POLITIK “KASI’ADE” (Bagian kedua) Oleh: Syarifuddin Jurdi Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dimuat di harian Suara Mandiri pada tanggal 25 Maret 2009-04-02 Dengan membaca secara cerdas perkembangan politik menjelang pemilu 9 April 2009, rakyat harus pandai dan cerdas menjatuhkan pilihan pada caleg yang benarbenar punya karakter kuat dan visi perubahan untuk memperbaiki kondisi sosioekonomi masyarakat. Karena itu, kita harus menyebutnya bahwa yang layak menjadi pemimpin di masa depan adalah mereka yang jujur terutama pada dirinya sendiri, ia tidak menipu dirinya, melihat dirinya seadanya, membenci segala sesuatu yang menyimpang dari norma umum dan agama, menghindari show dan pembawaan berlebihan. Sementara terhadap orang lain, ia bersikap wajar dan fair, ia menghormati hak orang lain, ia selalu memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya, ia mampu berlaku adil bagi siapapun, tanpa pandang bulu. Kejujuran sangat diperlukan dan menjadi faktor krusial bagi rakyat dalam menentukan pilihan politiknya ditengah praktek politik elite berkuasa di negeri yang “penuh sesak dengan maling” yang berbaju “pemimpin”, apakah mereka itu pejabat negara, anggota legislatif ataupun pejabat daerah. Kalau kita pilih pemimpin yang penuh kelicikan termasuk mereka yang “bebek dungu” dan “mengemis” dalam politik KASI’ADE tidak akan banyak membantu transfromasi sosial masyarakat menjadi lebih baik. Banyak fakta dalam kehidupan politik bangsa ini yang menunjukkan bahwa seseorang memperlihatkan sikap baik terhadap orang lain, tetapi tidak didasarkan kepada kejujuran, kebaikan yang tampak penuh dengan kemunafikan dan akan menjadi rumit urusannya kalau menjadi pemimpin. Begitu pula, kalau kita menemukan sejumlah perilaku yang tampak baik dan terpuji, kalau sikap semacam itu tidak dilandasi dengan kejujuran –sama saja dengan penipuan yang penuh dengan kelicikan. Fenomena seperti itulah yang kita saksikan beberapa bulan belakangan ini, para politisi kita rela mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit, rela menjual barangbarang berharga dan bahkan warisan yang paling disayangi sekalipun untuk keperluan sosialisasi ke masyarakat, melakukan pertemuan dengan rakyat, membiayai para tim sukses, para caleg yang memiliki harta berlimpah pun tengah memperlihatkan sikap terpuji dengan memberikan bantuan sosial kepada mereka yang layak menerima bantuan. Di luar kenyataan, bahwa perilaku semacam itu baru muncul menjelang musim kampanye politik, apakah yang mereka lakukan seperti berbuat baik tanpa pamrih sesuatu, atau berbuat untuk sesuatu yang tersembunyi seperti mengharapkan dukungan dari mereka yang memperoleh bantuannya atau kepentingan lainnya. Tafsir yang paling mendekati kebenaran politik adalah mencari dukungan politik untuk kepentingan kekuasaan. ***** Kalau kita membuka literatur politik, baik yang klasik maupun modern, akan ditemukan suatu argumen moral mengenai praktek politik yang dilakukan oleh kalangan elite, baik yang sedang berkuasa maupun mereka yang tengah berjuang untuk mencapai kekuasaan. Dalam terminologi klasik, politik disediakan bagi mereka yang pandai untuk “bermain”, politik tidak di peruntukan bagi mereka yang polos dan suci. Dalam politik yang biasa diabadikan dengan kelicikan, kemampuan untuk merumuskan masalah yang kompleks secara sederhana tetapi meyakinkan, untuk sesekali memukul dengan keras lawan-lawan politiknya, bersikap pragmatis, pandai memamfaatkan kesempatan yang dibuka lawan, untuk tidak dihalang-halangi oleh nostalgia masa lalu, perasaan sungkan dan pertimbangan kekeluargaan, kekerabatan, dan primordialisme – itu merupakan syarat bagi para politisi yang mau sukses. Praktek seperti itulah yang disinyalir oleh salah seorang warga Mbojo kepada saya beberapa waktu yang lalu melalui telpon, ia menyebut praktek caleg kita di Bima sudah tidak sehat lagi, sebagai caleg, kata warga itu, mereka tidak punya wibawa lagi, tidak ada visi-misi dan program yang mereka tawarkan, kecuali itu, mereka datangi warga meminta belas-kasih agar dipilih dalam pemilu mendatang. Calon pemimpin demikian – kalau kita mau menyebutnya sebagai pemimpin, ingat – ada juga kalangan yang menyebut mereka sebagai pejabat dan bukan pemimpin, itu kalau terpilih, akan memerintah berdasarkan pamrih dirinya sendiri dan bahkan praktek koruptif dan manipulatif akan tumbuh subur kalau tidak diikuti dengan penegakkan hukum. Standar kejujuran dalam politik barangkali tidak sama dengan standar kejujuran pada bidang keagamaan, kebetulan dou Mbojo mayoritas beragama Islam. Kalau dalam agama (Islam), orang jujur dilandasi dengan kesucian, kepolosan, dan kelemahlembutan serta pamrihnya pada ridha dan pahala dari Allah yang utama. Dalam politik bukan mengabaikan unsur kesetiaan, kejujuran, dan fairness hilang begitu saja, tetapi kadarnya yang berbeda dan pola yang diterapkan untuk ukurannya. Dalam banyak kenyataan di berbagai negara, bahwa tuduhan kekotoran politik sudah memuat insiunitas yang lebih buruk: yaitu bahwa para politisi dan pemimpin masyarakat secara pribadi pun sudah tidak dapat lagi berlaku jujur, bahwa mereka juga secara pribadi termasuk manusia korup. Yang termasuk korup dan tidak jujur bukan saja mereka yang termasuk dalam kategori politisi, tetapi juga elite agama dalam beberapa kasus sudah dihinggapi oleh budaya korup dan tidak jujur, meskipun mereka itu “punggawa” moralitas dan kesucian yang melekat dalam dirinya – mestinya dapat berlaku jujur, menjadi sumber moral dan teladan masyarakat. Kondisi semacam itu tengah dialami oleh para politisi kita yang tengah beradu nasib dalam kancah pemilu 2009, tidak hanya pertarungan antar partai, tetapi juga pertarungan internal partai untuk meraih suara terbanyak akan sangat mewarnai pesta demokrasi 2009. Satu hal yang kita khawatirkan, apabila hasil pemilu 2009 banyak diisi oleh caleg-caleg yang telah menghabiskan biaya ratusan atau bahkan miliaran rupiah guna meraih kursi parlemen, muncul kekhawatiran mereka akan menyalahgunakan kekuasaannya bagi kepentingan dirinya, minimal dalam istilah bisnis, kembali modal. Kekhawatiran itu beralasan, mengingat sejumlah wakil rakyat hasil pemilu 1999 dan 2004 tersangkut kasus korupsi, sebagian sudah ditahan dan dipenjara akibat KKN yang mereka lakukan. Ini sesuai dengan laporan lembaga international terakhir, bahwa negara paling korup di Asia adalah Indonesia disusul oleh India. Laporan tersebut menunjukkan, bahwa elite-elite bangsa ini tengah dilanda oleh perilaku korup, mereka hidup penuh dengan kepalsuan – bahkan menurut Kwik Kian Gie bahwa uang negara yang dikorup setiap tahunnya mencapai 305 triliunan (Fajar, 10/03/2004), bagaimana dengan angka korupsi setelah 2004 jauh lebih besar lagi, mengingat kasus yang menimpa anggota DPR yang sudah divonis dan juga tengah disidangkan mencapai miliaran rupiah. Mereka yang aktif dalam politik hanya mengharapkan pamrih pribadi dan golongannya, mereka hanya mau memperkaya diri, keluarga, karib kerabat, dan golongannya –dengan sendirinya akan menyalahgunakan kedudukan politiknya di pemerintahan dan parlemen. Politik sebagai “bisnis” yang relatif basah bagi mereka yang punya niat untuk menyalah-gunakannya, karena itu politik pada hakekatnya bersifat saling menipu, memeras dan membohongi. Para pemimpin yang sudah memiliki keinginan untuk menipu rakyat, tentu ia tidak akan dapat berbuat jujur dan berlaku adil. Kalau sesuatu yang ia habiskan dengan mengharapkan imbalan dukungan dari rakyat agar dapat berkuasa, tentu kekuasaan akan dijalankan dengan korup dan pamrihnya untuk dirinya sendiri dan kelompoknya. Apabila banyak kandidat pemimpin bangsa ini yang hidup diatas kepalsuan dan kebohongan sudah dapat diprediksi nasib bangsa ini akan diserahkan kepada manusiamanusia kerdil yang bermoral rendah, kepada manusia bebek dungu yang mengemis dukungan kepada rakyat tanpa menunjukkan kualitas dirinya bahwa ia layak dipilih dan punya agenda program yang sangat ideal bagi perubahan dan perbaikan masyarakat. Apabila kita menyerahkan segala urusan kita kepada para politisi terpilih yang modal dan karakternya seperti itu, maka segala keputusan penting mengenai masa depan bangsa dan daerah berada dalam bahaya, karena belum tentu mereka itu akan membela kepentingan rakyat diwakilinya. Politisi yang diharapkan oleh masyarakat Mbojo adalah politisi yang tidak hendak menjual dirinya di bawah “harga standar” dan mengorbankan keyakinankeyakinan ideologinya, ia takut akan tanggungjawab yang melekat dalam dirinya, ia merupakan orang yang memiliki prinsip, bahwa kekuasaan yang diperolehnya untuk kepentingan bangsa dan negara. Kepada masyarakat Mbojo, pilihlah caleg yang memiliki jiwa ksatria, caleg yang tidak bebek dungu, caleg yang tidak minta dipilih dengan rasa kasihan, caleg yang yang tidak minta Kasi’ade, tegasnya rakyat MBOJO pilihlah caleg yang jelas programnya, jelas agenda perubahannya, dan jelas agenda untuk memperbaiki masyarakat Mbojo yang hampir kolaps secara moral, ekonomi dan politik. Wallahu a’lam bi shawab