kan prioritas terhadap liputan mengenai peristiwa politik tertentu atau mengangkat isu tertentu dengan megabaikan peristiwa politik dan isu politik yang lain (agenda setting). Hal itu juga merupakan salah satu fungsi redaksi yang dikenal dengan sebutan fungsi “jaga gerbang” (gatekeeping) yang berkaitan juga dengan fungsi “pembingkaian” framing) dalam proses penyuntingan dan penyajian isi media massa kepada khalayak (ibid:44). Aplikasi fungsi gatekeeping dan framing atau pembingkaian tersebut dilakukan, selain sebagai upaya memenuhi kaidah jurnalistik karena kolom (tempat) di media cetak atau waktu yang terbatas pada media elektonik, juga karena upaya melakukan konstruksi dan dekonstruksi realitas politik yang ada. Hal itu dilakukan dengan cara memberikan “penonjolan” terhadap substansi persoalan dan esensi dari berbagai peristiwa dan isu politik yang diberitakan. Tidak semua berita politik dapat ditonjolkan. Wartawan atau pemimpin redaksi dapat menempatkan sebuah berita di halaman muka (headline) sebagai berita utama, dan dapat menempatkan sebuah berita di halaman dalam. Demikian juga wartawan dapat memilih tokoh politik yang satu dengan menyingkirkan tokoh politik yang lainnya untuk diulas dan ditonjolkan. Penonjolan tersebut tentu disertai motif dan tujuan serta kepentingan tertentu sebagai upaya “merekayasa opini” dan membentuk citra dan Opini Publik sesuai dengan agenda politik yang sudah ditetapkan. Hal itu menempatkan media massa terutama pemimpin redaksi sebagai gatekeeper, yang kemudian sekaligus menjadi agenda setter dalam melaksanakan agenda politik yang sudah ditetapkan sesuai dengan politik masing-masing media massa. Selain itu media massa dalam melakukan “agregasi” dan “artikulasi” kepentingan politik masyarakat melalui wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat atau para pakar yang dipilih, dapat juga dilakukan dengan penuh motif dan tujuan merekayasa opini dalam rangka pembentukan Opini Publik yang diagendakan. Posisi wartawan dalam media massa sebagai agenda setter, memberi kekuasaan yang besar dalam membentuk citra dan persepsi yang benar atau keliru tentang realitas politik yang dikonstruksinya, untuk mengarahkan atau merekayasa opini masyarakat. Bahkan media massa sebagai agenda setter, bukan hanya mampu menyajikan realitas tangan kedua (second hand reality), “realitas media” atau “realitas buatan” dari pemimpin redaksi atau wartawan, tetapi juga media massa mampu “menipu manusia” dengan menampilkan “dunia pulasan” (C.Wright Mills,1968) sebagai bentuk rekayasa citra, persepsi dan opini masyarakat dalam upaya membentuk Opini Publik sesuai agenda politiknya. 3. Media Massa, Politikus, dan Aktivis Persoalan paling esensial dalam komunikasi politik adalah bagaimana para politikus dan aktivis memanfaatkan media massa dalam membentuk citra dan Opini Publik yang positif bagi partai politik atau lembaganya serta aktivitasnya dalam masyarakat sebagai pekerja politik atau aktivis yang peduli politik. Dalam komunikasi politik mekanistis, politikus dan aktivis itu disebut sebagai komunikator politik oleh Dan Nimmo (1999: 30-37). Politikus adalah pekerja politik yang melakukan aktivitas politik, baik dalam pemerintahan (presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati) maupun di luar atau di dalam parlemen (DPR dan DPRD). Sedang aktivis adalah para penggiat atau pemimpin organisasi masyarakat yang memiliki perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan politik (demokrasi politik). Politikus dan aktivis harus melaksanakan komunikasi politik untuk memperoleh dukungan massa atau dukungan pendapat umum. Telah dijelaskan bahwa dalam teori media kritis persoalan pokok dalam komunikasi politik ialah siapa yang mengontrol media massa? Hal itulah yang dihadapi para politikus dalam penggunaan media massa dan sejauh mana ia dapat mengontrol dan memanfaatkan media massa itu? Jawaban media massa sangat tergantung dari sistem politik dan komunikasi politik suatu negara-bangsa. Dalam sistem otoriter media massa dikontrol ketat penguasa, sedang dalam sistem liberal media massa justru dikontrol oleh pemilik modal. Sedangkan dalam sistem Komunis Soviet dahulu, media massa dikontrol oleh partai komunis yang berkuasa. Di Negara Pancasila (Indonesia), sejak tahun 1999 media massa dikontrol penuh oleh masyarakat, terutama oleh pemilik modal. Sebelumnya, penguasa ikut mengontrol media massa, meskipun tidak persis sama dengan di negara otoritarian. Kini media massa di Indonesia telah bergeser dari orientasi idealisme pembangunan nasional ke media massa yang berorientasi bisnis dan kemerdekaan informasi. Hal itu dapat dipahami karena media massa adalah industri yang padat modal dengan persaingan yang ketat antara satu dengan lainnya. Hidup dan matinya sebuah lembaga media massa, kini tidak lagi ditentukan oleh faktor politik, melainkan sangat ditentukan oleh pasar (faktor ekomoni). Dalam sistem media massa yang demikian, para pejabat, birokrat, militer, dan politikus di Indonesia, tentu tidak dapat lagi mengontrol media massa, yang semakin Independen. Justru itu, pemanfaatan media massa sebagai sarana komunikasi politik sangat ditentukan oleh banyak faktor yang berkaitan dengan kepentingan masing-masing media massa. Tiap-tiap lembaga media massa memiliki politik redaksi atau kepribadian masing-masing yang menjadi kerangka acuan para pekerja media, dalam meliput, menyaring, dan memprodukasi pesan. Itulah sebabnya media massa bukanlah institusi yang pasif seperti robot, melainkan sebuah institusi yang aktif, bahkan kepala batu karena memiliki filter konseptual (kesadaran Aku). Dengan demikian media massa tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun untuk kepentingannya sendiri. Justru itu, para politikus, pejabat, atau siapa saja yang ingin memanfaatkan media massa sebagai media komunikasi politik, harus mempunyai kemampuan yang prima dalam meciptakan berita, yaitu peristiwa (fakta dan opini) yang aktual. Dalam jurnalistik, aktual diartikan sebagai baru terjadi dari segi waktu dan baru terjadi dari segi substansi, serta menarik minat banyak orang. Media massa sebagai industri informasi (pesan) bekerja berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam masyrakat. Kemudian peristiwa itu diliput dan diolah oleh pekerja redaksi (wartawan dan redaktur), lalu diproduksi dan didistribusikan kepada khalayak (pembaca, pendengar, dan pemirsa). Tidak semua peristiwa dapat diliput, diolah, diproduksi, dan didistribusikan oleh media massa, selain karena keterbatasan ruang dan waktu, juga terutama karena urgensi dan kualitasnya. Proses penyaringan itu dikenal dalam jurnalistik sebagai fungsi gatekeeping (jaga gerbang) dari wartawan dan redaktur dengan mengacu pada politik redaksi masing-masing media. Sedang para wartawan dan redaktur; yang melakukan penyaringan dan seleksi dalam peliputan dan penyajian berita, disebut penjaga gerbang (gatekeepers). Dengan adanya penyaringan dan seleksi tersebut, realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah realitas yang sudah diseleksi oleh wartawan atau redaktur, yang dinamakan sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). selain itu, realitas yang ditampilkan oleh media massa, disebut juga realitas buatan atau realitas media. Artinya, realitas yang ditampilkan oleh media massa, adalah karya para wartawan dan redaktur, yang tidak selamanya persis sama dengan realitas sesungguhnya. Kadang-kadang realitas yang ditampilkan oleh media massa itu lebih indah atau lebih buruk dari realitas sesungguhnya. Dalam sajian media sehari-hari, realitas tangan kedua terlihat jelas. Suatu peristiwa diberi bobot yang berbeda oleh setiap media, sesuai dengan kepribadian media dan perspektif masing-masing. Media massa juga memilih tokoh-tokoh yang lain. Demikian juga, media massa dapat mengabaikan berita yang satu (misal pelantikan seorang pejabat), dan lebih menonjolkan peristiwa yang lain (misal demonstrasi kaum buruh terhadap pengesahan undang-undang ketenagakerjaan). Meskipun realitas media itu sesuai dengan realitas sesungguhnya, tetapi banyak kalangan dalam masyarakat (khalayak) cenderung menerima begitu saja, informasi dari media massa. Mereka tentu tidak mempunyai waktu untuk melakukan pengecekan. Itulah sebabnya banyak orang terkecoh oleh pemberitaan media. Sesungguhnya para kritikus sosial telah lama mengingatkan bahwa media massa bukan hanya menyajikan realitas tangan kedua, tetapi juga media massa menipu manusia, yaitu memberikan citra yang keliru. Media massa menurut C.Wright Mills (1968) menyajikan “dunia pulasan” (pseudoworld), yang tidak serasi dengan perkembangan harkat kemanusiaan. Dengan demikian, pekerjaan sebagai wartawan dan redaktur bukanlah pekerjaan teknis semata, melainkan juga pekerjaan intelektual yang memerlukan kompetensi. Dengan kata lain, wartawan dan redaktur bukan lah robot yang pasif, melainkan manusia yang aktif dan harus memiliki kualifikasi (1) cerdas, menguasai ilmu dan filsafat jurnalistik; (2) berakhlak mulia; dan (3) memiliki keterampilan jurnalistik yang prima. Dengan kualifikasi seperti itu, wartawan dan redaktur dapat melakukan seleksi dan penyaringan berita secara bijak dengan menampilkan berita yang pantas. Seorang wartawan atau redaktur harus dapat memperkirakan akibat yang ditimbulkan oleh sebuah berita sebelum ditampilkan dalam media. Itulah sebabnya profesi wartawan dilengkapi dengan kode