Media Massa, Idealisme, dan Politik Populer

advertisement
1
Media Massa, Idealisme, dan Politik Populer
Pemilu presiden dan wakil presiden 5 Juli 2004 telah melahirkan fenomena
baru dalam kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut di satu
sisi dipengaruhi oleh efek media massa (cetak dan elektronik) dalam kehidupan
publik, dan di sisi lain masih terkait dengan sikap mental dan perilaku politik
(sebagian besar) masyarakat yang tradisional dan emosional serta gampang
terpengaruh. Sehingga, kloplah kekuatan media massa tadi dalam mempengaruhi
pikiran dan harapan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya, dengan
kondisi masyarakat sendiri yang secara umum susah untuk diajak bersikap dewasa
dan kritis dalam berpolitik.
Dengan kata lain, kekuatan media massa yang dimanfaatkan oleh elite politik
seperti dalam massa kampanye calon presiden dan calon wakil presiden beberapa
waktu yang lalu itu ikut andil besar dalam menentukan kemenangan pasangan caprescawapres tertentu pada pemilu 5 Juli. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr.
Suyatno Kartodirjo, bahwa hasil pilpres kemarin merupakan kemenangan media.
Artinya media massa ikut berperan dalam mengemas dan mencitrakan caprescwapres yang menang ke putaran II.
Sulit untuk dipungkiri, bahwa media massa mempunyai kekuatan dan
pengaruh yang luar biasa terhadap pilihan dan sikap politik masyarakat. Dalam
gerakan demokratisasi, keberadaan media massa juga sering diasumsikan sebagai
pilar keempat kekuatan demokrasi, meskipun dalam praktiknya tidak menutup
kemungkinan justru media massa bisa turut membelokkan arah demokrasi.
Pandangan terhadap media massa sebagai salah satu pilar demokrasi, sebagaimana
dikemukakan Aris Fajar Rokhani, adalah dengan syarat pemberitaan dan analisisnya
itu obyektif. Menurut Presiden BEM Universitas Diponegoro Semarang ini, “hal itu
berarti media massa tidak manipulatif. Karena banyak media yang memuat berita
tidak obyektif, seperti gambaran tentang calon-calon presiden kemarin.”
Media Massa dan Politik Populer
2
Media massa, terutama yang
elektronik,
memiliki kekuatan impresif
terhadap perhatian dan pikiran publik serta daya jangkaunya tergolong luas karena
bisa masuk ke pelosok-pelosok desa dengan seketika. Secara audio visual, publik bisa
menyaksikan kampanye dan penayangan para kandidat presiden dan wakil presiden.
Pengaruh dan kesan dari media audio visual seperti televisi tentu lebih kuat dan
bertahan lama dalam memori publik ketimbang koran, selebaran, atau majalah.
Kekuatan dan pengaruh seperti itulah yang ikut membentuk pilihan dan sikap politik
masyarakat dalam pilpres 5 Juli.
Melalui kekuatan media massa elektronik seperti televisi, tim kampanye
capres-cawapres memplubikasikan jago-jagonya dan membuat pencitraan diri agar
bisa diterima oleh masyarakat. Capres-cawapres dan tim suksesnya yang mempunyai
kekuatan dana besar tentu akan gampang untuk menguasai media massa demi
menyukseskan kampanyenya.
Akibat lebih jauh dari kekuatan media massa seperti itu, muncullah kemudian
budaya politik populer di kalangan masyarakat. Budaya politik ini oleh Nurdien H.
Kistanto, Ph.D. disebutnya sebagai konsekuensi zaman, karena media massa menjadi
suatu
sarana yang luar biasa berikut akibat dan dampak yang ditimbulkannya.
Menurut Dosen Fak. Sastra Universitas Diponegoro Semarang ini, “popularitas pada
zaman sekarang ini memang sudah sangat jelas sebagai konsekuensi dari
perkembangan media massa.”
Dengan demikian bisa dikatakan, kemenangan
pasangan capres-cawapres
dalam pemilu 5 Juli kemarin itu dibantu oleh pengaruh media massa, meskipun
seperti yang dikemukakan Nurdien H. Kistanto, hal itu tidak terjadi secara instan,
karena para kandidat yang menang itu telah melalui proses sebelumnya. Meski
begitu, menurut Muhammad Hilmi Faiq (Peneliti di Center for Religious and Social
Studies, Malang), kemenangan pilpres kemarin adalah sebagai kemenangan kultur
politik populer.
Pandangan tersebut sepertinya semakin menguatkan pengaruh media massa
sendiri yang selama ini telah banyak berperan dalam mempromosikan budaya populer
3
di kalangan masyarakat. Lewat berbagai program acara entertainment dan tayangan
iklan yang menjajakan gaya hidup dan pilihan mode --pakaian, makanan, dan
hiburan-- media massa, khususnya televisi, secara massif dan luas telah menggiring
publik ke arah budaya populer. Begitulah, sampai-sampai politik pun tidak terkecuali
dibentuk sebagai politik populer.
Itulah yang dianut oleh sebagian besar masyarakat kita dewasa ini, paling
tidak seperti tercermin pada pemilu 5 Juli. “Yang menang sekarang adalah kultur
politik populer, karena mereka bisa mengolah event dan menguasai media massa.
Dengan tayangan di televisi misalnya, orang akan lebih cepat mengenal salah satu
tokoh atau pemimpin karena sering tampil di televisi,” demikian ungkap Khaerul
Umam. Lebih lanjut sutradara terkenal yang juga menjadi Ketua Lembaga
Kebudayaan dan Seni PP Muhammadiyah ini menegaskan, “kultur politik populer ini
mendominasi kehidupan masyarakat daripada mendewasakan politik untuk rakyat
seperti melalui pendidikan politik yang dikemas oleh LSM atau lembaga-lembaga
tertentu.”
Senada dengan pendapat Khaerul Umam, menurut K.H. Drs. Nasrudin Razak,
kultur politik populer itu terbentuk karena masyarakat Indonesia cenderung
hedonistik dan lebih suka berhura-hura, sehingga mereka tidak ambil pusing dengan
masalah masa depan bangsa ini. Dengan panjang lebar Ketua PWM Sulawesi Selatan
ini menyebutkan, “masyarakat lebih suka pemimpin yang populer daripada yang
memiliki idealisme, karena menurut mereka lebih bisa memberikan solusi meskipun
berjangka pendek. Hal ini semacam politik bodrex, yakni politik yang dapat
memberikan penyembuhan jangka pendek, meskipun selanjutnya akan mendapat
penyakit yang lebih parah.”
Fenomena politik seperti itu diprihatinkan oleh Novel Ali. Menurut Dosen
Fisip Universitas Diponegoro ini, “pemilu kita lebih tampil sebagai aksesoris
daripada sebuah proses. Aksesoris politik, aksesoris kekuasaan, itu lebih menonjol
ketimbang suatu proses pendidikan politik untuk rakyat. Karenanya popularitas itu
lebih dominan dan lebih menentukan ketimbang prestasi.”
4
Pendidikan Politik
Budaya politik populer itu disinyalir kuat memiliki dampak buruk bagi
kehidupan masyarakat. “Kultur politik seperti itu jelas tidak sehat, karena rakyat
kehilangan daya kritis sejatinya. Pilihan-pilihan politiknya adalah pilihan semu yang
tidak didasari oleh kesadaran akalnya, tetapi pada keterkaguman sejenak,” tegas
Muhammad Hilmi Faiq.
Dengan kata lain, kultur politik populer akan menyuburkan pragmatisme
politik yang hanya memikirkan kepentingan jangka pendek dan sesaat, mudah
terpukau dengan figur seseorang yang dcitrakan secara manipulatif melalui media
massa, dan bisa tidak peduli dengan nilai-nilai etika dan agama. Menurut Prof. Dr. H.
Ambo Enre Abdullah, Rektor Unismuh Makassar, “pragmatisme politik itu marak
karena kemiskinan rakyat yang berkepanjangan, sehingga rakyat lebih cenderung
memilih yang praktis saja dan dapat menyelesaikan masalah jangka pendek.”
Fenomena sosial politik yang memprihatinkan ini bisa dipandang sebagai
kegagalan pendidikan politik kepada masyarakat. “Kita harus mengakui bahwa
kegagalan pendidikan politik dapat berujung pada pragmatisme politik, karena
masyarakat kita dewasa ini cenderung melupakan politik spiritualnya,” demikian
pendapat Nasrudien Razak, Ketua PWM Sulawesi Selatan. Untuk menanggulangi hal
itu, seperti dikatakan Sukardi Makobombang, infrastruktur politik harus diperkuat
dengan bekal pendidikan politik. Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta dan aktivis
Forkot ini menjelaskan, “peran LSM, relawan dan lembaga kemahasiswaan sangat
penting dalam memberdayakan politik rakyat. Sayangnya LSM dan lembaga yang
bergerak dalam pemberdayaan itu cenderung terbentur dengan masalah kucuran dana.
Manakala dananya menipis atau tidak ada, maka mereka juga berhenti untuk
melakukan aktivitasnya.”
Melalui pendidikan politik itulah idealisme politik kembali bisa disemaikan
dalam kehidupan masyarakat. Di tengah dominasi pragmatisme politik dan kehidupan
masyarakat yang masih terkena dampak krisis multidimensi, memang tidak mudah
5
untuk berpihak pada idealisme politik itu. Seperti diakui oleh Dr. H. Qomari Anwar,
MA, untuk menegakkan idealisme politik itu sangat sulit, karena kejujuran sudah
tidak ada lagi. Rektor Uhamka Jakarta ini kemudian menuturkan, “idealisme itu
identik dengan kejujuran. Selama para pelaku politik tidak berani jujur, maka
idealisme akan luntur. Jadi kalau sudah tidak ada kejujuran, maka dari segi
kemanusiaan sudah tidak menguntungkan bahkan akan muncul kebohongankebohongan publik dan berbagai bentuk penyimpangan.”
Sedangkan dalam pandangan Prof. Dr. H. Ambo Enre Abdullah, kita masih
mungkin menegakkan kembali idealisme politik dengan memenuhi kebutuhan rakyat
seperti pendidikan, kesehatan, pangan, dan sebagainya. Rektor Unismuh Makassar ini
yakin bahwa lembaga pendidikan sangat signifikan untuk memberdayakan rakyat,
sehingga akan ikut berperan untuk menegakkan idealisme politik.
Persoalan budaya politik tersebut diakui oleh Muhammad Arifin sebagai
kelemahan dari pendidikan politik. Menurut ketua Umum BEM Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara ini, “pendidikan politik tidak pernah dibebaskan
sejak dulu. Hak berdemokrasi rakyat di Indonesia sudah lama dipasung. Karena itu
perlu ada perbaikan perangkat lunak dan perangkat keras untuk mendidikan rakyat
dengan betul.”
Bisa jadi fenomena politik sekarang ini oleh Prof. Dr. Suyatno Kartodirjo
disebutnya sebagai episode pertaruhan. “Bisa saja kinerja pemerintah besok tidak
beres dan tidak sesuai dengan keinginan rakyat, ya pasti akan dilengserkan oleh
rakyat. Reformasi akan kembali digulirkan,” jelas Dosen Pascasarjana UNS ini.
Pada akhirnya pendidikan politik diharapkan akan bisa mendewasakan
masyarakat dalam berpolitik, sehingga mereka tidak salah pilih lagi dalam
menentukan pemimpin bangsa. “Proses pendidikan politik tidak membutuhkan
popularitas. Kita membutuhkan karya, kinerja, proses, dan efek,” demikian kata
Novel Ali. Lebih jauh, idealisme politik yang dihasilkan lewat pendidikan tadi
setidaknya akan mengurangi kultur politik populer yang melupakan substansi politik
6
dan program jangka panjang agenda bangsa. [tulisan: tiar; bahan: husni, k’ies, rif,
sen, ton]
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004
Download