Golput dan Pilihan yang Tersisa

advertisement
Golput dan Pilihan yang Tersisa
Tamrin Amal Tomagola
SUDAH jatuh, tertimpa tangga pula. Demikianlah suasana penuh penderitaan yang
mencengkam hati dan pikiran banyak rakyat di negeri kita di tahun politik ini.
Bukan hanya bencana alam beruntun: letusan gunung, banjir, dan longsor yang
meluluhlantakkan jembatan atau rumah dan sawah/ladang sebagian dari mereka,
melainkan juga letusan-letusan megakorupsi di puncak-puncak lembaga negara dan
banjir tebar janji-janji politik dusta yang melongsorkan kepercayaan rakyat kepada elite
nyaris ke titik dasar. Tergerus sisa-sisa kepercayaan rakyat kepada politisi, partai politik,
dan para pengelola negara ini.
Dipaksa untuk golput
Berbeda dengan status golongan putih (golput) di era Orde Baru yang murni pilihan
bebas berdasarkan keyakinan ideologis dan analisis politik rasional; golput dalam
sepuluh tahun terakhir—yang proporsinya kian mendekati angka 40 persen—sebagian
besar karena dipaksa oleh dua hal. Pertama, kealpaan sistem pendataan. Kedua, tak
ada pilihan waras-rasional yang tersisa.
Keamburadulan sistem pendataan calon pemilih sudah telanjur menjadi cacat sistemik—
walau tidak sistematik—dan kronis yang terus berlanjut tak terpecahkan tuntas dalam
sepuluh tahun terakhir. Demikian pula dengan keterpaksaan sebagian rakyat pemilih
untuk menjadi golput karena berkelanjutannya realita kualitas mayoritas calon anggota
legislatif (caleg) atau karena sebagian besar kandidat presidensial 2014 sama sekali tidak
meyakinkan. Keraguan dan ketidakyakinan calon pemilih yang kian mengental ini
digelembungkan oleh rekam jejak para petarung politik itu sendiri.
Ketiadaan pilihan waras-rasional yang tersisa, yang potensial berujung pada
membengkaknya proporsi golput di Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014, dilandasi
paling kurang tiga faktor. Pertama, nyaris 100 persen anggota DPR adalah petahana
yang terekam sebagai juara bolos, tukang tidur, dan tunaprestasi; sekitar 90 persen (501
orang) mencalonkan diri kembali sebagai caleg DPR; dan selebihnya bergeser ke gedung
tetangga menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kedua, para caleg ini sama sekali tidak mumpuni dalam hal kapabilitas kompetensi
profesional (professional incompetency). Ketunaan kompetensi profesional ini terukur
pada (a) rendahnya kemampuan menangkap dan mengagregasikan benang merah
kegundahan publik (political aggregation) untuk kemudian diartikulasikan, baik dalam
komunikasi politik (political articulation) maupun pilihan-pilihan strategi perundangundangan untuk mengatasi kegundahan publik dan menyelesaikan permasalahan
bangsa secara mendasar berkesinambungan; serta (b) rendahnya penguasaan
landasan/kerangka konstitusional dan keterampilan perumusan perundang-undangan
yang paling elementer di sebagian besar anggota DPR petahana.
Rendahnya kapabilitas kompetensi profesional pada akhirnya membuahkan bencana
legislasi, yakni: (a) banyak rumusan perundang-undangan yang dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK); dan (b) kegagalan kronis dalam memenuhi target legislasi
setiap tahun.
Ketiga, kerapuhan kompetensi moral-publik (public-morality incompetency) para pejabat
publik, khususnya para legislator di Senayan. Tunakompetensi moral publik yang bisa
berbeda tetapi bisa juga tumpang-tindih dengan moralitas personal ini terlacak, baik pada
tingkat individual maupun pada tingkat institusional sebagai lembaga. Kian panjangnya
daftar legislator yang secara berjejaring menjarah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) serta betapa luas skalanya—sampai ke perangkat-perangkat internal
partai politik—dan begitu mendalamnya cengkeraman jejaring korupsi di hampir semua
perangkat kelembagaan DPR, makin memunculkan kekhawatiran publik bahwa DPR
sedang bertransformasi menjadi Dewan Penjarah Rakyat.
Publik kian terperangah ketika dalam beberapa kesempatan pembahasan dan
perumusan perundang-undangan, beberapa koboi Senayan di Komisi 3 DPR berupaya
dengan segala cara membonsai dan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Mereka yang sangat bernafsu menyunat wewenang KPK ini berargumen bahwa
KPK tidak perlu diberikan wewenang luar biasa dan malah tidak perlu ada karena negara
sudah punya perangkat kelembagaan pemberantasan korupsi baku yang sudah lama
ada.
Para koboi Senayan ini mengabaikan fakta bahwa, menurut Transparency International
Indonesia, justru lembaga-lembaga baku seperti kejaksaan, kepolisian, dan jajaran
pengadilan bersama-sama dengan DPR adalah lembaga-lembaga yang berlumuran
dengan korupsi kronis yang sistemik dan sistematik. Menjelang Pemilu Legislatif 9 April,
upaya pelemahan KPK terus gencar diupayakan dalam 12 butir Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang diajukan oleh pemerintah.
Capres yang ditolak
Berbeda dengan mayoritas caleg petahana berlabel ”rongsok” yang ditawarkan partai
politik kepada calon pemilih 2014, para capres yang nama-namanya sudah beredar luas
di publik terdiri atas dua kelompok. Pertama, kelompok capres ”stok lama” yang punya
cacat masa lampau dalam bidang hak asasi manusia (HAM), cacat dalam
penyengsaraan rakyat di masa kini, dan capres yang ”tunaprestasi” ketika memimpin di
masa lampau. Terhadap para capres kategori ini, beberapa jajak pendapat menemukan
penolakan publik terhadap sejumlah nama.
Kedua, kelompok capres karbitan yang ujuk-ujuk mencalonkan diri tanpa mengukur
kapasitas diri, rekam jejak yang telah dibukukan; tanpa kemampuan mengenali dan
merumuskan permasalahan-permasalahan utama negara dan bangsa serta tidak siap
dengan solusi secara mendasar dan berkesinambungan. Karena karbitan, kelompok
capres ini jelas bukan capres yang mekar karena memar dalam karier kepemimpinan
masing-masing.
Belajar dari penolakan dini dari publik atas sejumlah nama capres, di masa mendatang
sebaiknya setiap partai politik berbenah diri secara sungguh-sungguh dalam sistem dan
proses pengaderan secara berjenjang dalam struktur kepengurusan partai politik.
Seorang kader partai politik harus mau meniti karier politik dari bawah, merangkak secara
bertahap, jenjang demi jenjang, yang terus dipantau dan dicatat rekam jejak masingmasing dalam suatu sistem seleksi yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Caracara penunjukan oleh ”Bapak Besar” dan oleh ”Ibu Besar” harus dihentikan.
Pemilu batal?
Upaya penegakan sistem dan proses demokrasi-konstitusional berada di ambang
bahaya yang nyata (present and clear danger) jika proporsi mereka yang dipaksa golput
dan yang terpaksa golput melebihi tiga perempat dari jumlah penduduk yang berhak
memilih pada tahun 2014, baik saat pemilu legislatif maupun saat pemilihan presiden.
Mereka yang golput secara ideologis dan berdasarkan analisis politik yang waras dan
rasional—terkait kebuntuan yang terakumulasi dalam sistem dan SDM politik, baik di
parpol maupun di lembaga-lembaga pengemban demokrasi konstitusional—sudah pasti
enggan menuju bilik suara pada 9 April dan 6 Juli nanti. Proporsi golput ideologis ini
terbatas di kelas menengah terdidik perkotaan. Mungkin sudah kasep mengubah sikap
mereka sampai dengan hari pemungutan suara. Kesempatan ini akan dimanfaatkan oleh
para manipulator suara, khususnya di tingkat kecamatan.
Mereka yang terpaksa golput karena mayoritas caleg adalah petahana dan menolak
wajah-wajah di daftar calon presiden, mungkin sekali akan menumpahkan kekesalan
mereka sekaligus mencegah manipulasi suara dengan cara mencoblosi semua gambar
partai politik dan caleg serta calon presiden yang berlaga. Ini suatu bentuk perlawanan
terhadap politisi, partai politik, dan penyelenggara negara.
Bagi partai politik yang berhasil melakukan regenerasi caleg dan calon presiden, mereka
sebaiknya menonjolkan secara all out wajah-wajah caleg dan calon presiden muda yang
terbukti mumpuni dalam hal rekam jejak. Mudah-mudahan para calon golput yang
menjadi golput karena alasan terpaksa, mengurungkan niat mereka dan dengan itu kita
bersama-sama bukan hanya dapat menyelamatkan Pemilu 2014, melainkan juga
menyelamatkan demokrasi konstitusional di negeri tercinta ini.
Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Download