dana aspirasi dan birokrasi.

advertisement
Dana Aspirasi dan Birokrasi
HARIAN SINDO, Monday, 14 June 2010
Setelah menyimak perkembangan perdebatan soal “dana aspirasi” yang diinisiasi Partai Golkar
(PG), saya berkesimpulan bahwa pihak yang setuju maupun kontra berpotensi “naif” dalam
menyikapi gagasan tersebut.
Pertama,gagasan dana aspirasi cenderung dituduh sebagai kebijakan yang sarat dengan muatan
“politik”.Tentu saja pandangan ini lucu, karena kerja partai politik memang berada di ranah itu,
sehingga mestinya bobot politik dianggap sebagai kelumrahan.Apalagi, dalam proses formulasi
kebijakan itu sendiri,politik merupakan hal yang built-in. Kedua, perdebatan ide yang hanya
fokus kepada dana aspirasi tanpa disadari membunuh persoalan inti di balik ide tersebut, yakni
pembangunan daerah yang centang perenang di Indonesia. Ketiga, seharusnya kontestasi
perdebatan masuk ke arena ketegangan antara motivasi politisi dan insentif birokrasi, sehingga
dari sini dapat dipetakan kalkukasi/ nisbah ekonomi politiknya.
Wajah Buruk Daerah
Mereka yang prihatin terhadap kondisi pembangunan di daerah berutang budi kepada PG
minimal dalam satu hal: kesungguhannya untuk menyuarakan persoalan pembangunan di daerah
yang makin memburuk.Para cerdik cendekia memang telah lama menyoal itu,tapi gemanya amat
lirih sehingga tidak pernah menjadi diskursus publik yang serius. Di sinilah saya kira kontribusi
penting PG dalam percakapan ini: membawa masalah daerah ini ke tengah ring pertarungan yang
sesungguhnya, yakni formulasi kebijakan. Persoalan pembangunan daerah yang buruk rupa itu
sekurangnya dapat dipotret dalam tiga kamera berikut.
Pertama, riset yang dilakukan oleh Iwan Jaya Azis (2009) menunjukkan pascaotonomi daerah
pertumbuhan ekonomi di daerah justru merosot, khususnya di daerah yang minim sumber daya
ekonomi (alam) dan miskin penduduk yang terampil. Akibatnya, otonomi daerah untuk
sementara waktu dianggap gagal mencapai misinya yang terpenting,yakni meningkatkan
kesejahteraan.
Kedua, sejak otonomi daerah pula ketimpangan pembangunan antardaerah semakin menjadijadi.
Pidato pengukuhan guru besar Suahazil Nazara di FE UI (2010) secara jelas mengungkap hal
itu,di mana porsi pendapatan di wilayah Barat (Jawa) semakin besar tinimbang wilayah
Indonesia yang lain. Dari segi investasi membuat kita semakin cemas, karena sekitar 91%
investasi berada di Pulau Jawa, Sumatera 6%, dan sisanya (yang kurang dari 3%) disebar ke
wilayah lain yang maha luas (ini benar-benar absurd)! Impli-kasinya, struktur investasi telah
membuat pembangunan daerah kian timpang. Pulau Jawa semakin digdaya dalam
mengakselerasi pembangunan ekonomi (walaupun sebetulnya juga hanya ter-konsentrasi di
Jabodetabek, Gerbangkertasusila, dan sekitar Bandung), sedangkan pulau lain terpinggirkan di
sudut pembangunan ekonomi.
Dengan data itu pula kita tidak bisa berkata lain, kecuali menyatakan bahwa pembangunan di
daerah telah berada dalam zona darurat. Ketiga, prosedur perencanaan pembangunan di daerah
memang telah berjalan cukup bagus lewat mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan
(musrenbang) meskipun masih jauh dari sempurna. Namun,kerap kali proses yang bagus tersebut
dipenggal di tengah jalan ketika masuk ke DPRD. Dokumen perencanaan teknokratik dan
partisipatif tersebut sebagian hasilnya dipelintir begitu terjadi pembahasan antara pemerintah
daerah dan DPRD (kota,kabupaten, provinsi).Inilah yang menyebabkan pembangunan di daerah
dengan memanfaatkan anggaran daerah (APBD) menjadi tidak sesuai dengan prioritas masalah.
Persoalan ini masih ditambah dengan kenyataan bahwa sebagian besar APBD habis untuk
membiayai anggaran rutin dan gaji pegawai, setidaknya memakan 50–60% dari porsi anggaran
daerah.Akumulasi dari dana yang terbatas dan program yang ditelikung membuat pembangunan
di daerah makin jauh dari kebutuhan masyarakat.
Monopoli “Penjarahan”
Deskripsi di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa latar belakang munculnya dana aspirasi
sangat sahih sehingga setting masalah itu tidak boleh diaborsi sejak dini. Sungguh pun begitu,
gagasan dana aspirasi sebagai instrumen untuk menyelesaikan soal pembangunan daerah
memang berpotensi menimbulkan masalah baru yang tidak kalah rumit.
Untuk mengupasnya, sebaiknya dimulai dengan sebuah postulat populer yang menyatakan setiap
kebijakan selalu memiliki dua sisi: motivasi dari politisi yang terpilih (pengambil kebijakan) dan
insentif birokrat untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut (Przeworski, 2003). Dalam
banyak hal,politisi memang selalu disiplin untuk menafkahi kepentingan partisannya (pribadi
maupun partai), tapi dalam banyak hal pula mereka memiliki sikap agung untuk menyantuni
problem serius yang benar-benar terjadi (nilainilai universal). Kisah pahit di daerah itulah yang
saya kira membuat PG tergerak untuk menata pembangunan daerah.
Seterusnya,PG tentu berhitung secara ekonomi politik menyangkut instrumen yang digunakan
untuk membasmi masalah itu. Di sinilah kita akan ketemu dengan rumusan kedua, di mana
Aliran Chicago (Chicago School) berpendapat para politikus pasti memiliki hasrat untuk terpilih
kembali (re-elected), atau sekurangnya Mazhab Virginia (Virginia School) beropini para
politikus mengharapkan benefit pribadi atas kebijakan yang diambil. Kedua aliran tersebut secara
baik menyampaikan adanya hasrat partisan yang membonceng di balik usulan mulia yang
dilontarkan oleh para politikus. Munculnya opsi dana aspirasi itu secara cerdik bisa dikatakan
sebagai manifestasi atas gabungan dari idealisme untuk membangun daerah (universal) sambil
meraup keuntungan pribadi/ partai (partisan).Masalahnya, mengapapartai-partaidiluarPartai
Demokrat(PD) engganmendukung ini?
Apakah mereka lebih bajik dari para politikus PG? Silakan saja semua pihak mengembangkan
imajinasi untuk mengupas soal ini. Saya hanya akan fokus menjawab keterkaitan
berikutnya,mengapa birokrasi tidak memiliki insentif menyetujui gagasan tersebut? Inilah
skemanya: bila usulan PG diadopsi sebagai kebijakan, secara teoretis PD yang paling dirugikan.
Kenapa? Sebab,anggaran negara tidak bisa lagi dimonopoli partai pemerintah untuk merebut hati
konstituen.Setiap keberhasilan pembangunan daerah (jika kebijakan itu diluncurkan) merupakan
agregasi dari “keringat” semua partai politik. Seterusnya, birokrasi bukanlah organ bebas yang
independen,sehingga tindak tanduknya merupakan derivasi dari partai yang berkuasa (di sini
dis/insentif birokrasi paralel dengan dis/insentif partai politik penguasa).
Inilah yang menyebabkan mengapa presiden mengapresiasi usulan dana aspirasi tersebut, sambil
tidak lupa menambahkan implementasinya harus dilembagakan dalam skema perencanaan
pembangunan. Singkat kata, jika skema presiden itu yang diadopsi, insentif birokrasi menjadi
maksimal, tetapi monopoli “penjarahan” anggaran tetap awet seperti sediakala.(*)
Ahmad Erani Yustika
Direktur Eksekutif Indef, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
Download