PEMANFAATAN MEDIA SOSIAL DALAM PENCITRAAN POLITISI

advertisement
PEMANFAATAN MEDIA SOSIAL DALAM PENCITRAAN POLITISI
PERSPEKTIF TEORI USES AND GRATIFICATIONS
Halimatusa’diah
Program Studi Kehumasan Akom BSI Jakarta
Jl. Kayu Jati V No.2, Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur
[email protected]
Abstract
In political communications, social media presence produced landscapes of new audiences and gave
birth to the public which is generally hyper-connected, collaborative, creative and always connected with social and professional circles through phone, sms, facebook, twitter, blogs and forums. This is critical of public
comments or advertising campaigns or communication built by political Communicator. With the understanding that social media excellence in imaging process of politics is a form of interactive communication, then
the this paper discusses how to approach communication should be done by politicians in communicating
with his audience in social media. By using the perspective of the theory of Uses and gratifications, it can be
seen that the use of social media in order to build the image of politicians are focussing on how to create communication and engagment with audiences. Therefore, understanding the behavior of individuals in the use of
new media as a first step in determining the approach to communication in social media by building two-way
communication, so that created mutual understanding between politicians with their public. By utilizing social
media appropriately can be one of the media promotion and communication is good for politicians.
Keywords: social media , uses and gratification theory, politicians image
Abstraksi
Dalam komunikasi politik, hadirnya media sosial telah menghasilkan lanskap khalayak baru dan melahirkan publik yang umumnya saling terhubung , kreatif dan kolaboratif, selalu terhubung dengan lingkaran
sosial dan profesional melalui telepon, sms, facebook, twitter, blog dan forum. Publik ini ini kritis terhadap
komentar atau iklan kampanye atau komunikasi yang dibangun oleh komunikator politik. Dengan memahami
bahwa keunggulan sosial media dalam proses pencitraan politik adalah bentuk komunikasi interaktif, Maka
yang menjadi tulisan ini membahas bagaimana pendekatan komunikasi yang harus dilakukan oleh politisi
dalam berkomunikasi dengan khalayaknya di media sosial. Dengan menggunakan perspektif teori uses and
gratifications, dapat dilihat bahwa pemanfaatan social media dalam rangka membangun citra politisi menitikberatkan pada bagaimana menciptakan komunikasi dan engagment dengan khalayak. Karenanya, memahami
prilaku individu dalam menggunakan new media sebagai langkah awal dalam menetapkan pendekatan komunikasi di media sosial dengan membangun komunikasi dua arah, agar tercipta mutual understanding antara
politisi dengan publiknya. Dengan memanfaatkan media sosial secara tepat dapat menjadi salah satu media
promosi dan komunikasi yang baik bagi politisi.
Kata Kunci : media sosial, teori uses ang gratification, pencitraan politisi
I. PENDAHULUAN
Keberadaan internet membawa pengaruh yang
tak terbayangkan. Pola-pola komunikasi konvensional yang dibatasi oleh ruang dan waktu, mencair ke
dalam bentuk-bentuk komunikasi hampir tanpa batas.
Teknologi komunikasi yang dikenal dengan sebutan
2.0 ini memungkinkan orang-orang dari berbagai penjuru saling terkoneksi melalui medium yang bersifat
50
massal sekaligus individual, membentuk media sosial
online yang adakalanya berkembang menjadi kekuatan untuk melakukan aksi di dalam dunia nyata.
Metamorfosa media ini juga menuntut dunia
perpolitikan untuk mampu menangkap potensi era
digital dalam melakukan komunikasi politik kepada masyarakat. Para politikus atau aktor politik di
Indonesia kini harus mampu membidik sosial media
seperti blog, facebook dan twitter serta lainnya dalam
aktifitas politik. Mengingat saat ini masyarakat telah
diwabahi trend penggunaan sosial media dalam aktifitas sosialnya. Di era penggunaan sosial media, pencitraan politik akan memberikan peluang bagi politisi
untuk melakukan kampanye politik dengan memanfaatkan media sosial (Wasesa, 2010:25).
Sumber yang dikutip dari Kompas.com mencatat hasil survei yang diselenggarakan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang
mengungkapkan bahwa jumlah pengguna internet di
Indonesia pada tahun 2012 mencapai 63 juta orang
atau 24,23 persen dari total populasi negara ini. Tahun 2013, angka itu diprediksi naik sekitar 30 persen
menjadi 82 juta pengguna dan terus tumbuh menjadi
107 juta pada 2014 dan 139 juta atau 50 persen total
populasi pada 2015.
Sumber lain yang penulis kutip dari ViVa
news menyebutkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah facebook terbesar kedua setelah Turki di
Benua Asia, yakni sebesar 5.949.740 pengguna. Sementara Turki, yang menduduki peringkat keempat di
dunia, memiliki 10.926.180 pengguna per Selasa, 29
Juni 2010 pukul 17.00 WIB.
Sementara itu, berdasarkan data dari Google
Trend, pengunjung twitter rata-rata per hari lebih dari
200 ribu orang (unique visitor). Sementara, forum diskusi Kaskus.us yang sering disebut sebagai situs komunitas terbesar di Indonesia yang memiliki anggota
lebih dari sejuta orang. Namun, jumlah itu dikalahkan
oleh pengunjung twitter asal Indonesia. Data ini juga
ditunjang oleh sejumlah perusahaan riset. comScore,
misalnya, seperti ditulis TechCrunh mengatakan
pengguna Twitter di Indonesia November 2010 lalu
mencapai 1,4 juta orang dari 60 juta orang pengguna
twitter global.
Mengutip hasil riset Semiocast per Februari
2013, Dandi menyebut Indonesia termasuk salah satu
negara dengan jumlah pengguna twitter terbanyak di
dunia. Jumlah pengguna twitter di Indonesia mencapai 19,5 juta. Indonesia menempati urutan kelima di
bawah Inggris (23,8 juta), Jepang (29,9 juta), Brazil
(33,3 juta), dan Amerika Serikat (107,7 juta).
Fenomena media sosial ini tentunya secara
fundamental mengubah cara politisi berkomunikasi.
Maraknya facebook, twitter, plurk, blog, wiki, youtube
dan lainnya memaksa politisi meningkatkan cara komunikasi yang semula satu arah dan dua arah menjadi
segala arah. Di tengah maraknya fenomena itu, politisi
masa kini harus menghadapi publisher baru. Mereka
adalah para blogger, para facebookers, para friensdters,
para plukers serta pemilik akun di Web 2.0 lainnya.
Mereka adalah para khalayak aktif. Internet memang
telah mengubah posisi khalayak di mata politisi.
Dengan memahami bahwa keunggulan sosial
media dalam proses pencitraan politik adalah bentuk komunikasi interaktif, Maka yang menjadi fokus
dalam tulisan ini adalah bagaimana pendekatan komunikasi yang harus dilakukan oleh politisi dalam
berkomunikasi dengan khalayaknya di media sosial.
Dengan demikian, memahami prilaku individu dalam menggunakan new media sebagai langkah awal
dalam menetapkan pendekatan komunikasi di media sosial menjadi fokus utama dalam tulisan ini.
II. PEMBAHASAN
Dalam kajian ilmu komunikasi fenomena media sosial dilihat sebagai suatu era media baru atau
yang dikenal dengan istilah new media (Terry Flew,
2005). Dia mendefiniskan sebagai as those forms
that combine the three Cs: computing and informations technologie (IT); communication network; digitised media & information content. Sedangkan Potter
(1995), Little John (2008) menyebutnya sebagai the
second media yaitu a new period in wich interactive
technologies and network. communications, particullary the internet, would transform society.
Gagasan pertama lahirnya new media atau
media baru dimulai pada tahun 1990, di mana Mark
Poster mengeluarkan buku yang berjudul “The Second Media Age” yang memberikan makna tetang
menandai periode baru terhadap teknologi interaktif
dan komunikasi jaringan yang mengkhususkan bahwa
dunia maya akan mengubah masyarakat mengkonsumsi media. Gagasan kedua di era media sebenarnya
sudah ada dari tahun 1980-an yang telah memberikan tanda perubahan penting pada media, yaitu dengan komunikasi massa menggunakan berbagai media
yang dapat menjangkau khalayak luas hingga media
digunakan untuk kebutuhan sangat pribadi oleh individu (Littlejohn dan Foss, 2009:413).
A. Mayfield dalam dalam bukunya yang berjudul “what a social media?” mengemukakan bahwa
media sosial sangat tepat diartikan sebagai sekelompok bentuk-bentuk media online dengan serangkaian
karakteristik yang memungkinkan terjadinya partisipasi, terciptanya keterbukaan, memungkinkan percakapan yang interaktif, mampu membentuk komunitas dan membuka keterhubungan.
Media baru memberikan pejelasan mengenai
dua pandangan perbedaan antara the first media age dan
the second media age. The first media age lebih dipusatkan komunikasi melalui isi berita atau pesan. Sementara
the second media age ditekankan pada jaringan media.
51
The second media age menekankan melalui “media
baru” yang lebih interaktif sehingga menciptakan
suatu pemahaman baru dengan memandang informasi secara dinamis, terbuka, fleksibel dan menciptakan interaksi yang sangat pribadi (Hamidati, dkk,
2011:19).
Dalam komunikasi politik, hadirnya media
sosial juga menghasilkan lanskap khalayak baru dan
melahirkan publik yang umumnya hyper-connected,
kreatif dan kolaboratif, selalu terhubung dengan lingkaran sosial dan profesional melalui telepon, sms, facebook, twitter, blog dan forum. Publik ini ini kritis
terhadap komentar atau iklan kampanye atau komunikasi yang dibangun oleh komunikator politik. Mereka ingin suaranya didengar oleh komunikator politik
(Solis: 2011). Pada sosial media juga memungkinkan interaksi yang sangat dinamis, terbuka, fleksibel,
pribadi. (Hamidati, dkk, 2011:19).
Baik komunikator politik maupun komunikannya dimudahkan dengan adanya sosial media yang
berbasis internet dan masuk kategori media baru, ini
disebabkan “Media baru” memberikan keterbukaan,
fleksibelitas, kecepatan dan kemudahan dalam penggunaan pada khalayak karena langsung terkoneksi
dengan Internet (Littlejohn dan Foss, 2009:414).
“Media baru” tidak seperti dengan media biasanya yang dapat berinteraksi tatap muka atau berinterkasi satu arah saja. “Media baru” memberikan
interaksi baru yang dapat membawa individu kembali dalam hubungan pribadi masing-masing untuk
menggunakan media sesuai dengan keperluan yang
diinginkan di mana saja dan kapan saja.
Kaburnya batasan konsep media dalam era
media baru menurut Manuel Castells (2009) karena
terbentuknya Mass Self-Communications. Kombinasi
dari level komunikasi dikatakan sebagai komunikasi
massa karena dapat menjangkau khalayak secara global, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga merupakan komunikasi yang interpersonal karena pesan yang
dibuat, diarahkan, dikonsumsi semua bersifat pribadi.
Dalam media baru sejalan apa yang diungkapkan Manuel Casstel, dua level komunikasi terjadi sekaligus dalam suatu fenomena, level media massa dan level interpersonal. Disinilah letak kebebasan individu untuk
mengungkapkan unek-uneknya yang bahkan sampai
pada tatanan cacian. Karena pada sisi ini baik komunikan maupun komunikator ’lupa’ dan terbawa emosi.
Ia tidak menyadari jikalau komentar yang dibuatnya
itu bisa dilihat orang banyak dan dapat menimbulkan
efek baik terhadap dirinya maupun komunikannya.
Teori yang terkait dengan penggunaan new media ini dapat dihubungkan dengan salah satu teori dalam komunikasi massa
52
sebagai pisau analisis untuk melihat hubungan antara
prilaku individu dalam menggunakan new media,
respon politisi dalam menyikapi khalayak aktif, dan
pencitraan politisi sebagai sebuah efek berkomunikasi. Citra, didefinisikan oleh Jefkins (2010: 57) sebagai kesan seseorang atau individu tentang suatu yang
muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya. Pencitraan dipahami sebagai hal yang baik.
Kandidat tentu mengharapkan citra yang positif dari
kampanyenya melalui sosial media.
Dengan mendasarkan pada prinsip keseimbangan kognitif antara khalayak aktif, dan pencitraan
politisi, pendekatan pada teori uses and gratification
dijadikan rujukan untuk menelaah permasalahan dalam tulisan ini. Teori uses and gratification dikemukakan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumer, dan Michael
Gurevicth. Teori ini menyatakan bahwa orang secara
aktif mencari media tertentu dan muatan (isi) tertentu
untuk menghasilkan kepuasan (atau hasil) tertentu.
Orang aktif memilih dan menggunakan media tertentu untuk memuaskan kebutuhan tertentu.
Teori ini melihat media mempunyai pengaruh
terbatas karena pengguna mampu memilih dan mengendalikan. Orang memililiki kesadaran diri, dan
mereka mampu memahami dan menyatakan alasan
mereka menggunakan media. Mereka melihat media
sebagai salah satu cara untuk memuaskan kebutuhan
yang mereka miliki (West & Turner, 2008).
Elihu Katz; Jay G. Blumler; dan Michael
Gurevitch (dalam West & Turner, 2008) menguraikan
lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari uses and
Gratification media sebagai berikut:
a. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan.
b. Inisiatif yang menghubungkan antara kebutuhan
kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di
tangan audiens
c. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens
d. Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang
memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi
peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu.
e. Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens
tentang media spesifik atau isi harus dibentuk.
Menurut West dan Turner (2008) teori yang
didasarkan pada asumsi bahwa konsumen media
adalah aktif harus menjelaskan apa yang dikatakan sebagai “khalayak aktif”. Mark Levy dan Sven
Windahl (1985) menjawab masalah ini dengan
merujuk pada istilah “aktivitas khalayak” yang berorientasi pada suka rela dan selektif oleh khalayak
terhadap proses komunikasi. Penggunaan media oleh
khalayak dimotivasi oleh kebutuhan dan tujuan yang
didefinisikan oleh khalayak itu sendiri, dan partisipasi
aktif dalam proses komunikasi mungkin difasilitasi,
dibatasi, atau mempengaruhi kepuasan, dan pengaruh
yang dihubungkan dengan eksposur (West dan Turner,: 2008)
Teori uses and gratification dalam perspektif
ilmu komunikasi menurut Robert T. Craig dikelompokkan ke dalam sebuah paradigma yang disebutnya
sebagai tradisi sosiopsikologis. Teori-teori dalam
tradisi ini bekonsentrasi pada aspek-aspek komunikasi yang meliputi ekspresi, interaksi, dan pengaruh
(Communication as Expression, Interaction, and influence).
Tahun 2013 menjadi tahun politik dan media. Banyak Parpol dan politisi menggandeng media
guna mendulang perolehan suara pada Pilpres 2014.
Melalui media, para politisi beradu strategi, memoles
citra untuk mendapat simpati dan pengaruh dari
masyarakat. Strategi “menjual diri” dilakukan dalam
berbagai cara, mulai dari menggelar acara-acara sosial agar mendapat liputan media hingga pasang iklan
pencitraan politik. Tampil di media memang telah
terbukti ampuh mampu merebut hati banyak orang
dalam waktu singkat. Pencitraan menjadi aspek penting bagi politisi untuk memenangkan persaingan di
pemilu 2014.
Perkembangan sosial media menyebabkan perubahan paradigma dalam memandang proses komunikasi politik. Sosial media telah mengubah cara orang
berkomunikasi. Adopsi sosial media juga memfasilitasi terjadinya pergeseran hubungan komunikator politik dengan massa dan publiknya. Bila selama ini paradigma hubungan teresebut berpusat pada ’peningkatan
kuantitas pemilih’ yang selalu menggunakan pertimbangan jumlah suara kini bergeser ke publik sentris.
Publik yang dulunya statis, diam, kini mendadak aktif. Menghadapi situasi ini banyak aktor politik yang
melakukan lompatan eksekusi dengan memanfaatkan
sosial media untuk menjalin komunikasi yang baik
dengan khalayak. Namun, upaya pemanfaatan media sosial dalam pencitraan politisi belum sepenuhnya dilakukan secara optimal, sehingga yang terjadi
kemudian malah menjadi citra negatif bagi politisi.
Hal ini terbukti dari hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Menurut
LSI, perkembangan media sosial yang cukup pesat enam tahun terakhir berpengaruh terhadap anjloknya citra positif politisi. Selain facebook dan
twitter, instrumen media sosial lain yang dimaksud
yaitu milis online dan grup BlackBerry Messenger.
Suka atau tidak suka, mayoritas pemain media adalah pribadi yang bebas dan cenderung kritis terhadap
keadaan. Survei ini dilakukan pada 5-10 September
2011 dengan jumlah responden 1200 orang. Hasilnya,
persepsi positif publik terhadap politisi mengalami
penurunan sebesar 21 persen, dari 44,2 persen pada tahun 2005, menjadi 23,4 persen. Tak hanya itu, sebanyak
51,3 persen menyatakan politisi saat ini bekerja buruk,
sedangkan 22,1 persen memilih untuk tidak menjawab.
Aktor politik dan partai memanfaatkan sosial media diantaranya twitter dan facebook untuk membangun hubungan baik dan berinteraksi dengan
khalayaknya. Namun, harus disadari bahwa ketika
seseorang memilih untuk memfollow di twitter atau
memilih fans di facebook, mereka melakukan itu
dengan asumsi bahwa dari waktu ke waktu, mereka
akan menjadi bagian dari atau mendapatkan pengalaman berharga atau sesuatu yang berharga lainnya,
misalnya mendapat keistimewaan dari partai atau
politisi. Harapan itu semakin meningkat setiap hari.
Pendekatan teori uses and gratification dalam
konteks ini menjelaskan penggunaan media massa
oleh khalayak aktif. Dengan kata lain, penggunaan
media oleh khalayak diasumsikan sebagai sebuah
perilaku aktif dimana khalayak dengan sadar memilih dan mengkonsumsi media tertentu. McLeod dan
Backer (dalam Baran dan Davis: 2000) menyebutkan bahwa seseorang berdasarkan ketertarikan masing-masing akan memilih media mana yang akan
dikonsumsinya dan mendapatkan timbal balik
berupa pemenuhan kebutuhan yang diinginkannya.
Littlejohn (2002 : 345) menjelaskan bahwa dalam perspektif uses and gratifications, khalayak yang dengan
sadar memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu berusaha memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan
media atau dengan cara lain. Selain sadar dengan
kebutuhan-kebutuhannya, khalayak pun dapat menyadari apakah cara yang digunakan untuk memenuhi
motif-motif ini bisa memuaskannya atau tidak.
Beberapa motif kebutuhan yang menyebabkan khalayak menggunakan media menurut McQuail
(dalam Miller, 2002:244) adalah information (kebutuhan akan informasi dari lingkungan sekitar), personal
identity (kebutuhan untuk menonjolkan sesuatu yang
penting dalam kehidupan seseorang), integration and
social interaction (dorongan untuk menggunakan media dalam rangka melanggengkan hubungan dengan
individu lain) dan entertainment (kebutuhan untuk
melepaskan diri dari ketegangan dan menghibur diri .
Proses internal yang dialami oleh seorang khalayak dalam mencari gratifikasi (kepuasan) dari media adalah sebagai berikut (Kim
& Rubin, 1997 dalam Miller, 2002:244-245):
53
Pertama, seorang khalayak akan melakukan proses
seleksi (selectivity). Gratifikasi yang diinginkannya
akan disesuaikan dengan media yang akan digunakannya. Seseorang yang ingin beristirahat setelah capek
bekerja seharian, tentu akan memilih mendengarkan
musik-video ketimbang melihat dialog/debat di televisi. Kedua, selanjutnya yang dilakukan adalah proses
memperhatikan (attention). Pada proses ini, individu
khalayak akan mengalokasikan usaha kognitifnya
untuk mengkonsumsi media. Seseorang yang pelatih
sepakbola tentu akan lebih teliti dalam membaca tabloid Bola, ketimbang seseorang yang sekedar membaca untuk mengisi waktu luang. Ketiga, proses terakhir
adalah proses keterlibatan (involvement). Pada proses
ini seorang khalayak akan terlibat lebih dalam secara
personal dengan media tersebut, bahkan juga memiliki
“hubungan spesial” dengan karakter media tersebut.
Proses ini seringkali juga disebut sebagai “para-social interaction”. Misalnya, para penonton sepakbola
level maniak, biasanya akan mampu merasakan ketegangan meski hanya menonton dari layar televisi.
Pada dasarnya, uses and gratifications selalu membawa pendekatan mutakhir teori pada tahap
awal setiap media komunikasi massa baru (Baran &
Davis, 2009:237). Thomas Ruggiero (2000, dalam
Baran & Davis, 2009:237-238) merumuskan tiga
karakteristik dari komunikasi berbasis komputer (internet) yang berbasis uses and gratifications, yaitu:
a. Interactivity, bermakna suatu kondisi dimana
individu dalam setiap proses komunikasi memiliki kontrol dan dapat mengubah peran dalam
proses tersebut (komunikator – komunikan).
b. Demassification, adalah peluang dari individu pengguna media untuk memilih dari menu
yang amat luas/bervariasi. Tidak seperti media tradisional lainnya, internet dalam hal ini
mengijinkan tiap penggunanya untuk menyesuaikan pesan sesuai dengan kebutuhan mereka.
c. Asynchroneity, bermakna bahwa pesan yang dibawa
oleh media internet dapat menghubungkan komunikator dan komunikan pada waktu yang berbeda,
namun mereka tetap dapat berinteraksi secara nyaman. Seorang individu dapat mengirim, menerima
dan menyimpan sebuah pesan sekehendaknya.
Teori uses and gratifications atau bila di indonesiakan berarti penggunaan dan pemenuhan
kepuasan dapat dilihat sebagai kecenderungan yang
lebih luas dari pihak politisi (komunikator) untuk
memberikan kepuasan kepada khalayak. Model
ini merupakan pergeseran fokus dari komunikator
ke komunikan. Model ini juga menentukan fungsi komunikasi massa dalam melayani khalayak.
Dikaitkan dengan pemanfaan media sosial sebagai
54
sarana pencitraan politisi, kiranya menciptakan
komunikasi
yang
interaktif,
dialogis menjadi salah satu cara yang dapat digunakan dalam berkomunikasi di media sosial.
Dengan demikian, Membuat strategi komunikasi di
media sosial untuk digunakan selama pencitraan telah menjadi bagian penting dari rencana setiap kandidat untuk sukses dalam berpolitik. Dengan situs
media sosial sering mendapatkan lebih banyak cara
dalam melakukan kampanye resmi. Penting bagi
calon untuk bisa terhubung dengan masyarakat, pendukungnya ataupun para kompetitornya. Uses and
gratifications menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan prilaku khalayak, tetapi bagaimana
media memenuhi kebutuhan pribadinya dan sosial
khalayak. Jadi, bobotnya ialah pada khalayak yang
aktif, yang sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus. Karenanya, Agar berhasil memanfaatkan sosial media ke dalam pencitraan, maka
dibutuhkan strategi. Joe Garech dalam Lattimore,
(2010: 235) memberikan alternatif pendekatan komunikasi di media sosial dalam pencitraan politisi, yakni :
a. Pilih sosial media anda. Ada ratusan, jika tidak
ribuan, situs jejaring sosial di luar sana. Dalam rangka untuk efisien menggunakan sumber
daya kampanye tanpa mengikat puluhan anggota
staf, fokus pada beberapa situs yang paling populer dan mampu membangun kualitas buat aktor politik. Ingat, karena situs ini sangat interaktif, maka harus fokus pada kualitas isi, bukan
kuantitas banyaknya akun dalam media sosial.
Tidak ada yang ingin berinteraksi dengan kampanye yang memasang ratusan halaman sosial
buruk yang tidak pernah mendapatkan konten
baru atau perhatian pribadi. Sosial media seperti twitter, facebook, dan LinkedIn adalah
awal yang baik, dan akan cukup dari kehadiran
sosial media untuk sebagian besar kampanye.
b. Konsistensi. Kehadiran jejaring sosial anda sebagai
aktor politisi harus diintegrasikan dengan komunikasi promosi secara keseluruhan - yang berarti
skema warna anda harus sesuai sebanyak mungkin,
suara dan nada harus konsisten, dan pesan kampanye anda harus tetap konstan di semua media.
c. Pesan. Berbicara tentang pesan, dipahami bahwa
pesan kampanye adalah titik fokus dari semua
kegiatan kampanye, termasuk dengan sosial media. Guna menarik perhatian publik pastikan dalam situs ataupun blog politisi pesan itu ada di depan dan tengah di situs webnya, dalam e-mail, dan
sebagai bagian dari kehadiran jejaring sosialnya.
d. Keterlibatan, tidak seperti TV, radio, surat elektronik, dan bahkan website. Terdapat perbedaan
dalam media sosial, situs jejaring sosial tidak
"iklan" anda. Dalam tampilan media sosial facebook ataupun twitter dan sejenisnya anda tidak
dapat merancang halamannya dan kemudian "set
dan lupakan saja." Satu-satunya cara situs media sosial akan bekerja untuk kampanye politik
adalah melalui keterlibatan. Anda harus posting cerita baru, terhubung dengan orang-orang
baru, menjawab pertanyaan dan terlibat. Untuk
sebagian besar kampanye menengah, anggota
staf harus melakukan pekerjaan ini, bukan kandidat. Sekretaris pers anda atau seseorang dari
staf komunikasi Anda mungkin orang yang tepat, tergantung pada ukuran kampanye anda.
e. Keseimbangan adalah penting dalam upaya
komunikasi. Banyak calon menghabiskan terlalu banyak waktu di twitter atau facebook, dan
mengabaikan akar rumput, panggilan penggalangan dana, dan acara kecil. Menyeimbangakan kampanye di dunia nyata dengan di dunia
maya menjadi kredit tersendiri bagi kandidat.
Lebih jauh lagi, dalam hal ini, Lattimore, dkk (2010)
menyarankan beberapa hal terkait dengan upaya
membangun komunikasi dan interaksi dengan khalayak dalam konteks ini khalayak di sosial media.
a. Giving. Dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan follower/friend gunakan prinsip
“giving”, memberi-memberi-memberi. Berilah mereka konten-konten yang berguna berupa
informasi, inspirasi, tips-tips yang berkaitan
dengan tujuan hakikat calon kandidat yang
mempunyai
program-program
kampanye.
b. Conversations. Komunikasi yang anda lakukan haruslah dua arah, di mana setiap komentar, masukan, dan curhat dari follower/
friends harus direspons secara interaktif.
c. Listening. Fungsi penting komunikasi di samping percakapan adalah mendengarkan dalam
kontek ini listening bisa dipahami ’membaca’.
Di ranah sosial media kita harus melakukan
conversation dan listening secara proporsional.
Dengan kontinyu mendengar updates atau posting dari followers/friends maka kita akan menunjukkan bahwa calon kandidat peduli kepada
mereka, tidak selfish. Kepedulian ini merupakan modal luar biasa untuk menjalin relationship antara komunkator dan komunikan politik.
d. Passing. Harus mengerti gaya obrolan pada
masing-masing media. Persoalan ini yang kerap
menjadi masalah. Salah menggunakan istilah
dalam suatu forum di media sosial barakibat
fatal dalam memahami dan mempersepsikan pesan.
5. Enthusiasm. Sebagai calon kandidat, komentar
yang di respon oleh publik harus dibalas dengan
antusias. Ini dapat dimulai dengan menggunakan
pemilihan kata yang tepat.
6. Evaluating. Pada akhirnya komunikasi politik
harus melakukan evaluasi keseluruhan, untuk kemudian melakukan sejumlah perbaikan dan menetapkan strategi lanjut.
Pemanfaatan media sosial dalam rangka membangun
citra politisi menitikberatkan pada bagaimana menciptakan komunikasi dan ikatannya dengan khalayak.
Harus disadari oleh aktor politik bahwa media sosial
kini tidak lagi sekedar jejaring sosial, namun telah
menjelma menjadi sebuah media untuk membangun
komunikasi dua arah, agar tercipta saling pemahaman
antara politisi dengan publiknya. Dengan memanfaatkan media sosial secara tepat dapat menjadi salah satu
media promosi dan komunikasi yang baik bagi politisi
dan publiknya. Dalam hal ini, politisi dapat menjadikan media sosial sebagai sarana menjalin hubungan
dan komunikasi dengan publik serta konstituennya.
IV. PENUTUP
Media sosial memberikan alternatif bagi
masyarakat untuk terlibat dalam komunikasi politik. Jika tidak ingin ditinggalkan pemilihnya, para
kandidat pun mengoptimalkan potensi yang ada
pada media sosial. Dalam aspek biaya Penggunaan
sosial media sebagai alat kampanye politik relatif
lebih murah dibanding kampanye tradisional lainnya seperti iklan di media massa (televisi, radio, surat kabar/majalah), pengumpulan massa, spanduk,
poster dan brosur. Kuncinya terletak pada keterlibatan kandidat dengan konstituen dan pendukung.
Tidak kalah pentingya sifat media sosial yang interactivity, demassification, dan asynchronous menjadi piliha kandidat untuk berkampanye. Masyarakat
bisa berinteraksi langsung dengan kandidat, pesan pribadi bisa dilakukan melalui pesan probadi
(private messages) dan pesan dapat dikirim sewaktu-waktu / bebas. Ini juga berarti menimbulkan
masalah tersendiri bagi kandidat. Pesan tidak begitu saja seenaknya di sebar pada akun media sosial, mengingat motif dan tujuannya adalah kampanye dan bukan untuk kepentingan pribadi secara
individu. Dengan demikian dibutuhkan strategi
komunikasi bagi para kandidat untuk melakukan
kampanye di media sosial. Dalam kaitan ini, pemanfaatan sosial media dengan terlebih dahulu memahami karakter khalayaknya merupakan upaya-upaya
55
yang dapat dilakukan oleh politisi untuk membuka jalur
komunikasi yang intens dengan khalayak. Penggunaan
teori uses and gratification dalam tulisan ini memperkaya pemahaman akan aspek-aspek komunikasi yang
dapat digunakan oleh politisi dalam menjalankan
fungsi komunikasi dua arah sehingga dapat tercipta
mutual understanding antara politisi dengan publiknya
dan tentunya akan berimbas pada pencitraan positif.
Dari sudut pandang penggunaan teori komunikasi, uses and gratifications dalam tulisan ini memberikan kontribusi dalam kemampuannya memberikan kerangka untuk mempertimbangkan khalayak dan
konsumen media individu dalam teori dan penelitian
komunikasi massa kontemporer. Uses and gratifications mungkin tidak mendefinisikan teori dalam bidang ilmu komunikasi massa, tetapi melayani disiplin
ilmu ini secara baik sebagai sebuah perspektif melalui sejumlah ide dan teori mengenai pemilihan media, konsumsi, dan bahkan pengaruh yang dapat dilihat. Namun demikian, beberapa terminologi dalam
teori ini masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Teori ini terlalu terfokus pada konsumen media yang
memiliki akal sehat, seseorang yang tidak menerima semuanya yang diberikan oleh media dan tidak
memberikan perhatian pada banyaknya keputusan
yang dibuat secara tidak sadar oleh individu-individu.
DAFTAR PUSTAKA
Baran, J. Stanley. 2012. Pengantar Komunikasi Massa: Melek Media dan Budaya. Jakarta. Erlangga.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta. Kencana Prenada Media Grup.
--------------------. 2008. Konstruksi Sosial Media
Massa. Jakarta. Kencana Prenada Media
Group.
Barker, Chris. Penerj: Nurhadi, 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta. Kreasi Wacana.
Denzin, Norman K, Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. USA. Sage Publications Inc.
Fidler, Roger. 2003. Mediamorfosis. Yogyakarta.
Bentang Budaya.
Flew, Terry. 2005. New Media: an introduction. New York. Oxford University Press
Hamidati, Anis., dkk. 2011. Komunikasi 2.0 Teoritisasi dan Implikasi. Yogyakarta: Asosiatif Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM)
http://kabarjakarta.com/blog/media-di-indonesiaintervensi-modal-dan-kepemilikan-dalamregulasi-dan-pemberitaannya, diakses pada 12
56
Oktober 2013, pukul 10.00
xhttp://pravdakino.multiply.
com/journal/item/27/
konglomerasimedia-dalam-group-mnc-media
–nusantara-citra, diakses 26/5/2010 pukul
21.30 WIB
h t t p : / / t e k n o . k o m p a s . c o m /
read/2012/12/13/10103065/2013.pengguna.
internet.indonesia.bisa.tembus.82.juta, diakses
pada 4 Desember 2013, pukul 15.30 WIB
http://www.briansolis.com/, diakses pada 4 Desember 2013, pukul 17.30 WIB
http://www.localvictory.com/communications/political-social-media.html, diakses pada 5 Desember 2013, pukul 09.30 WIB
http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/2673/
jejaring-sosial-ikut-pengaruhi-turunnya-citrapolitisi diakses pada 6 Desember 2013, pukul
09.30 WIB
Jefkins, Frank. 2010. Public Relations. Jakarta, Erlangga.
McQuail, Dennis. 2011. Teori Komunikasi Massa
McQuail. Jakarta. Salemba Humanika
Nimmo, Dan. 1999. Komunikasi Politik: Khalayak
dan Efek. Bandung. Remaja Karya.
Patton, M. Q. 2002. Qualitative Research & Evaluation Methods (3rd ed.). New York, Sage Publication.
Robert T. Craig , Heidi L. Muller. 2007. Theorizing
Communication: Readings Across Traditions.
New York. Sage Publications.
Saverin, S.Werner, Tankard Jr. W. James, 2011. Teori
Komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan di
Media Massa. Jakarta. Kencana.
Solis, Brian and Brekenreidge, Dreirde K. 2010. Social Networking for Promoting You as a Brand,
New Jersey. Pearson Education.
Turkle, S, 1995, Life on The Screen : Identify in The
age of The Internet. New York. Simon and
Schuster.
Littlejohn Stephen W dan Foss A Karen. 2009. Teori
Komunikasi. Jakarta. Salemba Humanika.
West, and Lynn Turner. 2008. Introduction Communications Theory: Analysis and Application. Jakarta: Salemba Humanika.
Download