanye anti-korupsi melalui iklan “katakan tidak pada
korupsi!” Iklan yang bertujuan menipu publik itu diperankan bintang-bintang ternama, yang
salah satunya (Angelina Sondakh) yang kini justru berstatus tersangka dalam kasus korupsi
wisma atlet.2
Sejauh ini, kasus-kasus korupsi berskala besar selalu berada di wilayah kelam
yang nyaris mustahil dapat dibongkar. Aneka skandal korupsi raksasa selalu terkait dengan
politik, atau berhubungan dengan pemegang otoritas negara, dan bersarang di pusat-pusat
kekuasaan yang melibatkan aktor-aktor politik berpengaruh. Mengingat praktik korupsi
beroperasi di lembaga-lembaga publik dan terjadi di wilayah administrasi pemerintahan
negara, korupsi niscaya merepresentasikan relasi kuasa di antara kekuatan kekuatan politik
dan aktor-aktor negara.
Untuk itu, dalam wacana politik-ekonomi modern, korupsi disebut the misuse of
public powers for private benefits, terutama ketika kontrol publik absen dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan warga negara kehilangan akses dan tak punya ruang
untuk menjalankan fungsi kritik publik dalam proses politik kenegaraan. Mengikuti
pandangan ini, seorang ahli politik-ekonomi Universitas Michigan, Arvind Jain, menulis
dengan terang: "Corruption seems to result from an imbalance between the processes of
acquisition of positions of political power in a society, the rights associated with those
positions of power, and the rights of citizens to control the use of that power".3
Sungguh, suatu pola relasi kuasa yang amat kompleks di antara kekuatan kekuatan
politik di dalam struktur pemerintahan negara menyebabkan praktik korupsi menjadi pelik
dan rumit yang sangat sulit diurai. Kesulitan untuk mengurai kasus korupsi itu lebih karena
ada konflik kepentingan di antara para pemangku kekuasaan dan aktor politik, baik langsung
maupun tak langsung terlibat dalam suatu kasus korupsi. Dalam perspektif demikian, tak
heran bila muncul penyataan satirikal: “tanpa korupsi tak ada politik”. Keduanya seperti dua
sisi koin mata uang. Meski bernada sinikal, ungkapan klasik ini amat populer yang lazim
dijumpai di buku-buku teks ilmu politik, dalam debat akademik di ruang-ruang kuliah, dan
mengemuka sebagai wacana umum di aneka ruang publik. Sedemikian kuat pertautan antara
politik dan korupsi sehingga ungkapan without corruption there is no politics seolah sudah
menjadi kebenaran aksiomatik.
Saksikan, praktik politik pun penuh dengan kontroversi. Kekuasaan politik yang besar
makin membuka peluang praktik korupsi berskala masif dan gigantik. Semakin tinggi jabatan
politik dalam struktur kekuasaan, ongkos yang diperlukan untuk meraihnya pun kian mahal.
Dalam banyak kasus, ongkos politik itu bersumber dari atau berujung ke korupsi. Tak pelak,
bangunan kekuasaan politik pun ditopang oleh korupsi yang mengakar di dalam tubuh
lembaga-lembaga negara.
Dalam konteks percaturan politik di Indonesia, ungkapan tanpa korupsi tak ada
politik jelas menggambarkan realitas sosial yang dapat dilihat secara kasatmata. Kita bisa
merujuk segudang fakta keras dan bukti empiris karena sudah banyak politisi dan pejabat
negara yang diadili dan dihukum akibat perbuatan korupsi. Puluhan bupati, wali kota, dan
2
3
Lampung Post, 21 Pebruari 2012.
Lihat Arvind K. Jain, The Political Economy of Corruption, Routledge 2007.
2
gubernur menjadi tersangka dan dimejahijaukan atas dakwaan korupsi. Banyak pula anggota
parlemen bahkan (mantan) menteri sudah mendekam di balik jeruji besi karena melakukan
pidana korupsi. Ini semua mengonfirmasikan kebenaran aksiomatik ungkapan bernada sinikal
tersebut. Dalam konteks ini pula, kita dapat memahami mengapa kasus penggelapan uang
pajak oleh Gayus Tambunan dan skandal dana talangan kasus Bank Century yang dikaitkan
dengan kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 punya resonansi politik sangat kuat.
Untuk kasus Gayus berimpitan dengan perusahaan-perusahaan besar yang, antara lain,
berhubungan dengan beberapa tokoh politik berpengaruh yang memimpin atau pengurus
parpol besar. Padahal, nominal uang yang digelapkan oleh Gayus "hanya" Rp104 miliar.
Jumlah ini terbilang lebih "kecil" dibandingkan dengan uang Rp. 932 miliar—sembilan kali
lipat lebih besar—milik Bahasyim Assifie yang diduga hasil kejahatan pencucian uang dan
penggelapan pajak, yang mengemuka dalam sidang di pengadilan. 4
Pun demikian ketika Partai Demokrat memenangi Pemilu 2009 secara amat fantastik
dengan peningkatan perolehan suara sampai 300% dan Presiden Yudhoyono berhasil terpilih
kembali untuk masa jabatan kedua, skandal dana talangan Bank Century sebesar Rp 6,7
triliun meledak. Banyak pihak, terutama para politisi, mengaitkan skandal Century ini
dengan dua kemenangan dalam pemilu yang amat mencengangkan itu. Ramai
diperbincangkan, Partai Demokrat diduga menerima aliran dana talangan itu untuk biaya
kampanye pemilu baik melalui mobilisasi massa maupun aneka ragam iklan di media cetak
dan elektronik yang amat masif. Tak pelak, spekulasi keterlibatan elite-elite Demokrat dan
orang orang terdekat Presiden dalam skandal Century pun merebak.
Dapat dimaklumi bila kemenangan spektakuler Demokrat—SBY tetap menyisakan
kemasygulan di banyak kalangan sampai hari ini. Maka, ungkapan lama 'behind every great
victory lies a big crime' selalu relevan untuk dikaitkan dengan aneka peristiwa politik yang
tak sepenuhnya bisa dicerna oleh nalar publik. Sastrawan terkemuka Prancis, Honoré de
Balzac, dua abad silam bahkan sudah menuturkan: "Le secret des grandes fortunes sans
cause apparente est un crime oublié, parce qu' il a été proprement fait."
Kutipan ini berarti: rahasia suatu sukses besar yang Anda sendiri tak mampu memberi
penjelasan selalu tersembunyi suatu tindak kejahatan yang tak akan pernah bisa diungkap
karena dilakukan dengan amat rapi. Kutipan ini mungkin dapat membantu untuk memahami
aneka skandal korupsi berskala besar yang terkait praktik politik di Indonesia. Skandal
korupsi dalam politik itu sulit diungkap karena beroperasi di dalam organ-organ kekuasaan,
berkelindan dalam jaringan politik yang berlapis-lapis, dan melibatkan tokoh-tokoh politik
penting yang memangku kekuasaan dalam struktur pemerintahan negara. Dalam konteks
inilah kita dapat membaca mengapa skandal Bank Century, yang oleh DPR—setelah melalui
investigasi lama—dinilai melanggar hukum, tak kunjung dapat dituntaskan oleh aparat
penegak hukum. Inilah diktum universal: tanpa korupsi tak ada politik.5
Membongkar Akar Korupsi dan Sistem Kapitalisme : Sebuah Tinjuau Konseptual dan
Empiris dari Ilmu Politik dan Hubungan Internasional
Fenomena korupsi merupakan fenomena yang hangat dibicarakan belakangan ini di
berbagai media, terungkapnya berbagai kasus korupsi gigantis menjadikan isu ini menjadi
4
antaranews. com, 30/9/2010.
5
Uraian ini diolah dari Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, UK. Ia menulis
disertasi PhD-nya, Political Power, Corruption, and Witchcraft in Modern Indonesia di Department of
Anthropology--University of Sussex, United Kingdom.
3
headline di media-media baik nasional maupun lokal, selain efek yang ditimbulkannya, tidak
hanya di Indonesia di negara-negara maju semisal Amerika Serikat pun masih sering terjadi
praktek korupsi. Banyak (bahkan hampir semua ahli) berpandangan bahwa praktek korupsi
lahir akibat moral pemimpin yang rendah sehingga memungkinkan praktek korupsi marak
terjadi, pandangan semacam ini seolah beranggapan bahwa individu memiliki kemampuan
berkehendak, sehingga apapun yang individu kehendaki akan terwujud, apabila sesorang
telah menanamkan pada dirinya untuk tidak korupsi, maka dia tidak akan korupsi, pandangan
ini menolak interfensi lingkungan yang kuat terhadap moralitas dan kesadaran seseorang.
Menurut Muhammad Haedir (2012), seseorang melakukan korupsi lebih diakibatkan
oleh ketidakpedulian seseorang dengan lingkungannya, pelaku korupsi mungkin saja
berpandangan bahwa seolah hanya dirinyalah yang akan hidup di dunia tanpa memikirkan
masyarakat yang akan sengsara dengan perbuatannya.
Dari pendapat diatas, memperlihatkan bahwa sebenarnya moralitas utama dari
koruptor adalah moralitas individualistik, yang di bentuk tentunya oleh watak atau moralitas
masyarakat yang semakin individualis, memikirkan diri sendiri dan tidak mau peduli.
Tentunya penting pula untuk sedikit mengkaji dari mana sebuah watak atau moralitas
individualistik ini muncul dan berkembang, untuk mencari akar masalah korupsi yang
sebenarnya, mengingat moralitas inilah yang dominan mempengaruhi seseorang untuk
melakukan korupsi, sebuah watak yang tidak peduli terhadap kondisi masyarakat.
Dalam konteks ini pun, menurut pandangan penulis sangat diduga kuat bahwa teori
ekoniomi dan politik liberal yang menonjolkan (mengedepankan) persaingan antar individu
untuk mengejar kemewahan dan kekuasaan dunia adalah sistem yang paling bisa disalahkan
dalam praktek kehidupan kita. Sistem ekonomi-politik liberal ini diperkenalkan oleh Adam
Smith yang menginginkan kebebasan individu untuk bersaing, sehingga manusia dibentuk
tidak dalam posisi masyarakat, tapi dibentuk dalam posisi individu yang terpisah satu sama
lain.
Dengan demikian, jika watak individualistik ini sangat dekat dengan liberalisme maka
watak ini tidak dapat dilepaskan dari watak sistem ekonomi-politik kapitalisme yang
menumpukan kepemilikan modal atau kekuasaan pada satu atau dua orang saja. Untuk itu
penting pula mengkaji bagaimana sistem ekonomi-politik kapitalisme bekerja sebagai akar
dari individualistik, terutama yang embedded dengan sistem pemerintahan presidensil yang
berbasis multi-partai, seperti Indonesia.
Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah Indonesia menaikan harga BBM misalnya,
lagi-lagi, asumsinya adalah dari pernyataan “pangeran adidaya Amerika Serikat” (sang
kapitalis), bahwa kenaikan BBM karena permintaan pasar meningkat dan situasi politik
“Timur Tengah” yang tidak stabil.
Memang, jika memakai logika kapitalisme, dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, hari
ke hari, harga BBM selalu mengalami kenaikan dan penurunan, hal ini karena pengaruh
“pasar”, jangankan BBM, harga apapun mengalami hal yang demikian, lalu apa masalahnya
dengan Indonesia saat ini ?
Indonesia adalah negara yang berasaskan Pancasila, setidaknya itulah yang dikatakan
oleh konstitusi (UUD 1945), negara yang sistem ekonominya sesuai dengan pasal 33 : ayat
“(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sangat jelas dalam konstitusi tersebut bahwa segala yang menjadi hajat hidup orang banyak,
negara akan menjamin. Indonesia bukanlah negara seperti Amerika Serikat, di mana “pasar”
adalah satu-satunya yang menentukan harga, Indonesia dapat mengintervensi harga-harga
sampai tingkatan eceran. Lalu mengapa dari presiden ke presiden di Indonesia merasa
4
terpaksa untuk menaikkan harga minyak karena menyesuaikan dengan pasar harga minyak
dunia. Apakah uang negara tidak ada lagi, atau Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja
(RAPBN) tidak mengantisipasinya. Saya kira, hanya Presiden dan Menteri Keuangan yang
mengetahui jawabannya.
Kapitalisme tidak hanya dikenal sebagai sistem produksinya yang masif yang
mengakibatkan over produksi, penjajahan (imperialisme), impor/ekspor barang-barang yang
mematikan produk lokal, dan lain-lain. Lebih jauh, sistem kapitalisme merupakan sebuah
sistem yang bekerja dengan sistem kelas yang menurut Karl Marx kelas menggambarkan
tentang konflik atau pertentangan antara kelas yang memiliki kapital yang oleh Marx disebut
sebagai kelas penindas dan mereka yang tidak memiliki kapital (modal) dengan demikian
terpaksa menjual tenaganya kepada kelas penindas, Karl Marx menyebutnya sebagai kelas
tertindas. Dimanapun dan dalam zaman apapun itu kelas penindas selalu memiliki
superioritas dengan kekuatan modal yang mereka miliki, termasuk superioritas budaya.
Dengan demikian mereka (kelas tertindas) akan dengan mudah mengikut budaya dan perilaku
kelas penindas. Dari sinilah Gramscy mengembangkan teorinya tentang Hegemoni. Dari pola
hidup kelas penindas yang bermewah-mewah mengakibatkan kelas tertindas juga ingin
merasakan hal tersebut, maka berlomba-lombalah mereka menjadi (minimal dekat dengan)
kelas penindas tersebut. Watak konsumerisme berkembang memaksakan memiliki sesuatu
diluar kemampuannya, disinilah kemudian manusia mengembangkan diri sebagai seorang
yang mementingkan diri sendiri, untuk sebuah kesenangan dan kemewahan dengan cara
apapun, mulai dengan cara mencuri, hingga merampok uang negara (korupsi). Bisa
dibayangkan bagaimana eksistensi Indonesia dalam konteks global kini.
Dengan demikian, kapitalisme mengembangkan dirinya dengan sebuah watak yang
mengamini watak rakus. Para penindas (kaum kapitalis yang memiliki kekuatan modal
bekerja sama dengan penguasa/aparat negara dan juga partai politik) akan melakukan segala
daya upaya dalam rangka penumpukan modal pada dirinya sendiri, kerabatnya atau mitra
bisnisnya tanpa memperdulikan orang lain yang menerima dampak atas perbuatannya,
misalnya pengerusakan lingkungan oleh perusahaan tambang, perampasan tanah oleh
perusahaan-perusahaan baik nasional maupun internasional, penerapan upah murah bagi
buruh, dan lain-lain.
Dalam konteks politik di Indonesia, lebih parahnya lagi, semua itu dilakukan dengan
proses dan prosedur demokrasi, bahkan dilakukan melalui legitimasi aturan yang dibuat
melalui proses legislasi di DPR, yang sangat kuat dugaan proses legislasi di DPR pun
dipenuhi dengan tindakan dan aroma politik kekerabatan dan politik kartel, yang mana
melalui gratifikasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan besar dengan anggotaanggota DPR.6.
Karakter jahat dan rakus dari individu-individu yang telah tergambarkan inilah yang
kemudian berkembang luas, tidak hanya kepada mereka yang telah memiliki kesempatan
untuk melakukan korupsi, tapi juga kepada calon-calon pemimpin karena konsep untuk
menumpuk-numpuk harta dengan cara apapun telah mengakar hingga ke berbagai kantong
kekuasaan, baik di tingkat elit dari mulai partai-partai politik di tingkat nasional, maupun di
wilayah lokal bawah massa sampai ke pelosok desa.
6
Gejala ini dapat diungkap dengan terbongkarnya dugaan kasus suap deputi gubernur BI dan gratifikasi yang
dilakukan oleh Freeport terhadap aparat kepolisian di papua.Termasuk dalam hal ini gejala politik kekerabatan dan politik
kartel di Indonesia yang sedang menjadi konsen penulis untuk penelitian disertasi doktor.
5
Sangatlah kuat bahwa ketika sebuah pemerintahan negara yang menganut sistem
ekonomi-politik kapitalisme yang mengutamakan kepentingan individu untuk mengejar
keuntungan dan kekuasaan sebesar-besarnya akan berpengaruh pada sistem-sistem lain dalam
masyarakat, termasuk watak atau moral individu dalam masyarakatnya. Individu-individu
dalam masyarakat akan sangat mementingkan kepentingan individu, atau paling jauh kepada
kerabat dan patronnya.
Artinya, persoalan korupsi disini bukanlah persoalan hukum semata, tapi juga
merupakan persoalan ideologi ekonomi-politik yang dianut oleh suatu sistem pemerintahan
negara, juga bukan saja persoalan moral pelaku, tapi lebih pada persoalan watak masyarakat
yang sangat individualis, sehingga untuk memberantas korupsi, tidak cukup dengan
penegakan hukum semata, juga tidak cukup dengan pendidikan moral dan agama, tapi yang
paling penting adalah mengubah pandangan atau ideologi ekonomi-politik yang dianut oleh
pemerintahan negara terutama sikap dan prilaku pemimpin negara atau pemimpin
pemerintahannya. Sebab boleh jadi sistem dan ideologi ekonomi-politik itu baik, tapi apabila
prilaku pemimpinnya buruk sama saja menjerumuskan rakyatnya ke jurang kesengsaraan.
Dalam konteks kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, secara ekonomi-politik
bisa dikatakan bahwa minyak bumi adalah salah satu sumber energi utama manusia saat ini.
Karenanya, siapa yang mengontrol cadangan minyak bumi terbesar, dia secara relatif
mengontrol dunia. Sementara itu, konsumen minyak bumi terbesar di dunia adalah Amerika
Serikat. Kalau konsumen terbesar minyak bumi adalah Amerika Serikat, maka produsen
minyak bumi terbesar adalah daerah Timur Tengah. Tidaklah begitu mengherankan kiranya
jika berbagai konflik di Timur Tengah selalu melibatkan Amerika.
Kini, Amerika berusaha mengontrol daerah Timur Tengah bukan melalui intervensi
militer secara langsung, tapi melalui sekutu-sekutunya, yaitu Israel, dan Arab Saudi. Jadi,
kepentingan Amerika di Timur Tengah adalah minyak. Dan kepentingan ini semakin
menguat dengan adanya relokasi industri di Amerika, karena relokasi industri membuat
permintaan akan sumber energi minyak bumi di negara-negara berkembang meningkat,
sehingga Amerika mendapat “pesaing baru” dalam hal konsumsi minyak bumi. Dari hal ini,
mengapa sistem ekonomi-politik liberal kapitalisme Amerika Serikat “nyaman” untuk
masyarakat Amerika ? Sederhana jawabannya adalah perilaku pemimpin Amerika.
Demikian juga untuk memulihkan tingkat keuntungan ekonomi Amerika, salah satu
langkah yang diambil oleh perusahaan-perusahaan Amerika (by non-state actor), adalah
relokasi industri ke negara-negara dengan upah buruh murah dan pajak yang rendah.
Perkembangan teknologi komputer dan komunikasi memang memungkinkan adanya
perusahaan yang secara spasial terdesentralisasi, dan faktor modal (kapital dan pasar)
sangatlah determinan. Sejak inilah ideologi kapital dan pasar yang lebih banyak diperakkan
oleh TNC (non state) bersama-sama negara (state) menguat dalam hubungan internasional
global. Dalam hal ini, Amerika Serikat bisa bangga dengan Microsoft, General Motors dan
TNCs lainnya. Persoalan berikutnya bagaimana dengan kinerja Indonesia sebagai state, dan
bagaimana pula dengan perusahaan-perusahannya di kancah persaingan hubungan
internasional global ini. Adakah yang sudah expansif, seperti halnya India dan China, atau
tetap jago kandang ?
Penutup
Dalam kesimpulan ini, saya kemukakan dengan istilah penutup yang berupa beberapa
pertanyaan penting adalah bahwa permasalahan bagi Indonesia adalah tidak bisa terlepas dari
contestasi, antara choice, atau strategy ? Kontestasi yang dimaksudkan di sini adalah adanya
perhelatan antara keputusan yang dibuat oleh market (concent) atau state (coercion),
Pilihannya adalah apakah rational choice atau afection ? Dan, strategi adalah formulasi
kebijakan yang tepat, bukan kebijakan yang populis.
6
Semua permasalahan tersebut tentunya berkaitan dengan tema-tema yang telah
diuraikan di atas, atau dengan kata lain dalam konteks ini saling berhubungan dimana solusi
untuk satu set masalah, sering dapat ditemukan di solusi untuk set berikutnya.
References :
Akhil Gupta, Blurred Boundaries: The Discourse of Corruption, the Culture of Politics, and
the Imagined State, 1995.
Antonius Made Tony Supriatma, ‘Menguatnya Politik Kartel Para “Bos”,’ dalam Prisma,
No.2, Vol.28, LP3ES, Jakarta, Oktober 2009.
Engdahl, William. A Century of War: Anglo-American Oil Politics and the New World
Order, ed. rev. London: Pluto Press, 2004.
Haller and Shore, Corruption: Anthropological Perspectives, 2005
Harvey, David. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press, 2003.
Heinberg, Richard. The Party’s Over: Oil, War and the Fate of Industrial Societies. Gabriola
Island: New Society Publishers, 2005.
Moseley, Fred. “Marxian Crisis Theory and the Postwar U.S. Economy,” 2003. Dalam
http://www.mtholyoke.edu/~fmoseley/working%20papers/PWCRISIS.pdf .
Perrucci, Robert dan Carolyn C. Perrucci. America at Risk: The Crisis of Hope, Trust, and
Caring. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2009.
7
Download