BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan budaya Kecerdasan adalah keunggulan atau kesempurnaan perkembangan akal budi, seperti kepandaian, kecermatan dan ketajaman pikiran. Dalam bahasa Inggris digunakan dua istilah yang maksudnya sama, yaitu intelligence dan quotient. Istilah yang pertama misalnya digunakan dalam gabungan emotional intelligence atau kecerdasan emosi. Yang kedua misalnya digunakan dalam gabungan adversity quotient atau kecerdasan tahan banting, keuletan, ketangguhan atau kecerdasan menghadapi tantangan (Sumardi, 2007). Kata kebudayaan, berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin cultura berarti memelihara, mengolah dan mengerjakan. Dalam kaitan ini, cakupan kebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Hidup manusia akan memelihara, mengolah dan mengerjakan berbagai hal-hal yang menghasilkan tindak budaya. Karena itu, konsep kebudayaan menjadi sangat beragam dan meloncat-loncat. Budaya mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lainnya dari kelompok masyarakat tertentu yang diwariskan dari satu generasi (Santrock, 2009).Cultural intelligence berarti, menjadi terampil dan fleksibel tentang pemahaman budaya, belajar lebih banyak tentang hal itu dari interaksi yang sedang berlangsung dengan anda, dan secara bertahap membentuk kembali pemikiran anda menjadi lebih simpatik dengan budaya dan perilaku anda, menjadi lebih terampil dan tepat ketika berinteraksi dengan orang dari budaya lain (Thomas, 2003). Stenberg (1986, dalam Ang, 2008) mengusulkan empat dimensi yang saling melengkapi untuk konsep kecerdasan individu: (a) kecerdasan metakognisi adalah pengetahuan dan kontrol kognisi (proses digunakan individu untuk memperoleh dan memahami pengetahuan), (b) kecerdasan kognisi adalah pengetahuan individu dan struktur pengetahuan, (c) kecerdasan motivasi mengakui bahwa sebagian besar kognisi termotivasi dan berfokus besar pada arah energi sebagai lokus kecerdasan, dan (d) kecerdasan perilaku berfokus pada kemampuan individu di tingkat tindakan (perilaku). Kerangka Sternberg penting karena mengusulkan bahwa kecerdasan setiap orang memiliki "lokus" yang berbeda, yaitu, metakognisi, kognisi, danmotivasi merupakan kemampuan mental yang berada di dalam kepala dari orang tersebut, sedangkan tindakan yang jelas adalah kemampuan perilaku. Keempat dimensi pandangan kecerdasan budayamerupakan cermin kontemporer kecerdasan sebagai kompleks, multifaktor, atribut individu yang terdiri dari metakognisi, kognisi, motivasi dan faktor perilaku (Sternberg & Detterman 1986, dalam Sternberg et al 2000, dalam Ang, 2008). Kecerdasan Metakognisi Kecerdasan metakognisi adalah kesadaran budaya individu dan kesadaran selama berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Faktor kecerdasan metakognisi adalah komponen penting untuk setidaknya tiga alasan. Pertama, mendorong pemikiran yang aktif tentang orang-orang dan situasi ketika latar belakang budaya berbeda. Kedua, hal itu memicu pemikiran kritis tentang kebiasaan, asumsi, dan pemikiran budaya terikat. Ketiga, memungkinkan individu untuk mengevaluasi dan merevisi peta mental mereka, sehingga meningkatkan akurasi pemahaman mereka (Ang, 2008). Kecerdasan metakognisi seseorang mengacu pada tingkat sadar dari kesadaran akan budaya selama lintas-budaya interaksi. Orang dengan kekuatan dalam kecerdasan metakognisi, secara sadar mempertanyakan asumsi-asumsi budaya mereka sendiri, merefleksikan selama interaksi, dan menyesuaikan pengetahuan budaya mereka ketika berinteraksi dengan orang-orang dari budaya lain. Kecerdasan metakognisi melibatkan strategi kognitif tingkat tinggi yang memungkinkan individu untuk mengembangkan heuristik dan aturan baru untuk berinteraksi secara sosial dalam lingkungan budaya baru, dengan mempromosikan pengolahan informasi pada tingkat yang lebih dalam (Flavell 1979, dalam Nelson, 1996, dalam Ang, 2008). Kecerdasan metakognisi mencerminkan proses mental yang digunakan individu untuk memperoleh dan memahami pengetahuan budaya, termasuk pengetahuan dan kontrol atas proses pikiran individu yang berkaitan dengan budaya, Flavell (1979 dalam Ang, 2008). Kemampuan yang relevan meliputi perencanaan, pemantauan, dan merevisi model mental dari norma-norma budaya bagi negara-negara atau kelompok orang. Mereka dengan kecerdasan metakognisi tinggi, secara sadar mengetahui preferensi budaya dan normanorma masyarakat yang berbeda sebelum dan selama interaksi. Orang-orang ini juga mempertanyakan asumsi budaya dan menyesuaikan model mental mereka selama dan setelah pengalaman yang relevan (Brislin, Worthley & MacNab 2006, dalam Nelson 1996, dalam Triandis 2006, dalam Ang, 2008). Kecerdasan kognisi Kecerdasan kognisi adalah pengetahuan budaya individu norma, praktik, dan konvensi dalam pengaturan budaya yang berbeda. Mengingat berbagai budaya di dunia kontemporer, kecerdasan kognitif menunjukkan pengetahuan universal budaya serta pengetahuan tentang perbedaan budaya. Faktor kecerdasan kognitif adalah komponen penting karena pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan budaya adalah dasar dari pengambilan keputusan dan kinerja dalam situasi lintas budaya. Sementara kecerdasan metakognisi berfokus pada proses kognitif tingkat tinggi, kecerdasan kognisi mencerminkan pengetahuan tentang norma, praktik, dan konvensi dalam budaya yang berbeda yang telah diperoleh dari pendidikan dan pengalaman pribadi. Faktor kecerdasan kognisi mengacu pada tingkat pengetahuan budaya seseorang atau pengetahuan tentang lingkungan budaya. Pengetahuan budaya meliputi pengetahuan tentang diri sendiri sebagaimana yang sudah tertanam dalam konteks budaya dari lingkungan. Mengingat adanya berbagai macam budaya di dunia kontemporer, kecerdasan kognisi menunjukkan pengetahuan budaya universal serta pengetahuan tentang perbedaan budaya. Antropologi budaya telah mendokumentasikan variasi yang besar dalam budaya. Menurut Triandis (1994, dalam Ang, 2008), menunjukkan bahwa pada tingkat yang lebih tinggi dari abstraksi, budaya terbagi dalam beberapa fitur umum, salah satunya adalah budaya universal berdasarkan kebutuhan mendasar (karena semua umat manusia memiliki kebutuhan dasar yang sama). Universal budaya yang termasuk inovasi teknologi (misalnya alat), metode mendapatkan makanan (misalnya perburuan, pertanian), kegiatan ekonomi (misalnya perdagangan), pola interaksi sosial (misalnya melakukan satu pembicaraan dengan seseorang ibu mertua), praktek pengasuhan, keyakinan dan perilaku manusia yang berhubungan dengan alam semesta (misalnya, agama), preferensi estetika, pola komunikasi (bahasa, gerak tubuh), dan masih banyak lagi. Singkatnya, semua masyarakat memiliki sistem mendasar untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dasar. Akibatnya, masyarakat memiliki sistem ekonomi untuk secara sistematis menghasilkan komoditas penting dan mendistribusikan produk dan jasa. Masyarakat juga mengkodifikasi perkawinan dan belajar membesarkan anak yang diciptakan oleh pernikahan, keluarga, dan sistem sosial lainnya. Sistem pendidikan memungkinkan pembelajaran dan transmisi budaya, sementara politik, hukum, dansistem kontrol sosial mengurangi anarki dan kehancuran (ketaatan kepada norma-norma sosial). Untuk memfasilitasi interaksi, masyarakatmengembangkan sistem bahasa dan sistem komunikasi (verbal dan nonverbal). Akhirnya, masyarakat memiliki sistem untuk menjelaskan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan (sering mengandalkan keyakinan supranatural seperti agama dan ilmu sihir), dan dengan demikian memiliki sistem keyakinan supernatural yang membantu untuk menjelaskan fenomena yang tak bisa dijelaskan. Faktor kecerdasan kognisi adalah komponen penting dari kecerdasan budaya, karena pengetahuan tentang budaya mempengaruhi perilaku dan pikiran orang. Memahami budaya masyarakat dan komponen budaya, memungkinkan individu untuk lebih menghargai sistem yang terbentuk sehingga menyebabkan pola tertentu dari interaksi sosial dalam budaya. Akibatnya, mereka dengan kecerdasan kognisi yang tinggi, lebih mampu berinteraksi dengan orang-orang dari budaya masyarakat yang berbeda. Kecerdasan motivasi Kecerdasan motivasi adalah kemampuan individu untuk mengarahkan perhatian dan energi terhadap perbedaan budaya. Menggunakan kerangka harapan-nilai motivasi, kita mengkonsep kecerdasan motivasi sebagai bentuk khusus dari self-efficacy dan motivasi intrinsik dalam lintas-budaya situasi. Self efficacy dan motivasi intrinsik memainkan peran penting dalam kecerdasan budaya sebagai kesuksesan antarbudaya. Interaksi membutuhkan rasa dasar kepercayaan dan minat dalam pengaturan baru. Kecerdasan motivasi mencerminkan kemampuan untuk mengarahkan perhatian dan energi terhadap apa yang dipelajari dan fungsinya dalam situasi, yang ditandai oleh perbedaan budaya.Kanfer dan Heggestad (1997, dalam Ang, 2008) menyatakan bahwa kapasitas motivasi itu seperti memberikan kontrol agentik dari pengaruh, kognitif dan perilaku yang memfasilitasi pencapaian tujuan. Menurut expectancy-value theory of motivation (Eccles & Wigfield 2002, dalam Earley, 2008) arah dan besarnya energi yang disalurkan menuju tugas tertentu melibatkan dua elemen: harapan akan keberhasilan menyelesaikan tugas dan nilai yang terkait dengan menyelesaikan tugas. Mereka dengan kecerdasan motivasi yang tinggi, mengarahkan perhatian dan energi terhadap situasi lintasbudaya yang didasarkan pada kepentingan intrinsik (Deci & Ryan 1985, dalam Ang, 2008) dan kepercayaan diri dalam efektivitas lintas-budaya (Bandura 2002, dalam Ang, 2008). Kecerdasan motivasi adalah komponen penting dari kecerdasan budaya karena merupakan sumber penggerak. Kecerdasan motivasi memicu usaha dan energi yang diarahkan terhadap fungsi dalam pengaturan budaya baru. Kecerdasan perilaku Kecerdasan perilaku adalah kemampuan individu untuk menunjukkan tindakan verbal dan nonverbal yang tepat ketika berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Kecerdasan perilaku didasarkan pada memiliki dan menggunakan repertoar yang luas atau berbagai perilaku. Kecerdasan perilaku adalah komponen penting dari kecerdasan budaya karena merupakan perilaku dan karakteristik yang paling sering terlihat dari interaksi sosial. Selain itu, perilaku nonverbal sangat penting karena mereka berfungsi sebagai "bahasa diam" yang menyampaikan makna dengan cara yang halus dan rahasia (Hall 1959, dalam Ang, 2008). Hall (1959, dalam Ang, 2008) menekankan, kemampuan mental untuk memahami budaya dan motivasi harus dilengkapi dengan kemampuan untuk menunjukkan tindakan verbal dan nonverbal yang tepat, berdasarkan nilai-nilai budaya dari suatu pengaturan yang spesifik. Ketika individu memulai dan mempertahankan interaksi face-to-face, mereka tidak memiliki akses ke pikiran terpendam satu sama lain, perasaan, atau motivasi. Namun mereka bisa mengandalkan apa yang mereka lihat dan dengar dalam ekspresi vokal, wajah, dan ekspresi luar lainnya. Repertoar perilaku dalam budaya mempunyai variasi dalam tiga cara:(a) dalam kisaran tertentu tentang perilaku yang berlaku, (b) dalam tampilan aturan yang mengatur kapan dan dalam keadaan apa ekspresi nonverbal khusus diperlukan, dan (c) dalam interpretasi atau makna yang dikaitkan dengan perilaku nonverbal tertentu (Lustig & Koester 1999, dalam Ang, 2008). Akibatnya, individu dengan kecerdasan perilaku tinggi, fleksibel dan dapat menyesuaikan perilaku mereka dengan spesifikasi setiap interaksi budaya. Ekspresi perilaku menonjol terutama padapertemuan lintas budaya, komponen kecerdasan perilakumungkin menjadi faktor yang paling penting yang digunakan sebagai pengamat untuk menilai kecerdasan budaya lainnya. 2.2 Prestasi Akademik Menurut Bloom (dalam Slavin, dalam sihadi, 2004) prestasi akademik atau prestasi belajar adalah proses belajar yang dialami siswa dan menghasilkan perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman, penerapan,daya analisis, sintesis dan evaluasi. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik (winkel, dalam slameto, dalam sihadi, 2004), antara lain ada yang bersifat internal (terdiri dari inteligensi, motivasi belajar, minat, bakat, sifat, persepsi diri dan kondisi fisik) dan ada yang bersifat eksternal (terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat). Berarti ada kemungkinan siswa tidak menampilkan prestasi akademik yang sesuai dengan tujuan belajar. Poerwanto (1986, h.28, dalam Djazari, 2011) memberikan pengertian prestasi belajar merupakan “hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajarsebagaimana yang dinyatakan dalam raport.” Winkel (1996, dalam Djazari, 2011) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelahmelaksanakan usaha-usaha belajar. Sedangkan menurut Arif Gunarso (1993, dalam Djazari, 2011) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Menurut S. Nasution (1996, h.17, dalam Djazari, 2011 )prestasi belajar adalah: “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa, dan berbuat. Prestasibelajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, afektif danpsikomotorik, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampumemenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut”. Pada variebel ini, penulis memakai Taksonomi Bloom (1979, dalam Tulasi, 2010). Kata taksonomi berasal dari bahasa Yunani yakni tassein, artinya menggolongkan, dan nomos, yang berarti aturan. Jadi, taksonomi secara leksikal berarti, ‘aktivitas menggolongkan aturan-aturan’. Sementara itu, arti derivatifnya adalah suatu proses menggolongkan tingkatan derajat berpikir yang meningkat dari yang terendah ke tingkat yang lebih tinggi, dan memuat kompleksitas seluruh potensi daya pikir manusia. Berawal dari penemuan sederhana 3H oleh Johansen, seorang berkewarganegaraan Itali. H pertama, disebutnya head (kognitif), H kedua adalah heart (afektif), dan H ketiga adalah hand (psikomotor). Ketiga elemen ini merupakan siklus yang saling terkait satu sama lain dalam fungsinya masing-masing. Otak (head), berfungsi untuk terus berpikir, berhubungan dengan kognisi. Pada sudut otak termuat milyaran sel kiri dan kanan, yang menjadi kubangan multi inteligensia manusia. Hati (heart), berfungsi untuk merasa dan melaksanakan tugas afeksi, mendorong perilaku manusia melalui rasa yang mendalam, dan bermuara pada sikap (attitude). Tangan (hand), berfungsi untuk melaksanakan tugas atas perintah otak yang dihayati oleh hati, sebagai unsur penengahnya (Tulasi, 2010). Ketiga ranah tersebut merupakan suatu siklus yang bersifat perenial. Akan tetapi, pada ranah kognitif, pembahasan dan eksplanasi semakin dipertajam dan diperluas untuk memperdalam eksplorasi kita, bukan hanya sebagai human being melainkan sebagai thoughtful being atau manusia yang berpikir. Hal ini dipertegas oleh filsuf modern Rene Descartes (dalam Tulasi, 2010) dengan kalimatnya yang melegenda: gogito ergo sum, yang berarti ‘ketika aku berpikir maka aku ada’. Berpikir berarti terdapat sebuah proses aktivitas otak untuk mengolah semua endapan pengetahuan yang tidak diam. Oleh karena itu, taksonomi karya Bloom mempertegas ucapan Rene Descartes. Para pemikir pragmatis selalu membayangkan bahwa berpikir berarti hanya berupaya untuk ‘mendapatkan’ (to have), padahal inti dan esensi dari berpikir adalah menuju dan bermuara pada ‘menjadi’ (to be). Menurut Bloom (dalam Djazari, 2011), ada 3 aspek yang dapat menilai prestasi belajar seseorang, aspek tersebut adalah: 1. kognitif Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah: - Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untukmenggunakannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir yang paling rendah. - Pemahaman (comprehension), yaitu kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seseorang dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan. - Penerapan (application), yaitu kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metoda-metoda, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan konkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir setingkat lebih tinggi ketimbang pemahaman. Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang penerapan misalnya: Peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan kecerdasan budaya dalam kehidupan sehari-hari. - Analisis (analysis), yaitu kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Jenjang analisis adalah setingkat lebih tinggi daripada jenjang aplikasi. - Sintesis (syntesis), yaitu kemampuan berfikir yang merupakan kebalikan dari proses berfikir analisis. Sisntesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Jenjang sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada jenjang analisis. Salah satu hasil belajar kognitif dari jenjang sintesis ini adalah: peserta didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kecerdasan budaya. - Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation), yaitu merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif dalam taksonomi Bloom. Penilian/evaluasi disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu kondisi, nilai atau ide, misalkan jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada. 2. Afektif Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Menurut Krathwohl (1961, dalam Djazari, 2011) tingkatan terbagi menjadi lima,yaitu: receiving, responding, valuing, organization, dan characterization by evalue or calue complex. - Receiving atau attenting (menerima atau memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah: kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar. Receiving atau attenting juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentifikasikan diri dengan nilai itu. - Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya. - Valuing (menilai atau menghargai). Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu mulai dicamkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. - Organization (mengatur atau mengorganisasikan), artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. - Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalalm suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini merupakan tingkat afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentuk karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan. 3. Psikomotorik Bloom (1979, dalam Djazari, 2011) berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Singer (1972, dalam Djazari, 2011) menambahkan bahwa mata kuliah yang berkaitan dengan psikomotor adalah mata kuliah yang lebih beorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksireaksi fisik dan keterampilan tangan. Keterampilan itu sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas atau sekumpulan tugas tertentu. Dalam mata pelajaran komputer, terdapat juga ranah psikomotorik, yaitu ketika siswa mengerjakan tugas praktek komputer yang menuntut mereka untuk tidak hanya menggunakan kemampuan kognitif mereka tetapi juga menggunakan kemampuan psikomotorik. Kecepatan dan kecakapan dalam mengerjakan praktik komputer ditentukan juga oleh kemampuan psikomotorik siswa. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956, dalam Djazari, 2011) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungankecenderungan berperilaku). Ada beberapa ahli yang menjelaskan cara menilai hasil belajar psikomotor. Ryan (1980, dalam Djazari, 2011) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui (1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya. Sementara itu Leighbody (1968, dalam Djazari, 2011) berpendapat bahwa penilaian hasil belajar psikomotor mencakup: (1) kemampuan menggunakan alat dan sikap kerja, (2) kemampuan menganalisis suatu pekerjaan dan menyusun urut-urutan pengerjaan, (3) kecepatan mengerjakan tugas, (4) kemampuan membaca gambar dan atau simbol, (5) keserasian bentuk dengan yang diharapkan dan atau ukuran yang telah ditentukan. 2.3 Kecerdasan Budaya dan Prestasi Penelitian tentang kecerdasan budaya dan prestasi sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Vedadi (2010). Penelitian ini tentu memiliki keterbatasan. Pertama, kecerdasan budaya adalah konstruksi baru. Dengan demikian,hanya ada sedikit penelitian tentang hal ini dan langkah-langkah nya. Keterbatasan ini ditujukan untuk menghasilkan sebagian besar literatur yang relevan. Kedua, sampel hanya memilih beberapa negara. Ini bisa dibantah bahwa hasilnya tidak digeneralisasikan ke negara lain. Meskipun demikian, hasil dari penelitian tersebut adalah sebanding dengan penelitian lain yang dilakukan dalam berbagai budaya yaitu ada hubungan kecerdasan budaya terhadap prestasi. Menghubungkan antara kecerdasan budaya dan prestasi dapat didiskusikan dengan jenis lain yang sama antar kecerdasan dan bahkan hubungan antara kecerdasan budaya dan prestasi. Hal ini harus dipertimbangkan bahwa kecerdasan budaya terlebih dahulu perlu skala yang komprehensif untuk mampu mengukur semua sisi tersebut agar dapat lebih mendalam. Timbangan ini dapat berbeda untuk setiap negara atau segala hal budaya untuk fitur khusus mereka. Kecerdasan budaya dapat menjadi tolak ukur seseorang dalam beradaptasi, apabila seseorang dapat beradaptasi dengan baik maka ia dapat lebih mudah untuk menjalin relasi dengan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan lingkungan yang menyenangkan, sehingga dapat berhubungan dengan prestasi mereka. Lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal dalam mendukung seseorang dalam berprestasi, dalam penelitian lain faktor-faktor eksternal yang mendukung prestasi seseorang yang sudah banyak diteliti adalah tentang IQ, motivasi berprestasi dan kecerdasan emosional tetapi masih sedikit penelitian yang menghubungkan antara kecerdasan budaya dan prestasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti ingin melihat adakah hubungan antara kecerdasan budaya dan prestasi di Indonesia tepatnya pada SMAN 6 Jakarta. 2.4 Kerangka berfikir Gambar 2.1 Kerangka berfikir Sumber: Peneliti SMAN 6 merupakan salah satu SMAN favorit di bilangan Jakarta Selatan, banyak sekali siswa-siswa yang berdomisili diluar Jakarta yang bersekolah disana, hal ini menjadikan SMAN 6 salah satu sekolah dengan berbagai macam budaya, karena beragamnya siswa-siswi yang bersekolah disana. Nilai UN SMP mereka yang menjadi salah satu syarat untuk masuk SMA harusnya memiliki rata-rata 8 bahkan 9. Tingginya nilai UN SMP mereka dapat di indikasikan bahwa mereka adalah anak-anak pintar. Peneliti melihat banyak sekali faktor-faktor yang dapat mendukung prestasi, seperti IQ, motivasi berprestasi dan kecerdasan emosional. Banyak penelitian yang telah membahas tentang hubungan prestasi dengaan IQ, motivasi berprestasi dan juga kecerdasan emosional, tetapi bagaimana dengan kecerdasan budaya? Apakah kecerdasan budaya merupakan salah satu faktor pendukung prestasi seseorang? Masih sedikit sekali penelitian yang membahas tentang hubungan kecerdasan budaya dan prestasi, karena itu peneliti bermaksud melakukan penelitian ini untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara kecerdasan budaya dan prestasi. Peneliti melihat bahwa kecerdasan budaya dapat menjadi salah satu faktor pendukung prestasi seseorang. Kepintaran seseorang tidak hanya dilihat dari nilai yang tinggi saja, tapi juga bagaimana seseorang dapat mengendalikan emosi mereka, dapat menjalin komunikasi dengan orang lain dan juga dilihat dari bagaimana seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungannya secara baik. Relasi yang baik dengan orang lain juga dapat mennjadi pendukung seseorang dalam mendapatkan prestasi yang baik. Dalam konteks sekolah, anak-anak yang dapat menjalin relasi dan beradaptasi dengan temantemannya mempunyai potensi untuk mempunyai teman yang banyak, sehingga ia dapat mengetahui banyak hal dari teman-temannya tersebut dan membuat pengetahuan ia tidak hanya dari pengetahuan tentang sekolah dan pelajaran tetapi juga pengetahuan akan lingkungan luar menjadi lebih banyak, sedangkan anak-anak yang sulit untuk menjalin relasi dengan orang lain mungkin mereka bisa pintar dalam nilai-nilai ujian, tetapi pengetahuan mereka mungkin hanya sekedar pengetahuan yang ia dapatkan disekolah, pengetahuan mereka tentang dunia luar tidak begitu banyak karena relasi pertemanan mereka sedikit sehingga tidak banyak pengetahuan diluar dari sekolah yang bisa ia dapatkan dari orang lain.