BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan pemilu merupakan agenda politik yang diadakan oleh negara setiap 5 tahun sekali. Kegiatan ini merupakan salah satu saran penyampaian aspirasi rakyat yang paling efektif dalam melakukan perubahan yang lebih baik untuk negara. Pemilu merupakan tanda demokrasi yang harus didukung oleh semua rakyat sebagai tanda keterlibatan dan antusiasme dalam membangun negara dan memiliki sistem pemerintahan dan politik yang lebih baik dari yang sebelumnya. Indonesia merupakan negara yang demokratis, maka itu aspirasi rakyat merupakan komponen utama dalam pembangunan negara. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemilu tidak hanya dilihat dari keikutsertaannya dalam memberikan suara, tetapi masyarakat juga harus terlibat dalam proses pengawasan pemilihan calon kandidat sampai dengan mengawasi penghitungan suara pemilihan agar terciptanya sistem pemilihan yang transparan dan bebas dari manipulasi beberapa pihak yang tidak diinginkan. Sayangnya, saat ini semakin banyak masyarakat yang kurang peduli terhadap keterlibatan mereka dalam pemilu. Masyarakat cenderung tidak memberikan suaranya atau yang biasa kita dengar dengan golput (golongan putih) dalam pemilu yang dimana golput merupakan salah satu tanda ketidakikutsertaan mereka dalam kegiatan politik di dalam negaranya sendiri. Hal ini dibuktikan dari Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa angka golput berada di kisaran 37%. Presentase tersebut 1 2 meningkat 2% dibandingkan pilkada sebelumnya (Angka Pemilih Golput Hampir 40%, 2012). Wilayah yang paling tinggi angka golputnya adalah Jakarta Timur dengan total pemilih 1.996.745 orang, 718.225 orang tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah penduduk yang tidak memilih di Jakarta Utara berjumlah 461.518 dari daftar pemilih tetap yang berjumlah 1.162.153 penduduk. Kedua daerah tersebut merupakan daerah dengan jumlah golput sendiri (Angka pemilih golput hampir 40%, 2012). Walau belum ditentukan apa penyebabnya, namun fenomena golput ini dapat disebabkan karena banyak hal, seperti, liburan, sakit, KTP ganda (Angka pemilih golput hampir 40%, 2012) dan dapat juga disebabkan oleh kesalah teknis administrasi antar departemen seperti proses pendaftaran yang berantakan, pemanipulasian data pemilih, dll. (Subanda, 2009). Hal lain yang dapat mendukung terjadinya golput adalah ketidak mauan masyarakat untuk terlibat dalam politik. Sebagian besar masyarakat hanya memikirkan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tanpa memikirkan apa yang terjadi pada sistem politik, padahal, sistem politik juga berpengaruh kepada sistem ekonomi bangsa. Golput juga dinilai sebagai ideologi atau hak azasi dengan alasan masyarakat kapok karena parpol yang ada dianggap tidak berkompetensi dan melanggar janji yang telah dijanjikan (Subanda, 2009). Bagaimanapun, sebagai warga Negara yang baik seharusnya kita menggunakan kesempatan ini dengan sebaikbaiknya. Karena kesempatan ini berguna untuk membangun Negara kita agar lebih baik lagi dan dengan adanya informasi yang telah disampaikan melalui kampanye yang telah dilakukan oleh para kandidat. Pemilu merupakan sarana 3 dimana kita sebagai warga dapat memiliki kemampuan untuk merubah dan memiliki rasa kewargaan. Golput merupakan salah satu sifat apatis terhadap politik karena tidak memberikan suara dalam pemilihan merupakan salah satu ketidak terlibatan individu dalam kegiatan politik negaranya sendiri. Apatis adalah sifat ketidak acuhan dimana individu kehilangan minat atau ketertarikan terhadap beberapa aspek emosional, social dan bahkan fisikal. Individu dapat dikatakan apatis apabila ia memiliki kurangnya kesadaran, kepedulian, dan tidak adanya rasa tanggung jawab. Sehingga itu individu cenderung melakukan golput apabila mereka sudah bersifat apatis terhadap politik. Sifat apatisme ini lebih sering ditemukan di kalangan remaja dibandingkan di kalangan orang dewasa. Di dalam penelitiannya, dalam penelitiannya mengenai apatisme politik pada anak muda di Spanyol, Garcia-Albacete (2006) mengatakan bahwa anak muda memiliki tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap sistem pemerintahan yang ada. Mereka juga kurang tertarik terhadap politik dan pengetahuan mengenai politik juga kurang sehingga mereka enggan mencari tahu mengenai informasi politik dan berpartisipasi dalam pemilihan. Selain itu, anak muda merasa kesulitan untuk masuk dan berpartisipasi dalam dunia politik bila dihubungkan dengan gaya hidup yang modern dan pekerjaan mereka. Anak muda lebih tertarik kepada aksi politik yang lebih modern, contohnya, menjadi aktivis isu-isu social, seperti larangan penebangan pohon secara liar, perlindungan hewan yang hampir punah, dll (Quinteller, 2007). Pada penelitiannya, Marcelo, Lopez, dan Kirby (2007) menemukan bahwa remaja banyak ikut berpartisipasi aktif dalam komunitas lingkungannya, sebagian besar dari mereka beralasan bahwa berpartisipasi dalam komunitas merupakan 4 keputusan mereka untuk dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik, sebagian lagi berpendapat bahwa itu merupakan tanggung jawab mereka untuk menciptkakan lingkungan sosial yang lebih baik dengan berpartisipasi dalam sebuah komunitas. Penelitian ini mengkhususkan kepada partisipasi politik, karena menjadi seorang warga berarti ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik di dalam negaranya sendiri. Kebanyakan remaja berpartisipasi dalam pemilu yaitu dengan memberikan suaranya beralasan bahwa memberikan suara dalam pemilihan merupakan keinginan mereka sendiri, beberapa ada yang menjawab bahwa memberikan suara sebagai ekspresi diri dan juga menganggap bahwa memberikan suara merupakan tanggung jawab. Mereka juga lebih suka berpartisipasi dalam bentuk mengajak orang lain untuk memilih dibandingkan untuk hanya sekedar memberikan suara dan memakai atribut kampanye (Marcelo, Lopez, & Kirby, 2007). Disamping sifat apatisme yang dialami oleh anak muda, keberadaan merekapun kurang dilibatkan oleh pihak politisi itu sendiri karena mereka merasa bahwa anak muda masih belum memiliki pandangan yang stabil untuk perduli terhadap politik (Quinteller, 2007). Sifat apatisme terhadap politik yang terjadi di kalangan anak muda ini menyebabkan terjadinya perilaku golput dalam pemilu, karena mereka merasa mereka suara mereka tidak akan berpengaruh dalam sistem politik. Selama ini, aspirasi rakyat lebih sering disampaikan oleh anak muda, khususnya oleh mahasiswa. Mahasiswa merupakan tingkat kesiswaan yang paling tinggi dalam tingkat pendidikan dan proses kuliah merupakan persiapan diri siswa dalam menghadapi dunia luar. Maka itu, mahasiswa diharapkan untuk 5 dapat bisa kritis dalam menanggapi isu-isu yang terjadi di sekitarnya termasuk isu politik yang terjadi di negaranya sendiri. Dewasa kini, mahasiswa semakin apatis terhadap isu politik yang terjadi saat ini. Salah satu contohnya adalah ketidak terlibatannya mahasiswa dalam pemilu. Seperti yang telah dihimbau oleh ketua KPU Husni Kamil Malik agar mahasiswa menekan angka golput untuk pemilu tahun 2014. Karena menurutnya, mahasiswa yang berjumlah 4.273.000 merupakan jumlah yang sangat besar dan cukup dahsyat untuk melakukan perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat (Tekan angka golput tinggi, KPU minta mahasiswa aktif pemilu, 2013). Selain itu, menurut Dr. Muhammad Uhaib As’ad, mahasiswa cenderung bersikap apatis dan apolitis dalam pemilu tahun 2009 dalam penjelasannya di Seminar Nasional "Polemik Golput di Era Demokrasi Dalam Perspektif Islam". Beliau juga mengemukakan bahwa fatwa MUI mengenai bahwa golput itu haram tidak berpengaruh dalam menekan angka golput, terutama pada mahasiswa karena mahasiswa sudah tidak percaya lagi erhadap partai politik yang ada (Mahasiswa cenderung golput dalam pemilu 2009, 2009). Fenomena mengenai mahasiswa dan golput tidak sedikit terdengar di telinga masyarakat. Beberapa waktu yang lalu diberitakan bahwa Serikat Mahasiswa Medan Indonesia nyerukan golput dalam pemilukada 2013 dikarenakan menurut mereka pemilukada ini hanya mementingkan kepentingan kaum borjuis setempat (Serikat mahasiswa Indonesia Medan memilih golput, 2012). Seharusnya, mahasiswa adalah panutan bagi para pemuda sebagai generasi penerus bangsa yang dapat membangun negara yang lebih maju lagi demi kesejahteraan rakyatnya. Memiliki negara yang maju dan kehidupan yang 6 sejahtera merupakan impian setiap rakyatnya, maka itu dibutuhkan sifat saling membantu dan partisipasi dalam meraih keinginan tersebut. Terdapat berbagai macam definisi mengenai kewargaan, lingkupnya pun masih sering diperdebatkan. Menurut Wazer (dalam Sears, 2003), warga adalah anggota dari komunitas politik. Kewargaan adalah ekspresi dari hubungan individu terhadap sistem politik yang ada (Sears, 2003). Menurut Olson pada tahun 2008, (dalam Condor, 2011) kewargaan adalah status individu dalam hubungan unit politik. Menurut Kostakopoulopada tahun 2008, (dalam Sindic, 2011), warga berarti memiliki kesamarataan anggota dalam komunitas politk dilihat dari hak dan kewajibannya, keuntungan yang didapat dari sumber daya yang ada, partisipasi dan identitas dalam lingkungan tersebut. Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan dapat diartikan bahwa untuk dikatakan sebagai warga, individu harus dapat memenuhi hak dan kewajibannya dan ikut berpartisipasi dalam lingkungannya agar dapat terbentuk identitas mereka sebagai warga.Kewargaan merupakan status keberadaan suatu individu dalam suatu komunitas dan komunitas tersebut merupakan bagian dari identitas individu tersebut (Sindic, 2011). Golput dapat diartikan sebagai protes atau penolakan terhadap mekanisme dan sistem pemerintahan atau politik yang berjalan saat ini. Golput juga berguna sebagai basis ketidak percayaan masyarakat pada kader parpol. Hal ini justru dapat dijadikan pembelajaran bagi para parpol untuk dapat meningkatkan kinerja dan menanamkan kepercayaan kepada masyarakat, karena Lembaga Survei Indonesia menunjukkan bahwa kondisi parpol pada saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat (Subanda, 2009). 7 Ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol atau kandidat dalam pemilihan tentunya ada penyebabnya. Umumnya masyarakat merasa bahwa kandidat yang dicalonkan pada pemilihan dianggap tidak mampu menjalani tugas yang akan diemban, tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan masyarakat bahkan bagi para kandidat yang telah dicalonkan dalam pemilihan sebelumnya dianggap telah melanggar janji dalam kampanyenya yang lalu. Hal ini memberikan potensi bagi masyarakat untuk melakukan golput dalam pemilihan. Hal tersebut dapat ditangani dengan penyampaian informasi melalu kampanye kandidat. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilu tentu tidak luput dari informasi-informasi mengenai kandidat pemilihan yang akan dipilih. Masyarakat akan mengolah informasi yang didapat dengan proses pengambilan keputusan yang nantinya akan mempengaruhi perilaku pengambilan suara mereka (voting behavior). Menurut Glasser dan Griffin pada tahun 1990 (dalam Cottam, 2012), orangorang yang mengetahui banyak hal tentang politik dan berminat pada politik akan memproses informasi dalam cara yang berbeda dari orang-orang yang mengetahui sedikit dan tidak berminat pada politik. Namun, bahkan orang-orang yang berminat dan paham terhadap politik akan mengambil jalan pintas informasi dengan menggunakan heuristik dalam memproses informasi dan membuat keputusan (Cottam, 2012). Ottati dan Wyer (dalam Cottam, 2012) menjelaskan bagaimana informasi politik diproses. Infromasi politik yang diterima akan dicocokkan dengan skema yang telah ada. Lalu, informasi dan skema tersebut dihubungkan dan dicocokkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya yang lalu akan dinilai dan disimpan. Nilai-nilai tersebut akan ditarik 8 dan digunakan dan lalu dievaluasi saat akan digunakan dalam pengambilan keputusan (Cottam, 2012). Informasi politik yang disampaikan olehpara kandidat dapat berisi berbagai macam informasi, terutama isu apa yang menjadi andalan kandidat atau calon tersebut. Isu-isu yang dikampanyekan oleh antar kandidat merupakan perselisihan mengenai kebijakan publik (Cottam, 2012). Maka itu, kandidat harus dapat dengan sebaik mungkin menyampaikan isu-isu yang akan mereka capai kepada masyarakat dengan sebaik mungkin. Marcus dan MacKuen (1993) berpendapat bahwa masyarakat tidak hanya merespon kadidat yang ada dengan repon yang positif dan negatif, melainkan dengan emosi-emosi yang spesifik. Emosi pokok yang digunakan adalah antusiasme dan kecemasan. Respon antusiasme mempengaruhi keputusan kepada siapa suara akan diberikan. Sedangkan kecemasan mempengaruhi individu untuk mencari informasi lebih mengenai kandidat yang ada. Maka itu rasa kecemasan yang dialami oleh masyarakat mempunyai peran penting dalam pemrosesan informasi dan juga akan menstimulasi pembelajaran (Cottam, 2012). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu aspek kewargaan adalah untuk wajib terlibat dalam sistem politik negaranya sendiri dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan begitu, golput yang dilakukan oleh beberapa masyarakat merupakan cerminan perasaan kewargaan yang rendah sehingga menyebabkan mereka untuk golput. Fenomena ini cukup memprihatinkan mengingat sistem politik merupakan salah satu lembaga yang memiliki pengaruh besar dalam perubahan dan kemajuan suatu negara dan apatisme mahasiswa terhadap politik yang 9 ditunjukkan dengan aksi golput merupakan hal yang negatif dan tidak mendukung perubahan dan kemajuan negara. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis merumuskan masalah yang ada, yaitu: 1. Apakah perasaan kewargaan dapat memprediksi apatisme politik pada mahasiswa? 2. Apakah dimensi indecisive dari decision fatigue dapat memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa? 3. Apakah dimensi impulsif dari decision fatigue dapat memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa? 4. Apakah perasaan kewargaan, dimensi indecisive dan impulsif dari decision fatigue secara bersama-sama dapat memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa? 1.3 Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Untuk mengetahui apakah perasaan kewargaan dapat memprediksi apatisme politik pada mahasiswa. 2. Untuk mengetahui apakah dimensi indecisive dari decision fatigue dapat memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa. 3. Untuk mengetahui apakah dimensi impulsif dari decision fatigue dapat memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa. 10 4. Untuk mengetahui apakah perasaan kewargaan, dimensi indecisive dan impulsif dari decision fatigue secara bersama-sama dapat memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Sebagai kontribusi penulis dalam meminimalisir apatisme mahasiswa terhadap politik. 2. Sebagai sarana informasi dan pengetahuan bagi masyarakat.