BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini, peneliti akan memaparkan penelitian dan teori yang diperoleh dari beberapa sumber. Pada bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa peneliti akan menganalisa hubungan antara pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik. Analisa ini akan diperkuat dengan teori-teori dan pendapat para ahli. Tujuan utama dari bab ini adalah memaparkan dan mengidentifikasi konseptualisasi dari variabel-variabel penelitian. 2.1 Pemahaman Ideologi Pancasila 2.1.1 Pemahamann Pemahaman diambil dari domain atau tingkatan kedua dalam teori auditori visual Bloom (dalam Aiken & Groth-Marnat, 2006). Bloom membagi pengetahuan menjadi 6 (enam) domain atau tingkatan. Pertama, yaitu tahu (Know) yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam tingkat pengetahuan ini, seseorang mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang pernah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari adalah menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan. Kedua, memahami (comprehension) yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Kata kerja untuk mengukur bagaimana seseorang memahami apa yang dipelajari antara lain seseoang mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya. Pada domain ketiga terdapat aplikasi (application) yang diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Kata kerja untuk mengukur tingkat kemampuan aplikatif individu adalah bagaimana individu mampu menggunakan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Domain keempat adalah Analisa (analysis) yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kata kerja untuk mengukur 8 kemampuan analisis adalah bagaimana individu mampu menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. Domain kelima adalah Sintesis (synthesis) yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari fomulasi-formulasi yang ada. Domain terakhir adalah Evaluasi (evaluation) yang diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Sementara itu menurut Basori (2013), pemahaman adalah kemampuan untuk mengubah informasi ke dalam bentuk lain yang lebih bermakna, kemudian mampu menjelaskan suatu situasi atau tindakan, serta mampu memberikan contoh di luar materi yang sedang dibahas, dan yang terakhir mampu mengaplikasikan konsep tersebut ke dalam masalah sehar-hari. Sebagai penelitian awal, peneliti akan menggunakan dua domain awal dari taksonomi Bloom, yaitu domain tahu dan memahami untuk diaplikasikan pada alat ukur peneliti. Peneliti hanya memilih dua domain awal tersebut dengan pertimbangan tingkat kompleksitas dari 4 domain berikutnya dan waktu pengerjaan penelitian. 2.1.2 Ideologi Ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan, logia berasal dari kata logos yang berarti word dimana kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak (berbicara). Selain itu kata logia juga berarti pengetahuan (Sukarna, 1981) Karl Marx mengartikan ideologi sebagai bentuk dari reproduksi sosial, yaitu sebagai alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, Karl Marx menjelaskan bahwa ideologi dapat diciptakan oleh kelas masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memproduksi/mengendalikan bahan baku masyarakat. Karl Marx percaya apabila masyarakat mampu mengolah hak kepemilikannya sendiri tanpa campur tangan pihak manapun, maka mereka telah memerdekakan diri mereka sendiri (Karl Marx, 2007). 9 Menurut Harold H. Titus, ideologi adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk memecahkan berbagai macam masalah politik dan ekonomi yang dilaksanakan secara sistematis dan dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat. Selain itu, Louis Althusser menjelaskan bahwa ideologi merupakan suatu materi yang tidak dibangun berdasarkan kemauan dan harapan atau ide masyarakat, melainkan lahir dari tingkah laku masyarakat. Descartes menambahkan bahwa ideologi adalah inti dari kumpulan pemikiran individu ataupun sekelompok manusia (Takwin, 2008). Terdapat beberapa ideologi yang dianut oleh negara-negara didunia, antara lain ideologi fasis. Ideologi fasis adalah ideologi yang pengorganisasian pemerintah dan masyarakat dilakukan secara totaliter oleh suatu partai. Partai tersebut bercirikan nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Kedua, ideologi komunis yang menerapkan sistem politik sosial ekonomi dan kebudayaan berdasarkan ajaran Marxisme-Leninisme. Ketiga adalah ideologi liberal yang memiliki suatu pandangan filsafat dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama (Sukarna, 1981). Sementara itu, ada ideologi Pancasila yang akan dijabarkan lebih lanjut 2.1.3 Pancasila Pancasila adalah nama resmi dari dasar negara Republik Indonesia yang tercantum dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Secara etimologis “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta. Panca berarti 5 (lima), sedangkan syila artinya batu sendi, alas, atau dasar. Maka, Pancasila dapat diartikan sebagai 5 dasar peraturan tingkah laku yang baik (Lasiyo & Yuwono, 1985). Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, yaitu: (Lasiyo & Yuwono, 1985) 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 10 Tjiptabudy (2010) menganalisa lebih mendalam mengenai Pancasila dengan menjabarkan prinsip – prinsip yang terkandung dalam setiap sila. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa mengarahkan Bangsa Indonesia untuk berpikir, bersikap dan bertindak. Setiap manusia bebas berpikir, bebas berusaha, namun sadar dan yakin bahwa pada akhirnya yang menentukan segalanya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia juga harus rela dan ikhlas diatur. Dalam menentukan suatu pilihan, setiap orang memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan dan harus menerima akibat dari pilihan tersebut. Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab memberikan acuan kepada masyarakat agar dalam olah pikir, olah rasa, dan olah tindak harus sesuai dengan harkat dan martabatnya. Artinya, setiap manusia memiliki kak dan kewajiban yang patut dihormati oleh satu sama lain, sehingga tidak akan terjadi penindasan atau pemerasan. Segala aktivitas berlangsung dalam keseimbangan, kesetaraan dan kerelaan. Prinsip persatuan Indonesia mengarahkan pola pikir, sikap dan tindakan bangsa Indonesia kepada keutuhan dan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita mengaku bahwa negara kesatuan ini memiliki berbagai keanekaragaman yang ditinjau dari segi agama, adat, budaya, ras, suku yang harus didudukkan secara proporsional dalam negara kesatuan. Bila sewaktu-waktu terjadi konflik kepentingan, maka kepentingan bangsa harus diletakkan diatas kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan daerah. Prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan memberikan petunjuk bahwa dalam berfikir, bersikap dan bertingkah laku yang berdaulat seluruh rakyat memiliki kedudukan terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Aspirasi rakyat menjadi pangkal tolak penyusunan kesepakatan bersama dengan cara musyawarah/perwakilan. Apabila dengan bermusyawarah kesepakatan tidak tercapai, maka dapat dilakukan pemungutan suara. Apapun hasil dari pemungutan suara tersebut, semua pihak tanpa terkecuali, wajib melaksanakannya. Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memberikan acuan bagi olah pikir, olah sikap dan olah tindak yang mengarah pada terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Kesejahteraan harus dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan merata di seluruh daerah sehingga terhindar dari kesenjangan yang mencolok. 11 Tjiptabudy (2010) mengemukakan nilai-nilai yang dapat ditemukan dalam Pancasila. Nilai tersebut sangat mempengaruhi kemana arah tujuan bangsa Indonesia. Adapun nilai Pancasila yang pertama adalah kedamaian yang berarti memberikan gambaran akan situasi tidak adanya konflik dan kekerasan. Segala unsur yang terlibat dalam suatu proses sosial harus berlangsung secara selaras, serasi dan seimbang, sehingga menimbulkan keteraturan, ketertiban dan ketenteraman. Segala kebutuhan yang diperlukan oleh manusia dapat terpenuhi, sehingga tidak terjadi perebutan kepentingan. Hal ini akan terwujud apabila segala unsur yang terlibat dalam kegiatan bersama mampu mengendalikan diri. Nilai kedua adalah keimanan yang diartikan sebagai suatu sikap yang menggambarkan keyakinan akan adanya kekuatan transendental yang disebut Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keimanan, manusia yakin bahwa Tuhan menciptakan dan mengatur alam semesta. Apapun yang terjadi di dunia adalah atas kehendak-Nya dan manusia wajib untuk menerima dengan keikhlasan. Nilai ketiga adalah ketaqwaan yang mengartikan sikap berserah diri secara ikhlas dan rela kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersedia tunduk dan mematuhi segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Nilai keempat adalah keadilan yang diartikan sebagai suatu sikap yang mampu menempatkan makhluk dengan segala permasalahannya sesuai dengan hak dan kewajiban, serta harkat dan martabatnya secara seimbang diselaraskan dengan peran fungsi dan kedudukkannya masing-masing. Nilai kelima adalah kesetaraan yang mengartikan suatu sikap yang mampu menempatkan kedudukan manusia tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, golongan, agama, adat dan budaya dan lain-lain. Setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam segenap bidang kehidupan sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pada nilai keenam terdapat keselarasan yang merupakan nilai dimana, keadaan yang menggambarkan keteraturan, ketertiban dan ketaatan karena setiap makhluk melaksanakan peran dan fungsinya secara tepat dan proporsional, sehingga timbul suasana harmoni, tenteram dan damai. Ibarat suatu orkestra, setiap pemain berpegang pada partitur yang tersedia dan setiap pemain instrumen melaksanakan secara taat dan tepat sehingga tercipta suasana nikmat dan damai. Nilai ketujuh adalah keberadaban yang menggambarkan setiap komponen dalam kehidupan bersama-sama berpegang teguh guna mencerminkan nilai luhur budaya bangsa. Persatuan dan kesatuan terdapat pada nilai kedelapan yang menggambarkan 12 keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk, namun mampu membentuk suatu kesatuan yang utuh. Setiap komponen dihormati dan menjadi bagian integral dalam satu sistem kesatuan negara-bangsa Indonesia. Nilai kesembilan adalah mufakat yang mengartikan suatu sikap terbuka untuk menghasilkan kesepakatan bersama secara musyawarah. Keputusan sebagai hasil mufakat secara musyawarah harus dipegang teguh dan wajib dipatuhi dalam kehidupan bersama. Nilai kesepuluh adalah kebijaksanaan yang artinya adalah sikap yang menggambarkan hasil olah fikir dan olah rasa yang bersumber dari hati nurani dan bersendi pada kebenaran, keadilan dan keutamaan. Bagi bangsa Indonesia hal ini sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Nilai terakhir dalam Pancasila adalah kesejahteraan yang mengartikan terpenuhinya tuntutan kebutuhan manusia baik kebutuhan lahiriyah maupun batiniah, sehingga terwujud rasa puas diri, tenteram, damai dan bahagia. Kondisi ini hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras, jujur dan bertanggungjawab. Pancasila mengandung banyak prinsip dan nilai-nilai positif. Dalam kehidupan bermasyarakat Pancasila juga memiliki fungsi. Fungsi pertama adalah sebagai pemersatu pola pikir dan tingkah laku bangsa. Setiap individu di Indonesia memiliki kewajiban untuk menerapkan setiap sila dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak boleh ada orang yang hanya setuju terhadap salah satu sila, melainkan harus menganggap Pancasila sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Fungsi kedua adalah menunjukkan cara hidup dalam bermasyarakat. Contohnya, gotong royong, saling menghargai antar pemeluk agama, menghargai pendapat sesama, dll. Fungsi yang terakhir yaitu untuk menghadapi sikap sinis dan skeptis dalam ranah politik. Pancasila membantu dalam membangun kredibilitas dan kelayakan institusi politik, sehingga ketidakpercayaan masyarakat atas politik dapat diatasi (Lasiyo & Yuwono, 1985). 2.1.4 Pemahaman Ideologi Pancasila Pemahaman diambil berdasarkan teori auditori visual Bloom yang dibagi menjadi 6 domain atau tingkatan. Namun, peneliti hanya menkaji lebih dalam mengenai dua domain awal, yaitu tahu dan memahami dalam penelitian ini. Pertama, yaitu tahu (Know) yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam tingkat pengetahuan ini, seseorang mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang pernah dipelajari atau rangsangan yang 13 telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari adalah menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan. Kedua, memahami (comprehension) yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Kata kerja untuk mengukur bagaimana seseorang memahami apa yang dipelajari antara lain seseoang mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya. Pancasila adalah nama resmi dari dasar negara Republik Indonesia yang tercantum dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Secara etimologis “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta. Panca berarti 5 (lima), sedangkan syila artinya batu sendi, alas, atau dasar. Maka, Pancasila dapat diartikan sebagai 5 dasar peraturan tingkah laku yang baik (Lasiyo & Yuwono, 1985). Dari penejelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman ideologi Pancasila merupakan kemampuan individu untuk mengetahui serta memahami mengenai 5 dasar tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dimana Pancasila sebagai dasar dari semuanya. 2.2 Apatisme Politik Dean (1959) mendefinisikan apa yang dimaksud dengan apatisme politik. Beliau menjelaskan bahwa apatisme politik secara sederhana adalah ketika seseorang tidak menyumbangkan suaranya dalam suatu pemilihan umum. Apatisme politik juga dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti angka pemasukan (gaji), tingkat pendidikan, ras, agama, dan usia. Dean juga memaparkan bahwa tingkat partisipasi seseorang terjadi karena minat seseorang tersebut akan politik (interest factor). Ketika seseorang sudah tertarik sedari awal untuk menyumbangkan suaranya pada pemilu, maka faktor apapun yang mempengaruhi apatisme politik akan terelakkan. Interest factor sendiri terjadi ketika seseorang sering mendengarkan radio mengenai pemberitaan politik, mengenal tokoh-tokoh politik yang akan maju dalam pemilihan umum, maupun menghadiri atau menonton kampanye para tokoh-tokoh politik maupun partai. Selain itu, terdapat juga influence factor dimana seberapa besar pengaruh lingkungan sekitar, maupun pemerintah untuk membuat mereka memilih dalam pemilihan umum (influence factor). 14 Menurut McLosky (dalam Budiardjo, 1982), apatisme politik muncul karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik mengenai masalah politik. Apatisme politik juga ada karena ketidakyakinan bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil. Sementara itu, ada juga individu yang dengan sengaja tidak memanfaatkan haknya untuk memilih karena berada dalam lingkungan (minoritas) dimana ketidak-ikutsertaan adalah hal yang terpuji. Berindra (dalam Juneman, 2013) memaparkan beberapa contoh apatisme mahasiswa dalam dunia politik, yaitu: 1. Mahasiswa tak berminat belajar ilmu politik 2. Mahasiswa menganggap “bikin pusing saja” jika menjadi anggota senat atau badan eksekutif mahasiswa 3. Mahasiswa yang “melek politik” pun tidak mempraktekkan ilmu politiknya dengan penelitian dan partisipasi politik 4. Mahasiswa yang sudah tergabung dalam senat atau badan eksekutif mahasiswa pun menarik diri dari organisasi tersebut karena “bosan” terhadap perdebatan 5. Mahasiswa kurang berminat mengubah kondisi masyarakat melalui organisasi kemahasiswaan Fenomena apatisme politik tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Nilamsari (2000) yang memaparkan tentang faktor pembentuk sikap apatis. Faktor pertama pembentuk sikap apatis adalah dukungan sosial. Dukungan sosial yang rendah dapat membentuk sikap khawatir dan apatis seseorang. Sebaliknya, ketika individu mendapat dukungan sosial yang tinggi, maka memunculkan sikap simpatik. Faktor pendukung kedua adalah pengetahuan yang mempengaruhi seseorang untuk bersikap simpati atau antipati akan suatu hal. Faktor ketiga adalah frustasi yang dapat bersifat positif dan negatif kepada seseorang. Apabila reaksi frustrasi negatif memakan waktu yang lama, maka seseorang akan cenderung besikap apatis. Faktor keeempat adalah pengelolaan stress. Ketika seseorang individu dapat mengelola stress secara tepat, maka akan mengurangi terbentuknya atau kemunculan apatisme individu. Yang kelima adalah tuntutan kerja yang terlalu banyak juga jenis pekerjaan yang stressful, akan mengarahkan individu pada perubahan sikap yang mengandung unsur apatis. Faktor emosional juga turut memberikan dampak seseorang dalam membentuk 15 sikap apatis. Apabila seseorang sulit mengontrol emosinya, maka dapat menimbulkan reaksi negatif berupa mekanisme pertahanan ego individu. Faktor terakhir, yaitu kepangkatan dalam satuan tugas mengarahkan pada pembentukan sikap individu ketika menghadapi kompleksitas hidupnya. 2.3 Mahasiswa Psikologi Bina Nusantara Subjek dalam penelitian ini adalah para mahasiswa strata 1 (S1). Rata – rata usia dari mahasiswa S1 adalah 18 – 23 tahun. Peneliti menggunakan teori perkembangan Erik Erikson, yaitu dewasa awal. Dewasa awal dalam perkembangan Erik Erikson berusia sekitar 19 – 30 tahun. Setelah melalui masa pencarian identitas pada tahapan remaja, seseorang harus memperoleh kemampuan untuk membaur bersama orang lain dengan terus mempertahankan identitas pribadinya sendiri. Untuk beberapa orang tahapan dewasa awal akan terus berlanjut beberapa dekade kedepan. Namun, ada juga yang berada dalam tahapan ini hanya dalam jangka waktu singkat. Dewasa awal harus mengembangkan kedewasaannya dan menggabungkan pengalaman hidup untuk menghadapi konflik intimacy and isolation, serta memperoleh kemampuan dasar dalam cinta (Feist & Feist, 2008). 2.4 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir 16 Fenomena golput sangat nyata dalam Pemilihan Presiden (pilpres) 2014. Angka golongan putih (golput) pada pilpres 2014 meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada gelaran Pilpres 2014 angka golput mencapai 29,8 % terburuk dibanding Pilpres 2004 yang hanya mencapai 24% (Angga, 2014). Berdasarkan peningkatan angka golput tersebut, pemerintah wajib mengkaji fenomena ini lebih mendalam. Sebagaimana Indonesia merupakan negara demokrasi dan peran serta rakyat dalam bentuk aspirasi merupakan hal dasar dalam proses pembangunan negara kea rah yang lebih baik (Soekarno, 1959). Fenomena golput sering disebut dengan apatisme politik, yang merupakan ketidakpedulian individu dimana mereka tidak memiliki minat atau tidak adanya perhatian terhadap aspek-aspek tertentu, seperti kehidupan sosial maupun aspek fisik dan emosional (Sarfaraz & Khalid, 2012). Apatisme politik juga dapat terjadi pada kalangan muda. Pendapat ini didukung oleh penelitian Garcia – Albacete (2006) yang mengatakan bahwa kalangan muda memiliki tingkat ketidakpercayaan tinggi terhadap pemerintahan. Penulis memperkuat fenomena apatisme politik dengan melakukan wawancara kepada subjek penelitian, yaitu mahasiswa psikolog Bina Nusantara (Binus). Peneliti melakukan wawancara tersebut karena selama mengikuti program studi psikologi di Universitas Bina Nusantara peneliti merasakan fenomena apatisme dilingkungan pergaulan. Untuk mendapatkan data yang lebih konkret, peneliti melakukan wawancara kepada 15 binusian 2015 jurusan psikologi. Melalui wawancara yang dilakukan, penulis menemukan bahwa 12 dari 15 mengaku tidak menyumbangkan suaranya pada Pilpres 2014 lalu. Surat harian Kompas menjelaskan angka golput di kalangan pemilih muda masih terbilang cukup tinggi. Hasil survei dari 1200 responden menunjukkan bahwa 30 persen diantaranya menyatakan belum menentukan sikap atau golput jika pemilu dilaksanakan hari ini (Prabowo, 2013). Peristiwa apatisme politik memiliki keterkaitan dengan beberapa hal, yaitu dukungan sosial, pengetahuan, frustrasi, coping stress, tuntutan kerja, faktor emosional, dan kepangkatan. Setelah melakukan peninjauan literatur lebih mendalam, peneliti tertarik untuk menkaji lebih dalam mengenai pengetahuan sebagai faktor penyebab apatisme politik (dalam hal ini pemahaman idelogi Pancasila). Selain itu, dengan ada atau tidaknya pengetahuan, dapat mempengaruhi sikap simpati atau antipati seseorang 17 akan sesuatu. Pengetahuan sendiri, menurut Bloom (dalam Aiken & Groth-Marnat, 2006) dibagi menjadi 6 tingkatan, yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisa, sintesis, dan evaluasi. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tingkatan awal kedua, yaitu memahami karna pertimbangan tingkat kompleksitas ke-4 domain berikutnya dan waktu pengerjaan. Sikap apatis akan kondisi politik Indonesia yang semakin meningkat dari tahun ketahun diharapkan mampu diatasi dengan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia diharapkan mampu mengembalikan antusias rakyat Indonesia untuk kembali peduli dalam pembangunan bangsa. Sudjarwadi (2009) mengatakan bahwa Pancasila memiliki posisi penting dalam dunia politik, yaitu untuk menghadapi sikap sinis dan skeptis dengan cara membangun kredibilitas dari institusi politik, sehingga ketidakpercayaan akan politik yang nantinya dapat berujung pada apatisme dapat diatasi. Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, peneliti menduga adanya hubungan antara pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik pada mahasiswa psikologi Bina Nusantara. 2.5 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan, dirumuskan atas dasar kerangka berpikir, dan merupakan jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan (Sugiyono, 2012). Peneliti membuat hipotesis, yaitu terdapat hubungan antara pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik pada mahasiswa psikologi Bina Nusantara. 18