Oleh: Ali Usman Ideologi berasal dari kataYunani Idein, yang berarti melihat atau idea yang berarti muka, perawakan, gagasan, buah pikiran, dan Logia yang berarti ajaran. Ideologi berarti ajaran atau ilmu tentang gagasan dan buah pikiran. Ideologi dalam arti praktis adalah kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik individual maupun yang sosial. Penerapan ideologi dalam kehidupan bernegara disebut “politik”, karena itu ideologi sering dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, misalnya merebut kekuasaan. Ideologi dalam kehidupan kenegaraan dapat diartikan sebagai suatu konsensus mayoritas warga negara tentang nilai-nilai dasar yang ingin diwujudkan dengan mendirikan negara. Dimensi realita, yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi secara riil berakar dalam dan/atau hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya. Dimensi idealisme, yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi mengandung idealisme yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui pengalaman dalam praktik kehidupan bersama sehari-hari dengan berbagai dimensinya. Dimensi fleksibilitas/pengembangan, yaitu memiliki keluwesan yang memungkinkan dan merangsang pengembangan pemikiranpemikiran baru yang relevan dengan ideologi bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya. Menurut Alfian (1991), Pancasila memenuhi ketiga dimensi tersebut. Pancasila sebagai ideologi terbuka bukanlah berarti bahwa nilai dasarnya dapat diubah atau diganti dengan nilai dasar yang lain, karena jika itu terjadi, sama artinya dengan meniadakan Pancasila atau meniadakan identitas/jati diri bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar daripada Pancasila itu dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia dan tuntutan perkembangan zaman. Sebaliknya, Pancasila tidak menjadi semacam ideologi yang tertutup atau kaku yang hanya bersifat doktriner seperti halnya yang terdapat pada negara yang berpaham otoliter, di samping juga bukan sebagai ideologi yang bersifat utopia atau hanya terdapat dalam angan-angan belaka, melainkan bahwa ideide/gagasan-gagasan dasarnya tersebut dapat dilaksanakan. Subandi al-Marsudi. Pancasila dan UUD ‘45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta: Rajawali Press, 2000.