TUGAS ETIKA BISNIS Oleh: DEDE ARDIAN MAHENDRA 01211040 Dosen : Hj. IGA Aju Nitya Dharmani, SST,SE.MM PROGRAM EKONOMI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA Jl. Arief Rachman Hakim No.51 Surabaya Phone : 031-5946404- 5995578, fax. 031- 5931213 www.narotama.ac.id 2014 BAB I PENDAHULUAN : BISNIS DAN ETIKA DALAM DUNIA MODERN 1. Tiga aspek pokok dari bisnis Bisnis modern merupakan realitas yang sangat kompleks. Banyak factor turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain ada factor organisatorismanajerial, ilmiah-tekhnologis, dan politik-sosial-kultural. Kompleksitas bisnis itu berkaitan langsung dengan kompleksitas masyarakat modern sekaraang. Sebagai kegiatan ekonomis, bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua factor yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah sering dipelajari dan dianalisis melalui berbagai pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori manajemen. Buku ini ingin menyoroti suatu aspek bisnis yang sampai sekarang jarang disinggung dalam uraian-uraian lain,, tetapi semakin banyak diakui pentingnya, yaitu aspek etis dan moralnya. Guna menjelaskan kekhususan aspek etis ini, dalam suatu pendekatan pertama kita membandingkannya dulu dengan aspek-aspek lain, terutama aspek ekonomi dan hokum. Sebab, bisnis sebagai kegiatan social bias disoroti sekurang-kurangnya dari tiga sudut pandang ekonomi, hokum, dan etika. Ada baiknya kita mempelajari satu kasus atau suatu bisnis konkret, supaya disitu bias tampak tiga sudut pandang berbeda yang ingin kita fokuskan. Kasus : Industri Kimia Marc Jones, usia 42 tahun, sudah selama 15 tahun bekerja untuk Krimsons Lorporation, sebuah perusahaan yang memproduksi bahan kimia yang berbahaya. Karena dedikasinya kepada perusahaan sekama itu selalu besar, Jones dipromosikan menjadi manajer sebuah unit produksi yang penting. Setelah tiga minggu bertugas, ia dipanggil oleh manajer kepala, Kevin Lombard, karena yang terakhor ini merasa kurang puas dengan prestasi Jones. Ia mengeluh, karena sejak Jones mengambil alih tugas dari pendahulunya irama produksi di unitnya menurun dengan cukup mencolok. Lombard menegaskan bahwa keadaan itu tidak bias diterima. Jones diberi pesan : “Tingkatkanlah laju produksi, minimal sampai taraf sebelumnya”. Jones tentu kaget karena teguran yang tidak disangka-sangka itu. Ia menyelediki masalahnya dan menemukan bahwa pendahulunya hanya dapat mencapai laju produksi setinggi itu, karena ia tidak teliti dalam menetapkan aturan-aturan keamanan. Jones menyadari bahwa dengan cara kerja itu pendahulunya mengambil resiko besar, baik untuk karyawan perusahaan maupun untuk lingkungan hidup di sekitar pabrik. Namun pendahulunya itu mujur. Selama ia bertugas tidak terjadi kecelakaan berarti. Beberapa peristiwa kecil dapat diatasi sendiri, sehingga bias disembunyikan untuk dunia luar. Jones melaporkan hal itu pada bosnya. Ia yakin, dengan demikian bertindak demi kepentingan perusahaan. Betapa besar keheranan Jones, ketika mendengar jawaban Lombard: “ Saya tidak bias memperhatikan detail-detail” “dan bagaimanapun saudara harus sanggup mempertahankan tingkat produksi sebelumnya”. Lagi pula, Lombard mulai meragukan apakah Jones itu orang yang tepat dengan job baru tersebut. “Bukankah saudara terlalu melebih-lebihkan? Saudara bersikap pengecut dengan membayang-bayangkan khayalan yang kurang realistis. Dulu tidak pernah ada masalah!” Sumber : J. Verstraeten/J Van Gerwen, Business en Ethiek, Tielt (Belgium) Lanno, 1990, hlm. 15) 1. Sudut pandang ekonomis Bisnis adalah egiatan ekonomis, Bisnis dapat dilukiskan sebagai kegiatan ekonomis yang kurang lebih terstruktur atau terorganisasi untuk menghasilkan untung. Dalam bisnis modern untuk itu diekspesikan dalam bentuk uang, tetapi hal itu tidak hakiki untuk bisnis. Yang penting ialah kegiatan antar manusia ini bertujuan mencari untung dank arena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi. Bisnis berlangsung sebagai komunikasi social yang menguntugkan umtuk kedua belah pihak yang melibatkan diri. Bisnis bukanlah karya amal, karena itu bisa timbul salah paham, jika kita mengatakan, bisnis merupakan suatu aktivitas social. Kata “social” disini tidak berarti dimaksudkan arti “suka membantu orang lain” , bisnis justru tidak mempunyai sifat membantu orang dengan sepihak, tanpa mengharapkan suatu kembali. Contohnya : bila saya membantu kenalan dengan memperbaiki alat rumah tangga atau mobilnya yang rusak, kami berdua tidak menjalin suatu relasi ekonomis. Saya hanya berbuat baik kepada dia dan tidak memungut biaya. Mungkin pada kesempatan lain kenalan itu bisa membantu saya juga, tetapi itu pun bukan alas an utama untuk kesediaan saya. Karena kebetulan saya bisa, saya hanya membantu menghilangkan etidak beresan yang dialami seorang kawan dengan alat rumah tangga atau mobilnya. Tetapi bila saya bekerja sebagai karyawan di bengkel, saya tidak saja membantu pemiliknya ( walaupun dia barangkali masih family atau kenalan). Saya menjalin hubungan ekonomis dengan pemilik itum karena saya bekerja disitu untuk memperoleh gaji. Disamping itu mungkin ada motivasi lain lagi bekerja ditempat itu dan bukan ditempat yang lain. Tetapi bagaimanapun saya bekerja mencari nafkah,. Dan makin besar gaji saya, makin luas kesempatan untuk bisa hidup dengan baik dan nyaman. Karena itu, seandainya di tempat lain ditawarkan gaji yang lebih memuaskan, kemungkinan saya akan pindah kerja. Disisi lain, bengkel atau perusahaan apa saja yang memperkerjakan karyawan tidak sematamata menerima dia untuk berbuat baik kepadanya, tetapi untuk mencapai tujuan perusahaan yang meliputi factor untuk memperoleh untung. Bisnis selalu bertujuan mendapat keuntungan. Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam system ekonomi pasar bebas para pengusaha dengan memanfaatkan sumber daya yang langka (tenaga kerja, bahan mentah, informasi/pengetahuan, modal) menghasilkan barang atau jasa yang berguna untuk masyarakat. Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau bisnis yang baik adalah bisnis yang membawa banya untung. Seperti dalam kasus industry kimia, dapat dimengerti bils msnsjer krpala ingin mempertahankan prokduvitas perusahaan selama itu. Perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan kimia lainnya. Jika produksi menurun, biaya produksi akan bertambah, sehingga harga produkinya perlu dinaikkan. Tetapi dengan demikian harga produknya bisa menjadi terlalu tinggi, disbanding dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing. Akibat tingkat produksi cenderung menurun, perusahaan bisa memasuki daerah “angka merah”, fenomena yang sangat ditakuti oleh manajer. Nasib manajer sendiri berkaitan erat dengan kemungkinan ini. Karena itu, masuk akal saja, bila majaer kepala. Kevin Lombard, menuntut agar unit produksi yang dipimpin Marc Jones secara minimal akan mempertahankan tingkat produktivitas yang sama seperti dibawah pimpinan pendahulunya. 2. Sudut pandang moral Dengan tetap mengakui peran sentral dari sudut pandang ekonomis dalam bisnis, perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain lagi yang tidak boleh diabaikan, yaitu sudut pandang moral. Dalam kasus “industry kimia” memang sangat hakiki agar perusahaan kimia berhasil mempertahankan produktivitasnya. Namun demikian, dapat ditanyakan lagi apakah produktivitasnya boleh dipertahankan dengan segala cara. Perusahaan kimia ini memproduksi bahan kimia yang berbahaya. Dalam sejarah industry modern sudah terlalu banyak terjadi kecelakaan yang sebenarnya bisa dihindarkan. Para manajer pabrik memikul tanggung jawab besar, bila terjaid kecelakaan menewaskan pekerja, merugikan kesehatan pekerja dan masyarakat disekitar pabrik, atau merusak lingkungan. Mengejar keuntungan merupakan hal yang wajar, asalkan tidak merugikan pihak lain. Jadi, ada batasanya juga dalam mewujudkan tujuan perusahaan. Tidak semuanya yang bisa kita lakukan untuk mengejar tujuan kita (mencari keuntungan) boleh kita lakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Sebaliknya, menghormati kepentingan dan hak orang lain harus dilakukan juga demi kepentingan bisnis itu sendiri. 3. Sudut pandang hukum Bisnis terikat juga oleh hukum. “Hukum bisnis” atau “Hukum dagang” merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah yang timbul dalam hubungan bisnis, pada taraf nasonal maupun internasional. Seperti etika pula, hukum merupakan sudut pandang normative, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum bahkan lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam diatas putih dan ada sanksi tertentu, bila terjadi pelanggaran. Terdapat kaitan erat antara hukum dan etika. Dalam kekaisaran roma sudah dikenal pepatah : Quid leges sine moribus?, “ apa artinya undang-undang , kalau tidak disertai moralitas?” etika harus selalu menjiwai hukum. Baik dalam proses terbentuknya undangundang maupun pelaksanaa peraturan hukum, etika atau moralitas memegang peranan penting. Dalam bidang bisnis, seperti dalam bidang lain pula, hukum dan etika kerap kali tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Memang benar, ada hal-hal yang diatur oleh hukum yang tidak mempunyai hubungan dengan hukum. Sama saja, jika lalu lintas berjalan disebalah kiri atau kanan dari badan jalan. Di sini peraturan hukum ditentukan supaya keadaan tidak menjadi kacau, tetapi cara diaturnya tidak berkaitan dengan etika. Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, dua macam norma itu tidak sama. Di samping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan sudut pandang moral. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan. Pertama, banyak hal bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak dilarang. Tidak semuanya yang bersifat immoral adalah illegal juga. Menipu teman waktu main kartu atau menyontek waktu mengerjakan ujian sekolah merupakan perbuatan tidak etis, tetapi dengan itu prang tidak melanggar hukum. Kelompok pemain kartu sendiri harus mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak dan sekolah itu sendiri harus membuat peraturan yang memungkinkan mereka menangani masalah ketidakjujuran peserta ujian intern. Hukum tidak perlu dan bahkan tidak bisa mengatur segala sesuatu demikian rupa sehingga tidak akan terjadi pelaku yang kurang etis. Malah ada perilaku yang dari segi moral sangat penting, tetapi tidak diatur menurut hukum. Misalnya, dikebanyakan Negara modern, perselingkuhan dalam perkawinan tidak dilarang berdasarkan hukum dan orang yang berzinah tidak bisa diadili. Tetapi tentang perilaku etis itu tidak ada keraguan. Dalam bisnis pula, hukum tidak akan mengatur segala hal sampai detai-detail terkecil. Berbohong waktu melamar kerja atau pencurian kecil-kecilan di tempat keja adalah perbuatan yang tidak etis, tetapi tidak ditangani oleh hukum. Biasanya hukum dan instansi kehakiman baru campur tangan, bika kepentingan atau hak orang serta instansi harus dilindungi. Dalam kasuk “industry kimia” harus kita membedakan aspek moral dari aspek hukum. Memang dikatakan, pendahuku Jones : tidak teliti dalam menetapkan aturan-aturan keamanan”. Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan, aturan hukum atau aturan perusahaan. Kalaupun dimaksudkan peraturan hukum yang resmi, perilakunya tidak menjadi jelek hanya karena melanggar peraturan hukum. Terlepas dari konteks hukum, manajer tidak boleh mengambil keputusan yang membahayakan karyawan atau lingkungan hidup. Melakukan hal seperti itu harus dianggap tidak etis. Tetapi sebaiknya hal itu diatur menurut hukum juga. Kepentingan umum minta agar dalam industry penuh resiko seperti industry kimia menjadi jelas standart yang berlaku dan pelaksanaannya dikontrol dendan ketat. Alasan kedua untuk perlunya sudut pandang moral di saming susut pandang hukum adalah bahwa proses terbentuknya undang-undang atau peraturan-peraturan hukuk lainnya memakan waktu lama, sehingga masalah-masalah baru tidak segera bisa diatur secara hukum. Salah satu contoh jelas adalah hukum lingkungan hidup. Sebelum diberlakukan undang-undang lingkungan hidup, industry sudah sering mengakibatkan polusi udara, air, atau tanah yang sangat merugikan masyarakat. Bila pakbrik kertas seumpamanya membuang limbah industry seenaknya kedalam sungai, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pertanian setempat yang menggunakan air sungai sebagai irigasi awah dan bagi masyarakat di sekitarnya yang menggunakannya untuk keperluan rumah tangga, maka perilaku itu bersifat tidak etis, walaupun belum dilarang menurut hukum. Alasan ketiga ialah bahwa hukum itu sendiri sering kali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak pernah sempurna, sehingga orang yang beritikad buruk bisa memanfaatkan celah-celah dalam hukum ( the loopholes of the law ). Alasan keempat cukup dekat dengan itu. Bisa terjadi, hukum memang dirumuskan dengan baik, tetapi karena salah satu alasan sulit untuk dilaksanakan, peraturan hukum yang tidak ditegakkan akan ditaati juga. Hal itu bisa terjadi di bidang lingkungan hidup, umpamanya, sebagaimana akan dijelaskan di bab 10 Alasan kelima untuk perlunya sudut pandang moral disamping sudut pandang sudut pandang hukum adalah bahwa hukum kerapkali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri tidak didefinisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral. Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting, bisnis harus menaati hukum dan peraturan yang berlaku. “bisnis yang baik” antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi sudut pandang itu tidak cukup. Perlu diakui lagi adanya sudut pandang lain, yakni sudut pandang moral. Disamping hukum, kita membuthkan etika juga, kita membutuhkan norma moral yang menetapkan apa yang etis dan tidak etis untuk dilakukan. Pada taraf normatif etika mendahului hukum, misalnya kewajiban itu sendiri untuk memenuhi hukum berasal dari sudut pandang moral. 4. Tolak ukur untuk tiga sudut pandang ini Bagaimana kita tahu bahwa bisnis itu baik menurut tiga sudut pandang tadi? Apa yang menjadi tolak ukurnya? Untuk sudut pandang ekonomis,, pertanyaan ini tidak sulit untuk dijawab. Secara ekonomis bisnis adalah baik, kalau menghasilkan laba. Untuk sudut pandang hukum pun, tolak ukurnya cukup jelas. Bisnis adalah baik, jika diperbolehkan oleh system hukum. Lebih sulit untuk menentukan baik tidaknya bisnis dari sudut pandang moral. Apa yang menjadi tolak ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau tingkah laku? Kaidah emas, penilaian masyarakat umum. Mari kita memandang tiga prosedur untuk memastikan kualitas etis suatu perbuatan ini lebih rinci. a. Hati nurani Suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan sesuai dengan hati nurani, dan suatu perbuatan lain adalah buruk, jika dilakukan bertentangan dengan suara hati nurani, kita menghancurkan integritas pribadi, karena kita menyimpang dari keyakinan kita yang terdalam. Hati nurani mengikat kita dalam arti, kita harus melakukan apa yang diperintahkan oleh hati nurani dan tidak boleh melakukan apa yang berlawanan dengan suara hati nurani. b. Kaidah emas Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas yang berbunyi: “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”. Perilaku saya bisa dianggap secara moral baik, bila saya memperlakukan orang tertentu sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan. Mengapa begitu? Karena saya (dan setiap orang) tentu menginginkan agar saya diperlakukan dengan baik. Nah, saya harus memperlakukan orang lain dengan cara demikian pula. Kalau begitu, saya berperilaku dengan baik (dari sudut pandang moral). Kaidah Emas dapat dirumuskan dengan cara positif maupun negative. Tadi diberikan perumusan positif. Bila dirumuskan secara negative, Kaidah Emas berbunyi: “Janganlah melakukan terhadap orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda”. Saya kurang konsisten dalam tingkah laku saya, bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau akan dilakukan terhadap diri saya sendiri. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut pandang moral). c. Penilaian umum Cara ketiga, menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkannya pada masyarakat umum untuk dinilai. Di sini perlu digarisbawahi secara khusus pentingnya kata “umum”. Tidak cukup, bila suatu masyarakat terbatas menilai kualitas etis suatu perbuatan atau perilaku. Sebab, mungkin mereka mempunyai vested interests, sehingga cenderung membenarkan saja perilaku yang menguntungkan mereka, sambil menipu dirinya sendiri tentang kualitas etisnya. Dapat disimpulkan, supaya patut disebut good business, tingkah laku bisnisharus memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang tadi. Memang benar, bisnisnya yang secara ekonomis tidak baik (jadi, tidak membawa untung) tidak pantas disebut bisnis yang baik. Terdapat lebih banyak keraguan tentang perlunya sudut pandang kedua dan ketiga. Bisnis tidak pantas disebut good business, kalau tidak baik dari sudut etikadan hukum juga. Dalam hal ini pentingnya aspek hukum lebih mudah diterima, sekurang-kurangnya pada taraf teoretis (walaupun dalam praktek barangkali sering dilanggar). Buku ini ingin mempelajari aspek etika dalam perilaku bisnis, tanpa meremehkan pentingnya aspek-aspek lain. 2. Apa itu etika bisnis? Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula “etika bisnis” bisa berbeda artinya. Suatu uraian sistematistentang etika bisnis sebaiknya dimulai dengan menyelidiki dan menjernihkan cara kata seperti “etika” dan “etis” dipakai. Perlu diakui, ada beberapa kemungkinan yang tidak seratus persen sama (walaupun perbedaannya tidak seberapa) untuk menjalankan penyelidikan ini. Cara yang kami pilih untuk menganilisis arti-arti “etika” adalah membedakan antara “etika sebagai praksis”dan “etika sebagai refleksi”. Etika sebagai praksis berarti: nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Dapat dikatakan juga, etika sebagai praksis adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berpikir tentang apa yang kita lakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan pada taraf popular maupun ilmiah. Dalam surat kabar atau majalah berita hamper setiap hari kit abaca komentar tentang peristiwa-peristiwa yang berkonotasi etis: perampokan, pembunuhan, kasus korupsi, dan banyak lain lagi. Dan setiap hari ada banyak sekali orang yang membicarakan peristiwa-peristiwa itu. Mereka semua melibatkan diri etika sebagai reflesi pada taraf popular. Tetapi etika sebagai refleksi bisa mencapai taraf ilmiah juga. Hal itu terjadi, bila refleksi dijalankan dengan kritis, metodis, dan sistematis, karena tiga ciri inilah membuat pemikiran mencapai taraf ilmiah. Pemikiran ilmiah selalu bersifat kritis, artinya tahu membedakan antara yang tahan uji dan yang tidak tahan uji. Pemikiran ilmiah bersifat metodis pula, artinya tidak semrawut tetapi berjalan secara teratur dengan mengikuti satu demi satu segala tahap yang telah direncanakan sebelumnya. Akhirnya, pemikiran ilmiah bersifat sistematis, artinya tidak membatasi diri pada salah satu sisi saja tetapi menyoroti suatu bidang sebagai keseluruhan, secara komprehensif. Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan tiga taraf, yakni makro, meso dan mikro. Taraf makro = etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari system ekonomi sebagai keseluruhan. Taraf meso = etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis dibidang organisasi. Taraf mikro = yang difokuskan individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. 3. Perkembangan etika bisnis Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Sejak manusia terjun dalam perniagaan, disadari juga bahwa kegiatan ini tidak terlepas dari masalah etis. Misalnya tentang kemungkinan penipuan, pedagang yang menipu langganan dengan menjual barangnya menurut pengukuran yang tidak benar, berlaku tidak etis. Aktivitas perniagaan selalu berurusan dengan etika, artinya harus selalu mempertimbangkan boleh atau tidak boleh dilakukan. Etika selalu dikaitkan dengan bisnis. Sejak ada bisnis, sejak saat itulah bisnis dihubungkan dengan etika, etika dalam bisnis mempunyai riwayat panjang sekali sedangkan umur etika bisnis masih muda sekali.kita baru bisa berbicara tentang etika dalam arti spesifik setelah menjadi suatu bidang tersendiri, maksudnya suatu bidang intelektual dan akademis dalam konteks pengajaran dan penelitian di peguruan tinggi. 1. Situasi terdahulu pada awal sejarah filsafat, Plato,Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia dalam Negara dan dalam konteks itu mereka membahas juga bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. 2. Masa peralihan: tahun 1960-an Dalam tahun 1960-an terjadi perkembangan baru yang bisa dilihat sebagai persiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis dalam decade berikutnya. Dasawarsa 1960-an di Amerika Serikat ditandai oleh pemberontakkan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi mahasiswa, penolakan terhadap kemapanan. Suasana diperkuat lagi karena frustasi dirasakan secara khusus oleh kaum muda dengan keterlibatan Amerika Serikat dengan Vietnam, Dan mengakibatkan suatu sikap anti bisnis pada kaum muda, khususnya mahasiswa. Dunia pendidikan menanggapi dengan berbeda-beda. Salah satu reaksi penting adalah dengan memberikan perhatian khusu kepada social issues dalam kuliah tentang manajemen. 3. Etika bisnis lahir di Amerika Serikat : tahun 1970-an Etika bisnis mulai terbentuk di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Jika sembelumnya etika membicarakan aspek-aspek moral dari bisnis disamping banyak pokok pembicaraan moral lainnya, kini mulai berkembang etika bisnis dalam arti yang sebenarnya. Terutama ada dua factor, yakni etika sekitar bisnis, dan etika bisnis. Filsuf memasuki wilayah penelitian dan dalam waktu singkat menjadi kelompok yang paling dominan, filsuf-filsuf lain sudah menemukan etika biomedis (bioetika) sebagai suatu bidang garapan yang baru. Dalam mengembangkan etika bisnis para filsuf cenderung bekerja sama dengan para ahli-ahli lain, khususnya ahli ekonomi dan manajemen. Factor yang lain adalah yang memacu timbunya etika bisnis sebagai suatu bidang studi yang serius adalah krisis moral yang dialami dunia bisnis Amerika di tahun 1970-an. Banyak krisis moral yang lain seperti demonstrasi besar-besaran, menguaknya “Watergate Affair” yang memaksa presiden mengundurkan diri, dan terjadi skandal khusus yakni beberapa skandal dalam bisnis Amerika, dimana pebisnis berusaha menyuap politisi atau memberi sumbangan illegal kepada kampanye politik. Sebagai reaksi atas peristiwa tidak etis tersebut, menjadikan etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum tinggi yang mendidik manajer dan ahli ekonomi. 4. Etika bisnis meluas ke eropa : tahun 1980-an Di Eropa Barat etika bisnis mulai berkembang kira-kira sepuluh tahun kemudian. Semakin banyak fakultas ekonomi atau sekolah bisnis di Eropa mencantumkan mata kuliah etika bisnis dalam kurikulimnya sebagai mata kuliah wajib yang ditempuh. 5. Etika bisnis menjadi fenomena global : tahun 1990-an Dalam decade 1990-an, etika bisnis tidak terbatas lagi di Eropa Barat. Kini etika bisnis dipelajari di seluruh dunia. Tidak mengherankan, bila etika bisnis mendapat perhatian khusus di Negara yang memiliki ekonomi paling kuat di luar dunia Barat : Jepang. Seperti di Universitas Reitaku di Kashiwa-Shi. Institut ini berusaha mendekatkan etika dengan praktek bisnis. Di India, etika bisnis terutama dipraktekkan oleh management center for human values yang mengeluarkan majalah tentang etika bisnis. 4. Faktor sejarah dan budaya dalam etika bisnis Orang yang terjun dalam kegiatan bisni, menurut penilaian sekarang menyibukka diri dengan suatu pekerjaan yang terhormat. Apalagi jika ia menjadi pebisnis sukses. Jika kita mempelajari sejarah, sikap positif ini tidak selamanya menandai padangan terhadap bisnis. Disini tentu tidak mungki mempelajari seluruh perkembangan historis dari sikap terhadap bisnis ini. Hanya beberapa unsur saja akan disinggung. Tetapi kiranya hal itu sudah cukup untuk memperlihatkan bahwa pandangan etis tentang perdagangan dan bisnis berkaitan erat dengan factor sejarah dan budaya. 1. Kebudayaan Yunani kuno Masyarakat Yunani kuno pada umunya berprasangka terhadap kegiatan dagang dan kekayaann. Perdagangan sebaiknya diserahkan kepada orang asing atau pendatang. Pandangan negative ini ditemukan juga ddalam filsafat yunani kuno. Pada filsuf Plato (427-347 SM) yang berjudul Undang-Undang. Disini digambarkan letak Negara ideal itu seharusnya cukup jauh dari pantai laut, paling sedikit kira-kira 14,5 kilometer. Maksudnya tentu supaya tidak menjadi pusat perdagangan dan kekuatan maritime. Penolakan terhadap perdagangann dan kekayaan diberi dasar lebih teoritis oleh Aristoteles (384-322 SM). Ia menilai sebagai tidak etis setiap kegiaan menambah kekayaan. Kalau kita sepakat bahwa bisnis selalu mengandung unsur mencari keuntungan. 2. Agama Kristen Dalam Alkitab perdagangan tidak ditolak sebagai kurang etis. Akan tetapi, karena perdagangan merupakan salah satu jalan biasa menuju kekayaandapat dimengerti juga kalau pada permulaan sejarah Gereja Kristin perdagangan dipandang sengan syak wasangka. Dalam kalangan Kristiani pada zaman kuno di abad pertengahan, profesi pedagang sering dinilai kurang pantas. Profesi pedagang tidak pantas bagi orang Kristen. Seorang Kristen harus memilih: menjadi pedagang atau tetap hidup sebagai Kristen. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa suara yang begitu negate terhadap perdagangan ini mendapat kedudukan terpandang selama berabad-abad. 3. Agama Islam Dalam pandangan islam tampak pandangan lebih positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Tidak ditemukan sikap kritis dan curiga terhadap bisnis. Nabi Muhammad sendiri adalah seorang pedagang dan ajaran agama islam mula-mula disebarkanluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Mungkin Ayat Al-Qur’an paling penting tentang perdagangan adalah ayat 275 surat al-bagrah yang menyatakan: “Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba. Walaupun riba dilarang, kegiatan dagang secara eksplisit diizinkan. Jika melihat dalam perspektif sejarah, masalah riba sangat menarik sebagai contoh tentang dimungkinkannya perubahan radikal dalam pemikiran moral dan khusussnya yang didorong oleh realitas ekonomis. Mula-mula peranan uang sebagai alat tukar saja. Dalam situasi itu larangan riba tentu masuk akal dan bisa diterima tanpa kesulitan. Tetapi dalam ekonomi modern, uang menjadi barang jualan karena dianggap barang langka dan mulai berkembang yang disebut “pasar modal” 4. Kebudayaan Jawa Dipandang menurut spectrum budaya, tidak semua suku bangsa di Indonesia memperlihatkan minat dan bakat yang sama di bidang perdagangan. Orang minang umpamanya, terkenal karena tekun dalam usaha dagang dan sanggup mencatat sukses. Dalam kebudayaan jawa terlihat perbedaan yang menarik. Clifford Geertz pada tahun 1950-an menyelidii struktur social dari kota Jawa Timur Modjokuto (Nama samaan untuk Pare), ia menemukan disitu ada 4 golongan: priyayi, (para pedagang pribumi (wong dagang), Wong cilik, Wong cina. Yang penting adalah perbedaan yang pertama dan kedua. Para priyayi bekerja sebagai pegawai di bidang pemerintahan dan sedikit juga memegang fungsi dalam pabrik-pabrik kecil di Modjokuto. Pedagang pribumi, yang menjamin perputaran roda ekonomi di Modjokuto, bersama dengan orang tionghoa. 5. Sikap modern dewasa ini Setelah meninjau data sejarah dan budaya sudah cukup untuk menyadarkan kita tengtang perbedaan bisnis, dulu, dan sekarang. Kalau sekarang kegiatan bisnis dinilai sebagai pekerjaan terhormat dan semakin dibanggakan sejauh membawa sukses, dimasa silam tidak selalu begitu. Malah kadang-kadang tampak sikap negative. Mengapa dulu bisnis cukup lama mendapat nama begitu jelek? Sebabnya pasti berkaitan dengan pencarian untung sebagai tujuan bisnis. Pencaian untung sbagai motif utama bagi bisnis merupakan suatu fenomena modern. Ditegaskan oleh ekonom Amerika, Robert Heilbroner: kalau pencarian untung menjadi motif utama bagi bisnis, dengan sendirinya diakibatkan juga bahwa bisnis mengejar kruntungan sendiri. Seorang egois terarah ke kepentingannya sendiri, dan menutup mata untuk kepentingan orang lain. Sikap ini jelas tidak sesuai dengan moralitas yang benar. Lawan egois adalah altruisme yang berarti sifat watak yang memperhatikan dan mengetumakan orang lain. Orang yang terlibat dalam kegiatan bisnis, memang mencari kepentingan diri, tapi tidak sampai mrugikan kepentingan orang lain. Sebaliknya, relasi ekonomis justru menguntungkan untuk kedua belah pihak. 5. Kritik atas etika bisnis Bnyak hal yang perlu dikerjakan lagi dalam Etika bisnis dan banyak yang sudah dikerjakan perlu disempurnakan. Karena iti etika bisnis harus terbuka bagi kritik yang membangun, tapi kadangkala pula etika bisnis menjadi bulan-bulanan dari kritik yang tidak tepat. 1. Etika bisnis mendiskriminasi Inti keberatan Drucker ialah bahwa etika bisnis menjalankan semacam diskriminasi. Mengapa bisnis harus dibebankan secara khusus dengan etika? Hanya ada satu etika yang berlaku untuk perbuatan semua orang, penguasa atau rakyat jelata, kaya atau miskin, yang kuat atau lemah. Tetapi etika bisnis tidak setuju. Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang tidak bersifat immoral atau illegal kalau dilakukan oleh orang biasa (ordinary folk), menjadi illegal kalau dilakukan oleh orang bisnis. Tuduhan Drucker ini tidak beralasan. Sekali-kali tidak benar bahwa etika bisnis memperlakukan bisnis dengan cara lain daripada ordinary folk. Mereka membutuhkan etika sebagaimana semua orang lain, para pebisnis adalah pelaku moral. Merekapun harus taat peraturan-peraturan moral, bisnis harus dinilai secara etis. Etika bisnis adalah suatu ilmu dengan identitas tersendiri, bukan karena norma-norma yang tidak berlaku untuk bidang lain, melainkan karena aplikasi norma-norma moral yang umum atas suatu wilayah kegiatan manusiawi yang minta perhatiam khusus, sebab keadaannya dan masalah-masalahnya mempunyai corak tersendiri. 2. Etika bisnis itu kontradiktif Kritik lain ini tidak berasal dari satu orang. Orang-orang ini menilai etika bisnis sebagai suatu usaha naïf. Dengan nada sinis mereka bertanya: masa mau memikirkan etika dalam menjalankan bisnis! Etika bisnis mengandung suatu kontradiksi.etika dan bisnis itu bagaikan air dan minyak, yang tidak meresap satu kedalam yang kain. Kritikan ini sulit dijawab. Sebenarnya buku ini sebagai keseluruhan berusaha untuk memperlihatkan bahwa kritikan ini merupakan asumsi yang benar. Dan dalam bab terakhir kita kembali dalam masalah ini. 3. Etika bisnis praktis Tidak ada kritik atas etika bisnis yang menimbulkan begitu banyak reaksi seperti artikel yang dimuat dalam Harvard Business Reviw. Menurut Stark, bisnis adalah “too general, too theoretical, too impractical”. Ia menilai kesenjangan benar menganga antara etika bisnis akademis dan para professional di bidang manajemen. Keberatan bahwa etika bisnis kurang praktis lebih sering terdengar dan Stark bukan orang pertama yang menyinggung masalah ini. Karena itu ada baiknya mencoba untuk menanggapi keberatan itu. Pertama, Stark hanya memandang dan mengutip artikel dan buku ilmiah tentang etika bisnis. Kedua, Stark tampak sebagai contoh jelas tentang tendensi Amerika Utara untuk mengutamakan tahap mikro dalam etika bisnis. Ia hanya memperhatikan aspekaspek etis dari keputusan yang harus diambil manajer dan kurang berminat untuk kerangka menyeluruh dumana pekerjaan ditempatkan 4. Etikawan tidak bisa mengambil alih tanggung jawab Kritisi ini meragukan entah etika bisnis memiliki keahlian etis khusus, yang tidak dimiliki oleh para pebisnis dan manajer itu sendiri. Seluruh kritikan ini berdasarkan salah paham. Etika bisnis sama sekali tidak bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis dari para pebisnis para manajer, atau pelaku moral lain di dalam bidang bisnis. Etika bisnis atau cabang etika terapan lainnya tidak berpretensi memiliki keahlian yang sama sifatnya seperti banyak keahlian lain. Jika mobil rusak, kebanyakan orang yang membawanya ke bengkel,karena disitu tersedia montir yang mempunyai keahlian yang tidak dimiliki mereka sendiri. Lain halnya dengan etika. Etika bisnis atau cabang etika terapan lainnya tidak bermaksud mengganti tempat daei orang yang mengambil keputusan moral. Etika bisnis bisa membantu untuk mengambil keputusan moral yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi tidak berniat mengganti tempat dari para pelaku moral dalam perusahaan. contoh Bantuan etika bisnis, seperti etika bisnis bia meningkatkan kesadaran moral di bidang bisnis.