2.1 Pemahaman Ideologi Pancasila

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan penelitian dan teori yang diperoleh dari
beberapa sumber. Pada bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa peneliti akan
menganalisa hubungan antara pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik.
Analisa ini akan diperkuat dengan teori-teori dan pendapat para ahli. Tujuan utama dari
bab ini adalah memaparkan dan mengidentifikasi konseptualisasi dari variabel-variabel
penelitian.
2.1 Pemahaman Ideologi Pancasila
2.1.1 Pemahamann
Pemahaman diambil dari domain atau tingkatan kedua dalam teori auditori
visual Bloom (dalam Aiken & Groth-Marnat, 2006). Bloom membagi pengetahuan
menjadi 6 (enam) domain atau tingkatan. Pertama, yaitu tahu (Know) yang diartikan
sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam tingkat
pengetahuan ini, seseorang mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang pernah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari adalah menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan. Kedua, memahami (comprehension)
yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui, dan menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Kata kerja untuk
mengukur bagaimana seseorang memahami apa yang dipelajari antara lain seseoang
mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya. Pada domain ketiga terdapat aplikasi (application) yang diartikan sebagai
kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi
riil (sebenarnya). Kata kerja untuk mengukur tingkat kemampuan aplikatif individu
adalah bagaimana individu mampu menggunakan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Domain keempat adalah
Analisa (analysis) yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kata kerja untuk mengukur
8
kemampuan analisis adalah bagaimana individu mampu menggambarkan (membuat
bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. Domain kelima
adalah Sintesis (synthesis) yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
fomulasi-formulasi yang ada. Domain terakhir adalah Evaluasi (evaluation) yang
diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan
sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Sementara itu menurut Basori (2013), pemahaman adalah kemampuan untuk
mengubah informasi ke dalam bentuk lain yang lebih bermakna, kemudian mampu
menjelaskan suatu situasi atau tindakan, serta mampu memberikan contoh di luar materi
yang sedang dibahas, dan yang terakhir mampu mengaplikasikan konsep tersebut ke
dalam masalah sehar-hari.
Sebagai penelitian awal, peneliti akan menggunakan dua domain awal dari
taksonomi Bloom, yaitu domain tahu dan memahami untuk diaplikasikan pada alat ukur
peneliti. Peneliti hanya memilih dua domain awal tersebut dengan pertimbangan tingkat
kompleksitas dari 4 domain berikutnya dan waktu pengerjaan penelitian.
2.1.2 Ideologi
Ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari kata idea dan logia. Idea
berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan, logia berasal dari kata logos
yang berarti word dimana kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak
(berbicara). Selain itu kata logia juga berarti pengetahuan (Sukarna, 1981)
Karl Marx mengartikan ideologi sebagai bentuk dari reproduksi sosial, yaitu
sebagai alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
Lebih jauh lagi, Karl Marx menjelaskan bahwa ideologi dapat diciptakan oleh kelas
masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memproduksi/mengendalikan bahan baku
masyarakat. Karl Marx percaya apabila masyarakat mampu mengolah hak
kepemilikannya sendiri tanpa campur tangan pihak manapun, maka mereka telah
memerdekakan diri mereka sendiri (Karl Marx, 2007).
9
Menurut Harold H. Titus, ideologi adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk
memecahkan berbagai macam masalah politik dan ekonomi yang dilaksanakan secara
sistematis dan dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat. Selain itu, Louis
Althusser menjelaskan bahwa ideologi merupakan suatu materi yang tidak dibangun
berdasarkan kemauan dan harapan atau ide masyarakat, melainkan lahir dari tingkah
laku masyarakat. Descartes menambahkan bahwa ideologi adalah inti dari kumpulan
pemikiran individu ataupun sekelompok manusia (Takwin, 2008).
Terdapat beberapa ideologi yang dianut oleh negara-negara didunia, antara lain
ideologi fasis. Ideologi fasis adalah ideologi yang pengorganisasian pemerintah dan
masyarakat dilakukan secara totaliter oleh suatu partai. Partai tersebut bercirikan
nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Kedua, ideologi komunis yang menerapkan
sistem politik sosial ekonomi dan kebudayaan berdasarkan ajaran Marxisme-Leninisme.
Ketiga adalah ideologi liberal yang memiliki suatu pandangan filsafat dan tradisi politik
yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.
Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama
(Sukarna, 1981). Sementara itu, ada ideologi Pancasila yang akan dijabarkan lebih
lanjut
2.1.3 Pancasila
Pancasila adalah nama resmi dari dasar negara Republik Indonesia yang
tercantum dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Secara etimologis “Pancasila”
berasal dari bahasa Sansekerta. Panca berarti 5 (lima), sedangkan syila artinya batu
sendi, alas, atau dasar. Maka, Pancasila dapat diartikan sebagai 5 dasar peraturan
tingkah laku yang baik (Lasiyo & Yuwono, 1985). Dasar Filsafat Negara Republik
Indonesia yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, yaitu: (Lasiyo &
Yuwono, 1985)
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
10
Tjiptabudy (2010) menganalisa lebih mendalam mengenai Pancasila dengan
menjabarkan prinsip – prinsip yang terkandung dalam setiap sila. Prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa mengarahkan Bangsa Indonesia untuk berpikir, bersikap dan bertindak.
Setiap manusia bebas berpikir, bebas berusaha, namun sadar dan yakin bahwa pada
akhirnya yang menentukan segalanya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia
juga harus rela dan ikhlas diatur. Dalam menentukan suatu pilihan, setiap orang
memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan dan
harus menerima akibat dari pilihan tersebut. Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab
memberikan acuan kepada masyarakat agar dalam olah pikir, olah rasa, dan olah tindak
harus sesuai dengan harkat dan martabatnya. Artinya, setiap manusia memiliki kak dan
kewajiban yang patut dihormati oleh satu sama lain, sehingga tidak akan terjadi
penindasan atau pemerasan. Segala aktivitas berlangsung dalam keseimbangan,
kesetaraan dan kerelaan. Prinsip persatuan Indonesia mengarahkan pola pikir, sikap dan
tindakan bangsa Indonesia kepada keutuhan dan kokohnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kita mengaku bahwa negara kesatuan ini memiliki berbagai keanekaragaman
yang ditinjau dari segi agama, adat, budaya, ras, suku yang harus didudukkan secara
proporsional dalam negara kesatuan. Bila sewaktu-waktu terjadi konflik kepentingan,
maka kepentingan bangsa harus diletakkan diatas kepentingan pribadi, kelompok,
golongan dan daerah. Prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan / perwakilan memberikan petunjuk bahwa dalam berfikir,
bersikap dan bertingkah laku yang berdaulat seluruh rakyat memiliki kedudukan
terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Aspirasi rakyat
menjadi pangkal tolak penyusunan kesepakatan bersama dengan cara
musyawarah/perwakilan. Apabila dengan bermusyawarah kesepakatan tidak tercapai,
maka dapat dilakukan pemungutan suara. Apapun hasil dari pemungutan suara tersebut,
semua pihak tanpa terkecuali, wajib melaksanakannya. Prinsip keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia memberikan acuan bagi olah pikir, olah sikap dan olah tindak
yang mengarah pada terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat
Indonesia tanpa terkecuali. Kesejahteraan harus dapat dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat dan merata di seluruh daerah sehingga terhindar dari kesenjangan yang
mencolok.
11
Tjiptabudy (2010) mengemukakan nilai-nilai yang dapat ditemukan dalam
Pancasila. Nilai tersebut sangat mempengaruhi kemana arah tujuan bangsa Indonesia.
Adapun nilai Pancasila yang pertama adalah kedamaian yang berarti memberikan
gambaran akan situasi tidak adanya konflik dan kekerasan. Segala unsur yang terlibat
dalam suatu proses sosial harus berlangsung secara selaras, serasi dan seimbang,
sehingga menimbulkan keteraturan, ketertiban dan ketenteraman. Segala kebutuhan
yang diperlukan oleh manusia dapat terpenuhi, sehingga tidak terjadi perebutan
kepentingan. Hal ini akan terwujud apabila segala unsur yang terlibat dalam kegiatan
bersama mampu mengendalikan diri. Nilai kedua adalah keimanan yang diartikan
sebagai suatu sikap yang menggambarkan keyakinan akan adanya kekuatan
transendental yang disebut Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keimanan, manusia yakin
bahwa Tuhan menciptakan dan mengatur alam semesta. Apapun yang terjadi di dunia
adalah atas kehendak-Nya dan manusia wajib untuk menerima dengan keikhlasan. Nilai
ketiga adalah ketaqwaan yang mengartikan sikap berserah diri secara ikhlas dan rela
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersedia tunduk dan mematuhi segala perintah-Nya
serta menjauhi segala larangan-Nya. Nilai keempat adalah keadilan yang diartikan
sebagai suatu sikap yang mampu menempatkan makhluk dengan segala
permasalahannya sesuai dengan hak dan kewajiban, serta harkat dan martabatnya secara
seimbang diselaraskan dengan peran fungsi dan kedudukkannya masing-masing. Nilai
kelima adalah kesetaraan yang mengartikan suatu sikap yang mampu menempatkan
kedudukan manusia tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, golongan, agama, adat
dan budaya dan lain-lain. Setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum dan
memperoleh kesempatan yang sama dalam segenap bidang kehidupan sesuai dengan
potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pada nilai keenam terdapat keselarasan yang
merupakan nilai dimana, keadaan yang menggambarkan keteraturan, ketertiban dan
ketaatan karena setiap makhluk melaksanakan peran dan fungsinya secara tepat dan
proporsional, sehingga timbul suasana harmoni, tenteram dan damai. Ibarat suatu
orkestra, setiap pemain berpegang pada partitur yang tersedia dan setiap pemain
instrumen melaksanakan secara taat dan tepat sehingga tercipta suasana nikmat dan
damai. Nilai ketujuh adalah keberadaban yang menggambarkan setiap komponen dalam
kehidupan bersama-sama berpegang teguh guna mencerminkan nilai luhur budaya
bangsa. Persatuan dan kesatuan terdapat pada nilai kedelapan yang menggambarkan
12
keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk, namun mampu membentuk suatu
kesatuan yang utuh. Setiap komponen dihormati dan menjadi bagian integral dalam satu
sistem kesatuan negara-bangsa Indonesia. Nilai kesembilan adalah mufakat yang
mengartikan suatu sikap terbuka untuk menghasilkan kesepakatan bersama secara
musyawarah. Keputusan sebagai hasil mufakat secara musyawarah harus dipegang
teguh dan wajib dipatuhi dalam kehidupan bersama. Nilai kesepuluh adalah
kebijaksanaan yang artinya adalah sikap yang menggambarkan hasil olah fikir dan olah
rasa yang bersumber dari hati nurani dan bersendi pada kebenaran, keadilan dan
keutamaan. Bagi bangsa Indonesia hal ini sesuai dengan nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Nilai terakhir dalam Pancasila adalah kesejahteraan yang mengartikan
terpenuhinya tuntutan kebutuhan manusia baik kebutuhan lahiriyah maupun batiniah,
sehingga terwujud rasa puas diri, tenteram, damai dan bahagia. Kondisi ini hanya akan
dapat dicapai dengan kerja keras, jujur dan bertanggungjawab.
Pancasila mengandung banyak prinsip dan nilai-nilai positif. Dalam kehidupan
bermasyarakat Pancasila juga memiliki fungsi. Fungsi pertama adalah sebagai
pemersatu pola pikir dan tingkah laku bangsa. Setiap individu di Indonesia memiliki
kewajiban untuk menerapkan setiap sila dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak boleh
ada orang yang hanya setuju terhadap salah satu sila, melainkan harus menganggap
Pancasila sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Fungsi kedua adalah
menunjukkan cara hidup dalam bermasyarakat. Contohnya, gotong royong, saling
menghargai antar pemeluk agama, menghargai pendapat sesama, dll. Fungsi yang
terakhir yaitu untuk menghadapi sikap sinis dan skeptis dalam ranah politik. Pancasila
membantu dalam membangun kredibilitas dan kelayakan institusi politik, sehingga
ketidakpercayaan masyarakat atas politik dapat diatasi (Lasiyo & Yuwono, 1985).
2.1.4 Pemahaman Ideologi Pancasila
Pemahaman diambil berdasarkan teori auditori visual Bloom yang dibagi
menjadi 6 domain atau tingkatan. Namun, peneliti hanya menkaji lebih dalam mengenai
dua domain awal, yaitu tahu dan memahami dalam penelitian ini. Pertama, yaitu tahu
(Know) yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Dalam tingkat pengetahuan ini, seseorang mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang pernah dipelajari atau rangsangan yang
13
telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
adalah menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan. Kedua,
memahami (comprehension) yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Kata kerja untuk mengukur bagaimana seseorang memahami apa
yang dipelajari antara lain seseoang mampu menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya.
Pancasila adalah nama resmi dari dasar negara Republik Indonesia yang
tercantum dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Secara etimologis “Pancasila”
berasal dari bahasa Sansekerta. Panca berarti 5 (lima), sedangkan syila artinya batu
sendi, alas, atau dasar. Maka, Pancasila dapat diartikan sebagai 5 dasar peraturan
tingkah laku yang baik (Lasiyo & Yuwono, 1985).
Dari penejelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman ideologi
Pancasila merupakan kemampuan individu untuk mengetahui serta memahami
mengenai 5 dasar tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dimana Pancasila
sebagai dasar dari semuanya.
2.2 Apatisme Politik
Dean (1959) mendefinisikan apa yang dimaksud dengan apatisme politik. Beliau
menjelaskan bahwa apatisme politik secara sederhana adalah ketika seseorang tidak
menyumbangkan suaranya dalam suatu pemilihan umum. Apatisme politik juga
dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti angka pemasukan (gaji), tingkat pendidikan, ras,
agama, dan usia. Dean juga memaparkan bahwa tingkat partisipasi seseorang terjadi
karena minat seseorang tersebut akan politik (interest factor). Ketika seseorang sudah
tertarik sedari awal untuk menyumbangkan suaranya pada pemilu, maka faktor apapun
yang mempengaruhi apatisme politik akan terelakkan. Interest factor sendiri terjadi
ketika seseorang sering mendengarkan radio mengenai pemberitaan politik, mengenal
tokoh-tokoh politik yang akan maju dalam pemilihan umum, maupun menghadiri atau
menonton kampanye para tokoh-tokoh politik maupun partai. Selain itu, terdapat juga
influence factor dimana seberapa besar pengaruh lingkungan sekitar, maupun
pemerintah untuk membuat mereka memilih dalam pemilihan umum (influence factor).
14
Menurut McLosky (dalam Budiardjo, 1982), apatisme politik muncul karena
sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik mengenai masalah politik. Apatisme politik juga
ada karena ketidakyakinan bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah
akan berhasil. Sementara itu, ada juga individu yang dengan sengaja tidak
memanfaatkan haknya untuk memilih karena berada dalam lingkungan (minoritas)
dimana ketidak-ikutsertaan adalah hal yang terpuji.
Berindra (dalam Juneman, 2013) memaparkan beberapa contoh apatisme
mahasiswa dalam dunia politik, yaitu:
1. Mahasiswa tak berminat belajar ilmu politik
2. Mahasiswa menganggap “bikin pusing saja” jika menjadi anggota senat atau
badan eksekutif mahasiswa
3. Mahasiswa yang “melek politik” pun tidak mempraktekkan ilmu politiknya
dengan penelitian dan partisipasi politik
4. Mahasiswa yang sudah tergabung dalam senat atau badan eksekutif
mahasiswa pun menarik diri dari organisasi tersebut karena “bosan” terhadap
perdebatan
5. Mahasiswa kurang berminat mengubah kondisi masyarakat melalui
organisasi kemahasiswaan
Fenomena apatisme politik tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Hal ini sejalan
dengan pendapat dari Nilamsari (2000) yang memaparkan tentang faktor pembentuk
sikap apatis. Faktor pertama pembentuk sikap apatis adalah dukungan sosial. Dukungan
sosial yang rendah dapat membentuk sikap khawatir dan apatis seseorang. Sebaliknya,
ketika individu mendapat dukungan sosial yang tinggi, maka memunculkan sikap
simpatik. Faktor pendukung kedua adalah pengetahuan yang mempengaruhi seseorang
untuk bersikap simpati atau antipati akan suatu hal. Faktor ketiga adalah frustasi yang
dapat bersifat positif dan negatif kepada seseorang. Apabila reaksi frustrasi negatif
memakan waktu yang lama, maka seseorang akan cenderung besikap apatis. Faktor
keeempat adalah pengelolaan stress. Ketika seseorang individu dapat mengelola stress
secara tepat, maka akan mengurangi terbentuknya atau kemunculan apatisme individu.
Yang kelima adalah tuntutan kerja yang terlalu banyak juga jenis pekerjaan yang
stressful, akan mengarahkan individu pada perubahan sikap yang mengandung unsur
apatis. Faktor emosional juga turut memberikan dampak seseorang dalam membentuk
15
sikap apatis. Apabila seseorang sulit mengontrol emosinya, maka dapat menimbulkan
reaksi negatif berupa mekanisme pertahanan ego individu. Faktor terakhir, yaitu
kepangkatan dalam satuan tugas mengarahkan pada pembentukan sikap individu ketika
menghadapi kompleksitas hidupnya.
2.3 Mahasiswa Psikologi Bina Nusantara
Subjek dalam penelitian ini adalah para mahasiswa strata 1 (S1). Rata – rata usia
dari mahasiswa S1 adalah 18 – 23 tahun. Peneliti menggunakan teori perkembangan
Erik Erikson, yaitu dewasa awal. Dewasa awal dalam perkembangan Erik Erikson
berusia sekitar 19 – 30 tahun. Setelah melalui masa pencarian identitas pada tahapan
remaja, seseorang harus memperoleh kemampuan untuk membaur bersama orang lain
dengan terus mempertahankan identitas pribadinya sendiri. Untuk beberapa orang
tahapan dewasa awal akan terus berlanjut beberapa dekade kedepan. Namun, ada juga
yang berada dalam tahapan ini hanya dalam jangka waktu singkat. Dewasa awal harus
mengembangkan kedewasaannya dan menggabungkan pengalaman hidup untuk
menghadapi konflik intimacy and isolation, serta memperoleh kemampuan dasar dalam
cinta (Feist & Feist, 2008).
2.4 Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
16
Fenomena golput sangat nyata dalam Pemilihan Presiden (pilpres) 2014. Angka
golongan putih (golput) pada pilpres 2014 meningkat dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada gelaran Pilpres 2014
angka golput mencapai 29,8 % terburuk dibanding Pilpres 2004 yang hanya mencapai
24% (Angga, 2014). Berdasarkan peningkatan angka golput tersebut, pemerintah wajib
mengkaji fenomena ini lebih mendalam. Sebagaimana Indonesia merupakan negara
demokrasi dan peran serta rakyat dalam bentuk aspirasi merupakan hal dasar dalam
proses pembangunan negara kea rah yang lebih baik (Soekarno, 1959). Fenomena
golput sering disebut dengan apatisme politik, yang merupakan ketidakpedulian
individu dimana mereka tidak memiliki minat atau tidak adanya perhatian terhadap
aspek-aspek tertentu, seperti kehidupan sosial maupun aspek fisik dan emosional
(Sarfaraz & Khalid, 2012).
Apatisme politik juga dapat terjadi pada kalangan muda. Pendapat ini didukung
oleh penelitian Garcia – Albacete (2006) yang mengatakan bahwa kalangan muda
memiliki tingkat ketidakpercayaan tinggi terhadap pemerintahan. Penulis memperkuat
fenomena apatisme politik dengan melakukan wawancara kepada subjek penelitian,
yaitu mahasiswa psikolog Bina Nusantara (Binus). Peneliti melakukan wawancara
tersebut karena selama mengikuti program studi psikologi di Universitas Bina
Nusantara peneliti merasakan fenomena apatisme dilingkungan pergaulan. Untuk
mendapatkan data yang lebih konkret, peneliti melakukan wawancara kepada 15
binusian 2015 jurusan psikologi. Melalui wawancara yang dilakukan, penulis
menemukan bahwa 12 dari 15 mengaku tidak menyumbangkan suaranya pada Pilpres
2014 lalu. Surat harian Kompas menjelaskan angka golput di kalangan pemilih muda
masih terbilang cukup tinggi. Hasil survei dari 1200 responden menunjukkan bahwa 30
persen diantaranya menyatakan belum menentukan sikap atau golput jika pemilu
dilaksanakan hari ini (Prabowo, 2013).
Peristiwa apatisme politik memiliki keterkaitan dengan beberapa hal, yaitu
dukungan sosial, pengetahuan, frustrasi, coping stress, tuntutan kerja, faktor emosional,
dan kepangkatan. Setelah melakukan peninjauan literatur lebih mendalam, peneliti
tertarik untuk menkaji lebih dalam mengenai pengetahuan sebagai faktor penyebab
apatisme politik (dalam hal ini pemahaman idelogi Pancasila). Selain itu, dengan ada
atau tidaknya pengetahuan, dapat mempengaruhi sikap simpati atau antipati seseorang
17
akan sesuatu. Pengetahuan sendiri, menurut Bloom (dalam Aiken & Groth-Marnat,
2006) dibagi menjadi 6 tingkatan, yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisa, sintesis, dan
evaluasi. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tingkatan awal kedua, yaitu
memahami karna pertimbangan tingkat kompleksitas ke-4 domain berikutnya dan waktu
pengerjaan.
Sikap apatis akan kondisi politik Indonesia yang semakin meningkat dari tahun
ketahun diharapkan mampu diatasi dengan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia diharapkan mampu mengembalikan antusias
rakyat Indonesia untuk kembali peduli dalam pembangunan bangsa. Sudjarwadi (2009)
mengatakan bahwa Pancasila memiliki posisi penting dalam dunia politik, yaitu untuk
menghadapi sikap sinis dan skeptis dengan cara membangun kredibilitas dari institusi
politik, sehingga ketidakpercayaan akan politik yang nantinya dapat berujung pada
apatisme dapat diatasi.
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, peneliti menduga adanya hubungan
antara pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik pada mahasiswa psikologi
Bina Nusantara.
2.5 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,
dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan,
dirumuskan atas dasar kerangka berpikir, dan merupakan jawaban sementara atas
masalah yang dirumuskan (Sugiyono, 2012). Peneliti membuat hipotesis, yaitu terdapat
hubungan antara pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik pada mahasiswa
psikologi Bina Nusantara.
18
Download