BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Apatisme Politik Menurut Solmitz pada tahun 2000 (dalam Ahmed, Ajmal, Khalid & Sarfaraz, 2012), apatisme adalah ketidakpedulian individu dimana mereka tidak memiliki minat atau tidak adanya perhatian terhadap aspek-aspek tertentu seperti kehidupan sosial maupun aspek fisik dan emosional. Menurut Dan pada tahun 2000 (dalam Ahmed, et. al, 2012), apatis adalah istilah lain untuk sifat pasif, tunduk bahkan mati rasa terutama terhadap hal-hal yang menyangkut isu sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik. Gejala dari sifat apatis ini dapat dilihat dari kurangnya kesadaran, kepedulian dan bahkan sifat tidak tanggung jawab sosial yang dapat berpengaruh kepada pemungutan suara. Hal ini terlihat jelas khususnya pada individu yang berumur 18-24 tahun. Selain itu, apatisme politik juga merupakan hasil dari dominasi politik beberpaa oknum politisi yang lebih memperhatikan karir politiknya tanpa melihat apa yang terjadi pada negaranya secara keseluruhan. Oleh karena itu, masyarakat khususnya remaja pada umumnya tidak lagi tertarik pada politik (Ahmed, et. all, 2012). Mills pada tahun 1999 (dalam Etnel, 2010) berpendapat bahwa pentingnya bagis semua untuk berpendapat dalam pemerintahan, termasuk anak muda. Karena memiliki atau menyampaikan suara sama saja dengan berpartisipasi (Etnel, 2010). Ketidak percayaan remaja kepada pihak pemerintahan juga lebih tinggi dibandingkan oleh orang dewasa.Mereka juga kurang tertarik terhadap politik dan isu-isu umum. Pengetahuan mereka 11 12 tentang institusi politik dan proses demokratik juga kurang karena mereka kurang tertarik untuk mencari informasi politik dan kurang mau berpartisipasi. Padahal, remaja diindentifikasikan sebagai tokoh utama dalam kinerja sistem demokrasi.(Albacete, 2006). Apatisme ini mempengaruhi 2 dimensi yaitu sikap dan perilaku. Apatisme dapat berupa: 1. Tidak tertarik terhadap politik 2. Tidak percaya terhadap institusi politik 3. Ketidak mauan berpartisipasi Tanpa adanya keinginan untuk berpartisipasi, remaja akan kehilangan kesempatan besar dalam meningkatkan keahlian dalam berpartisipasi dalam politik. Remaja yang kurang berpartisipasi dalam politik akan mengalami kesulitan dalam mencapai keahlian berpartisipasi dalam politik seperti yang dilakukan oleh orang dewasa saat ini (Quinteler, 2007). Selain itu, remaja merasakan susahnya untuk bisa menyesuaikan gaya hidup dan pekerjaan mereka terhadap partisipasi politik dengan cara yang lama dan juga mereka merasa bahwa politik tidak berkesinambungan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Mereka lebih tertarik kepada bentuk politik yang informal seperti politik dengan isu-isu sosial (Quinteller, 2007). Ada beberapa hal yang menjadi penyebab remaja tidak tertarik terhadap politik, antara lain (Etnel, 2010): 1. Menurut Henn, Weinstein dan Wining pada tahun 2005 (dalam Etnel, 2010), politik tidak merefleksikan persepsi remaja. 2. Menurut Pirie dan Worcester pada tahun 2000 (dalam Etnel, 2010), menyatakan bahwa remaja yang ada saat ini adalah remaja 13 yang apatis. Pengetahuan mereka mengenai politik sangat sedikit dibandingkan remaja pada generasi sebelumnya. 3. O’toole, Marsh dan Jones pada tahun 2003 (dalam Etnel, 2010), menyatakan bahwa remaja kurang dilibatkan dalam sistem politik dikarenakan mereka masih muda, sedangkan perpektif dan kepedulian remaja dalam politik tidak terwakili sehingga mereka merasa bahwa mereka tidak dapat mempengaruhi politik termasuk juga dalam pembuatan peraturan dan pengambilan keputusan. Dari penyebab yang telah disampaikan diatas, dapat dilihat bahwa sifat apatis remaja terhadap politik tidak hanya disebabkan oleh pihak remaja, tetapi juga dikarenakan oleh pihak politik dimana peran remaja kurang dilibatkan dalam sistem politik.beberapa politikus merasa bahwa remaja tidak cukup berkualitas untuk dapat terlibat dalam pengambilan keputusan dikarenakan dirasa kurang mampu dalam berpikir, kemampuan sosial dan beretika (Quinteler, 2007). Hal ini tentunya tidak boleh berlanjut, karena bagaimanapun remaja akan tumbuh menjadi orang dewasa dimana mereka harus mengerti mengenai sistem politik dan pemerintahan yang berjalan di negaranya sendiri agar mereka dapat melanjutkan dan membangun negaranya agar lebih maju dan makmur. Henn (2005), menyatakan bahwan ketidak ikut sertaan remaja dalam politik merupakan karena kegagalan politisi dalam mengatasi masalah yang menyangkut remaja. Selain itu remaja juga memandan politisi tidak dapat dipercaya, mementingkan diri sendiri, dan haus kekuasaan.Banyak remaja merasa bahwa suara atau pendapat mereka tidak didengar oleh politisi dan akhirnya mereka tidak dapat mempengaruhi politik (Quinteler, 2007). 14 Remaja harus mulai dilibatkan dalam politik gunananya adalah untuk melatih kemampuan mereka dalam berpartisipasi dalam politik pada saat dewasa nanti. Ada beberapa cara untuk membuat remaja tertarik terhadap politik, yaitu (Etnel, 2010): 1. Menurut O’toole, Marsh dan Jones pada tahun 2003 (dalam Etnel, 2010), politik harus melibatkan remaja dengan isu-isu yang mempengaruhi dan mendapat perhatian mereka. Politisi jugaharus lebih banyak mendengar pendapat remaja. 2. Ginwirth dan James pada tahun 2002 (dalam Etnel, 2010), berpendapat agar pesan politik diselipkan dalam sistem budaya, seperti music hip-hop dengan lirik isu-isu politik. 3. Tracey Skelton pada tahun 2006 (dalam Etnel, 2010), mengatakan bahwa remaja harus dianggap sebagai actor politik, bukan sebagai subjek politik. 4. Menurut Cloonan dan Street pada tahun 1998 (dalam Etnel, 2010), isu politik disampaikan menggunakan musik pop dan komedi agar mendorong para remaja atau kaum muda untuk berpartisipasi dalam politik. 2.2 Perasaan Kewargaan Menjadi bagian atas suatu komunitas membentuk identitas bagi individu, termasuk menjadi warga di suatu negara. Federico dan Sullivan (2009) membuat 2 tipe identitas sosial, yaitu, peran identitas (role identities) dan identitas grup (group identities). Peran identitas menggambarkan bagaimana hubungan antar individu di dalam sebuah jaringan sosial atau 15 struktur organisasi dengan melihat perilaku, kewajiban dan tanggung jawab mereka terhubung dengan keanggotannya dalam suatu grup. Identitas grup adalah bagaimana sebuah grup membentuk identitasnya dengan memberikan persepsi dimana grup tersebut berbeda dengan grup lain (Federico & Sullivan, 2009). Kedua identitas sosial merupakan hal yang penting karena mereka berguna untuk mengidentifikasi individu dan kelompok. Terkait dengan hal itu, menurut Federico dan Sullivan (2009), kewargaan adalah peran identitas yang didefinisikan oleh hak dan kewajiban yang berhubungan dengan kehidupan sipil dan keanggotaan di dalam sistem politik demokrasi (Federico & Sullivan, 2009). Identitas grup pada tingkat nasional membentuk keterikatan antar anggotanya dan memberikan ketertarikan terhadap kemakmuran nasional dan memberikan motivasi untuk menjadi warga yang baik secara individual dengan cara berpartisipasi sebagai warga (Federico & Sullivan, 2009). Menurut Walzer pada tahun 1989 (dalam Sears, Hudd & Jarvis, 2003) warga adalah anggota dari komunitas politik. Kewargaan adalah ekspresi dari hubungan antara individu dengan sistem politik. Pendapat lain mengenai definisi kewargaan disampaikan oleh Kostakopoulo pada tahun 2008 (dalam Sindic, 2011) bahwa kewargaan adalah kesamarataan anggota dalam komunitas politik mulai dari hak dan kewajiban, keuntungan yang didapat, partisipasi, dan identitasnya (Sindic, 2011). Dan menurut Bottomore pada tahun 1992 (dalam Glover, 2004), kewargaan dapat didefinisikan secara universal sebagai keanggotaan dalam sebuah bangsa negara. 16 Definisi mengenai kewargaan sudah sering diperdebatkan dan mencakup lingkup yang cukup luas. Dari perdebatan yang telah ada, Condor (2011) meringkas kewargaan dalam 4 bagian, yaitu: 1. Batasan: yaitu batasan anggota dalam proses politik. 2. Dimensi: Bermula dari teori Marshall (1950) yang membagi jadi 3 bagian kewargaan sipil, yaitu sipil, politik dan sosial. Bagian ini ditambahkan oleh Skinner (1992) dengan tambahan ekonomi, budaya, dan lingkungan. 3. Model: Kewajiban bagi warga untuk berpartisipasi dalam politik dan pengambilan keputusan. 4. Keanggotaan: Ketentuan apa saja yang diperlukan individu agar dapat dikatakan sebagai warga yang legal. Dari pengertian yang telah dipaparkan oleh beberapa tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa kewargaan merupakan keanggotaan individu dalam sebuah negara yang dapat dilihat dari kesamarataan hak dan kewajiban serta partisipasi mereka dalam sistem politik dan membentuk identitas. Salah satu konstruk yang berdekatan dengan perasaan kewargaan adalah kewargaan global (global citizenship) yang dikemukakan oleh Morais dan Ogden (2010) pada global citizenship yang menjadi objek kelekatan dan identitas adalah lingkungan global. Namun, pada penelitian ini objek kelekatan dan identitasnya dalah bangsa, maka itu peneliti mengadaptasi dimensi global citizenship untuk menghasilkan alat ukur perasaan kewargaan, yaitu: 1. Tanggung Jawab Sosial, menurut Westheimer dan Kahne, 2004 (dalam Morais & Ogden, 2010) merupakan sikap individu untuk 17 merasa bertanggung jawab dan mengerti pentingnya masalah dan mencoba untuk mengembangkan lingkungannya sosialnya. 2. Kompetensi menurut Noddings, 2005 (dalam Morais & Ogden, 2010) merupakan sikap mengerti dan menghargai keragaman budaya, agama, dan perbedaan yang berada di dalam lingkungannya. 3. Keterlibatan Sipil, Keterlibatan kepada sipil menurut Westheimer dan Kahne, 2004 (dalam Morais & Ogden, 2010) adalah partisipasi individu secara aktif dalam memimpin sistem dan struktur komunitas yang mapan. Individu dapat dikatakan memiliki perasaan kewargaan yang baik apabila mereka memiliki nilai baik dari ketiga dimensi diatas. Westheimer dan Kahne (2004) menggolong 3 macam warga, yaitu the personally responsible citizen, the participatory citizen, dan the justice oriented citizen. The personally responsible citizen adalah warga yang bersikap tanggung jawab di dalam komunitas atau tempat tinggalnya. Tanggung jawab seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengikuti donor darah, mendaur ulang sampah, dan taat pada hukum.Warga yang bertanggung jawab diharapkan dapat bersikap jujur, beritegrasi, disiplin diri, dan mampu bekerja keras. The participatory citizen adalah warga yang secara aktif berpartisipasi dalam urusan sipil dan kehidupan sosial di masyarakat.Hal tersebut dapat mengembangkan kepercayaan, dan hubungan komitmen antar masyarakat, (Westheimer & pemahaman Kahne, 2004). umum, Pada penelitiannya, Marcelo, Lopez, dan Kirby (2007) menemukan bahwa remaja 18 banyak ikut berpartisipasi aktif dalam komunitas lingkungannya, sebagian besar dari mereka beralasan bahwa berpartisipasi dalam komunitas merupakan keputusan mereka untuk dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik, sebagian lagi berpendapat bahwa itu merupakan tanggung jawab mereka untuk menciptkakan lingkungan sosial yang lebih baik dengan berpartisipasi dalam sebuah komunitas. Warga yang tergolong justice oriented mempunyai visi yang berorientasi dengan the participatory citizen. Warga ini menekankan kehidupan mereka pada kerja kolektif yang berkaitan dengan kehidupan dan isu-isu masyarakat dan fokus dalam menanggapi masalah-masalah sosial dan perubahan structural untuk mencapai keadilan (Westheimer & Kahne, 2004). 2.3 Decision Fatigue Sebelum melakukan pemilihan atau memberikan pilihan, tentunya kita akan mencari informasi mengenai kandidat yang dapat menarik perhatian kita maupun kepada oposisi atau saingan kandidat tersebut dan membandingkan serta memproses informasi tersebut sesuai dengan tujuan kita. Namun, terlalu banyaknya pilihan dan informasi yang didapat akan dapat memunculkan decision fatigue atau kelelahan dalam memilih. Pada tahun 1998, Bowler dan Donovan (dalam Augenblick & Nicholson, 2012) mengemukakan bahwa banyak orang yang akhirnya baru menentukan pilihannya dalam pemilu saat mereka jalan ke tempat pemungutan suara. Fenomena ini juga disebut dengan nama “roll-off”. Fenomena ini juga kemungkinan terjadi karena terjadinya kelelahan dalam memilih (Augenblick & Nicholson, 2012). 19 Decision fatigue biasanya diterapkan dalam ilmu ekonomi dan psikologi konsumen. Namun hal tersebut juga dapat terjadi pada saat menentukan pilihan kepada kandidat pada pemilihan umum. Bowler, Donovan & Happ pada tahun 1992 berpendapat bahwa decision fatigue dapat mengacu atau mempengaruhi individu kepada perilaku golput. Mereka mengikuti pendapat Downs pada tahun 1957 dan Magleby pada tahun 1989 (dalam Augenblick & Nicholson, 2012) yang mengatakan bahwa memberikan suara dikendalikan oleh analisa cost-benefit yang biasa diterapkan dalam ilmu ekonomi. Wattenberg, McAllister dan Salvanto pada tahun 2000 (dalam Augenblick & Nicholson, 2012) mengatakan bahwa walaupun konsepnya belum dibuktikan dalam pengaplikasian perilaku pemilih dan hanya melakukan survey, namun mereka cukup yakin bahwa individu yang memiliki informasi lebih sedikit mengenai pemilihan atau kandidat akan lebih cenderung untuk golput. Menurut Augenblick dan Nicholson (2012), tidak mempunyai informasi mengenai kandidat atau proposisi bukan berarti individu akan memberikan suara atau menentukan pilihannya secara random atau acak. Mereka justru akan membuat cara bagaimana informasi yang minim itu dapat digunakan untuk memilih. Lalu Augenblick dan Nicholson (2012) melakukan percobaan untuk melihat apa dampak decision fatigue terhadap individu saat memberikan suaranya, apakah mereka akan tetap memilih atau lebih memilih untuk golput alias tidak memilih. Selain itu, decision fatigue dapat meningkatkan pemakaian heuristik pada pengambilan keputusan (Augenblick & Nicholson, 2012). 20 Dari hasil eksperimen yang dilakukan, muncullah hasil sebagai berikut (Augenblick & Nicholson, 2012): 1. Warga segera melakukan pemilihan untuk menghindari decision fatigue agar mereka dapat melakukan perubahan dan meminimalisir golput. 2. Harus ada pemberitahuan dan informasi terlebih dahulu mengenai pemilihan agar individu dapat mengerti kewajibannya pada saat pemilihan. 3. Individu merasa tidak memilih atau golput bukanlah perilaku yang salah. 4. Jika efek fatigue tidak diinginkan, maka sebaiknya kandidat mempertimbangkan untuk mengacak urutan pemilihan. 5. Apabila individu mengalami fatigue dan kelelahan tersebut mempengaruhi kemampuan mereka dalam berpartisipasi, maka sebaiknya kandidat maupun proses pengambilan suara dibatasi. Menurut Nieuwenstein dan Rijn (2012), decision fatigue adalah keadaan dimana individu kehilangan motivasi dan usaha yang akan menghalangi kemampuan individu tersebut untuk memilih pilihan yang terbaik dan semakin banyaknya pilihan kompleks yang diberikan dapat menyebabkan decision fatigue yang cepat. Fatigue yang dialami individu dapat menyebabkan pendeknya waktu dalam mempertimbangkan pilihan dan membuat keputusan yang buruk dalam keadaan sadar. Dalam penelitiannya terhadap reform fatigue, Lora, Panizza, dan Quispe-Agnoli (2004), berpendapat bahwa reform fatigue ialah kurangnya dukungan dari masyarakat, hilangnya kepercayaan terhadap keuntungan yang 21 akan didapat dan kurangnya aktif dalam memiliki pendirian terhadap reformasi. Hal ini mendukung pengertian decision fatigue yang telah dikemukakan sebelumnya, mengingat negara kita merupakan negara reformasi. Ada beberapa alasan mengapa fatigue dapat terjadi, antara lain (Lora, Panizza, & Quispe-Agnoli, 2004): 1. Keadaan ekonomi 2. Alasan politik 3. Keadaan sosial 4. Psikologis Menurut Lora, Panizza, dan Quispe-Agnoli (2004), individu tidak dapat membuat keputusan yang banyak tanpa mendapatkan keuntungan, karena mereka dapat mengalami decision fatigue. Seperti apa yang telah dipaparkan sebelumnya, individu akan memilih suatu pilihan yang akan memberikan keuntungan paling banyak bagi mereka, maka itu penting bagi pilihan yang diberikan untuk memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi para pemilih. Semakin banyaknya pilihan yang harus dipilih, semakin sulit tiap pilihan untuk diproses di otak yang nantinya dapat menyebabkan divide mengalami decision fatigue dan membuat otak mencari jalan alternatif untuk memilih yaitu (Brokaw, 2011) : 1. Impulsif : Individu akan gegabah untuk menentukan pilihan tanpa memikirkan konsekuensi atas pilihan yang akan dilakukan. 2. Indecisive : Individu tidak mau menggunakan tenaganya dalam memproses pilihan yang ada dan memilih untuk tidak perduli terhadap pilihan. 22 Impulsivitas adalah tendensi untuk tidak melibatkan kesengajaan apabila dibandingkan dengan orang lain yang memiliki kemampuan yang sama (dalam upaya mengambil keputusan) sebelum mengambil tindakan. Menurut Dickman (1990, halaman 95), “Impulsivity is the tendency to deliberate less than most people of equal ability before taking action”.Terdapat dua jenis impulsivitas, yaitu impulsivitas fungsional dan impulsivitas disfungsional. Perbedannya adalah (Dickman, 1990, halaman 95): “Dysfunctional impulsivity is the tendency to act with less forethought than most people of equal ability when this tendency is a source of difficulty. Fuctional impulsivity is the tendency to act with relatively little forethought when such style is optimal” Chiu (2007), menyatakan bahwa impulsivitas yang disfungsional merupakan sumber kesulitan, sedangkan impulsivitas yang fungsional adalah sumber kefasihan. Menurut Hurm (2011), ciri-ciri individu yang indecisive adalah memiliki perasaan frustasi atau cemas pada saat proses mengumpulkan informasi dimana ia menemukan bahwa dirinya masih merasa kekurangan pengetahuan baik tentang dunia sosialnya maupun tentang dirinya sendiri. Chiu (2007), merumuskan ciri utama indecisive yaitu “tidak mampu memobilisasikan dirinya untuk bertindak mengambil keputusan”.Ia juga menemukan daktor-faktor psikologis dari indecisive, yaitu penundaan pengambilan keputusan (decisional procrastination) dan ketakutan terhadap komitmen (fear of commitment). Berarti, individu yang individu mengerti 23 tentang pilihan-pilihan yang ada dan apa yang ia pertaruhkan namun individu memilih untuk tidak komit atau berpartisipasi. 2.4 Kerangka Berpikir Perasaan Kewargaan Apatisme Politik Decision Fatigue Kewargaan mengidentifikasikan diri pada negaranya dan tentunya ingin membangun negaranya salah satu caranya yaitu melalui politik, karena politik sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat atau warganya dari banyak aspek. Decision fatigue dari segala macam bentuknya (impulsif dan indecisive) keduanya membawa individu untuk menampilkan perilaku yang terlihat tidak memberikan kontribusi apapun kepada lingkungannya. Peneliti berasumsi bahwa perasaan kewargaan dan decision fatigue memiliki peran terhadap sikap apatisme politik. Asumsi peneliti adalah apabila perasaan kewargaan inidivdu tinggi maka apatisme politiknya akan rendah dan sebaliknya, lalu apabila nilai decision fatigue individu tinggi maka apatisme politiknya akan tinggi.