BUDAYA POLITIK MBOJO Oleh: Dr. Syarifuddin Jurdi Dosen Sosiologi Politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Pernah dimuat di harian Suara Mandiri tanggal 3 Maret 2009 Beberapa bulan terakhir ini, elite-elite politik dan para politikus giat menggalang dukungan dengan berbagai cara, strategi dan taktik guna memperoleh dukungan rakyat pada pemilu legislatif 9 April 2009, menipu sekalipun kalau dirasa efektif memperoleh dukungan akan dipergunakan (menghalalkan segala cara). Cara yang paling banyak dipergunakan oleh politikus adalah memasang atribut dan simbolsimbol (foto diri caleg, gambar partai), kecuali itu sangat sedikit dari sejumlah atribut para caleg yang dapat kita saksikan itu di sejumlah sudut jalan yang memasang program politik yang kira-kira bakal mereka perjuangkan untuk rakyat. Fenomena politik simbol tengah menjadi tontonan yang sangat tidak menarik di sejumlah kota dan desa di Indonesia beberapa bulan terakhir ini, bagaimana tidak, pemandangan kota yang indah telah dikotori oleh sejumlah atribut para politisi yang begitu banyak, hingga republik ini seakan-akan menjadi republik simbol dan umbulumbul. Meski demikian, bagi para politisi, cara seperti itu dianggap yang terbaik dilakukan untuk saat ini agar dikenal oleh rakyat, walau mereka harus mengeluarkan uang dan biaya yang tidak sedikit. Sekaitan dengan itu, kita mendengar keluhan sejumlah caleg atas sistem pemilu 2009 yang sangat “menyulitkan” mereka, setidaknya keluhan seperti ini diungkapkan oleh elite partai yang telah lama “mengabdi” dan membesarkan partainya, namun tidak ada kepastian untuk terpilih sebagai wakil rakyat. Mereka harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk mensosialisasikan dirinya, bahkan mungkin lebih besar dari anggaran kampanye calon Bupati. Selain bersaing dengan sejumlah partai lain yang jumlahnya lebih dari tiga puluhan partai, juga para caleg harus bersaing secara demokratis dalam internal partai, khususnya dalam daerah pemilihan yang sama, karena calon terpilih bukan berdasarkan nomor urut tetapi suara terbanyak. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak telah mencerminkan nilai-nilai demokratis, tidak ada lagi oligarki partai dalam menetapkan calon terpilih, mereka yang terpilih harus mewakili rakyat di daerah pemilihannya, karena itu – mereka harus dikenal baik oleh rakyat di daerah tersebut. ***** Dalam masyarakat Mbojo, tradisi kaboro weki warga sudah dilakukan sejak masyarakat sudah mengenal kegiatan pilih-memilih, khususnya dalam pemilihan Galarang (Kepala Desa) bahkan tradisi demokrasi langsung dalam bentuk yang paling sederhana telah dikenal dalam masyarakat Mbojo melalui Sarangge. Kegiatan yang berkaitan dengan sosialisasi diri para calon dalam ajang pemilihan Galarang dilakukan dalam ikatan emosional antara sang calon dengan para pemilih dalam Desa tersebut. Sang calon tidak dituntut memaparkan visi-misinya secara mendetail, tidak dituntut adanya perdebatan calon dalam rangka mengadu visi-misi dan program mereka, tetapi lebih karena kepribadian dan tingkah laku sosialnya yang sudah diketahui lama oleh warga dalam Desa tersebut sehingga sang calon dipilih, serta faktor keturunan. Dou Mbojo telah melek politik sejak lama, mereka memiliki naluri politik yang tajam untuk memilih sang pemimpin, tidak hanya sang calon itu berpenampilan parlente, berdasi, memakai HP yang super canggih, pakai kendaraan yang mewah, tetapi lebih dari itu, sang calon harus memiliki kejujuran diri dan keterpaduan antara perkataan dengan perbuatan (sabua nggahi ro rawi). Sepanjang pengalaman dou Mbojo terlibat dalam memilih pemimpin, satu hal yang sangat menonjol yang menjadi dasar mengapa mereka memilih sang pemimpin adalah visi moralnya dan kepekaan sosialnya terhadap persoalan empirik yang dirasakan oleh masyarakat, kecuali dalam beberapa dekade terakhir, faktor-faktor tersebut telah mengalami transformasi yang signifikan. Ketika dou Mbojo memilih pemimpin, maka pilihan itu tidak seluruhnya didasarkan atas pertimbanganpertimbanagn rasional mengapa mereka memilih pemimpin tersebut, tetapi juga faktor-faktor yang a-positivistik atau sesuatu yang melampaui fenomena empirik. Percaya kepada yang ghaib (wallajiina yu’minuna bil ghaibi wayukimuuna....) sesuatu yang transenden telah menjadi salah satu unsur yang akan menentukan pilihan warga. Ketika ada warga yang percaya kepada sang calon dapat merubah kondisi sosial mereka (tiba-tiba dapat rejeki banyak), dapat menyembuhkan penyakit mereka (tiba-tiba sembuh dari penyakit) dan lain sebagainya, maka dukungan pun segera diperoleh sang calon, meski barangkali hanya faktor kebetulan semata. Model pemilih seperti ini potensial dimanfaatkan oleh elite-elite yang tidak bertanggungjawab, tetapi juga ini menjadi tugas yang tidak ringan bagi kalangan civil society. ***** Akankah dou Mbojo akan memilih calon pemimpin mereka dalam pemilu legislatif 9 April 2009 berdasarkan pertimbangan-pertimbangan irasional dan faktor emosional ataukah atas dasar visi-misi dan program mereka? Itu sangat tergantung seberapa besar peran-serta kekuatan civil society dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat dan pendidikan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan yang memiliki kepedulian pada soal ini seperti ormas, LSM, perguruan tinggi dan partai politik itu sendiri. Dou Mbojo memerlukan pemimpin yang memiliki keterpaduan atau integrasi antara visi idealnya tentang masa depan Mbojo dan menyatunya antara ucapan dengan perbuatan (sabua nggahi ro rawi). Para caleg boleh saja mengobral janji mengenai masa depan Mbojo yang ideal, maju, berkeadaban dan khairah ummah, tetapi dou Mbojo juga tidak hanya disuguhi dengan khotbah-khotbah seperti itu, mereka memerlukan bukti keterlibatan sang caleg dalam kegiatan sosial seperti membantu masyarakat yang terkena musibah atau program pemberdayaan masyarakat lainnya sebelum ajang pemilu ini dimulai. Kalau sang caleg baru satu-dua bulan ini mulai mendekati masyarakat, maka boleh jadi tingkah laku politik caleg itu penuh dengan sandiwara dan permainan. Mereka tidak punya ketulusan dalam membantu masyarakat, tidak punya nurani untuk mencerahkan rakyat dari kebodohan (mungkin saja mereka malah membodohi rakyat), tidak punya agenda untuk mengeluarkan masyarakat dari persoalan sosial yang dirasakannya. Jenis caleg yang hanya pandai mndekati rakyat pada momen pemilu dan setelah itu mengabaikan rakyat, pandai mengobral janji manis, maka dou Mbojo harus waspada terhadap model politisi demikian, karena mereka potensial memanipulasi dan bahkan mungkin menipu rakyat untuk kepentingan politiknya. Wallahu a’lam bi shawab