BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepercayaan merupakan semangat dan sekaligus kerangka pemikiran dan perbuatan dari suatu kebudayaan. Dikatakan demikian karena dalam nilai-nilai hidup yang sebenarnya merupakan ide vital, maka kebudayaan harus tetap hidup dan berkembang dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam rangka mewariskan kebudayaan tidaklah semudah apa yang dibayangkan. Masalahnya kondisi dan situasi masyarakat senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, baik di bidang sosial, politik, maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adanya perkembangan situasi dan kondisi masyarakat tersebut tentunya akan menyebabkan pengaruh terhadap pola pikir masyarakat dalam menerima warisan kebudayaan pendahulunya. Karena adanya pergeseran pola pikir masyarakat maka mereka akan menolak warisan budaya pendahulunya tanpa melakukan seleksi terlebih dahulu. Apabila hal ini terjadi maka masyarakat tersebut sebagai pemangku dan pendukung kebudayaan akan jatuh tersungkur di depan tantangan yang timbul dalam sejarah bahkan mungkin akan berakibat fatal yaitu akan hancur oleh roda kemajuan zaman. Mengingat betapa pentingnya nilai-nilai budaya bagi keberadaan suatu bangsa maka perlu diambil langkah-langkah yang tepat dan selektif untuk mewariskan nilai-nilai dan ide vital yang ada di dalam kebudayaan 1 dari generasi ke generasi berikutnya. Untuk mencapai hal tersebut maka sosialisasi nilai-nilai budaya mutlak perlu di lakukan. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia terkenal dengan kebudayaannya yang sangat beraneka ragam, sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Sekalipun ragam budaya, ras, agama, serta bahasa kita tetap menjaga kesatuan dan kebersamaan demi menciptakan keselarasan hidup. Daerah Tana Toraja merupakan daerah yang terkenal dengan kebudayaannya, misalnya upacara rambu solo’ (kedukaan/kematian) dan upacara rambu tuka’ (kesenangan) serta merupakan daerah tujuan wisata yang cukup berpotensi, diantaranya yaitu potensi kerajianan (ukiran), kuburan batu alam buatan manusia, peninggalan benda-benda kuno yang bersejarah, dan objek wisata lainnya. Hal ini tak asing lagi sebab sebagaimana diketahui bersama bahwa Tana Toraja merupakan primadona pariwisata di Sul-sel dan merupakan tujuan wisata ke-2 setelah Bali. Toraja juga banyak memiliki peninggalan megalitik baik yang berupa material maupun tradisi-tradisi yang masih berlanjut sampai sekarang. Ritual-ritual seperti Upacara Rambu Solo’ (pesta kedukaan atau pemakaman), Upacara Rambu Tuka’ (pesta syukuran dan kegembiraan) seperti: pesta panen, rumah adat, perkawinan, pemujaan arwah leluhur dan lain-lain. Di daerah Tana Toraja sekarang ini masih hidup sebuah kepercayaan purba yang bernama Aluk Todolo yang lazim juga di sebut Alukta. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat Toraja walaupun sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama agama Kristen Protestan dan 2 agama Kristen Katholik. Inti ajaran Alukta menyatakan bahwa manusia harus menyembah kapada 3 oknum yaitu: 1. Puang Matua sebagai pencipta segala isi bumi 2. Deata-deata yang jumlahnya banyak sebagai pemelihara seluruh ciptaan Puang Matua 3. Tomembali Puang/todolo sebagai pengawas yang memperlihatkan gerak-gerik serta berkat kepada manusia keturunannya Menyimak hal di atas khususnya point ke-3, maka jelaslah bahwa menurut kepercayaan mereka, manusia yang masih hidup tidak akan terlepas dari pengawasan arwah leluhurnya yang disebut Tomembali Puang/Todolo. Dengan kata lain arwah-arwah seseorang yang telah meninggal tidak akan melupakan keturunannya begitu saja akan tetapi tetap memperhatikannya. Hal itu berarti antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup tetap ada hubungan. Mereka juga meyakini bahwa apabila mereka tidak memberikan berkat, nenek moyang juga bisa murka yang kemudian mendatangkan banjir, penyakit atau gagal panen. Oleh karena itu keselarasan dan keharmonisan harus tetap dijaga. Maka untuk itu sebelum di lepas ke alam arwah, keluarga mengadakan serangkaian upacara sakral dengan harapan dapat diterima disana nantinya (alam puya) dan tidak mendatangkan bencana. Selain itu pada waktuwaktu tertentu dilaksanakan upacara untuk memperingati mereka yang biasa dilaksanakan setelah panen yang berhasil atau suatu kondisi yang baik sebagai ucapan syukur sebagai berkat dari leluhur mereka. Adapun fungsi hewan kurban pada upacara Rambu Solo’ bagi orang Toraja yaitu; 3 Akan menjadi bekal Tomembali Puang (orang yang telah meninggal) di alam Puya (sorga) Akan menentukan kedudukan arwah orang yang telah meninggal, karena diyakini bahwa seseorang yang datang ke dunia dan pada saat meninggalnya apabila dia tidak membawa bekal dari dunia, arwahnya tidak akan diterima Puang Matua (Tuhan) Sebagai suatu hal yang menentukan martabat keturunannya dalam mesyarakat yang tetap memiliki status sosial sesuai dengan kastanya semula Akan menjadi patokan dalam membagi warisan si mati Sehubungan dengan penjelasan di atas. Maka terlihat bahwa terdapat hubungan yang erat antara orang yang telah tiada (meninggal) dengan generasi berikutnya yang masih hidup, sehingga nilai-nilai upacara Rambu Solo’ harus senantiasa selalu di jaga. Dalam kehidupan orang Toraja kerbau memiliki peranan yang penting dan dianggap sebagai hewan yang paling mulia. Hal ini dapat diliat dalam jumlah kerbau yang dipotong/dikurbankan pada saat pemakaman (Rambu Solo’). Tinggi rendahnya status sosial seseorang dapat dilihat pula dari jenis kerbau yang dikurbankan. Di Sa’dan To’Barana’ yang dikenal dengan tondok kapuangan (tempat Raja-raja/keturunan bangsawan) juga berlaku hal tersebut, semakin banyak kerbau yang dipotong/dikurbankan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga yang melaksanakan upacara tersebut. Dalam melaksanakan upacara Rambu Solo’ masyarakat Sa’dan To’Barana’ memilih kerbau dan babi sebagai 4 hewan yang akan dikurbankan, tetapi sebelumnya itu ada hal-hal yang perlu diperhatikan berdasarkan status sosial masyarakat, karena dalam aturan adat yang berlaku ada kerbau yang tidak boleh dikurbankan sebab itu akan melanggar peraturan adat. Kriteria kerbau yang akan dikurbankan juga harus berdasarkan strata sosialnya dan harus memperhatikan komposisinya. Hal tersebut kemudian diimplementasikan dalam sebuah pelembagaan. Bentuk pelembagaan tersebut hingga kini masih tetap dipertahankan. Mereka tetap memainkan fungsi seperti awal munculnya, yaitu menciptakan dan menjaga kelestarian lingkungan dan budayanya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rangka perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat juga tidak menutup diri. Terdapat pula persesuaian dengan perkembangan zaman, yang saat ini sedang bertransisi menuju bentuk kemapanan baru. Pelembagaan (Institunalization) merupakan proses pengesahan pola tingkah laku tertentu menjadi hukum, yaitu diakui sebagai benar dan tepat. Di dalam masyarakat tertentu, hal ini mungkin berlangsung secara berangsur-angsur melalui proses evolusi atau juga bisa berlangsung cepat melalui keputusan suara terbanyak. 5 B. Rumusan Masalah Dari uraian yang telah dikemukakan di atas maka penulis berusaha mengkaji permasalahan utama yaitu “Pelembagaan Nilai Upacara Rambu Solo’ di Sa’dan To’Barana’ kelurahan Malimbong kecamatan Sa’dan Kabupaten Toraja Utara”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah pelembagaan nilai –nilai upacara Rambu Solo’ di sa’dan To’Barana? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana cara masyarakat Sa’dan To’Barana’ melembagakan nilai-nilai upacara Rambu Solo. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi pemerintah dan masyarakat agar bisa bersama-sama menjaga kelestarian nilainilai budaya sebagai suatu kekayaan bangsa. Selain itu juga untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang upacara Rambu Solo’ khususnya di Sa’dan To’Barana’ kelurahan Malimbong kecamatan Sa’dan kabupaten Toraja Utara. Secara khusus penelitian ini dapat bermanfaat bagi diri pribadi penulis dalam memahami bidang sosiologi dan sebagai bahan perbandingan bagi pihak yang ingin meneliti/memahami topik yang sama. 6 E. Kerangka Konseptual Manusia adalah mahkluk yang selalu berinteraksi dengan sesama manusia, lingkungan, dan Tuhannya. Manusia dalam hidupnya senantiasa mengadaptasikan dirinya dalam menghadapi lingkungan, baik lingkungan fisik atau alam maupun lingkungan sosial dan kebudayaan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Manusia selalu memanfaatkan lingkungan-lingkungan dengan menggunakan budayanya sebagai pedoman hidup yang merupakan respon yang berulang-ulang dilakukan secara teratur oleh individu sebagai anggota masyarakat bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil kebudayaannya. Setiap orang melihat, mempegunakan, bahkan kadang-kadang merusak kebudayaannya sendiri. Masyarakat adalah orang/manusia yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan, keduanya tidak dapt dipisahkan dan selamanya merupakan dwi tunggal. Karena kebudayaan diciptakan dan dipelajari dan tidak diwariskan secara biologis, maka semua masyarakat bagaimanapun caranya harus dapat menjamin penerusan kebudayaan itu dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Masyarakat Toraja yang terkenal dengan adat kebudayaannya di manapun dan bagaimanapun dalam proses pembaurannya di luar dengan masyarakat etnis lain. Dalam hal ini adaptasi merupakan proses, bahkan merupakan hal yang dominan untuk menentukan proses kehidupan mereka di tempat lain. Namun meskipun mereka mengadakan pembauran dengan etnis yang ada di sekitarnya, orang Toraja tetap memelihara dan menjunjung tinggi nilai sosial budaya mereka juga sekaligus sebagai sarana untuk bertemu dengan kerabat atau keluarga mereka 7 di kampung dan yang pergi merantau. Nilai sosial yang dimaksud adalah Rambu Solo’ (pesta kematian ) Nilai upacara Rambu Solo’ telah diturunkan secara turun temurun kepada setiap orang Toraja di manapun mereka berada kepada setiap keturunannya dari generasi ke generasi berikutnya. Nilai sosial budaya tersebut tidak tertulis tetapi merupakan inti dari kebudayaan orang Toraja dan dianggap paling tinggi nilainya bila dibandingkan dengan nilai sosial budaya lainnya. Pada masyarakat Toraja terdapat perbedaan status sosial yang berbeda-beda, mulai dari yang tinggi, sedang dan rendah. Stratifikasi tersebut dikenal dengan tingkatan berikut: a. Tana’ Bulaan/Toparenge (bulaan dalam bahasa Indonesia berarti emas) yang merupakan kasta tertinggi. Pada umumnya golongan bangsawan ini memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat karena mereka bertugas menciptakan aturan-aturan yang kemudian menjadi ketua pemerintahan adat tertinggi dalam masing-masing adat/kelompok adat, misalnya raja dan kaum bangsawan. Mereka juga menguasai tanah persawahan di Toraja b. Tana’ Bassi/ Tomakaka (dalam bahasa Indonesia bassi artinya besi) Kasta ini di sebut pula Tomakaka yang merupakan kasta masyarakat yang menjalankan pemerintahan adat yang membentuk ketua pemerintahan atau penguasa adat tertinggi. Jadi Tana’ bassi adalah bangsawan menengah yang sangat erat hubungannya dengan Tana’ Bulaan. Mereka adalah golongan bebas, mereka memiliki tanah persawahan tetapi tidak sebanyak yang dimiliki oleh kaum 8 bangsawan, mereka ini adalah para tokoh masyarakat, orang-orang terpelajar, dan lain-lain. c. Tana’ Karurung/To Buda (dalam Bahasa Indonesia karurung artinya batang kayu enau). Kasta ini merupakan rakyat kebanyakan atau sering di sebut paktondokan. Golongan ini tidak mempunyai kuasa apa-apa tetapi menjadi tulang punggung bagi masyarakat toraja. Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan sendiri. Mereka adalah penggarap tanah para bangsawan, kaum tani dan pekerja yang ulet, tekun, dan sangat bersahaja. d. Tana’ Kua-Kua/Kaunan (kua-kua adalah semacam tumbuhan yang hidup di sepanjang pematang sawah dan daunnya biasanya untuk makanan kerbau) Golongan kasta ini merupakan pengabdi atau hamba bagi Tana’ Bulaan dengan tugas-tugas tertentu. Misalnya membungkus orang mati dan lain-lain, mereka sangat dipercaya oleh atasannya karena nenek moyang mereka telah bersumpah turun-temurun akan mengabdikan dirinya, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban untuk membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Mereka ada sekitar 70% dari masyarakat. Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi, seperti Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi. Stratifikasi sosial tersebut sangat berpengaruh pada pelembagaan upacara Rambu Solo’, walaupun sekarang ini telah terjadi perubahan-perubahan seiring dengan roda kemajuan zaman. Dalam upacara Rambu Solo’ jumlah hewan kurban harus diperhatikan komposisinya, selain itu juga ada kerbau yang tidak boleh 9 dikurbankan karena adatlah yang mengaturnya. Dalam pesta Rambu Solo’ pun identitas orang Toraja dinyatakan dengan seberapa meraih dan seberapa besar pengorbanan mereka dalam melangsungkan upacara kematian, lebih lanjut akan dijelaskan pada bagan berikut: FaKtor yang mempengaruhi: Upacara Rambu Solo’ Adatistiadat/Tradisi Pelembagaan Nilai Pelestarian Budaya 10 1. 2. 3. 4. Kepercayaan Harga Diri Ekonomi kepercayaan Stratifikasi/ Status Sosial F. Metode Penelitian 1. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sa’dan To’Barana’ Kelurahan Malimbong Kecamatan Sa’dan Kabupaten Toraja Utara, selama bulan November sampai Desember 2010 2. Tipe dan dasar penelitian a. Tipe yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif dengan tujuan menggambarkan mengenai pelembagaan nilai upacara Rambu Solo’ di lingkungan keluarga Toraja, pada lokasi yang menjadi objek penelitian. b. Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, yaitu suatu pendekatan yang melihat objek penelitian sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. 3. Pemilihan informan Pemilihan informan dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu; penarikan informan yang dilakukan secara sengaja dengan kriteria tertentu. Informan tersebut berjumlah 6 orang. Keenam orang tersebut dipilih karena faktor umur, memiliki starata sosial tinggi dalam masyarakat, dan juga karena rekomendasi dari kepala kelurahan setempat karena dianggap memahami betul tetang Rambu Solo’, 11 4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara mendalam Wawancara yang di gunakan adalah wawancara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara b. Observasi Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan langsung memperoleh data yang sekiranya mendukung dan melengkapi materi atau data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para responden 5. Teknik Analisa Data Analisa data yang digunakan adalah kualitatif dimana data yang diolah dan di klasifikasikan, selanjutnya diinterpretasikan ke dalam bentuk narasi. 6. Defenisi Operasional a. Pelembagaan : Pelembagaan (institunalization) merupakan proses pengesahan suatu pola tingkah laku tertentu menjadi hukum, yaitu diakui sebagai benar dan tepat b. Upacara Rambu Solo’ : upacara kematian/kedukaan 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Rambu Solo’ Tangdilintin, T. L. (2001: 67), Toraja dan kebudayaannya mengatakan bahwa dalam adat orang Toraja dikenal 2 macam Rambu, yaitu Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’. Rambu Tuka’ berasal dari 2 suku kata yaitu: Rambu : asap Tuka : naik/ke atas Jadi Rambu Tuka’ adalah Aluk Rampe Matampu’(adat sebla timur) yang berarti upacara yang dilakukan atau dimulai pada waktu matahari bergerak naik. Upacara Rambu Tuka’ adalah upacara yang dapat dikategorikan sebagai pusat kegembiraan. Rambu Solo’ berasal dari 2 suku kata yaitu : Rambu : Asap Solo’ Upacara : turun ke/bawah Rambu Solo’ adalah upacara kedukaan yang dalam pelaksanaannya tidak kalah meriah dari pelaksanaan upacara Rambu Tuka’. Leluhur orang Toraja mengatakan upacara-upacara kematian yang dalam istilah orang Toraja dengan istilah Rambu Solo’ karena penuh dengan duka, sedih dan ratapan para rumpun keluarga. 13 B. Sejarah Singkat Rambu Solo’ Di daerah Tana Toraja sekarang ini masih hidup sebuah kepercayaan purba yang bernama Aluk Todolo yang lazim juga di sebut Alukta. Aluk Todolo merupakan agama leluhur orang Toraja yang masih dipraktikkan oleh sejumlah besar penduduk Toraja hingga kini, Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat Toraja walaupun sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katholik, bahkan pada tahun 1970, agama ini sudah dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Aluk Todolo adalah kepercayaan animisme tua yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh ajaran hidup Konfusius dan agama Hindu sehingga ia merupakan kepercayaan yang bersifat politeisme yang dinamistik (Alwi,1993;112). Tangdilintin, T. L. (2001: 75), Toraja dan kebudayaannya mengatakan bahwa kepercayaan tradisional Aluk Todolo bersumber dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dan aluk serba seratus( sanda saratu’). Aluk sanda pitunna disebarkan oleh Tangdilino’dan merupakan sistem religi yang dipercayai oleh orang Toraja sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama umat manusia dan karena itu ia merupakan aluk yang tertua yang menyebar secara luas di Tana Toraja. Sedangkan aluk sanda saratu’ datang kemudian dan disebarkan oleh puang Tamborolangi’ dan hanya berkembang dalam daerah Tallu Lembangna (Makale, Sangalla’ dan Mengkendek). Aluk sanda pitunna ini bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka’)dan 14 kejadian sesuai alurnya (salunna). Aluk sendiri meliputi upacara yang terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a’pa’ pentaunina). Disebut tiga aluk karena ia meliputi upacara yang menyangkut tanam-tanaman (aluk tananan) dan upacara yang menyangkut binatang (aluk patuan). Selanjutnya, dikatakan empat tumbuni karena di samping ketiga hal di atas ada lagi satu upacara yang disebut upacara suru’ berfungsi untuk menebus kesalahan (pangkalossoran). Inti ajaran alukta menyatakan bahwa manusia harus menyembah kapada 3 oknum. Oleh karena itu keselarasan dan keharmonisan harus tetap dijaga. Maka untuk itu sebelum di lepas kealam arwah , keluarga mengadakan serangkaian upacara sakral dengan harapan dapat diterima disana nantinya (alam puya) dan tidak mendatangkan bencana. Upacara tersebut dinamakan Rambu Solo’. C. Latar Belakang Diadakannya Rambu Solo’ 1. Religi Kerbau yang telah dikurbankan akan menentukan kedudukan arwah orang yang telah meninggal, karena diyakini bahwa seseorang yang datang ke dunia ini dan pada saat meninggalnya apabila dia tidak membawa bekal dari dunia maka arwahnya tidak akan diterima Puang Matua (Tuhan) . 2. Bekal bagi Tomembali puang (orang yang telah meninggal) Kepercayaan Aluk Todolo menekankan bahwa seseorang yang sudah meninggal arwahnya akan pergi ke dunia roh, sehingga semua hewan kurban yang dipersembahkan selama upacara berlangsung roh-roh hewan yang dikurbankan akan dibawa menuju ke alam arwah menjadi milik si mati di dunia yang baru. 3. Sebagai Bakti dan Penghormatan 15 Seorang anak yang tahu berbakti, yang menghormati, yang tahu berterimakasih dan mengasihi serta merasa bertanggungjawab terhadap orangtuanya atau berusaha keluarganya akan berusaha untuk menguburkannya dengan sebaik-baiknya dan sedapat mungkin dikuburkan di tempat yang dianggap layak dan bagus, misalnya di Patane. 4. Sebagai wadah Pemersatu Keluarga Ketika upacara Rambu Solo’ dilaksanakan sebagai bentuk kasih anak atau keluarga terhadap orangtuanya atau leluhurnya maka itu berarti bahwa setiap keluarga bertanggung jawab, maka mereka secara sadar akan ikut ambil bagian dalam upacara tersebut, sehingga pelaksanaan upacara Rambu Solo’ merupakan suatu kegiatan untuk menghimpun dan mengumpulkan kaum keluarga serta mempererat hubungan kekeluargaan. Biasanya hubungan kekeluargaan yang sudah lama renggang akibat jarak jauh dapat dipererat kembali melalui upacara tersebut. Setiap anggota keluarga yang hadir saling bercerita sehingga menciptakan suasana keakraban di antara keluarga dan masyarakat. Kehadiran dan keikutsertaan mengambil bagian dalam upacara tidak hanya mempererat hubungan antar keluarga tetapi juga kepada masyarakat luas sehingga ketidak ikut sertaan dalam upacara biasanya membuat hubungan kekeluargaan tidak harmonis lagi karena dianggap melalaikan adat. 5. Longko’/Siri’ ( harga diri) Salah satu nilai yang dikejar oleh orang Toraja dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah harga diri atau longko’. Harga diri atau longko’ ini menyangkut mengenai nama baik seseorang, keluarga maupun persekutuan di 16 dalam masyarakat Toraja. Karena itu pula tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali yang menjadi alasan orang Toraja mengadakan upacara Rambu Solo’ agar tidak dipermalukan oleh orang lain. Selain itu juga besar kecilnya jumlah kurban yang dipotong pada waktu pelaksanaan upacara tersebut dilakukan oleh keluarganya, akan mempengaruhi jumlah warisan yang diterima. Karena itu sering terjadi persaingan dalam jumlah pemberian kurban untuk memperebutkan warisan. D. Studi Tentang Religi dan Simbol Religi atau kepercayaan senantiasa mengarah kepada sesuatu yang tinggi, sesuatu yang gaib dan supranatural. Hal inilah yang sejak lama menjadi objek penelitian para ahli-ahli pikir untuk mengkaji religi atau kepercayaan. Berbagai pendirian dan teori-teori yang berbeda-beda bermunculan, pokok utama dari setiap kajian ini adalah bagaimana manusia melihat dan mencarai hubungan dengan sesuatu yang gaib itu yang tidak terjangkau oleh pemikirannya. Kajian ini amat kompleks karena adanya perbedaan waktu, tempat, masa, karakter dari pemeluk suatu kepercayaan, serta adanya perbedaan disiplin ilmu yang dimiliki oleh para ahli. Ada juga teori yang mengatakan bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidupnya dan alam sekelilingnya, teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi akibat pengaruh rasa kesatuan sebagai warga dan adapula yang mengatakan karena manusia mendapat firman Tuhan (Koentjaranigrat, 1985;221) religi atau kepercayaan yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan keagamaaan manusia dalam konteks budaya. Artinya perilaku keagamaan tersebut dilihat dalam 17 kedudukannya sebagai bagian dari kebudayaan, dan terpisah dari pengertian agama menurut defenisi-defenisi agama profetis (Kristen dan Yahudi, Islam). Koentjaraningrat mengatakan bahwa pada hakekatnya unsur kebudayaan yang disebut religi adalah amat kompleks, dan berkembang atas berbagai tempat di dunia, maka akan tampak adanya lima unsur pokok dari religi pada umumnya yaitu: a. Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebutkan manusia menjalankan kegiatan keagamaan b. Sistem kepercayaan atau bayang-bayangan manusia tentang dunia, alam gaib, hidup, maut, dan sebagainya c. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut d. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya e. Umat agama (koentjaraningrat, 1985:230) Kelima unsur-unsur pokok dalam religi tersebut merupakan suatu kesatuan dan mata rantai yang tidak dipisahkan dan saling berhubungan satu sama lain. Penyelenggaraan upacara merupakan salah satu kegiantan yang berguna untuk mengungkapkan emosi keagamaan yang telah dianut oleh masyarakat. Dalam hal ini juga merupakan pernyataan cara berfikir dan cara merasa dari kelompok masyarakat, berfungsi untuk mengukuhkan tata susila yang sedang berlaku, 18 desamping memberi peringatan dan mengulangi sosialisasi bagi kehidupan masyarakat. E. Pengertian Nilai Menurut Harton dan Hunt (1993) bahwa nilai adalah: “gagasan mengenai apakah pengalaman berarti atau tidak berarti”, seseorang akan melakukan suatu tindakan sesuai dengan pengalaman yang telah ia alami, mengenai pengalaman yang baik dan pengalaman yang buruk. Tergantung nilai apa yang telah ia berikan melalui proses sosialisasi keluarganya. Manusia dibimbing oleh nilai-nilai yang merupakan ukuran mengenai baik, buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas yang merupakan produk dari keluarga masyarakat. Untuk melaksanakan nilai-nilai ini diciptakan sistem norma yang berupa aturan-aturan dengan sanksi-sanksinya. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong bahkan menekan individu atau kelompok untuk nilai-nilai yang positif. Nilai dalam keluarga dan masyarakat mempunyai fungsi, yaitu: 1. Memberikan seperangkat alat untuk menetapkan harga sosial dari suatu kelompok 2. Mengarahkan masyarakat dalam berfikir dan bertingkah laku 3. Merupakan penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan sosial 4. Sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok atau masyarakat 5. Sebagai alat kontrol perilaku manusia 19 Nilai memainkan peranan penting dalam kehidupan seseorang. Kebanyakan interaksi sosial yang kita lakukan sehari-hari bukan saja pada fakta positif, tetapi juga pada pertimbangan nilai. Nilai ini mencerminkan suatu kualitas pilihan dalam tindakan. Nilai-nilai pokok memberikan perasaan identitas pada masyarakat dan pembentukan pandangan hidup seseorang, serta menentukan seperangkat hak-hak yang hendak dicapai. F. Nilai Budaya /Nilai Agama 1) Nilai Budaya Menurut Soejono Soekanto, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata, “Buddhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Dalam kerangka berfikir Koentjaraningrat (1980:204), menyatakan bahwa: “Nilai-nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman hidup bagi warga masyarakat”. Dari pengertian di atas menunjukkan adanya berbagai dimensi dari kebudayaan itu sendiri. Nilai budaya ini terkait dengan ciri manusia sebagai mahkluk individu maupun mahkluk sosial yang harus berkembang untuk memenuhi berbagai kehidupan. Dalam menghadapi lingkungan sekitar sangat dibutuhkan adanya suatu nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dalam masyarakat. 20 Kebudayaan dimiliki oleh setiap masyarakat, bedanya hanyalah bahwa kebudayaan masyarakat yang satu lebih maju daripada kebudayaan masyarakat lain. Namun yang jelas nilai budaya merupakan suatu pewarisan dari generasi ke generasi berikutnya. 2) Nilai Agama Suatu yang mampu memberikan kode etik yang bernilai absolut untuk mengangkat martabat manusia dan membedakannya dengan binatang hanyalah agama. Sebab itu nilai agama merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Seseorang dalam kehidupannya tidak semata-mata hanya berhubungan hanya dengan sesama manusia saja tetapi harus ada hubungan dengan sang khalik yang menciptakan manusia sebagai makluk muka bumi. Hubungan dengan sang khalik merupakan suatu hubungan yang paten dan merupakan hubungan rohani yang mendasar dalam pencapaian tujuan. Sama halnya kalau tujuan hidup seseorang hanya untuk pemenuhan perut dan seksualitas saja, artinya tidak mengenal adanya tujuan hidup yang hakiki yang bersifat rohaniah yang tinggi dan kudus. Nilai agama merupakan bekal untuk masa depan baik pada masa hidup maupun kelak ketika manusia itu sudah meninggal. Seseorang dalam mencapai tujuan dunianya yang berupa kesuksesan dunia maka harus banyak belajar mengenai nilai agama itu sendiri. Pendidikan akhlak yang diberikan orang tua terhadap anak sangat penting artinya dalam mewujudkan generasi yang berkualitas, dan bertakwa kepada Allah, sehingga mereka mampu menjalankan fungsi dan tugasnya. 21 G. Pengertian Pelembagaan Pelembagaan (institunalization) merupakan proses pengesahan suatu pola tingkah laku tertentu menjadi hukum, yaitu diakui sebagai benar dan tepat. Di dalam masyarakat tertentu, hal ini mungkin berlangsung secara berangsur-angsur melalui proses evolusi atau juga biasa berlangsung cepat melalui keputusan suara terbanyak. Tangdilintin, T. L. (2001: 20), Toraja dan kebudayaannya, menyatakan bahwa kelembagaan adat terdiri atas, sistem adat, sistem kepercayaan tradisional, sistem pengetahuan dan sistem nilai yang diterapkan dalam pengelolaan lingkungan hidup bagi orang Toraja merupakan suatu strategi dalam rangka mempertahankan kelestarian lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang. Upacara adat termasuk lembaga sosial karena di dalamnya terdapat aturan-aturan dan kebiasaan masyarakat. Seperti yang dipaparkan oleh Polak (dalam Bosrawi, 2005:92), bahwa lembaga sosial adalah suatu yang kompleks atau suatu sistem peraturan-peraturan dan adat-istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting. Lanjut Leopod Von Wiese dan Howard Becker (dalam Soekanto, 2002:199), melihat lembaga sosial ini dari segi fungsinya, yaitu sebagai suatu jaringan proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan –hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan manusia dan kelompoknya 22 H. Landasan Teori Dalam pandangan masyarakat di Sa’dan To’Barana’ upacara Rambu Solo’ begitu pentingnya dan paling tinggi nilainya, sehingga dalam melakukan aktifitas kesehariannya selalu merujuk kepada nilai-nilai budaya tersebut yang mereka junjung dan pedomani. Dalam penelitian ini dengan berpijak pada teorinya Talcott Parson maka dapat dipahami bahwa dalam hal memperlakukan dan memposisikan diri, baik sebagai pemangku dan pendukung pendukung kebudayaan tersebut masyarakat di Sa’dan To’Barana’ senantiasa bekerjasama, mereka tetap menjalin hubungan yang erat. Mereka mempertahankan kehadiran budaya Rambu Solo’ seperti awal munculnya, mereka dan Rambu Solo’ merupakan satu kesatuan yang erat sekali. Tidak mungkin kedua-duanya bisa dipisahkan. Kebudayaan itu tidak aka nada dan bertahan jika tidak didukung, namun mereka juga sadar bahwa mereka hidup tak berapa lama, lalu mati. Maka untuk kelangsungan nilai-nilai budaya tersebut haruslah ada pendukungnya dan harus lebih dari satu orang. dengan kata lain harus senantiasa disosialisasikan/diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Untuk bertahannya nilai-nilai tersebut maka mereka harus senantiasa mengajar, diajar, dan belajar. Dapat juga dilihat dari teori Ferdinand Tonnies, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangan zaman serta dengan masuknya pendidikan di Sa’dan To’ Barana’ maka masyarakat yang pada mulanya bersifat tertutup dengan dasar hubungan kekeluargaan mulai terbuka. Mereka mulai meninggalkan nilai-nilai lama. Disini para pimpinan tradisional/ tokoh adat berfungsi untuk mengontrol masyarakat, mereka menarik kembali 23 nilai-nilai lama tersebut yang mulai ditinggalkan tersebut secara khusus Rambu Solo’. Mereka bertugas untuk mengkoordinir jalannya adat. I. Pengertian dan Fungsi Upacara Adat Bagi Masyarakat 1) Pengertian Upacara Adat Upacara berarti kegiatan yang dilakukan untuk memperingati tanda-tanda kebesaran, peralatan menurut adat-istiadat. Upacara juga dapat bermakna sebagai rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat dengan aturan adat. Selain itu, upacara adat dapat diasumsikan sebagi perayaan yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa penting. Koentjaraningrat, (dalam Bosrawi 1981:378) menjabarkan upacara-upacara tersebut dalam beberapa unsur yakni: a. Bersaji b. Berkorban c. Berdoa d. makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa e. menari tarian suci f. menyanyi nyanyian suci g. berprosesi atau berpawai h. memainkan seni drama suci i. berpuasa j. intoksikasi atau mengaburkan fikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan mabuk k. bertapa, dan l. bersemedi. 24 Dalam upacara keagamaan atau upacara yang dilakukan oleh pemangku adat, prosesi yang dianggap suci menjadi keharusan dan ini memiliki kekuatan hukum yang sangat keras yang diberlakukan untuk menjaga kelangsungan adat istiadat yang diyakini oleh masyarakat. Adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan mempunyai kekuatan mengingat yang lebih besar terhadap anggota masyarakatnya sehingga anggota masyarakat yang melanggarnya akan menerima sanksi yang keras. Koentjaraningrat (dalam Bosrawi, 2005:75) mengemukakan 7 aspek kebudayaan sebagai berikut: 1. Sistem religi dan upacara 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3. Sistem pengetahuan 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistem mata pencaharian hidup 7. Sistem teknologi dan pengetahuan Salah satu aspek di atas terdapat sistem religi dan upacara, ini menandakan bahwa upacara agama upacara adat terdapat dalam konsep yang dilakukan oleh masyarakat. Upacara adat merupakan salah satu wujud kebudayaan . koentjaraningrat (dalam Bosrawi, 2005:76) mengatakan bahwa suatu yang kompleks dari aktifitas serta tindakan yang berpola pada manusia dalam masyarakat biasa disebut dengan sistem sosial. Upacara adat termasuk lembaga sosial karena di dalamnya terdapat peraturan-peraturan dan kebiasaan masyarakat. 25 Seperti yang dipaparkan oleh Polak (dalam Bosrawi, 2005:92) bahwa lembaga sosial adalah suatu yang kompleks atau suatu sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting. Lanjut Leopod Von wiese dan Howard Becker (dalam Soekanto, 2002:199). Melihat lembaga sosial ini dari segi fungsinya, yaitu sebagai suatu jaringan proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan manusia dan kelompoknya. Upacara adat merupakan tata kelakuan dan kebiasaan yang merupakan perilaku dan juga sekaligus diterima sebagai norma pengatur yang mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar atau tidak sadar, yang dilakukan masyarakat terhadap anggotanya. Upacara adat atau upacara keagamaan dianggap perlu diperhatikan karena dalam kebudayaan yang tampak paling lahir, bahkan etnografi mengenai upacara adat diperlukan untuk menyusun teori-teori asal mula. 2) Fungsi Upacara Adat Dalam Masyarakat W. Robertson Smith (1846-1894) seorang ahli teologi, ahli ilmu pasti dan ilmu bahasa dan kesusteraan semit. Dalam karangannya yang berjudul Lectures of The Semetis (1889), mengemukakan tiga gagasan penting yang menambah pemahaman kita mengenai azas-azas religius dan agama pada umumnya. Salah satu diantaranya adalah: “ Upacara religi adalah agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi social untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi itu dengan sungguh-sungguh, 26 tetapi tidak sedikit pula yang terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan-kepuasan keagamaan secra pribadi, tetapi juga karena mereka men ganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban social” (dalam Koentjaraningrat, 1980:67). Upacara itu merupakan pernyataan cara berfikir dan cara merasa dari kelompok masyarakat, berfungsi mengukuhkan tata tertib yang sedang berlaku, disamping member peringatan atau mengulangi sosialisasi bagi kehidupan masyarakat. Kehadiran warga masyarakat dalam suatu upacara yang diselanggarakan, apakah statusnya sebagai penyelenggar, pemimpin upacara dan sebagai orang yang hadir karena keterikatannya sebagai penganut kepercayaan yang diupacarakan adat lainnya, terjadi integrasi antara yang satu sama yang lainnya. Hubungan antar mereka memungkinkan atau menimbulkan solidaritas baerkawan atas dasar kesamaan adat dan kepercayaan yang dianutnya. Jadi pada intinya, bahwa dengan komunikasi, upacara itu mempunyai fungsi sosial, perhimpunan suatu masyarakat atas dasar tempat tinggal, kemudian ditambah lagi dengan kebutuhan atau dorongan dengan nilai religi dan budaya, sehingga mereka senantiasa berkomunikasi menyebabkan mereka hidup dalam suasana tenteram dalam arti cukup harmonis. 27 BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Alam Tana Toraja letaknya kurang lebih 300-600 meter di atas permukaan laut. Toraja juga telah mengalami pemekaran, yang membagi wilayah tersebut ke dalam 2 kabupaten yaitu; Kabupaten Toraja Utara yang beribukota Rantepao dan Kabupaten Tana Toraja denga ibukota Makale. Menurut mitos yang hingga kini tetap diyakini di kalangan masyarakat Toraja, bahwa nenek moyang mereka pertama kali menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana. Nama Toraja mulanya di berikan oleh suku Bugis Sidendreng dan Bugis Luwu. Orang sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja, yang berarti “ orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”. Orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya “ orang yang berdiam di sebelah barat”. Versi lain, kata Toraja berasal dari Tau( Orang) Maraya (orang besar/bangsawan). Kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja di kenal dengan Tana Toraja. Secara administratif, Toraja mempunyai luas wilayah 3.205,77 km², yang sekarang ini terdiri dari 2 kabupaten, 15 kecamatan, 116 lembang, dan 27 kelurahan yang masing-masing dipimpin oleh Bupati, kepala camat, kepala lembang, dan kepala lurah. Kepala lembang tersebut di era otonomi ini langsung dipilih oleh rakyat secara demokrasi. 28 Sa’dan Barana’ masuk ke dalam kelurahan Malimbong, salah satu wilayah kecamatan Sa’dan Kabupaten Toraja Utara, yang sangat terkenal dangan adat dan budaya Rambu Solo’nya yang masih sangat kental dan dipertahankan hingga sekarang ini. Sa’dan memiliki alam dan budaya yang sangat mempesona. Tidak heran apabila tempat ini banyak dikunjungi wisatawan, selain panorama gunung dan persawahan/sungai, seni ukir yang menghias rumah-rumah adat juga menjadi tontonan yang sangat menawan. Kelurahan Sa’dan Malimbong berada lebih 800 sampai dengan 1500 meter di atas permukaan laut, dengan kondisi daerah sebagian besar daerah perbukitan, sehingga dengan kondisi tersebut maka Kelurahan Sa’dan Malimbong memiliki ketinggian yang berbeda antara 1 lingkungan dengan lingkungan yang lainnya. Daerah Sa’dan Malimbong makin ke utara makin tinggi. Iklim di Sa’dan sama dengan daerah lainnya di Tana Toraja yang umumnya cukup dingin, denga curah hujan rata-rata 2000-3000 mm/tahun. Dengan kelembaban antara 82-86 % dan suhu 26-30°C pada siang hari dan 14°C pada malam hari. Dan musim hujan berlangsung pada bulan oktober-april. Sedangkan pada musim kemarau berlangsung dari bulan mei-september. Dari segi topografi Kecamatan Sa’dan merupakan dataran tinggi dengan tanah yang sukup subur, dan hanya 10% dataran rendah yang membentang sepanjang sungai Sa’dan. Di lokasi Sa’dan To’Barana’ pada mulanya dilili’ atau di bentuk oleh nenek moyang keluarga To’ Barana’ yang bernama Langi’ Para’pak yang di jadikan perkampungan keluarga yang luasnya kira-kira 15,62 km² dan mendirikan sebuah rumah tongkonan keluarga yang dinamai Tongkonan To’Barana’. Dibaharui oleh leluhur To’Barana’ bernama 29 Puang Pong Labba kira-kira 2 abad yang lalu dan kemudian dibaharui pula oleh Puang Pong Padata pada tahun 1959, dimana lokasi dan rumah tongkonan tersebut diwariskan secara turun temurun yang sampai saat ini menjadi objek wisata pertenunan asli. Lokasi tersebut berada di pinggir sungai Sa’dan dan dikelilingi oleh sungai Sa’dan yang berbentuk huruf “S”, itulah sebabnya sehingga Sa’dan To’Barana’ menjadi pusat Sa’dan. Kecamatan Sa’dan terdiri dari 2 kelurahan dan 8 lembang . 2 kelurahan dan Ke-8 lembang tersebut adalah sebagai berikut: Kelurahan Sa’dan Malimbong Kelurahan Sa’dan Mataallo Lembang Sa’dan Pebulian Lembang Sangkaropi’ Lembang Tiroallo Lembang Undulan Lembang Ulusalu Lembang Buntu Pasange Lembang Lambe’na Lembang Pessondongan Kelurahan Sa’dan Malimbong dalam sistem pemerintahannya terbagi ke dalam 3 lingkungan RT. Masing-masing adalah; Sangkombong Tangge’ Morante 30 Ketiga lingkungan tersebut tidak terdapat perbedaan fisik dan fungsi yang begitu mencolok, ketiganya terletak di kawasan sawah dan sungai, dan pegunungan di tepi jalan raya. Sa’dan To’Barana’ masuk ke dalam lingkungan Sangkombong. Secara geografis Kelurahan Sa’dan Malimbong berbatasan dengan: 1. Sebelah utara berbatasan dengan lembang Sangkaropi 2. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Sesean 3. Sebelah barat berbatasan dengan lembang Sangkaropi’ 4. Sebelah selatan berbatasan dengan lembang Undulan B. Keadaan Penduduk 1. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Sa’dan To’ Barana’ berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kelurahan sebanyak 350 jiwa. Dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 79 KK yang terdiri dari 168 orang penduduk pria dan 182 orang penduduk wanita. Dengan perbandingan luas wilayahnya yakni 483 km² yang jumlah penduduknya sebanyak 350 jiwa. Sebagian besar dari penduduk kelurahan Sa’dan To’ Barana’ merupakan penduduk asli, namun ada juga beberapa orang pendatang yang berasal dari luar kelurahan Sa’dan Malimbong, seperti mereka yang bekerja sebagai guru dan PNS. 31 Tabel 1. Distribusi Kepala Keluarga No Lingkungan Jumlah KK 1 Sangkombong 79 2 Tangge’ 73 3 Morante 93 Jumlah 245 Sumber : Data Kantor Kelurahan Sa’dan Malimbong, 2010 Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah kepala keluarga di setiap lingkungan tidak sama rata. Hal ini disebabkan karena letak setiap hunian masyarakat berbeda, ada yang tinggal di dataran /pinggiran sungai dan ada yang tinggal di daerah perbukitan. Jumlah kepala keluarga di Sa’dan To’ Barana’ yang masuk ke dalam wilayah lingkungan Sangkombong berjumlah 79 jiwa, Tangge’ 73 jiwa, dan Morante 93 jiwa 2. Pendidikan Penduduk Sa’dan To’ Barana’ bebas buta aksara. Selain dapat membaca mereka juga dapat menulis dengan baik. Di lingkungan Sa’dan To’ Barana’ terdapat 2 sekolah dasar (SD) negeri dan memiliki 1 sekolah menengah pertama yang terletak di dekat kantor kelurahan. Jika para siswa tersebut ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka harus ke ibukota kecamatan atau kota Rantepao. Para siswa tersebut berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan baik motor atau mobil. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut: 32 Tabel 2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah 1 Belum Sekolah 23 2 Tidak tammat SD/sederajat 21 3 Tammat SD/sederajat 71 4 Tammat SMP/sederajat 64 5 Tammat SMA/sederajat 92 6 Tammat akademik/sederajat 23 7 Tammat perguruan tinggi/sederajat 41 8 Lain-lain 15 Jumlah 350 Sumber : Data Kantor Kelurahan Sa’dan Malimbong, 2010 Yang dimaksud tingkat pendidikan pada tabel di atas mencakup tingkat pendidikan penduduk yang pernah atau sedang ditempuh, sedangkan lain-lain menunjukkan bahwa mereka tidak diketahui data yang sebenarnya. Mereka termasuk pada kelompok umur di atas usia sekolah. Jika kita lihat pada tabel III. 2 di atas, maka jumlah yang belum sekolah 23 jiwa, tidak tammat SD 21 jiwa, tammat SD/sederajat 71 jiwa, tammat SMP/sederajat 64 jiwa, tammat SMA/sederajat 92 jiwa, tammat akademik/sederajat 23 jiwa, tammat perguruan tinggi/sederajat 41 jiwa, dan lain-lain 15 jiwa. Dapat juga di lihat bahwa tingkat terbesar adalah tingkat sekolah menengah atas sedangkan yang paling terkecil ada pada tingkat lain-lain, pendidikan formal merupakan hal yang paling penting bagi penduduk Sa’dan To’ Barana’. Ini dapat dilihat pada tabel di atas, dimana 33 minat para penduduk untuk bersekolah cukup tinggi. Hanya saja sarana pendidikan di sana belum cukup memadai. Tabel 3. Distribusi Sarana Pendidikan No Jenis Pendidikan Jumlah 1 Sekolah Dasar 2 2 SLTP 3 SMU 1 4 Universitas - Jumlah 3 Sumber : Data Kantor Kelurahan Sa’dan Malimbong, 2010 Tabel 3 menunjukkan bahwa sarana pendidikan yang paling banyak adalah sekolah dasar (SD) yang berjumlah 2 buah sedangkan universitas belum ada. Tetapi jika mereka ingin melanjutkan pendidikan, mereka dapt melanjutkannya di Rantepao. 3. Agama dan Kepercayaan Secara umum agama dapat didefenisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan lingkungannya. Dan aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem nilai yang lebih menekankan pada hal-hal yang normative atau yang seharusnya atau sebaliknya dan bukannya berisikan petunjuk-petunjuk yang bersifat praktis dan teknis dalam hal manusia menghadapi lingkungan dan sesamanya (Suparlan, 1981). Untuk mengetahui lebih jelas 34 tentang penduduk Sa’dan Barana’ Kelurahan Malimbong, dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan No Agama/kepercayaan Jumlah 1 Kristen Protestan 311 2 Kristen Katholik 26 3 Islam 1 Jumlah 350 Sumber : Data Kantor Kelurahan Sa’dan Malimbong, 2010 Penduduk Sa’dan Barana’ mayoritas beragama Kristen protestan yang berjumlah 311 jiwa, agama Kristen Katholik berjumlah 26 jiwa, dan yang beragama islam berjumlah 13 jiwa. Sebelum masuknya agama lain seperti agama Kristen Protestan, Kristen Katholik, islam. Dahulu masyarakat Sa’dan To’ Barana’ menganut kepercayaan Alukta/Aluk Todolo yang saat ini pemerintah menggolongkannya dalam Hindu Dharma yang berisikan ajaran/kepercayaan yang menyembah 3 oknum : 1. Kepercayaan yang memuja kepada Puang Matua atau Tuhan sebagai pencipta alam semesta sekalian 2. Percaya dan memuja Deata(dewa) sebagai pemelihara ciptaan Tuhan 3. Percaya kepada Tomembali Puang yaitu arwah nenek moyang yang sudah meninggal akan menjadi setengah dewa dengan tugas member berkat kepada keturunanya. 35 Jadi kepercayaan Alukta adalah kepercayaan yang banyak berkaitan dengan pemujaan atau penyembahan. Di Sa’dan To’ Barana’ konsep ajaran Aluk Todolo telah berbaur dengan adat istiadat sehingga membentuk pola sikap budaya dengan pemehaman pendekatan diri terhadap hal-hal yang bersifat supranatural yang masih bertahan hingga sampai saat ini, hal tersebut dapat kita jumpai pada pesta ritual adat yang merupakan simbolis dari ajaran Alukta. Walaupun kepercayaan Aluk Todolo telah bergeser oleh ajaran agama lain (Kristen Protestan, islam, Katholik), namun nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam ajaran Aluk Todolo masih dipegang erat hingga kini. Tabel 5. Distribusi Sarana Peribadatan No Jenis Sarana Jumlah 1 Mesjid 1 2 Gereja Protestan 1 3 Gereja Katholik 1 Jumlah 3 Sumber : Data Kantor Kelurahan Sa’dan Malimbong, 2010 Pada tabel 5 menunjukkan bahwa sebagai pendukung dalam beribadah di Sa’dan To’ Barana’ terdapat 3 rumah ibadah, dua diantaranya adalah gereja Kristen Protestan dan gereja Katholik, satu diantaranya adalah mesjid, sedangkan pura dan wihara belum ada di atas. 36 4. Mata Pencaharian Hidup Sebagaimana umumnya masyarakat lainnya di Toraja maka di Sa’dan To’ Barana’ kebanyakan atau sebagian besar menenun dan bertani, mereka merupakan petani pemilik, atau penggarap dan petani ladang/kebun. Sedangkan mata pencaharian penduduk di sektor lainnya merupakan mata pencaharian penduduk yang jumlahnya relatif lebih sedikit dibanding dengan mata pencaharian di sektor pertanian. Mata pencaharian tersebut seperti PNS, Polri/TNI, Guru, Pedagang, Bidan/Mantri, dan Pensiunan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 6. Distribusi Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian hidup No Mata Pencaharian Jumlah 1 Petani/peternak 50 2 Pegawai negeri 50 3 Polri/TNI 10 4 Guru 30 5 Pedagang 20 6 Bidan/Mantri 15 7 Pengrajin/penenun 60 8 Pensiunan 20 Jumlah 255 Sumber : Data Kantor Kelurahan Sa’dan Malimbong, 2010 Berdasarkan tabel 6 di atas Nampak bahwa sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagi pengrajin, walaupun penduduk telah banyak menekuni pekerjaan lain, tetapi mereka juga tidak meninggalkan sifat 37 pertaniannya. Keengganan meninggalkan sektor ini didasari karena hasil dari sawah maupun ladang masih menjadi andalan penduduk Sa’dan To’ Barana’. Teknik bercocok tanam juga masih bersifat tradisional berdasarkan cara-cara intensif dengan tenaga traktor yang menggantikan tenaga hewan(kerbau). Hewan tersebut di utamakan pemeliharaannya karena hewan seperti itu di gunakan untuk keperluan pesta adat, seperti Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Alasan lain menggunakan traktor yaitu proses kerja lebih efisien. 38 BAB IV PEMBAHASAN Bab ini menyajikan temuan data di lapangan, di mana dalam bab ini diketengahkan dalam bentuk penjelasan tentang profil masing-masing informan. Dengan mendeskripsikan profil ini diharapkan akan pemahaman secara mendalam terhadap potret masyarakat dalam pemahamannya tentang adat Rambu Rolo’ dan bagaimana masyarakat disana melembagakan nilai-nilai dari upacara Rambu Solo’ tersebut. A. Profil Informan Dalam penelitian ini peneliti menentukan informan dengan cara purposive sampling yaitu penarikan informan yang dilakukan secara sengaja oleh peneliti dengan kriteria tertentu yang ada pada informan. Jumlah informan sebanyak 6 orang, dimana informan tersebut dianggap memahami tentang adat. 1. RK : 78 thn (Ambe’ Tondok). Ambe’ Tondok adalah orang yang dituakan dalam masyarakat yang merupakan dewan adat tertinggi, jabatan tersebut diperoleh karena dipilih oleh masyarakat yang diturunkan secara turun temurun 2. MRY : 77 thn (Ketua Ada’). Ketua Ada’ adalah orang bertugas memeberikan sanksi kepada orang yang melanggar peraturan adat 39 3. PLY : 80 thn (Tominaa). Tominaa adalah orang yang memiliki jabatan dalam sistem pemerintahan tradisional dalam masyarakat di Sa’dan To’Barana’ yang bertugas untuk mengkoordinir jalannya Aluk 4. PRM : 50 thn (Toparenge’) 5. SL : 40 thn (Toparenge’) 6. LS : 26 thn (Toparenge’) Penggambaran kasus dari keenam informan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. RK : 78 thn (Ambe’ Tondok) RK adalah salah satu tokoh adat di Sa’dan To’ barana’ yang sangat disegani oleh masyarakat. RK memiliki tinggi rata-rata, bertubuh gemuk berkulit putih dan seperti orang tua pada umumnya rambutnya penuh dengan uban. Sehariharinya ia adalah orang yang disukai dan dihormati oleh tetangga/penduduk setempat. Dilingkungan tempat tinggalnya dia menjabat sebagai Ambe’ Tondok. Jabatan tersebut diwarisinya secara turun temurun berdasarkanan pertimbangan berbagai hal. Selain memiliki sifat kepemimpinan, pintar, suka membantu bijaksana dia juga dapat membaur dengan orang lain tanpa memandang status seseorang. RK mempunyai seorang istri yang berasal dari kelurahan Sa’dan Mataallo, dan mempunyai anak dari hasil pernikahan mereka sebanyak 8 orang. Anak tertuanya berprofesi sebagai anggota militer di Tana Toraja sadangkan yang lainnya berada di perantauan. Bukan hanya dalam pengasuhan dan pendidikan 40 dari anak cucunya yang diutamakan akan tetapi juga dalm persoalan-persoalan baik dalam rumah maupun luar rumah. Selain sebagai kepala keluarga dia juga sebagai pengayom masyarakat yang harus menjadi teladan. Dalam kehidupan rumah tangga dan lingkungannya, dia tidak pernah menempatkan dirinya sebagai yang lebih berkuasa, dia menjelaskan bahwa: “Tae’ yana dipake sala to apa diampui jo kaleta. Yatu apa diampui, apanna nasang puang dadi tae’ nadipake sala apa dipake lama’pemeloi sola nasang. Yatusitonganna kamite lamendadirakan contoh lako to buda,melonari tu laparallu ladipakpakitanan. Sama nasangki’ tu kita tau” Artinya: Kita tidak boleh mempergunakan salah sesuatu yang melekat pada diri kita, jabatan yang kita miliki digunakan sebaik mungkin demi kepentingan bersama. Kami ini harus menjadi contoh dan teladan yang baik bagi orang banyak. Kami harus senantiasa memperlihatkan yang baik supaya bisa manjadi contoh. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Tambahnya lagi pada sisi lain sehubungangan dengan jabatannya dalam masyarakat dia tidak memposisikan dirinya lebih berkuasa atas Ketua Adat, Tominaa, dan masyarakat lainnya. Sehingga apapun yang menyangkut kepentingan bersama selalu didiskusikan terlebih dahulu, meskipun ada keputusan yang harus diambil tanpa dikomunikasikan terlebih dahulu, tetap ia memberitahukan setelahnya kepada masyarakat. Perilaku seperti ini menjelaskan bahwa bagi RK sebagai ketua adat, Tominaa dan masyarakat adalah patnernya. Dalam kehidupan sehari-hari perilaku seperti ini menempatkan posisi mereka yang setara, dimana nek RK yang menjabat Ambe’ tondok sebagai dewan adat tertinggi. Menurutnya Ambe’ tondok, Ketua adat, Tominaa dan Masyarakat yang lain saling membutuhkan, mereka tidak bisa terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Dia tidak 41 memandang masyarakat yang lain sebagai kelas dua yang bisa dimanipulasi dan dieksploitir. Berkenaan dengan Rambu Solo’ ia berargumen bahwa: “Yake lanpa lili’na lepongan bulan tana matarik allo tondok toraya malakbik yatu disanga makpogau’ sara’,larambu tuka’ raka larambu solo’ raka tae’ nabisa ditampe tu ada’ torayanta. Saba’ lankatorayanta naporiki’ aluk todolota sae lakona. Saba’ anna tae’ nadipogau’ natoraya siapiki’ nakannaki’ pema, mabusungki’ nak” Artinya: Selagi kita masih berada di dalam Tana Toraja yang namanya kegiatan upacara, entah itu Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’ tidak bisa dipisahkan dari adat kita sebagai orang Toraja. Karena dalam adat Toraja kita terikat oleh adat-istiadat nenek moyang kita sampai selamalamanya/ bersifat kekal. Apabila hal tersebut tidak dipatuhi maka kita akan berdosa dan terkena kutukan. Berkenaan dengan aktifitas masyarakat tidak pernah ia ia mengintervensi lebih jauh. Bagi dia cukuplah masyarakat memahami dan menaati aturan adat yang berlaku” (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Dalam kerangka pemikiran yang universal dapat dianalisis, bahwa apa yang diterapkan atau diaktualkan oleh nek RK di dalam kehidupannya tidak bisa dipisahkan dari apa yang dipahaminya. Segala apa yang manusia lakukan tidak bisa dipisahkan dari apa yang dikonsepsikan olehnya. 2. MRY : 77 thn (Ketua Adat) MRY adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan tinggi badan di atas rata-rata dan berkulit sawo matang. MRY adalah seorang pensiunan guru yang saat ini kesehariannya diisi dengan berdagang (berwiraswasta). Di lingkungan Sa’dan To’ Barana’dia dikenal pintar, ulet, pemberani, dan ramah kepada siapa saja. Dia juga sangat familier di kalangan masyarakat dikarenakan jabatannya sebagai ketua adat. Walaupun sibuk tetapi dia dapat bersosialisasi dengan baik kepada masyarakat. Disela-sela kesibukannya dia biasa diundang oleh masyarakat untuk pelaksanaan kegiatan upacara adat atau acara-acara tertentu. 42 Dia mengaku bahwa dari dulu dalam hal pemilihan jodoh keluarganya sangatlah selektif, sehingga itu pulalah yang membuat dia lambat berumah tangga. Dari hasil perkawinannya dengan salah seorang perempuan yang masih kerabat dekatnya, dia dikaruniai 5 orang anak yang saat ini berada di luar Tana toraja bahkan ada yang telah berdomisili di luar negeri. Pendidikan adalah hal yang paling dia nomor 1 kan dalam keluarganya. Dalam memandang posisisnya sebagai ketua adat, dia menuturkan bahwa tidak pernah dia memandang dirinya sebagai penguasa, posisinya lebih di atas yang bisa memberikan sangsi kepada si pelanggar aturan. Dia mengatakan bahwa jika seorang ketua adat memposisikan dirinya sebagai yang berkuasa yang semena-mena dalam masyarakat maka dia tidak patut dijadikan contoh. Menurutnya : “Yatu kita lante tondok sama nasangki’.lamajongki’ raka lamadaoki’raka, Tae’ naladen sibala’ bala’. Maksukkuru’ki’ ke den apa melo jo kaleta yamoto apa napa’bengan tomatuanta, anna yato dipake sipemeloi,,,tontong makpugau; melo. Anna dipogau’ tu pepasan nenek todolota lanturui’ atoro’na aluk sia pemali. Moiri na tae’mo tu nenek todolota apa pepasanna tontong ladiingaran nadipogau” Artinya : Kita semua anggota masyarakat sama, baik yang mempunyai kedudukan tinggi maupun yang rendah, kita harus saling menghargai. Harus bersyukur kalau ada sesuatu yang baik melekat pada diri kita yang diberikan orang tua kita, untuk dipakai demi kepentingan bersama saling memperbaiki. Tetap berbuat baik, dan menjalankan ajaran leluhur kita. Walaupun mereka sudah tidak ada. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Hal ini kemudian berefek pada setiap pengambilan keputusan di dalam masyarakat, dan selalu membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat. Meskipun sibuk berdagang namun bukan berarti menjadi halangan untuk 43 mengkomunikasikan segala hal yang terjadi dalam masyarakat, menurutnya dalam masyarakat antara Ambek Tondok, Ketua Adat, Tominaa dan masyarakat lainnya ibarat sebuah kapal, dimana nahkoda dan awakanya harus saling membantu dan memahami antara yang satu dengan yang lainnya. Hal di atas menggambarkan bahwa ketertiban dalam masyarakat di Sa’dan To’ Barana’ saat ini tidak terlepas dari peran serta masyarakat, pimpinan atau tokoh adat setempat. Meskipun terdapat perbedaan status sosial tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi hubungan sosial sudah lama terjadi antara yang berstatus sosial tinggi dengan rendah. Menjalin hubungan yang baik dengan semua golongan untuk mempertahankan ketertiban dan keakraban. Sehubungan dengan Rambu solo’ ia mangatakan bahwa: “ ia tu pa’tomatean nartikan sala biasa tau yari na pogau’ tau belanna lapamalangka kalena anna tontong nahormati mintu’na tau lan tondok.” Artinya : Terkadang orang sala memaknai pelaksanaan upacara Rambu Solo’ . biasanya mereka melaksanakan hanya untuk menghindari supaya tidak dipermalukan/dianggap rendah oleh orang lain sehingga dapat disegani dan dihormati oleh masyarakat luas. Padahal yang sebenarnya Rambu Solo’ itu sangat sakral, tidak boleh dipermainkan, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan karena menyangkut kepercayaan. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). 3. PLY : 80 thn (Tominaa) PLY adalah adalah seorang laki-laki periang dan murah senyum, dari tutur katanya tampak bahwa ia adalah seorang yang pintar dan cakap berbicara. Kesehariannya dia bekerja sebagai petani pemilik sekaligus memangku jabatan Tominaa di Sa’dan Barana’. Dalam setiap kegiatan dalam masyarakat terutama yang menyangkut adat, sebelum pelaksanaan kegiatan dia akan hadir untuk merundingkan sekaligus mengkoordinir pelaksanaan Aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dalam hal ini nek PLY bertugas menjabarkan peraturan-peraturan yang harus ditaati terutama aturan tata cara Rambu Solo’. 44 Bapak dari 10 orang anak ini sangat dekat dengan masyarakat, begitu dekatnya sehingga walaupun telah ditinggal mati istrinya Sembilan tahun yang lalu, dia tidak pernah merasa kesepian. Sehari- hari rumahnya tidak pernah sepi. Keluarga dan masyarakat setempat selalu bertandang ke rumahnya. PLY selalu membukakan pintu rumahnya bagi siapa saja yang ingin bertamu, maupun yang berkepentingan dengannya selaku Tominaa. Dalam kesehariannya dia dikenal mudah bergaul dengan siapa saja. Keberhasilannya mendidik anank-anaknya yang saat ini rata-rata telah berhasil di rantau orang tidak membuatanya sombong. Dia juga mengatakan bahwa walaupun anaknya tidak berada di Tana toraja tetapi dia tetap memgingatkan anaknya untuk tidak melupakan tanah kelahirannya beserta Aluk dan Pemalinya. Menurutnya: “nangla tontong bangki’ yatu sipa’kada sipakaingaran mentu’na tu dipogau’ den atoro’na. aluk sandapitunna parallu ladipeladai’ melo. Yatu aluk moi natae’ dioki’ apa tae’ nabisa dipaningoan saba’ matoto’mo topissan sae lakona,,merrarabukumo ., na kita adekna te undibangki’ narondong nenekta,,mentu’na tengkata natandai,, yatu aluk nakanna nasangki’. Artinya: Kita harus tetap saling memperingati, mengingatkan, dan menasehati dalam tata kelakuan kita sehari-hari. Semua yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari itu ada aturan yang mengikat/ mengatur. Aluk 7777 harus dipedomani dengan baik. Yang namanya aturan walaupun tidak tertulis tetap harus ditaati dan tidak bisa dipermainkan karena sudah mengikat dan mendarah daging dalam diri kita. Apa lagi kita ini selalu di awasi oleh nenek moyang kita. Semua yang kita lakukan dipantau, peraturan adat berlaku bagi semua yang ada disini tanpa terkecuali secara turun temurun. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Dari uraian di atas tampak bahwa PLY betul- betul sadar dan menjunjung nilai-nilai adatnya . dengan pengetahuan yang cukup luas dan mendalam terhadap Ada’ dan Aluk menjadikan dia sangat dihormati dan disegani. 45 4. PRM : 50 thn (Toparenge’) Prm adalah seorang laki-laki berusia 50 thn. Bapak dari 7 orang anak ini memiliki postur tubuh yang tinggi besar. Selain berprofesi sebagi pegawai pada salah satu instansi pemerintah, sepulang dari tempat kerja dia mengisi waktu luangnya dengan membantu istrinya menenun. dari hasil kerja kerasnya tersebut dia berhasil menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi di beberapa universitas ternama di kota Makassar. Karena 5 anaknya telah dewasa dan pergi merantau, 2 orang yang masih mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Maka lelaki berkumis tebal ini, sekarang ini hanya tinggal bersama istrinya di rumah. Baginya anak adalah titipan dari Tuhan yang harus dijaga, dibina, dilindungi dan dididik dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran agama agar mereka tidak melelikan adatnya tetap. Seperti halnya dengan responden lain bapak PRM, 80 thn, mengatakan bahwa: “Yanna den torro lan tondok toraya nak, nangla tuaki’ situru’ aluk sia pemali. Mentu’na penggauran den atoro’na yamoto anna tontong dipeladai’ tu aluk na den tangmasiri’ mekutana lako tomanarang. Saba; yatu aluk torayanta tae’na bisa disapui” Artinya: Orang Toraja hidup menurut Aluk dan Pemali. Seluruh perbuatan dan tingkahlaku kita harus dijalankan sesuai aturan. Untuk itulah kita harus senantiasa mempelajari dan mengajarkan Aluk. Tidak perlu malu bertanya kepada orang yang lebih tahu tentang Aluk karena kita tidak bisa menghapusnya begitu saja. .” (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Bapak PRM yang juga masih Toparenge’(keturunan bangsawan) tetap membaur dengan masyarakat lainnya. Dia tidak pernah menonjolkan dirinya sebagai orang yang memiliki status sosial tinggi ia tetap mengikuti aturan yang ada, ia tetap memposisikan dirinya sebagaimana mestinya, sikap saling 46 menghargai dan menghormati telah mengukuhkan kesetaraan dalam lingkungannya. 5. SL : 40 thn (Toparenge’) Berbadan tinggi dan agak kurus, kulit sawo matang, berambut lurus serta bermata sayu adalah sosok dari SL. SL seorang yang baik dan murah senyum kepada semua orang, di samping itu dia juga sangat sopan dan selalu merendah kepada orang lain. Setiap kali dia berbicara tidak pernah sedikitpun menyombongkan diri meskipun yang dihadapi sebagai lawan bicaranya umurnya jauh dibawahnya. Hal ini pula yang membuat penulis betah bercerita dengannya. Tutur kata yang santun juga dia terapkan kepada istri dan anak-anaknya. Menurut pengakuan istrinya, bapak SL tidak pernah berkata dengan nada yang tinggi atau kasar kepada dirinya ataupun kepada anak-anaknya. Setiap harinya bapak SL bekerja sebagai petani dan peternak sekaligus pengrajin/penenun. Anak dari bapak SL berjumlah 5 orang. anak yang tertua barubaru menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah tingkat atas dan berniat melanjutkan pendidikannya di sekolah pelayaran yang berada di Makassar. Yang kedua berumur 15 tahun, ketiga berumur 13 tahun sedangkan yang keempat berturut-turut 10 tahun dan 9 tahun. Pada waktu malam setelah makan sebelum anaknya belajar biasanya bapak SL selalu bercerita tentang masa kecilnya, termasuk kampung halamannya serta adat istiadatnya. “nang parallu bangya nak tu umpakilala anakta, dau’ nakalupai tu tondokta, todolota, sia melo tangmelona. Yatongki bitti dipasusi dukakan kami to, dikuankan ko dau’mi tangkilalai patarrui’ tu pepasan tomatuannta lako ampomi, anna ampomi patrrui’ lako ampona. Yatu ada’toraya lammo kaleta” 47 Artinya: Perlu sekali itu nak selalu mengingatkan anak kita supaya dia tidak melupakan tanah kelahirannya. Agar kita bisa tau mana yang baik mana yang tidak. Seperti halnya kami waktu kecil, kami selalu diperingati oleh orangtua kami dan selalu mengingatkannya kepada anak cucu kami. Adat toraja sudah ada dalam diri kita. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Menurutnya berkaitan dangan Rambu Solo’. Seorang anak yang tahu berbakti, yang menghormati, yang tahu berterimakasih dan mengasihi serta merasa bertanggungjawab terhadap orangtuanya atau keluarganya akan berusaha untuk menguburkannya dengan sebaik-baiknya dan sedapat mungkin dikuburkan di tempat yang dianggap layak dan bagus, misalnya di patane. Ia mengatakan bahwa: “ napogau’ mintu’na tau belanna mali’na anak lako tomatuanna ba’tu angga kasimaliran lako to matuanna” Artinya: “Dilakukan sebagai ungkapan kasih sayang anak terhadap orang tuanya atau sebagai bentuk kasih sayang terhadap keluarga”. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). 6. LS : 26 thn (Toparenge’) Dari penampilannya sudah bisa ditebak kalau dia adalah salah satu anggota militer. LS adalah seorang laki-laki berkulit sawo matang , tinggi badan di atas rata-rata. Dari penuturannya diketahui bahwa saat ini LS tinggal di luar pulau Sulawesi. Dia datang ke Sa’dan Barana’ karena rindu kampung halamannya sekaligus ada keperluan yang harus dia selesaikan. Saat ditanya pemehamannya tentang adat Rambu Solo’ sebagai ajaran leluhurnya dia mengatakan bahwa: “Na jona’ aku tondokna tau undaka’ kande dek,,,sitonganna yari ku sae jomai saba’ ditelponnina’ saba’ lama’ rapat adekna tu tau inde banua, ladipestamo ke bulan misa’ tu nenekku do banua. Moi na den jo tondokna tau apa tae’ kutangbisa kilalai tu tondokku,,,pepasanna tomatua tontong bangya ladikainga’ Artinya: Justru dari itu, Saya itu ini dek,, ada diperantauannya orang ,, sebenarnya saya datang kesini karena mendapat informasi kalau keluarga akan mengadakan rapat karena nenek mau diupacarakan kematiannya 48 kalau bulan Januari. Walaupun saya berada di luar Toraja tetapi saya tidak bisa melupakan tanah kelahiranku. Pesan-pesannya orang tua harus tetap diingat. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). LS mungkin saja tidak memahami secara detail tentang Rambu solo, namun apa yang diterapkan dalam lingkungan keluarganya mewakili bukti penghormatan dan cinta kasih dan ketaatannya kepada leluhur dan nilai budayanya B. Nilai-Nilai Rambu Solo’ Dari hasil wawancara dengan ke -6 informan tersebut dapan disimpulkan bahwa, dalam Rambu Solo’ tercermin pelajaran yang berhubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Yang mengandung nilai-nilai yang lain, yaitu 1. Nilai Keakraban Ketika upacara Rambu Solo’ dilaksanakan sebagai bentuk kasih anak atau keluarga terhadap orangtuanya atau leluhurnya maka itu berarti bahwa setiap keluarga bertanggung jawab, maka mereka secara sadar akan ikut ambil bagian dalam upacara tersebut, sehingga pelaksanaan upacara Rambu Solo’ merupakan suatu kegiatan untuk menghimpun dan mengumpulkan kaum keluarga serta mempererat hubungan kekeluargaan. Seperti yang dikatakan oleh MRY 77 thn: “Yake denni tu tau tangsipatumo, naposaba’ sikambellangan, bisa dipemeloi sule jo tomaktomate. Mentu’na tau sae sisonda-sonda maccerita umpokada umba susi tu karebanna, na tontong sipakilalaki’ to siunu”. Apa taena tosiunu’ manna ,,lako duka tau senga’ lan tondok” Artinya: Biasanya hubungan kekeluargaan yang sudah lama renggang akibat jarak jauh dapat depererat kembali melalui upacara Rambu Solo’. Setiap anggota keluarga yang hadir saling bercerita sehingga menciptakan 49 suasana keakraban diantara keluarga dan masyarakat. Kehadiran dan keikutsertaan mengambil bagian dalam upacara tidak hanya mempererat hubungan antar keluarga tetapi juga kepada masyarakat luas yang hadir. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). 2. Nilai Kerohanian/ Ketuhanan Nilai relegius yang bersumber dari kekyakinan atau kepercayaan mereka, yang merupakan nilai kebutuhan kerohanian yang tinggi dan mutlak, menurut RK, 78 thn selaku Ambe’ Tondok bahwa: “Yatu inde Barana’ topissan den kapatongananki disanga Aluk Todolo, ya kami to tu kapatonganana doloki, apa mentama tu kapatonganan sarani, protes sola katolik. Yatu lan kapatonganan Aluk Todolo menomba langan Puang Matua, Deata sia Tomembali Puang” “Puang Matua yamo unggaragai te lino sola issinna, Deata-deata buda sibawa ya undi parakai pakpadadianna Puang Matua, Tomembali Puang baktu bombona tomate ya male urrondongki” “Yatu bombona nenek todolota tae’ nala kalupaiki’ tukita ampona tu tuanna yamoto yanna dentu tomate di alukki dikua namentama suruga sia dau’na pasae saki” Artinya: Pada jaman dahulunya disini hidup sebuah kepercayaan purba yang bernama Aluk Todolo. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli disini , walaupun sekarang kami mayoritas telah beragama terutama agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katholik. Ajaran Alukta menyatakan bahwa kita ini harus menyembah kapada Puang Matua, Deata-deata, Tomembali Puang/todolo. Puang Matua yang menciptakan bumi serta segala isinya, Deata-deata berjumlah banyak sebagai pemelihara seluruh ciptaan Puang Matua, Tomembali Puang/todolo (arwah orang yang telah meninggal) mengawasi dan yang memperhatikan gerak-gerik serta memberikan berkat kepada kita keturunannya yang masih hidup. Jadi arwah-arwah orang yang telah meninggal tidak akan melupakan keturunannya begitu saja tetapi tetap memperhatikannya segala gerakgerik kita. Maka sebelum dikebumikan keluarga mengadakan serangkaian upacara adat supaya orang yang meninggal tersebut arwahnya dapat diterima di alam puya(surga) dan tidak mendatangkan bencana. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). 50 PRM, 50 thn, menyatakan bahwa: “Yatolan kapatonganan Aluk Todolota, disuaki’ menomba langan puang Matua, Deata,na Tomembali Puang” Artinya: kepercayaan purba nenek moyang kita yaitu Alukta menyatakan bahwa kita harus senantiasa menyembah kapada 3 oknum yaitu:Tuhan, Dewa, Arwah orang yang telah meninggal. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). PLY, 80 thn, menyatakan bahwa: “Yake lan Aluk Todolo, yanna tae’ na dipakande-kande tu bombona nenek todolota, sengke, yamoto na biasa rusak bangtu tananan sia patuoan sia umpasae saki” Artinya: Dalam ajaran Aluk Todolo nak,,apabila kita tidak melakukan pemujaan arwah leluhur, maka mereka bisa marah, yang biasa menyebabkan pengrusakan tanaman bahkan mendatangkan wabah penyakit. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Menyimak hal tersebut maka jelaslah bahwa menurut kepercayaan mereka, manusia yang masih hidup tidak akan terlepas dari pengawasan arwah leluhurnya yang disebut Tomembali Puang/Todolo. Dengan kata lain arwaharwah seseorang yang telah meninggal tidak akan melupakan keturunannya begitu saja akan tetapi tetap memperhatikannya. Hal itu berarti antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup tetap ada hubungan. Oleh karena itu keselarasan dan keharmonisan harus tetap dijaga. Maka untuk itu sebelum di lepas kealam arwah , keluarga mengadakan serangkaian upacara sakral dengan harapan dapat diterima disana nantinya (alam puya) dan tidak mendatangkan bencana, sehingga diadakanlah serangkaian upacara Rambu Solo’. 3. Harga Diri Salah satu nilai yang dikejar oleh masyarakat di Sa’dan To’ Barana” dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah Siri’ (harga diri) atau longko’. Harga diri atau longko’ ini menyangkut mengenai nama baik seseorang, keluarga 51 maupun persekutuan di dalam masyarakat Toraja.karena itu pula tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali yang menjadi alasan orang Toraja mengadakan upacara Rambu Solo’ agar tidak dipermalukan oleh orang lain. PRM, 50 thn, menyatakan bahwa: “ia tu pa’tomatean totemo biasa na pogau’ tau belanna lapamalangkari kalena anna tontong nahormati mintu’na tau lan tondok” Artinya : Pelaksanaan upacara Rambu Solo’ sekarang ini sekarang ini seringkali dilaksanakan hanya untuk menghindari supaya tidak dipermalukan/dianggap rendah oleh orang lain sehingga dapat disegani dan dihormati oleh masyarakat luas. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). 4. Prestise/Kebanggaan Seringkali pula menjadi alasan masyarakat sekarang ini di Sa’dan To’Barana’ untuk melaksanakan upacara Rambu Solo’ adalah sebagai tempat untuk menyatakan martabat atau status sosial untuk menunjukkan diri agar dapat dikenal banyak orang . karena keberhasilannya dalam melaksanakan upacara juga menjadi sarana untuk mempertahankan peran dan status seseorang dalam masyarakat untuk menambah gengsi dikenal karena kekayaannya. Peran dan kesanggupannya dalam mengurbankan hewan kurban yang banyak dan memberikan jamuan kepada orang banyak selama berminggu-minggu dalam beberapa tahap menjadi kebanggaan bagi si pelaksana kegiatan. SL, 40 Thn, menyatakan bahwa: “Yatu bisa ditiro totemo te,yamira napogau’I tau tu paktomatean belanna morai bangri natandai tau nak,, kassara’na noka’ri tangdisanga, apapole’mi ke sibudai apa nabawa” 52 Artinya: Biasanya yang kita lihat saat ini terkadang pelaksanaan upacara ini terjadi pergeseran nak,, nilai materil yang mereka cari, kasarnya mungkin tidak mau dibilang, apalagi kalau mereka banyak berkurban. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Sehingga dengan senantiasa diadakannya kegiatan upacara Rambu solo’ yang menjadi identitas orang Toraja sampai ke dunia luar , maka budaya tersebut akan bertahan. Ketika Rambu solo’ dihilangkan dengan alasan-alasan tertentu, misalnya dengan alasan terlalu mahal dan pemborosan maka orang Toraja akan kehilangan identitasnya. 5. Kolektifitas Dalam pelaksanaan ritual Rambu Solo’ mengandung nilai kebersamaan karena masyarakat, pemangku adat dan keluarga yang mengadakan ritual bersama-sama bantu membantu turut berpartisipasi di dalamnya. Pemangku adat sebagai pengontrol, mengarahkan tata cara pelaksanaan. Keluarga yang menanggung biaya kemudian masyarakat turut berpartisipasi membantu dalam pelaksanaannya. PLY, 80 Thn, menyatakan bahwa: “Yanna den pogau’ sara’ sae nasang tu tau, toparenge’ marassan patuduki’, yatu kita tosiunu’ ma’pogau sisolaki’ unbagi-bagi tu anggaranna apa ladipatassu baktu ladipake, anna yatu rakya’ yalambantuki biasanna muane manggaraga lantang, baine mekkarang jo dapo” Artinya: Pada saat melaksanakan upacara Toparenge’ terutama Tominaa dating membantu mengarahkan tata cara pelaksanaan, sementara kita keluarga pelaksana bersama-sama saling membantu dalam pembagian dana anggaran, sedangkan rakyat akan datang turut berpartisipasi, biasanya laki-laki membantu pembuatan pondok dan dekorasi, dan pemotongan kurban, sedangkan perempuan mengurusi bagian dapur. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). 53 6. Bakti dan Penghormatan Seorang anak yang tahu berbakti, yang menghormati, yang tahu berterimakasih dan mengasihi serta merasa bertanggungjawab terhadap orangtuanya atau berusaha keluarganya akan berusaha untuk menguburkannya dengan sebaik-baiknya dan sedapat mungkin dikuburkan di tempat yang dianggap layak dan bagus, misalnya di patane. LS, 26 Thn, menyatakan bahwa: “napogau’ mintu’na tau belanna mali’na anak lako tomatuanna ba’tu angga kasimaliran lako to matuanna” Artinya: Dilakukan sebagi ungkapan/bentuk kasih sayang anak terhadap orang tuanya. (Wawancara tgl 11 Desember 2010) C. Cara-cara Pelembagaan Nilai Upacara Rambu Solo’ di Sa’dan To’ Barana’ 1. Melalui Cerita Walaupun sumber dan prosesnya sulit dilacak/diketahui tapi mereka tetap meneruskan Rambu Solo’. Ia hanya merupakan dongeng yang diturun-alihkan secara lisan dari generasi ke generasi, tidak melalui garis tegak lurus ke bawah (anak cucu, dan lain sebagainya), tetapi juga melalui garis mendatar, yaitu kepada orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Seperti yang dikatakan oleh PLY (80 thn) selaku Tominaa, menurutnya: “Yatu kita tau tontong bang tu katuoanna, saba’ mukkun bang kianak, den tu mate apa buda duka yatu mukkun didadian o, dikianankan na diadai’, dipatudu anna dadi tau, mentu’na nangla susinna bang sae lakona. Yanna den siapiki’ tu lanturui’ sia umpogau’i tu ada’ ko yamo to natae’ nabisa tisapui” 54 Artinya: Masyarakat itu berlangsung oleh karena senantiasa timbulnya anggotaanggota baru yang dilahirkan oleh masyarakat. Oleh karena itu agar nilai- nilai budaya Rambu solo’ kami tidak luntur maka , kami senantiasa melatih mereka, mengajar dan mendidik untuk menjadi penerus. Dan selama pergantian itu masih saja berlangsung , selama kami semua masih tetap sebagai pendukungnya, selama itu pula nilai budaya kami akan tetap bertahan dan berlangsung. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Pengalaman satu anggota akan diteruskan kapada anggota lainnya, pendek kata seluruh nilai-nilai tersebut kemudian disusun dan diatur bersama guna memungkinkan dan melancarkan penghidupan bersama sebagai masyarakat. Maka agar budaya tersebut tetap terjaga harus ada pendukung yang mempertahankan,. Dari hasil wawancara diketahui bahwa para orang tua di sa’dan biasanya bercerita pada saat malam hari menjelang tidur, dalam perjalanan ke kebun atau sedang menenun, hal tersebut dilakukan untuk merangsang imajinasi anak mereka dapat juga dipahami bahwa ternyata cerita tersebut merupakan sebuah doktrin atau penanaman nilai-nilai. LS, 26 thn, menyatkan bahwa: “Yatongi bitti adingku,,,yakami ke liburkan yanna dentu tomate ,,malekan ma’doya,, biasa nabawakan indo’ ambekki ba’tu undi lakokan sangbanuangki kenatambaiki’. Marua’ saba’ ponnong tau. Ko biasa disuamokan melada’ manta kande, male bawan tau woi sia untawan tau duku” Artinya : Semasa kecil , kalau kami libur apabila ada upacara adat(orang meninggal), kami biasanya diajak oleh orang tua kami, atau biasa juga diajak oleh tetangga. Banyak sekali orang yang hadir, pada saat itu kami disuruh untuk belajar membagikan makanan, membawakan minuman,bahkan membagikan daging orang. (Wawancara tgl 10 Desember 2010) 55 Lanjut , LS, 26 thn, menyatakan bahwa: “Yanna mabongi mak ullelle’ bang tu nenekki ke lamma’mokan dipokadankan kada” sia biasa duka ke tae’ apa dipogau’ ke no’ko’-no’ko’ kan Artinya: Pada saat malam menjelang tidur, nenek selalu bercerita serta menyampaikan tetuah, biasa juga pada waktu senggang. (Wawancara tgl 11 Desember 2010) Proses belajar tentang masalah adat lebih banyak Nampak pada pelaksanaan upacara Rambu Solo’. MRY, 77 thn, menyatakan bahwa: “Yanna sibitti’pa tu pia mulaimo dipatudu, biasanna dipamula jomai pasadia daun-dau ladini umpatongkon duku’ ba’tu disua untunu duku’. Yanna kapuamo diadai’ unnira duku’ namane pakbagi-bagianni lako tosae ma’doya baktu tolan saroan. Umbagi duku’ parallu liu saba’ yamoto nanai pia melada tana’- tana’ lan tondokna. Yanna manarang ma’bagi ko bisa mo ditandai yato pia yato bisa dadi toma’parenta”. Artinya : Sejak kecil anak-anak biasanya dilibatkan menyediakan daun-daunan dipakai untuk alas memotong daging atau bisa juga ikut membakar hewan yang dikurbankan. Setelah mereka meningkat dewasa, merekapun diberi kepercayaan untuk memotong dan membagikan daging kepada orangorang yang hadir dalam upacara ataupun yang berada dalam lingkungan. Membagi daging sangatlah penting karena disinilah pemuda dan pemudi kami belajar untuk membedakan orang menurut strata sosialnya. Jika pemuda kami cakap dalam pembagian daging maka sudah bisa diketahui bahwa ia mempunyai bakat untuk memimpin masyarakat dimasa yang akan datang. (Wawancara tgl 11 Desember 2010) 2. Melakukan Kegiatan Upacara Adat Dalam pandangan orang di Sa’dan To’barana’ upacara Rambu Solo’ begitu pentingnya dan paling tinggi nilainya, sehingga dalam melakukan aktivitas kesehariannya selalu merujuk kepada nilai-nilai budaya tersebut yang mereka junjung dan pedomani. Mereka tetap menjalin hubungan yang erat. mereka mempertahankan kehadiran kebudayaan Rambu Solo’. Mereka dan budaya Rambu 56 solo’nya merupakan suatu kesatuan yang erat sekali. Tidak mungkin keduaduanya bisa dipisahkan. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti selama di lapangan dapat juga dipahami bahwa dengan senantiasa melaksanakan upacara Rambu Solo’ maka budaya tersebut yang dianggappaling tinggi nilainya tidak akan hilang. Dia akan tetap bertahan tanpa batas waktu yang ditentukan. MRY, 77 thn, menyatakan bahwa: “Yatu Rambu Solo’ merrara bukumo lan kaleki sola nasang, nenek todolo umpamulai nadipatarru, tae’mo nabisa dita’dei punala. Dikua ko natontong bang tae’ natisapu yatu kita anak-anakna lampatarrui’. Yanna den tu tomate dipogau’ tu ada’ta” Artinya: Adat toraja kita Rambu Solo’ sudah mendarah daging, nenek moyang kita yang memulai dan tugas kita untuk melestarikan dan menjaganya. Nah, supaya tidak terhapus, dan ditinggalkan begitu saja maka kita sebagi anak cucu wajib untuk meneruskannya. Maka untuk itu kalau ada orang yang meninggal harus diupacarakan melalui adat. (Wawancara tgl 11 Desember 2010) D. Media Pelembagaan Upacara Rambu Solo’ Di Sa’dan To’Barana’ Dalam melaksanakan upacara Rambu Solo’ di Sa’dan To’Barana terdapat beberapa media yang menjadi wadah atau tempat yang menjadi sarana pelembagaan upacara Rambu Solo’: 1. Pimpinan tradisional/ Tokoh Adat (Ambe’Tondok, Ketua Ada’, Tominaa). Sebelum membahas lebih jauh terlebih dahulu harus dipahami sistem kepemimpinan tradisional di Sa’dan To’Barana’ PLY, 80 Thn, menyatakan bahwa:“yatu inde Barana’ yatu paling madoan Ada’ Toraya, namane ambe’ Tondok mangkato ketua Ada’ sola Tominaa” 57 Artinya: Disini adat yang paling tertinggi adalah Ada’ Toraya, kemudian Ambe’ Tondok yang membawahi Ketua Adat dan Tominaa. (Wawancara tgl 11 Desember 2010). lanjut PLY, 80 thn, menerangkan bahwa: “Ada’ Toraya issinna atoro’ tu apa dipogau’ melo kadakena, Ambe’ Tondok yamotu tau dipoambe’ diangka’ ke sikadai tu tau saba’ den kala’bianna, Ketua Ada’ diangka’ duka yalannadili tau ke kasalanni. Anna Tominaa yalamale patudu tau umbasusi tu sitonganna lana pogau’. Yalampatudu tau lampogaui tu Aluk Sanda Pitunna” Artinya: Ada’ Toraya berisi peraturan/undang-undang tata kelakuan mengenai apa yang baik dan yang tidak baik. Ambe’ Tondok adalah orang yang dituakan sebagai seorang pemimpin, diangkat melalui musyawarah berdasarkan kriteria yang dia miliki. Ketua Ada’ (ketua adat) adalah orang yang diangkat karena memiliki beberapa kriteria, bertugas menangani masalah hukum termasuk menjatuhkan sangsi kepada si pelanggar adat. Tominaa adalah orang yang diangkat karena memiliki beberapa kriteria. Bertugas mengkoordinir jalannya aluk 7777 menjabarkan peraturan. (Wawancara tgl 11 Desember 2010) Pimpinan tradisional memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat karena mereka bertugas menciptakan, mengontrol/mengkoordinir aturan-aturan yang kemudian menjadi ketua pemerintahan adat tertinggi dalam masing-masing adat/kelompok ada’. Bertugas menangani masalah hukum termasuk menjatuhkan sangsi kepada si pelanggar, mengkoordinir jalannya Aluk 7777 menjabarkan peraturan. Mereka juga selalu hadir dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’ karena menurut kepercayaan orang di Sa’dan To’Barana’ pemimpin/tokoh adat sangat erat kaitannya dengan sistem religi, tanpa kehadiran pemimpin tersebut maka upacara tersebut dianggap tidak sah dan tidak mendapat berkat dari Tuhan. 58 Pada saat melaksanakan upacara Rambu Solo’, Sebelum keluarga yang bersangkutan melaksanakannya maka terlebih dahulu harus menyampaikan kepada Tominaa (orang yang memiliki status sosial di dalam Saroan dan Tongkonan). Hal ini dimaksudkan untuk meminta izin dan petunjuk kemudian Tominaa akan berunding dengan Ambe’ tondok dan ketua Ada’ selanjutnya dia akan menyampaikan dan mengarahkan tata cara pelaksanaan upacara misalnya bagaimana desain pondok (lantang) yang cocok, bagaimana aksesoris yang harus digunakan, termasuk berapa hewan yang dikurbankan (babi/kerbau), semua ritus ini menggambarkan strata sosial dari si mati tersebut, seperti yang dikatakan oleh RK, 78 thn demikian: “ia ke lapogau’ki’ misa’ pengkarangan ada’ larambu solo’ ba’tu rambu tuka’ iatu keluarga lamekutana dolo’ lako Tominaa. Yatulanapekutanan yamotu apasia tu ladipogau’ tu sipatunna acara, umbara susi tu lantang ladigaraga, sia pira patunna tu tedong laditunu” Artinya; Sebelum melaksanakan suatu upacara, baik itu Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’, maka terlebih dahulu keluarga yang bersangkutan harus bertanya kepada tominaa, sekaligus menanyakan bagaimana desain pondok atau lantang dan berapa hewan yang seharusnya dikurbankan. (Wawancara 11 Desember 2010) 2. Masyarakat Disini masyarakat berperan sebagai media karena mereka membantu para pemangku/tokoh adat dalam melaksanakan adat, mereka yang melaksanakan kegiatan upacara Rambu Solo’ tersebut. Seluruh masyarakat akan turut mengambil bagian dalam pelaksanaan upacara Rambu solo’. 59 MRY, 77 thn, menyatakan bahwa: “moi ki den solanasang te todipoambe’na patassu’ aturan ke tae’I tu tau buda launturui’ baktu laumpogau’I tu ada’ ko tae’ bangsia gai’na to’o” Artinya: walaupun kami ini ada sebagai pemangku adat mengeluarkan sekaligus sebagi pengontrol aturan tapi kalau tidak ada rakyat yang membantu pelaksanaan dan mendukungnya maka semuanya tidak akan berarti, karena merekalah yang memegang peran (Wawancara 11 Desember 2010) Lanjut PRM, 50 thn, menyatkan bahwa: “Yanna den tomate, malekan sola nasang tu kami tau torro lante tondok, mui natae’ tu apa dibawanni tapi malebangki’ situru’-turu’,male situndui solanasang, sipakilala, makpakatana”.tae’ra atoro’na to pa kami kalenakami morai male. Yanna tae’ waktunta ke tangaallona makruen ke suleki’ makjama naden male” Artinya: Kalau ada orang meninggal, kami semua yang ada dalam lingkungan barana’ akan pergi ke rumah duka, walaupun kami pergi hanya dengan tangan kosong tapi kami akan bahu membahu datang kesana untukt berbelasungkawa, saling menghibur.tidak adaji keharusan untuk ikut nak tapi kami sendiri yang secara sadar melaksanakannya. Biasanya kalau tidak ada waktu disiang hari maka kami akan pergi kesana pada sore atau malam harinya. (Wawancara 11 Desember 2010) 3. Jumlah Kerbau dan Babi Yang Dikurbankan Dalam melaksanakan upacara Rambu Solo’ masyarakat Sa’dan To’Barana’ memilih kerbau dan babi sebagai hewan yang akan dikurbankan, tetapi sebelumnya itu ada hal-hal yang perlu diperhatikan berdasarkan status sosial masyarakat, karena dalam aturan adat yang berlaku disana ada kerbau yang tidak boleh dikurbankan sebab itu akan melanggar peraturan adat. Kriteria kerbau yang akan dikurbankan juga harus berdasarkan strata sosialnya dan harus memperhatikan komposisinya. 60 PLY, 80 Thn, menyatakan bahwa: “Yake lamantunu tedongki’ yatu parallu laditiro: Yanna Tedong: Bonga: Tana’ Bulan sia Tana’ Bassi Saleko: Tana’ Bulan sia Tana’ Bassi Balian: Tana’ Bulan sia Tana’ Bassi Pudu’: Tana’ Bulan,Tana’ Bassi, Todi’: Tana’Karurung sia Tana’Kua-kua Sambao: Tana’Bulan,Tana’Bassi, Tana’Karurung sia Tana’ Kua-kua Artinya: kalau mau memotong kerbau yang harus diperhatikan : Kerbau jenis: Bonga: Tana’ Bulan dan Tana’ Bassi Saleko: Tana’ Bulan dan Tana’ Bassi Balian: Tana’ Bulan dan Tana’ Bassi Pudu’: Tana’ Bulan,Tana’ Bassi, Todi’: Tana’Karurung dan Tana’Kua-kua Sambao: Tana’Bulan,Tana’Bassi, Tana’Karurung dan Tana’ Kua-kua (Wawancara 11 Desember 2010) PLY, 80 thn, menambahkan bahwa: “yake denni tomate nangla diusahakan liu padenni tu bai sia tedong, yamoto ke tae’pi tu apa-apa dipado dolo’ banua tun tomate, anna yatu kita anak-anakna marassan pandakaranni, saba’ tedongri tu parallu ya Yakelamoraiki’ untandai tu melona tedong, tae’na dikitta;punala bang, apa dikitta’duka tu bulunna, kalena sia umba susi tu tandukna”. Artinya: Kalau ada orang yang meninggal di Barana’ diusahakan sedapat mungkin mengurbankanbabi dan kerbau, makanya disini biasanya kalau keluarga yang bersangkutan belum punya biaya untuk pelaksanaan upacara adatnya maka mayat tersebut disimpan dulu di atas rumah, 61 sementara keluarga akan berusaha untuk mengumpulkan uang dan perlengkapan lainnya sampai saat mereka telah merasa bisa untuk bisa melaksanakan upacaranya .Untuk menentukan faktor nilai suatu kerbau sebenarnya tidak saja ditentukan oleh jenis kerbau tetapi juga ditentukan oleh posisi putaran bulunya, bentuk badan, dan bentuk tanduknya (Wawancara 11 Desember 2010). 4. Lakkean Lakkean merupakan tempat jenasah disemayamkan, sejenis pondok yang ditempati meletakkan mayat sebelum dikuburkan. RK, MRY, PLY, PRM, SL, LS mengatakan bahwa “Lakkean yamotu dinai umpatorro tomate ke dipogau’I tu sara” Artinya: Lakkean adalah tempat sementara mayat pada saat upacara berlangsung sebelum dikebumikan, berbentuk pondok-pondok. (Wawancara 11 Desember 2010) 5. Aparat Pemerintah Aparat pemerintahan disini selain berfungsi sebagai pengayom, mereka juga yang mengeluarkan izin pelaksanaan upacara Rambu Solo’, dari izin tersebut mereka menarik retribusi pajak pemotongan hewan kurban yang yang merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. MRY, 77 thn, menyatakan bahwa: “Yake pogau’ki’ sara’ paktomatean dentu toma’parenta patassu’ sura’ izin sia napaja’ ke mantunuki’ yato paja’na dipatama kasna daerah” Artinya: kalau kita melaksanakan kegiatan adat yaitu Rambu Solo’ akan dihadirkan aparat pemerintah. Aparat pemerintah disini mengeluarkan surat izin pelaksanaan upacara serta menarik pajak dari pemotongan tersebut yang dmasukkan ke dalam kas daerah. (Wawancara 11 Desember 2010) 6. Pakaian Adat dan Aksesoris Pada saat upacara Rambu Solo’ berlangsung maka diharuskan bagi orang yang berpartisipasi didalamnya memakai pakaian khas warna hitam yang 62 menggambarkan suasana berkabung. Motif yang dikenakan pada kain juga menunjukkan golongan pemakainya, misalnya motif tau-tau merupakan motif yang menunjukkan kebangsawanan. Namun hal tersebut sudah mulai pudar karena siapa saja yang mampu dan berminat untuk membeli dapat saja memakainya. Kain warna putih biasanya dipakai oleh Tominaa (pemimpin atau pendeta dalam ajaran Aluk Todolo).kemudian dekorasi tempat diadakan upacara didominasi oleh warna merah mulai dari peti jenasah, alang (lumbung), sampai pada kerbau yang akan diadu/dipotong dihiasi dengan kain merah. RK, 78 Thn, menyatakan bahwa:“Yake maktomate tau yatu bayu naipake to buda warna malotong, yanna Tominaa pake Sambu’ Busa. Yatu lantang dipakean kain warna mararang nak” Artinya: Pada saat ritual masyarakat memakai pakaian warna hitam sedangkan Tominaa dan pemangku adat lainnya memakai sarung berwarna putih nak. Mereka bertugas mengontrol jalannya upacara. (Wawancara 11 Desember 2010) 7. Melalui Cerita/Petuah Selain beberapa hal di atas mereka juga tetap meneruskan Rambu Solo’. Walaupun hanya merupakan cerita yang diturun-alihkan secara lisan dari generasi ke generasi, walaupun maknanya tidak dapat diketahui dengan pasti namun setelah ditelusuri ternyata cerita tersebut merupakan sebuah doktrin. LS, 40 Thn, menyatakan bahwa : “Yanna mabongi mak ullelle’ bang tu nenekki ke lamma’mokan dipokadankan kada”, ditole-tole bang” Artinya: Pada saat malam menjelang tidur, nenek selalu bercerita serta menyampaikan tetuah cerita tersebut hamper setiap malam diceritakan. (Wawancara tgl 11 Desember 2010) Lanjut LS, 26 thn: “nang parallu bangya nak tu umpakilala anakta, dau’ nakalupai tu tondokta, todolota, sia melo tangmelona. Yatongki bitti dipasusi dukakan kami to, dikuankan ko dau’mi tangkilalai patarrui’ tu pepasan 63 tomatuannta lako ampomi, anna ampomi patrrui’ lako ampona. Yatu ada’toraya lammo kaleta” Artinya: Perlu sekali itu nak selalu mengingatkan anak kita supaya dia tidak melupakan tanah kelahirannya. Agar kita bisa tau mana yang baik mana yang tidak. Seperti halnya kami waktu kecil, kami selalu diperingati oleh orangtua kami dan selalu mengingatkannya kepada anak cucu kami. Adat toraja sudah ada dalam diri kita. (Wawancara tgl 10 Desember 2010). Dari penelitian ini dengan menilik pengakuan dari informan maka dapat juga dipahami bahwa pada dasarnya bertahannya nilai-nilai budaya Rambu Solo’ tidak terlepas dari peran serta pemimpin informal/tokoh adat setempat disana, dengan kata lain bertahannya budaya tersebut yang mereka pedomani karena adanya sistem kepemimpinan yang mengatur/mengontrol adat istiadatmereka.kemudian jabatan mereka juga berlangsung secara turun temurun. Secara otomatis peraturan yang berlaku tidak berubah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rangka perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat disana juga tidak menutup diri. Terdapat pula persesuaian dengan perkembangan zaman, yang saat ini sedang bertransisi menuju bentuk kemapanan baru. Sehubungan dengan hal tersebut maka disini dapat pula dilihat bahwa masyarakat di adat di Sa’dan To’Barana’ yang dahulunya kehidupannya bersifat tertutup dengan dasar hubungan kekeluargaan dengan kemajuan zaman yang terus berkembang ,juga karena hadirnya pendidikan maka masyarakat disana mulai bersifat terbuka, mereka mulai meninggalkan nilai-nilai lama, disinilah tokoh adat (Ambe’ Tondok, ketua Ada’, Tominaa) berfungsi untuk mengontrol masyarakat. Mereka menarik kembali nilai-nilai lama yang mulai pudar. Peraturan Rambu 64 Solo’ tidak tertulis tetapi mutlak dilakukan, mereka harus tunduk pada adat, yang dalam segala hal itu merupakan partisipasi dalam memelihara ketertiban yang telah ditentukan oleh seluruh sistem (kepemimpinan)yang dianut dan mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’.Seperti yang dikatakan oleh SL 40 thn: “Mui na den tu tangdiporaianna apa ada’ yatu latongan, moi nadikua ko lasusi te’e kenakuai lasusirito tu patunna ,,,,,ko yamoyato tu laditurui’, yamoto anna sikada tu tau kelampogau’i sara’ anna ditambai tu tomanarang. apalagi nang sipatunnamo to kita nangla unturui’ tu ladipomelona” Artinya: Kalaupun pada dasarnya ada hal-hal yang kita tidak sukai sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh Tominaa tersebut tetapi sudah menjadi kewajiban kita untuk mena’atinya apalagi kalau hal tersebut untuk ketertiban kita bersama maka sudah sepatutnyalah kita harus tunduk pada adat, . (Wawancara 11 Desember 2010) Dapat juga disimpulkan bahwa Kebudayaan masyarakat di Sa’dan To’Barana’ merupakan sesuatu yang telah terakumulasikan dalam bentuk Aluk, Ada’, Pemali, atau Aluk sanda pitunna. Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ yang dinyatakan dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari seperti dalam kehidupan pribadi, sosial, ekonomi, politik, kesenian dan agama. Secara khusus pelaksanaan adat istiadat Rambu Solo’ yang dianggap paling tinngi nilainya. Sadar ataupun tidak sadar, selama ini agama telah dijadikan pelayan dari kebudayaan yang mereka anut, ayat-ayat Tuhan selalu dijadikan alat legalitas bagi pemahaman yang terbentuk dari konstruksi sosial dan budaya. Tanpa coba dipahami lebih jauh akan apa maksud dari ayat-ayat yang terkadang tidak sesuai dengan ajaran leluhur yang mereka laksanakan. 65 Terlepas dari semua itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan kehadiran agama Kristen dalam penduduk Sa’dan To’barana’ membuat mereka sadar tentang adanya yang Maha Kuasa di luar manusia. Dalam hal-hal lain yang ditakuti dan disegani, karena itu pulalah yang membuat penduduk Sa’dan To’barana’ tidak mempersoalkan adanya pemotongan kerbau. Seperti yang dikatakan oleh RK, 78 thn: “ yatu ada’ toraya tae’ nabisa disapui sia ditampean. Apa tae’ duka kumua yato aluk dolo mentu’-mentu’na ladi pasusi bangpa dolona, pakpasusianna tu makpakande deata jo to’ kayu-kayu napogau’ nenek todolota belanna maksukkuru’ki’ apa tu mangka nabenganki deata, yato ko tae’mo nadipogau’ saba’ makpatonganmiki’ langan Puang Matua,,,madosaki’ lan kapatongananta ke malepiki’ makpakande-kande” Artinya: Adat ketorajaan kita memang tidak bisa dihapus dan ditinggalkan begitu saja. Tapi tidak juga bahwa ajaran Adat yang adalah ajaran leluhur kita kesemuanya dimainkan seperti awal munculnya. Misalnya dalam adat kita yang dulu senantiasa harus bersyukur atas apa yang kita alami,,biasanya dalam upacara itu dilakukan dengan mengadakan ritualritual menyembah berhala dengan membawa makanan di pohon-pohon. Yang itu tidak perlu lagi dilakukan karena kita sudah beragama dan dalam kepercayaan kita, itu sangat dilarang, maka yang dianggap tidak baik bisa ditinggalkan. (Wawancara 11 Desember 2010) Hal yang senada juga dikatakan oleh MRY, PLY, PRM, SL, dan LS . Walaupun adat ketorajaannya sudah mereka yakini dan pedomani tetapi terdapat pula persesuaian dengan kemajuan zaman. Nilai yang dianggap baik tetap dipertahankan sementara yang dianggap tidak baik bisa mereka tinggalkan, dengan kata lain mereka juga tidak menutup diri dengan adanya kemajuan zaman. Menurut mereka setiap orang Kristen sehubungan dengan hal tersebut pada umumnya bersifat selektif. Ada yang beranggapan tidak semua Aluk dan 66 Adat bertentangan dengan iman Kristen karena ada yang baik sehingga tidak perlu ditolak seperti halnya dalam pemotongan kerban/hewan kurban lainnya. Tidak menjadi persoalan bila kerbau yang dipotong sebagai ungkapan ratapan dan belasungkawa namun tidak boleh mempunyai pikiran bahwa hewan yang dikurbankan tersebut akan dibawa oleh si mati ke alam puya karena binatang tidak mempunyai jiwa kekal. Sehungan dengan agama ajaran agama Kristen , menjadi agama Kristen tidak berarti meninggalkan Aluk Todolo. Sebagai orang Kristen mereka masih hidup dalam Aluk Todolo,yaitu agama leluhur mereka tetapi tidak dibawah kuasa Aluk Todolo, melainkan hidup dalam kuasa firman Allah. Sikap yang benar adalah mendahulukan kerajaan Allah di atas segala-galanya. Sehingga mereka menganggap bahwa hal yang wajar-wajar saja jika mereka melaksanakan Upacara Rambu Solo’ 67 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dalam kasus kehidupan masyarakat di Sa’dan To’Barana’, dapat kemudian ditarik beberapa point kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Rambu Solo’ yaitu: Nilai keakraban Nilai kerohanian/keTuhanan Harga diri Prestise/kebanggaan Kolektifitas Bakti dan penghormatan 2. Masyarakat Sa’dan To’Barana’ melembagakan nilai-nilai upacara Rambu Solo’ dengan cara: Melalui cerita Melaksanakan upacara Rambu Solo’ 3. Media pelembagaan upacara Rambu Solo’ di Sa’dan To’Barana’ yaitu: a. Pimpinan tradisional/tokoh adat(Ambe’ Tondok, ketua Ada’, Tominaa) b. Aparat Pemerintah c. Masyarakat 68 d. Jumlah Kerbau dan Babi Yang Dikurbankan e. Lakkean f. Pakaian/aksesoris g. Pelaksanaan kegiatan upacara Rambu Solo’ h. Cerita/Petuah B. Saran-saran 1. Hendaknya dalam kehidupan sehari-hari pada pemahaman teksteks agama, tidak hanya secara kulit luarnya saja, sehingga menyebabkan pemahaman yang dangkal sehingga terkesan masyarakat mencampur adukkan antara agama dengan budaya 2. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan untuk masyarakat, agar memahami substansi dari persoalan kepentingan masyarakat, sehingga keputusan yang diambil tidak akan berefek negatif terhadap kaum dari golongan tertentu yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. 69