PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UPACARA RAMBU SOLO’ BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL (STUDI KASUS KEL. ARIANG KEC. MAKALE KAB. TANA TORAJA) PUBLIC PERCEPTION TO WARDS RAMBU SOLO’ CEREMONIES THAT BASED SOCIAL STRATIFICATION (CASE STUDY OF ARIANG ON MAKALE IN TANA TORAJA) SKRIPSI MISELA RAYO E 411 08 290 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UPACARA RAMBU SOLO’ BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL (STUDI KASUS KEL.ARIANG KEC. MAKALE KAB. TANA TORAJA) SKRIPSI MISELA RAYO E 411 08 290 Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Derajat Kesarjanaan Pada Jurusan Sosiologi FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahakan Kepada kedua orang tua, Ibunda Maria Salempa dan ayahanda Marten Rayo atas setiap dukungannya kepada penulis. Terima kasih untuk segala kasih sayangnya dan perhatian yang tak terbatas kepada anakmu dan yang terutama kepada PAPA YESUS yang sudah memberikan apa yang penulis minta, dan janjiNya kepada saya bahwa “saya akan menjadi Kepala bukan menjadi ekor” serta atas segala rezeki dan berkat yang telah Engkau berikan kepada kedua orang tua penulis yang cintai Kepada kakak dan adik-adik penulis yang tercinta Alfian Rayo, Milka Rayo yang menjadi kakak-kakak terbaik, Grace Iram, Irene Rima, Jesica Gasong, Monica Lestari telah menjadi adik yang baik meskipun penulis bukan kakak yang terbaik dari kalian harapkan. KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, pertolongan dan pimpinannya, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini yang berjudul “Persepsi Masyarakat terhadap Upacara Rambu Solo’ berdasarkan Stratifikasi Sosial ( Studi Kasus Kel. Ariang Kec. Makale Kab. Tana Toraja”. Kepada Dr. Andi Haris M.Sc selaku pembimbing I, terima kasih atas segala kepercayaan dan bimbingannya sehingga penulis mampu menyelesaikan Skripsi ini dan Drs. Hasbi M.Si selaku pembimbing II, terima kasih untuk setiap waktu yang diberikan kepada penulis dan masukkannya sehingga mampu mengerjakan Skripsi ini. Mohon maaf jika banyak salah dalam penulisan ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Dalam proses penulisan skripsi ini penulis menyadari begitu banyak dukungan, bimbingan, perhatian, dan bantuan serta petunjuk/arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan terimah kasih dan penghargaan kepada: 1. Bapak Prof. Dr, Idrus A. Paturusi, Sp.B.Sp.Bo selaku Rektor Universitas Hasanuddin 2. Bapak Prof Dr. H Hamka Naping, MA. selaku Dekan Fisip Universitas Hasanuddin. 3. Bapak Dr. H. Darwis, MA.DPS selaku ketua jurusan dan Bapak Dr. Rahmat Muhammad M.Si selaku sekretaris Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar 4. Para Dosen dan staf Akademik jurusan sosiologi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Hasanuddin. (terima kasih atas ilmunya). Pak Yan Tandaean yang sudah banyak membantu penulis untuk mengurus skripsi ini, terimah kasih banyak. 5. Chandra Sosang S.Sos selaku Lurah Ariang yang telah memberikan keterangan serta memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian dan mendapatkan data yang dibutuhkan di Kelurahan Ariang. 6. Seluruh responden yang telah bersedia meluangkan banyak waktunya kepada penulis, untuk memberikan informasi dan datadata sampai pada penyelesaiaan skripsi ini 7. Semua keluargaku tak terkecuali terimakasih atas segala batuannya, suportnya, dan dukungan doanya selama penulis dalam bangku kuliah. 8. Yessy Yunita yang sudah sangat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, trimakasi untuk motivasinya dan terimah kasih sudah ikut pusing membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Semua teman-teman ku di jurusan sosiologi angkatan 08 yang telah banyak membantuku dena, kamal, novhy, qam2, dhaya, angga, eca, imma, intan, cherry, oppick, itha onye, linda, ira dan yang lainnya yang belum sempat penulis sebutkan Arigato Gouzaimas . Spesial buat Rima Hardyanthi yang sudah susahsusah membantu penulis menyelesaikan skripsinya, terimah kasih banyak sobat. 10. Sahabat-sahabat seperjuanganku Regilna Desyanthy cantik imut dan manis (terpaksa) tanpa bantuanmu mungkin skripsi ini belum selesai, indah cahyani nya Oncy, bangunlah dari mimpi burukmu itu… Oncy kan dah punya istri, kathrien Rin Avan Fandy ingatingat pesan Mamamu (apakah?) banyak-banyak makan nasi dan minum susu biar cepat tumbuh besar, fany asrial siapa sih pacarmu?? kasih tau dong hehehehe cepat-cepat ya kerja skripsinya, Dian syilfiah jangan terlalu sibuk dengan cinta-cintamu itu.. dan terimah kasih banyak atas nasehat2mu yah, dan Putu santhi devi yang jauh di pulau Bali sana, thanks dah bisa dengar curhat-curhatku slama ini dan saya bangga,senang, gembira bisa mendapat sahabat sepertimu. semuanya terima kasih sudah setia menemaniku, membantuku dalam penyusunan skripsi ini. Maaf bila penulis sudah sangat merepotkan kalian, dan Terima kasih atas kerja samanya. Komawoyo.. 11. Kanda-kanda yang saya hormati, k’aan yang sudah menyempatkan dirinya untuk berdiskusi, k’mulyadi kamsut-upay, k’ ilo, k’fyant, terimah kasih untuk supportnya, k’gile terima kasih banyak untuk pinjaman bukunya. 12. Teman dan saudara-saudara KKNq K’asto, K’odi, cici, jajang, Esse… miss you so much… 13. Teman-temanku warga PMKO FISIP UNHAS, terima kasih dukungan dan doanya, selama penyusunan Skripsi ini. 14. Untuk semua yang telah berarti dalam hidupku yang tak sempat disebut oleh penulis, makasih atas segala dukungan dan kerjasamanya. Makassar, 16 Mei 2012 Penulis ABSTRAK Misela Rayo, E411 08 290. Judul Skripsi “Persepsi Masyarakat terhadap Upacara Rambu Solo’ Berdasarkan Stratifikasi Sosial ( Studi Kasus Kel. Ariang Kec. Makale Kab. Tana Toraja )” dibimbing oleh Andi Haris dan Hasbi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui Persepsi masyarakat terhadap upacara Rambu solo’ berdasarkan Stratifikasi Sosial, mengidentifikasi status sosial dalam upacara Rambu solo’, dan memahami makna simbol status dalam upacara Rambu Solo’ di Kel.Ariang Kab.Tana Toraja. Pada dasarnya tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu sebuah penelitian yang berusaha memberikan gambaran mengenai objek yang diteliti yang bertujuan membuat deskriptif atau gambaran secara sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta yang ada. Dasar penelitian ini adalah studi kasus yaitu satu pendekatan yang melihat objek penelitian sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi. Pemilihan informan dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu; penarikan informan yang dilakukan secara sengaja dengan kriteria tertentu. Informan tersebut berjumlah 12 orang. secara khusus mereka yang dianggap memahami betul dan dapat memberikan informasi yang benar berkaitan dengan masalah peneliti. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan wawancara berdasarkan pedoman wawancara. Hasil wawancara dan observasi tersebut kemudian digambarkan dalam bab pembahasan serta kajian literature yang berkenaan dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari beberapa persepsi, masyarakat toraja melaksanakan upacara Rambu solo’ sebagai bakti penghormatan terakhir serta wujud kasih sayang pada orang-tua dan untuk menaikkan status dengan mempertahankan prestise, harga dirin dalam masyarakat sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah pemborosan. Sedangkan Status sosial seseorang dalam upacara Rambu solo’ dapat dilihat dari jenis pesta kematian, seberapa lama pelaksanaan upacara berlangsung, berapa jumlah hewan yang dikurbankan, sampai pada simbol-simbol yang dipakai dalam upacara yang dapat menunjukkan strata seseorang yang meninggal. Kata Kunci: Persepsi, Masyarakat, Rambu solo’, Stratifikasi Sosial. ABSTRACT Misela Rayo, E411 08 290, Title of Skripsi " Public Perception To Wards Rambu solo’ Ceremony’s That Based on Social Stratification (Case Study of Ariang on Makale, Tana toraja) guided by Andi Haris and of Hasbi. Faculty Social Science and Politics University of Hasanuddin Makassar. The purpose of this research is to understanding the society perception of this Rambu Solo’ ceremony, identified the signs of social status in the Rambu Solo’ ceremony, and understand the meaning of a symbol of status in a ceremony Signs in.Ariang, Makale Tana Toraja. Basically the type of study is a descriptive study is an attempt to give an idea of the object under study that aims to create a descriptive or a systematic overview and the actual facts are. Basic research is a case study is an approach that sees the object of research as an integrated whole. The selection of informants is done by purposive sampling, namely: the withdrawal of informants is done deliberately by certain criteria. Informants totaled 12 people. especially those considered fully understand and can provide the correct information relating to the issue of researchers. While data collection is based on interviews conducted with interview guidelines. Interviews and observations are then described in the chapter discussion and review of literature pertaining to this research. These results indicate that the perception of some, the Toraja performing the Rambu Solo’ ceremony Signs' as a memorial service as well as a form of compassion for the parents and to raise the status to maintain the prestige, the price dirin in society so that in the end that there is a waste. While a person's social status in the Rambu Solo’ ceremony Signs' can be seen from the kind of orgy of death, how long the ceremony lasts, how many animals are sacrificed, to the symbols used in the ceremony to show strata someone who died. Keywords: Perception People, Rambu solo ', Social Stratification. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN TIM EVALUASI ........................................ iii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. v KATA PENGANTAR ......................................................................... vi ABSTRAK .......................................................................................... x ABSTRACK ........................................................................................ xi DAFTAR ISI ........................................................................................ xii DAFTAR TABEL ................................................................................ xv DAFTAR SKEMA ............................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori ......................................................................................... 10 1. Pengertian Persepsi ....................................................... 10 2. Upacara Rambu Solo’ ................................................... 12 1) Aluk Todolo ......................................................... 12 2) Tradisi Upacara .................................................. 15 3) Rambu Solo’ ....................................................... 16 3. Stratifikasi Sosial ........................................................... 19 4. Teori Pertukaran Sosial ................................................. 26 5. Interaksionisme Simbolik ............................................... 32 B. Kerangka Konseptual ............................................................... 36 Skema Kerangka Konseptual ............................................. 42 C. Defenisi Operasional ................................................................ 42 BAB III METODE PENELITIAN 1. Dasar Penelitian ....................................................................... 44 2. Tipe Penelitian ......................................................................... 44 3. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 44 4. Informan ................................................................................... 45 5. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 45 6. Teknik Analisa Data ................................................................. 46 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Geografis Tana Toraja .............................................. 47 B. Gambaran Umum Kelurahan Ariang ........................................ 49 C. Mata Pencaharian .................................................................... 51 D. Sistem Pendidikan ................................................................... 52 E. Sarana dan Prasarana ............................................................. 53 F. Sistem Kepercayaan ................................................................ 55 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Informan .............................................................. 57 B. Status Sosial dalam Upacara Rambu Solo’ .............................. 60 C. Persepsi Masyarakat menurut Stratifikasi sosial yang berbeda terhadap upacara Rambu Solo’ ................................................ 64 D. Makna Simbol Status dalam Upacara Rambu Solo’ ................. 77 E. Peran Pemerintah dan Agama dalam upacara Rambu solo’ .... 86 BAB V PENUTUP A. Simpulan .................................................................................. 92 B. Saran ........................................................................................ 93 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 95 LAMPIRAN - LAMPIRAN DAFTAR TABEL Daftar Tabel I ...................................................................................... 48 Daftar Tabel II ..................................................................................... 50 Daftar Tabel II. 1 ................................................................................. 51 Daftar Tabel III .................................................................................... 52 Daftar Tabel IV .................................................................................... 53 Daftar Tabel V ..................................................................................... 55 Daftar Tabel VI .................................................................................... 56 DAFTAR SKEMA Daftar Skema I .................................................................................... 42 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Foto Daftar pertanyaan Surat Izin Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap masyarakat atau manusia yang ada dan pernah ada dalam kehidupan dunia ini, menerima warisan kebudayaan itu biasanya berupa gagasan, idea atau nilai-nilai luhur dan benda-benda budaya. Warisan kebudayaan ini mungkin adalah bagian dari tradisi semesta yang memiliki corak dan etnis tertentu. Budaya merupakan identitas dan komunitas suatu daerah yang dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu. Budaya dapat menggambarkan kepribadian suatu bangsa, sehingga budaya dapat menjadi ukuran bagi majunya suatu peradaban manusia. Konsep budaya menurut Marvin Harris (dalam Asep Rahmat: 2009) ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut tingkatan hidup dan penghidupan manusia. Masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena tidak ada kebudayaan yang tidak bertumbuh kembang dari suatu masyarakat. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan karena tanpa kebudayaan tidak mungkin masyarakat dapat bertahan hidup. Kebudayaan merupakan hasil dari ide-ide dan gagasan-gagasan yang akhirnya mengakibatkan terjadinya aktifitas dan menghasilkan suatu karya (kebudayaan fisik) sehingga manusia pada hakikatnya disebut mahkluk sosial. Kebudayaan juga mencakup aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan kepercayaan yang terpelihara rapi yang diwariskan secara turun-temurun pada setiap generasi. Hal ini pun tampak dalam masyarakat Toraja, yang sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat religius dan memiliki integritas tinggi dalam menjunjung tinggi budayanya. Menurut Suhamihardja dalam bukunya Adat istiadat dan kepercayaan Sulawesi-selatan, (1977:29) suku bangsa Toraja terkenal sebagai suku yang masih memegang teguh adat. Setiap pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu pantangan dan masyarakat memandang rendah terhadap perlakuan yang memandang rendah adat itu, apalagi dalam upacara kematian, upacara adat tidak boleh ditinggalkan. Pada umumnya upacara adat itu dilakukan dengan besar-besaran karena anggapan masyarakat Toraja apabila upacara itu diadakan semakin meriah, semakin banyak harta dikorbankan. Untuk itu, semakin baik dan gengsi sosial bagi orang yang bersangkutan akan semakin tinggi, status naik, dan terpuji dalam pandangan masyarakat. Kebanyakan yang melakukan hal itu adalah golongangolongan bangsawan dan golongan menengah. Dalam keseharian setiap masyarakat senatiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan misalnya, mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan materiil akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal. Sistem stratification. lapisan Pitirim dalam A. masyarakat Sorokin (Narwoko dikenal dan dengan social Bagong, 2006) mengemukakan bahwa sistem pelapisan dalam masyarakat mencakup ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup dengan teratur. Mereka yang memiliki barang atau sesuatu yang berharga dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki dalam jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang rendah. Lebih lanjut Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Ukuran yang dipakai untuk menggolong anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan. Pada masyarakat Toraja terdapat perbedaan status sosial yang berbeda-beda, mulai dari yang tinggi, sedang dan rendah. Stratifikasi tersebut dikenal dengan tingkatan berikut: a. Tana’ Bulaan/Toparenge yang merupakan kasta tertinggi. Pada umumnya golongan bangsawan ini memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat karena mereka bertugas menciptakan aturan-aturan yang kemudian menjadi ketua pemerintahan adat tertinggi dalam masing-masing adat/kelompok adat, misalnya raja dan kaum bangsawan. Mereka juga menguasai tanah persawahan di Toraja. b. Tana’ Bassi/ Tomakaka. Tana’ bassi adalah bangsawan menengah yang sangat erat hubungannya dengan Tana’ Bulaan. Mereka adalah golongan bebas, mereka memiliki tanah persawahan tetapi tidak sebanyak yang dimiliki oleh kaum bangsawan, mereka ini adalah para tokoh masyarakat, orang-orang terpelajar, dan lain-lain. c. Tana’ Karurung/To. Kasta ini merupakan rakyat kebanyakan atau sering di sebut paktondokan. Golongan ini tidak mempunyai kuasa apa-apa tetapi menjadi tulang punggung bagi masyarakat toraja. d. Tana’ Kua-Kua/Kaunan. Golongan kasta ini merupakan pengabdi atau hamba bagi Tana’ Bulaan dengan tugas-tugas tertentu. Misalnya membungkus orang mati dan lain-lain, mereka sangat dipercaya oleh atasannya karena nenek moyang mereka telah bersumpah turun-temurun akan mengabdikan dirinya, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban untuk membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi, seperti Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi. Sesuai dengan ruang lingkup strata sosial yang mana mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, maka pada akhirnya masalah yang menarik untuk dipelajari dan dibahas lebih jauh ada hubungannya dengan upacara Rambu Solo’. Dalam hal budaya upacara Rambu solo’, Rambu solo’ bagi orang toraja merupakan budaya yang paling tinggi nilainya dibandingkan dengan unsur budaya lainnya. Upacara Rambu solo’ diatur dalam Aluk Rampe Matampu dan mempunyai sistem serta tahapan sendiri. Lebih banyak dinyatakan dalam upacara pemakaman dan kedukaan. Masyarakat Toraja dalam ajaran Todolo memberikan perhatian pada upacara pemakaman, karena upacara ini diyakini sangat istimewa serta mengandung dimensi religi, kemampuan ekonomi, dan dimensi sosial. Dalam kehidupan sehari-harinya, setiap manusia mempunyai suatu pandangan yang berbeda-beda. Begitupula dengan masyarakat Toraja dalam melaksanakan upacara kematian. Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini, bahkan ungkapan bahwa orang toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta rambu solo’. Pandangan lain pun sering muncul, bahwa sungguh berat acara ini dilaksanakan. Sebab, orang yang melaksanakannya harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya tentang upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri’), dan hal inilah yang menyebabkan upacara Rambu solo’ terkait dengan tingkat stratifikasi sosial. Dulunya, pesta meriah hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang sudah mulai bergeser, siapa yang kaya itulah yang pestanya meriah. Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. (George Aditjondro, 2010:40). Secara harafiah bahwa budaya Rambu solo’ di Toraja banyak menyinggung tentang stratifikasi sosial atau lapisan masyarakat seperti di jelaskan di atas bahwa pelaksanaan upacara Rambu solo’ menjamin gengsi sosial atau menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan seluruh rumpun keturunan yang meninggal, juga terselenggaranya upacara ini turut menentukan seberapa tinggi tingkat dan martabat keluarga dalam masyarakat yang dapat dilihat dari tingkatan bangsawan, rakyat menengah, dan kalangan bawah, serta menimbulkan banyak pandangan yang berbeda dari berbagai lapisan masyarakat. Berangkat dari realitas dan penjelasan diatas, merupakan suatu hal menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih jauh tentang dinamika kebudayaan daerah dengan mengangkat judul penelitian, “ Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Rambu Solo’ Berdasarkan Stratifikasi Sosial (Studi Kasus Kel.Ariang Kec. Makale Kab. Tana Toraja)” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pentingnya penelitian ini dilakukan, maka penulis mencoba merumuskan masalah sebagai acuan pengumpulan data dalam penelitian yaitu: 1. Bagaimana persepsi masyarakat menurut stratifikasi sosial yang berbeda terhadap upacara Rambu solo’? 2. Bagaimana makna simbol status dalam Upacara Rambu solo’ bagi masyarakat yang melaksanakannya? C. Tujuan Penelitian Tujuan Utama Penelitian Ini adalah Untuk mengetahui persepsi masyarakat menurut stratifikasi sosial yang berbeda terhadap upacara Rambu solo’. Untuk mengetahui makna simbol status upacara Rambu solo’ terhadap masyarakat yang melaksanakannya. D. Manfaat Penelitian Dari tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : a. Bagi ilmu pengetahuan: 1) Sebagai bahan referensi dan informasi bagi peneliti lain yang berminat mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan persepsi masyarakat berdasarkan Stratifikasi Sosial yang berbeda dalam upacara Rambu solo’ yang terdapat di Toraja dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan tentang budaya serta penelitian lainnya yang berhubungan. 2) Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu sosiologi dan juga dapat menjadi sumbangan terutama yang berminat dan mempunyai perhatian terhadap persepsi masyarakat terhadap upacara Rambu solo’ berdasarkan stratifikasi sosial. Disamping merupakan prasyarat bagi penyelesaian studi di perguruan tinggi, sesuai dengan disiplin ilmu yang digeluti. b. Bagi instansi terkait dan Masyarakat: Sebagai bahan masukan atau sumbangan pikiran bagi pihak setempat mengenai bagaimana persepsi masyarakat menurut saja tanggapan stratifikasi berbeda dalam upacara Rambu Solo’. sosial dan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori 1. Pengertian Persepsi Persepsi adalah proses pengolahan informasi dari lingkungan yang berupa stimulus, yang diterima melalui alat indera dan diteruskan ke otak untuk diseleksi, diorganisasikan sehingga menimbulkan penafsiran atau penginterpretasian yang berupa penilaian dari penginderaan atau pengalaman sebelumnya. Persepsi merupakan hasil interaksi antara dunia luar individu (lingkungan) dengan pengalaman individu yang sudah diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera sebagai penghubung, dan dinterpretasikan oleh sistem syaraf di otak. Menurut Robbins, Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif (Robbins, 2003). Persepsi tidak hanya tergantung pada sifat-sifat rangsangan fisik, tapi juga pada pengalaman dan sifat dari individu. Pengalaman dapat diperoleh dari semua perbuatannya di masa lampau atau dapat pula dipelajari, sebab dengan belajar seseorang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil pengalaman yang berbeda-beda akan membentuk suatu pandangan yang berbeda sehingga menciptakan proses pengamatan dalam perilaku yang berbeda pula. Menurut Moskowitz dan Ogel (Walgito, 2003:54) persepsi merupakan proses yang integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi itu merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Walgito menyatakan bahwa terjadinya persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut: 1) Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera manusia. 2) Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensoris. 3) Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor. 4) Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku. Persepsi pada umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan, Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik. Dijelaskan oleh Robbins (2003) bahwa meskipun individu-individu memandang pada satu benda yang sama, mereka dapat mempersepsikannya berbeda-beda. 2. Upacara Rambu Solo’ a) Aluk Todolo Dalam berbagai bahasa, Aluk sama dengan agama (sansekerta), din (arab), religare (latin, religion (inggris) dan diartikan sebagai ajaran, ritus (upacara), atau larangan (pemali). Jadi aluk tidak berupa keyakinan semata. Aluk juga berarti ajaran, upacara, dan larangan atau pemali. Todolo adalah leluhur atau orang dulu. Menurut kepercayaan Aluk Todolo, aluk dimulai di alam atas (langit) dikalangan para dewa atau “aluk dipondok do tanggana langi” . seluruh praktik kehidupan di alam atas tidak lepas dari kaidah aluk. Aluk Todolo merupakan agama leluhur orang Toraja yang masih dipraktikkan oleh sejumlah besar penduduk Toraja hingga kini, Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat Toraja walaupun sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katholik, bahkan pada tahun 1970, agama ini sudah dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Sehingga dapat dikatakan, Aluk Todolo adalah keseluruhan aturan keagamaan dan kemasyarakatan di dalam masyarakat Toraja dahulu, kini, dan yang akan datang. Menurut L.T. Tangdilintin, Aluk Todolo merupakan salah satu bentuk kepercayaan animisme yang beranggapan bahwa tiap benda atau batu mempunyai kekuatan. Aluk Todolo diturunkan oleh Puang Matua (sang pencipta). Aturan (Aluk) diurunkan kepada Datu Laukku yang berisi aturan agama bahwa manusia dan segala isi bumi harus menyembah. Peyembahan ditujukan pada Puang Matua yang memberi kekuasaan pada Deata-deata (sang pemelihara). Aluk dengan segala kelengkapannya dibawa turun ke bumi oleh manusia To Manurun atau Pangala Tondok. Aluk ini dinamakan “aluk sanda pitunna” dan dinotasikan “aluk 7777” karena menyangkut seluruh aspek kehidupan. Kadang disamakan dengan aluk sanda saratu’na (wilayah Tallulembangna). Ia mencakup ritus keagamaan berupa Rambu tuka’ (aluk rampe mataallo) dan Rambu solo’ (keberkabungan atau aluk rampe matampu’) dan sumber aturan dan aspek-aspek kehidupan masyarakat penganutnya secara turun temurun (Frans,2007). Segala kehidupan orang Toraja selalu berhubungan dengan aluk, dimana aluk ini dilaksanakan di dalam seluruh aspek kehidupan orang Toraja. oleh sebab itu, aluk meliputi aluk padang (aluk yang berhubungan dengan tanah), aluk pare (aluk yang berkaitan dengan padi), aluk tananan pasa’ (aluk yang berkaian dengan pasar), alukna rampanan kapa’ (aluk yang berkaitan dengan perkawinan), alukna mellolo tau ( aluk yang berhubungan dengan kelahiran manusia sampai dewasa), alukna bangunan banua (aluk yang berkaitan dengan pembangunan rumah), aluk rambu tuka’ (aluk yang berhubungan dengan persembahan kepada Puang Matua), aluk rambu solo’ (aluk yang berhubungan dengan jiwa orang mati), dan aluk bua’ (aluk yang berkaitan dengan pesta sukacita). Masing-masing jenis aluk ini memiliki tuntutan dan larangan (pemali). Yang melanggar tuntutan dan pemali aluk akan mendapat pembalasan dari para dewa (nenek moyang). Oleh karena itu setiap adat atau upacara dalam masyarakat Toraja harus tetap dijaga keselarasan dan keharmonisannya. Seperti halnya dengan upacara Rambu Solo’, sebelum di lepas kealam arwah, keluarga mengadakan serangkaian upacara sakral dengan harapan dapat diterima disana nantinya (alam puya) dan tidak mendatangkan bencana.a. b) Tradisi upacara Upacara merupakan rangkaian atau kegiatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, agama, dan kepercayaan. Upacara juga dapat diartikan sebagai sehubungan dengan peristiwa penting. perayaan yang dilakukan Upacara adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat toraja. Upacara telah menjadi bagian dari sistem kepercayaan atau ungkapan kepercayaan yang merefleksikan ajaran Aluk Todolo. Keseluruhan dari rangkaian upacara senantiasa bersumber dari Aluk Todolo, sebagai agama atau religi yang mewarnai tingkah laku berpola tiap individu. Unsur-unsur pokok ajaran Aluk Todolo terdiri atas sistem kepercayaan, sistem upacara, dan organisasi sosial. Ketiga macam unsur ini dalam keagamaan memancarkan ajaran-ajaran, aturan, dan nilai-nilai yang diyakini. Agama sebagai pusatnya, kemudian berpedoman pada sistem kepercayaan dimana sistem upacara sebagai perwujudannya dan didukung oleh organisasi sosial. Dalam pandangan Aluk Todolo ada klasifikasi anggapan-anggapan tentang alam raya, yaitu pembagian timur (mataallo) dan barat (matampu). Mataallo adalah tempat terbitnya matahari dianggap mewakili kebahagiaan, terang, kesukaan, dan sumber kehidupan. Sedangkan Matampu adalah tempat terbenamnya matahari, yang mewakili unsur gelap, kedukaan dan semua yang mendatangkan kesusahan. Konsekuensi dari pembagian ini dalam kehidupan berdampak pada tatacara pelaksanaan upacara. Kehidupan masyarakat Toraja tidak ada yang tidak lepas dari upacara, sama halnya dalam kehidupan ini, tidak ada yang luput dari suka dan duka, terang dan gelap, kebahagiaan dan kecelakaan dan sebagainya yang kesemuanya diidentifikasikan dalam timur dan barat. Karena itu, jenis upacara Rambu Tuka’ dan upacara Rambu Solo’, pelaksanaannya tidak boleh dicampur-adukkan, satu jenis upacara harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum melakukan jenis upacara lainnya. c) Rambu Solo’ Rambu Solo’ terdiri dari dua suku kata yakni Rambu yang berarti Asap dan Solo’ yang berarti turun ke bawah. Upacara Rambu Solo’ adalah upacara kedukaan yang dalam pelaksanaannya tidak kalah meriah dari pelaksanaan upacara Rambu Tuka’. Leluhur orang Toraja mengatakan upacara-upacara kematian yang dalam istilah orang Toraja dengan istilah Rambu Solo’ karena penuh dengan duka, sedih dan ratapan para rumpun keluarga. Rambu solo’ merupakan sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat toraja secara turun menurun ini, mewajibkan keluarga yang ditinggal membuat sebuah pesta sebagai tanda hormat terakhir pada mendiang yang telah pergi. Tingkatan upacara Rambu Solo Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni: Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja. Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan. Upacara tertinggi Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Popengkalo Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir). Rambu Solo’ bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah manusia yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Manusia yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka manusia yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai manusia “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya manusia hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara. Masyarakat Toraja menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah manusia yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to membali puang), atau menjadi dewa pelindung (Deata). Dalam konteks ini, Upacara Rambu Solo’ menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada manusia tua mereka yang meninggal dunia. Puncak dari upacara Rambu Solo’ disebut dengan Upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah lapangan khusus. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (Ma’tundan, Mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (Ma‘Roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (Ma‘Popengkalo Alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (Ma‘Palao). 3. Stratifikasi Sosial Sistem lapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social stratification. Kata stratification berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Pitirim A.Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat. Stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelaskelas secara vertical (bertingkat), yang di wujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Dalam stratifikasi sosial terdapat tiga kelas sosial, yaitu: masyarakat yang terdiri dari kelas atas (upper class), masyarakat yang terdiri dari kelas menengah (middle class) dan kelas bawah (lower class). Orang-orang yang berada pada kelas bawah biasanya lebih banyak daripada kelas menengah apalagi pada kelas atas. Adanya sistem stratifikasi sosial (pelapisan sosial ) masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat dan ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan tertentu. Lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya misalnya lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin, kepandaian, dan harta. Sedangkan sistem lapisan dalam masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata, dan sebagainya. Sifat sistem pelapisan sosial dapat digolongkan dalam 2 jenis, yaitu: 1) Lapisan sosial yang bersifat tertutup (closed social stratification). Sifat lapisan ini membatasi kemungkinan berpindahnya seseorang dari lapisan satu ke lapisan yang lain, baik ke lapisan atas maupun ke lapisan yang lebih rendah. Contohnya sistem kasta pada masyarakat feodal, masyarakat apartheid. 2) Lapisan sosial yang bersifat terbuka (opened social stratification). Setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kemampuannya sendiri. Apabila mampu dan beruntung seseorang dapat untuk naik ke lapisan yang lebih atas, atau bagi mereka yang tidak beruntung dapat turun ke lapisan yang paling rendah. Dalam teori sosiologi, terdapat unsur-unsur sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yaitu kedudukan (status) dan peran (role). Kedudukan dan peranan merupakan unsur-unsur baku dalam sistem lapisan, dan mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial. Sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antara individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan- hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting. Karena langgengnya masyarakat tergantung pada keseimbangan kepentingan-kepentingan individu termaksud. 1) Kedudukan (Status). Pengertian kedudukan (status) kadang dibedakan dengan kedudukan sosial (social status). Kedudukan diartikan sebagai kelompok tempat sosial. atau posisi Kedudukan seseorang sosial dalam artinya suatu tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibankewajibannya. Untuk lebih mudah mendapatkan pengertian, kedua istilah tersebut di atas akan dipergunakan dalam arti yang sama dan digambarkan dengan istilah kedudukan (status). 2) Peranan (Role). Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Pembedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Sebagaimana halnya dengan kedudukan, peranan juga mempunyai dua arti. Setiap orang mempunyai macammacam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batasbatas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Orang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku sendiri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya. Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut: 1) Ukuran kekayaan Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja. 2) Ukuran kekuasaan dan wewenang Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan. 3) Ukuran kehormatan Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur. 4) Ukuran ilmu pengetahuan Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelargelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Stratifikasi sosial akan selalu ditemukan dalam masyarakat selama di dalam masyarakat tersebut terdapat sesuatu yang dihargai. Mungkin berupa uang atau benda-benda bernilai ekonomis, atau tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan agama, atau keturunan keluarga terhormat. Seseorang yang banyak memiliki sesuatu yang dihargai akan dianggap sebagai orang yang menduduki pelapisan atas. Sebaliknya mereka yang hanya sedikit memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki sesuatu yang dihargai tersebut, mereka akan dianggap oleh masyarakat sebagai orang-orang yang menempati pelapisan bawah atau berkedudukan rendah. Stratifikasi sosial yang membentuk lapisan-lapisan sosial juga merupakan subculture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan tertentu yang menunjukan eklusivitasnya masing-masing yang dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain. Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan, sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas sosial mana seseorang berasal. Stratifikasi sosial juga menyebabkan adanya perbedaan sikap dari orang-orang yang berada dalam stratasosial tertentu berdasarkan kekuasaan, privilese dan prestise. Dalam lingkungan masyarakat dapat terlihat perbedaan antara individu, atau satu keluarga lain, yang dapat didasarkan pada ukuran kekayaan yang dimiliki. Yang kaya ditempatkan pada lapisan atas dan miskin pada lapisan bawah. Atau mereka yang berpendidikan tinggi berada di lapisan atas sedangkan yang tidak sekolah pada lapisan bawah. Dari perbedaan lapisan sosial ini terlihat adanya kesenjangan sosial. 4. Teori Pertukaran Sosial “pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu sosial yang menyatakan bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling mempengaruhi. Teori ini menjelaskan bagaimana manusia memandang tentang hubungan kita dengan orang lain sesuai dengan anggapan diri manusia tersebut terhadap: Keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa yang dikeluarkan dari hubungan itu dan Jenis hubungan yang dilakukan. Selanjutnya untuk terjadinya pertukaran sosial harus ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu Suatu perilaku atau tindakan harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat tercapai lewat interaksi dengan orang lain dan Suatu perilaku atau tindakan harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang dimaksud. Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa ganjaran atau penghargaan intrinsik yakni berupa pujian, kasih sayang, kehormatan dan lain-lainnya atau penghargaan ekstrinsik yaitu berupa benda-benda tertentu, uang dan jasa. George C. Homans (1910-1989) yang merupakan pemikir teori “A Theory of Elementary Social Behavior yang mendasari pemikirannya mengenai pertukaran perilaku. Resiprositad (hubungan timbal balik) adalah konsep sentral teori Homans. Homans membatasi analisisnya pada jenjang sosiologi mikro. Teori-teori pertukaran sosial juga memiliki beberapa asumsi yang sama mengenai hakekat interaksi sosial. Teoriteori pertukaran sosial itu dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomis yang elementer (mendasar) dan interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. (Margaret Poloma, 2007) Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil berupa barang maupun spiritual yang berupa pujian. Teori pertukaran Homans bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukum. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice yaitu aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya. Semakin tinggi pengorbanan, maka semakin tinggi imbalannya dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya. Semakin tinggi investasi, maka semakin tinggi keuntungan. Inti dari teori pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan. Homans menyatakan bahwa psikologi perilaku sebagaimana diajarkan oleh B.F. Skinner dapat menjelaskan pertukaran sosial. Dalam karya teoritisnya, Homans membatasi diri pada interaksi kehidupan seharihari. Namun, jelas ia yakin bahwa sosiologi yang dibangun berdasarkan prinsip yang dikembangkannya akhirnya akan mampu menerangkan semua perilaku sosial. Berdasarkan dari pemikirannya terhadap Skinner, Homans mengambangkan beberapa proposisi antara lain adalah: a) Proposisi Sukses Menurut Homans, Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu (Margaret Poloma,2007 ). Dalam proposisi ini Homans menyatakan bahwa bilamana seseorang berhasil memperoleh ganjaran (atau menghindari hukuman) maka ia akan cenderung untuk mengulangi tindakan tersebut. Di saat individu benar-benar tak dapat betindak seperti itu sesering mungkin maka makin pendek jarak waktu antara perilaku dan hadiah, maka makin besar kemungkinan orang mengulangi perilaku, dan begitu pula sebaliknya b) Proposisi Stimulus (Pendorong) Homans: Jika dimasa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa dimana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama. (Margaret Poloma, 2007) Homans tertarik pada proses generalisasi dalam arti kecenderungan memperluas perilaku keadaan yang serupa. Individu mengkin hanya akan melakukan sesuatu dalam keadaan khusus yang terbukti sukses di masa lalu. Bila kondisi yang menghasilkan kesuksesan itu terjadi terlalu ruwet maka kondisi serupa mungkin tidak akan menstimulasi perilaku. c) Proposisi Nilai Homans: Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu.(Margaret Poloma,2007) Homans memperkenalkan konsep hadiah dan hukuman. Hadiah adalah tindakan dengan nilai positif, dimana semakin tinggi nilai hadiah maka semakin besar kemungkinan mendatangkan perilaku yang diinginkan. Hukuman adalah tindakan dengan nilai negatif, dimana semakin tinggi nilai hukuman berarti semakin kecil kemungkinan individu mewujudkan prilaku yang tak diinginkan. Homans menemukan bahwa hukuman merupakan alat yang tidak efisien untuk membujuk orang mengubah perilaku mereka karena orang dapat bereaksi terhadap hukuman menurut cara yang tak diinginkan. d) Proposisi Deprivasi-satiasi Homans: Semakin sering di masa yang baru berlalu seseorang menerima suatu ganjaran tertentu, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu. (Margaret Poloma,2007). Dalam hal ini Homans mendefinisikan dua hal penting, yaitu biaya dan keuntungan. Biaya tiap prilaku didefinisikan sebagai hadiah yang hilang karena tidak jadi melakukan sederetan tindakan yang direncanakan. Keuntungan dalam pertukaran sosial dilihat sebagai sejumlah hadiah yang lebih besar yang diperoleh atas biaya yang dikeluarkan. Yang terakhir ini menyebabkan Homans menyusun kembali proposisi kerugiankejemuan sebagai berikut: “Makin besar keuntungan yang diterima seseorang sebagai hasil tindakannya, makin besar kemungkinan ia melaksanakan tindakan itu. e) Proposisi Persetujuan-Agresi Konsep ini mengacu kepada keadaan mental. Homans mengatakan “bila seseorang tak mendapatkan apa yang ia harapkan, maka ia akan menjadi kecewa, frustasi dan menyebabkan prilaku agresif. Homans memiliki asumsi dasar yang penting dalam memahami prilaku, yaitu : Individu yang terlibat dalan interkasi akan memaksimalkan rewards hadiah/ganjaran). Memiliki akses untuk informasi mengenai sosial, ekonomi, dan aspek-aspek psikologi dari interkasi yang mengizinkan mereka untuk mempertimbangkan berbagai alternatif. Individu bersifat kemungkinan terbaik menguntungkan. rasional untuk dan bersaing memperhitungkan dalam situasi Individu berorientasi pada tujuan dalam sistem kompetisi bebas. Pertukaran norma budaya. Teori dari Homans ini analisis dasarnya ialah face-to face pertukaran sosial antar dua individu, dengan konsep prinsip-prinsip ekonomi. Dua orang individu yang mengadakan interaksi akan selalu mementingkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Atau juga sering disebut memaksimalkan profit dan meminimalkan loss. Homans menyatakan bahwa masyarakat dan lembaga-lembaga sosial itu benarbenar ada disebabkan oleh pertukaran sosial. 5. Interaksionisme Simbolik Interaksionisme simbolik bercirikan sikap (attitude) dan arti (meaning). Interaksionisme simbolik berorientasi pada diri atau pribadi (personality). Herbert Blumer, salah seorang penganut pemikiran Mead menjabarkan bahwa pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga, yang pertama ialah bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. (George Ritzer, 2007). Proses interaksi muncul dalam dalam masyarakat sosial dengan berbagai respon dan persepsi. Interaksi ini muncul dengan penggunaan simbol-simbol, interprestasi, atau interprestasi oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Blumer kemudian mengemukakan bahwa makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pedekatan teoritis lainnya. Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterprestasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antar individu, dan bagaiman hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Bagi Herbert Blumer interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis yaitu: 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. 3. Makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung. Parah ahli prespektif Interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisi melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang disepakati bersama menurut Meed (George Ritzer: 2007). Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi pemikiran (mind). Manusia mampu membayangkan dirinya secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini menyebabkan manusia dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan respon tertentu dari pihak lain. Tertib masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbolsimbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan peran (role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran (mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia. Prinsip-prinsip dasar teori interaksionisme simbolik ini (George Ritzer, 2008), yaitu : 1. Tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia ditopang oleh kemampuan berpikir. 2. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. 3. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir tersebut. 4. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan interaksi khas manusia. 5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka terhadap situasi tersebut. 6. Melakukan modifikasi dan perubahan ini, sebagian karena kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka memikirkan tindakan yang mungkin dilakukan, menjajaki keunggulan dan kelemahan relatife mereka, dan selanjutnya memilih. 7. Jalinan pola tindakan dengan interaksi ini kemudian menciptakan kelompok dan masyarakat. B. Kerangka Konseptual Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (vertikal). Pelapisan sosial akan selalu ada selama dalam masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai. Perwujudannya adalah adanya lapisanlapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisanlapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial Dalam teori stratifikasi sosial, senantiasa dijumpai istilah kelas sosial. Kelas sosial adalah semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukannya di dalam suatu lapisan, sedangkan mereka itu diketahui serta diakui oleh masyarakat umum. Menurut Joseph Schumpeter (Soerjono, 2010:207) terbentuknya kelas dalam masyarakat karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata, akan tetapi makna kelas dan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat terjadinya. Max Weber (Soerjono, 2010: 207) membuat pembedaan antara dasar-dasar ekonomis dan dasar-dasar kedudukan sosial, dan tetap menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya kelas yang bersifat ekonomis dibaginya lagi dalam kelas yang berdasarkan atas kepemilikan tanah dan benda-benda, serta kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Kelas-kelas sosial dalam komunitas dibedakan berdasarkan perbedaan posisinya dalam tatanan ekonomi, yaitu pembedaan posisinya dalam penguasaan alat-alat produksi. Kingsley Davis dan Wilbert Moore (Narwako dan Bagong: 2006) sebagai pelopor pendekatan fungsional mengemukakan bahwa stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan pelbagai macam jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal. Stratifikasi sosial diakui bahwa memang sejak dulu sudah ada dan hingga sekarang merupakan hal yang telah membudaya dalam masyarakat. Dengan membudayanya dalam masyarakat, maka strata sosial itu turut pula mempengaruhi pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan pada generasi sekarang. Pada masyarakat Toraja pada umumnya dan khususnya terbagi dalam beberapa strata sosial. Strata paling tinggi nampak tetap berusaha mempertahankan posisinya sesuai dengan adat dan norma yang berlaku. Karena itu perkembangan strata atau kelas-kelas sosial bawah sangat lamban bahkan kalau ada hanya terbatas pada nilai yang sifatnya dalam bentuk ekonomis saja. Dalam kehidupan masyarakat yang dilingkupi oleh aliran kepercayaan aluk, adat dan kebudayaan erat kaitannya dengan strata sosial dan upacara Rambu solo’ sehingga hal itu merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap individu dalam masyarakat tersebut. Unsur yang terpenting tentang sistem stratifikasi masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan. Individu adalah sebagai orang yang menempati status atau posisi dan sebagai pelaksana peran yang digariskan oleh status atau posisi tersebut, (Margaret M. polama, 2007). Kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestisenya, hak-hak, dan kewajibannya. Soedjono Dirdjosisworo memberikan pengertian status sosial sebagai berikut: “Status sosial merupakan kedudukan seseorang (individu) dalam satu kelompok pergaulan hidupnya”. (www.docstoc.com). Menurut Horton dan Hunt, “Status sosial suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya”. (Hanni Rizki, 2011). Untuk mengukur status seseorang kedalam lapisan-lapisan masyarakat dapat dilihat dari: Ukuran kekayaan, Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Ukuran kekuasaan dan wewenang, Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan. Ukuran kehormatan, Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur. Ukuran ilmu pengetahuan, Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang. Demikian halnya dalam masyarakat Toraja, secara umum status sosial sangat penting. Masyarakat dibagi dalam 3 kasta yaitu : Puang ( golongan bangsawan) Bulo dia’pa ( rakyat kebanyakan/ rakyat merdeka) Kaunan ( kaum budak) Namun pada saat ini dalam masyarakat suku toraja dikenal ada empat strata sosial yang disebut Tana’, strata yang dimaksud antara lain : a. Tana’ Bulawan ; lapisan sosial golongan bangsawan tinggi. b. Tana’ Bassi ; lapisan sosial golongan bangsawan menengah. c. Tana’ Karurung ; lapisan sosial golongan rakyat biasa/rakyat merdeka. d. Tana’ Kua-kua ; lapisan sosial golongan hamba/budak. Tinggi Rendahnya status sosial seseorang dapat pula dilihat dari proses upacara Rambu solo’, misalnya dari tempat kuburan, bagi para bangsawan dikubur di Liang atau Banua Tang Merambu, membuat tautau, memotong banyak kerbau dan simbol-simbol statusnya, sedangkan bagi rakyat biasa (kalangan bawah) dikubur di Patane dan tidak boleh memotong banyak kerbau. Dimana semakin banyak kerbau dan simbol- simbol yang dipakai dalam Rambu solo’, maka semakin tinggi pula status sosial keluarga yang melaksnakan upacara tersebut. Satu hal yang tidak bisa dipisahkan ketika membahas kedudukan atau status sosial dalam masyarakat yakni peran (role). Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Artinya, seseorang dalam masyrakat telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibanya sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran. Suatu peran mencakup dua hal. Pertama, Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, kedua Peran dapat dikatakan sebagi perilaku individu yang penting bagi struktur dan perilaku sosial. Hal seperti inilah yang terjadi dalam pesta upacara Rambu Solo’ dimana orang yang dianggap lebih ditempatkan berbeda dengan orang biasa atau dianggap rendah. Bukan hanya itu, pada perayaan tersebut juga sangat kental terhadap pelabelan akan orang biasa (kaunan) dalam menghelat upacara yang dilihat dari seberapa banyak hewan kurban dan tata upacara yang dilaksanakan. Serta Kecenderungan yang dinilai dari segi keturunan penghelat upacara Rambu Solo’, pendidikan dan kekayaan keluarganya. Skema Kerangka Konseptual STATUS EKONOMI STATUS PENDIDIKAN RAMBU SOLO’ PERSEPSI MASYARAKAT STATUS PEKERJAAN C. Defenisi Operasional. Untuk lebih mengarahkan dalam melakukan penelitian ini maka disusun defenisi operasional sebagai berikut: a. Persepsi. Persepsi adalah hasil interaksi antara dunia luar individu (lingkungan) dengan pengalaman individu yang sudah diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera sebagai penghubung, dan dinterpretasikan oleh sistem syaraf di otak. b. Upacara Rambu Solo’. Rambu: Asap, Solo’: turun ke bawah. Upacara Rambu Solo’ adalah upacara kematian/kedukaan. c. Stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial masyarakat ke (hirarkis). adalah dalam pembedaan kelas-kelas penduduk secara atau bertingkat BAB III METODE PENELITIAN 1. Dasar dan Tipe Penelitian. a. Dasar penelitian Dasar penelitian adalah studi kasus yaitu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komperehensif. Untuk itu penelitian ini ditujukan agar dapat mempelajari “Persepsi secara mendalam masyarakat terhadap dan mendetail upacara mengenai Rambu solo’ berdasarkan Stratifikasi sosial”. b. Tipe penelitian. Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif kualitatif yaitu pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan obyek penelitian yang mencakup Persepsi masyarakat terhadap upacara Rambu solo’ berdasarkan stratifikasi sosial . 2. Lokasi dan waktu penelitian. Lokasi penelitian akan berlangsung di Kel. Ariang kec. Makale kab.Tana toraja. Waktu penelitian yang digunakan bulan Februari 2012 – Maret 2012. 3. Informan. Pemilihan informan dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu; penarikan informan yang dilakukan secara sengaja dengan kriteria tertentu. Informan tersebut berjumlah 12 orang. yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Tokoh adat suku toraja, budayawan toraja, Tokoh agama, masyarakat setempat, pemuda, dan mahasiswa. Keduabelas orang tersebut dipilih karena faktor umur, memiliki starata sosial tinggi dalam masyarakat, dan juga karena rekomendasi dari kepala kelurahan setempat karena dianggap memahami betul tetang Rambu Solo’, 4. Teknik pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data untuk memperoleh data dari informan adalah: 1) Data primer Data ini dikumpulkan dengan menggunakan: a. Observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung di lapangan untuk mengetahui dan mengamati keadaan kehidupan dilokasi penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui obyaktivitas dari kenyataan yang akan ada tentang keadaan kondisi obyek yang akan diteliti. b. Wawancara Mendalam, yaitu mengumpulkan sejumlah data dan informasi secara mendalam dari informan dengan menggunakan pedoman wawancara atau peneliti melakukan kontak langsung dengan subyek meneliti secara mendalam utuh dan terperinci. 2) Data Sekunder. Data ini dikumpulkan melalui penelusuran atau studi pustaka dari berbagai arsi-arsip penelitian, artikel-artikel, dokumendokumen dan buku-buku yang berkaitan dengan kajian penelitian ini. 5. Teknik Analisa Data. Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder dianalisis kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif, yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan apa adanya mengenai Persepsi masyarakat terhadap upacara Rambu solo’ berdasarkan Stratifikasi Sosial. BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Geografis Tana Toraja letaknya kurang lebih 300-600 meter di atas permukaan laut. Toraja juga telah mengalami pemekaran, yang membagi wilayah tersebut ke dalam 2 kabupaten yaitu; Kabupaten Toraja Utara yang beribukota Rantepao dan Kabupaten Tana Toraja denga ibukota Makale. Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale, terletak antara 2º - 3º Lintang Selatan dan 119º - 120º Bujur Timur. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Toraja Utara dan Propinsi Sulawesi Barat, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang, serta pada sebelah timur dan barat masing-masing berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Propinsi Sulawesi Barat. Kabupaten Tana Toraja dilewati oleh salah satu sungai terpanjang yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan yaitu sungai Sa’dan. Jarak ibukota Kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan mencapai 329 km yang melalui Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap, Kota Pare-pare, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros. Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 2.054,30 km² yang meliputi 19 kecamatan, 112 desa/lembang, dan 47 kelurahan yang masing-masing dipimpin oleh Bupati, kepala camat, kepala lembang, dan kepala lurah. Kecamatan Malimbong Balepe dan Kecamatan Bonggakaradeng merupakan dua kecamatan terluas dengan luas masingmasing 211,47 km² dan 206,76 km², atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan 20,35 persen dari seluruh wilayah Tana Toraja. Tabel I Luas Wilayah Kecamatan Tahun 2010 No Kecamatan Desa/Lembang Kelurahan 010 011 012 013 020 Luas (Km2) Persentase terhadap Luas Kab. (%) 10,06 9,48 4,35 8,08 9,58 Bonggakaradeng 5 1 206,76 Simbuang 5 1 194,82 Rano 5 89,43 Mappak 5 1 166,02 Mengkendek 13 4 196,74 Gandang Batu 021 9 3 108,63 5,29 Sillanan 030 Sangalla 3 2 36,24 1,76 031 Sangalla Selatan 4 1 47,80 2,33 032 Sangalla Utara 4 2 27,96 1,36 040 Makale 1 14 39,75 1,93 041 Makale Selatan 4 4 61,70 3,00 042 Makale Utara 5 26,08 1,27 050 Saluputti 8 1 87,54 4,26 051 Bittuang 14 1 163,27 7,95 052 Rembon 11 2 134,47 6,55 053 Masanda 8 134,77 6,56 054 Malimbong Balepe 5 1 211,47 10,29 061 Rantetayo 3 3 60,35 2,94 067 Kurra 5 1 60,50 2,94 Jumlah/Total 112 47 2.054,30 100,00 Sumber : Badan Pertahanan Nasional dan BPS, Kabupaten Tana Toraja 2011 Kecamatan Makale merupakan kecamatan yang terpadat di Tana Toraja dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 815 jiwa/Km2 dan jumlah penduduk sebanyak 32.402 jiwa. B. Gambaran Umum Kelurahan Ariang Kelurahan Ariang merupakan salah satu kelurahan dari empat lingkungan yaitu lingkungan Ariang, lingkungan Sikolong, lingkungan To’ra’da dan lingkungan Marampa Mairi’. a. Batas-batas Kelurahan Kelurahan Ariang adalah salah satu dari 14 Kelurahan di kecamatan Makale, terletak disebelah selatan Kecamatan, dengan batasbatas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan kelurahan Burake Sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Manggau Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Botang Sebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Tondon Mamullu b. Penduduk Penduduk juga merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan suatu wilayah sebab adanya pembangunan tidak terlepas dari keterlibatan serta partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari keempat lingkungan diatas sesuai dengan data jumlah penduduk tahun 2011 yang dikumpulkan berjumlah sebanyak 2.644 jiwa. Terdiri atas laki-laki 1.300 jiwa dan perempuan sebanyak 1.344 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 596. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table 2. Tabel II Komposisi Penduduk berdasarkan Jumlah penduduk Kelurahan Ariang tahun 2011 Jenis Kelamin Nama Lingkungan Jumlah Jiwa L P Ariang 420 331 751 Sikolong 202 232 434 To’ra’da 286 403 689 Marampa Mairi’ 392 378 770 1300 1344 2644 Jumlah Sumber : data statistik Kantor Kelurahan Ariang tahun 2011 Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa warga lingkungan Marampa Mairi’ lebih banyak dari Lingkungan lainnya yaitu lingkungan Marampa Mairi’ 770 jiwa, sedangkan lingkungan Ariang 751 jiwa, To’ra’da’ 689 jiwa dan Sikolong sebanyak 434 jiwa. c. Luas wilayah dan Potensi wilayah Kelurahan Ariang Luas wilayah Kelurahan Ariang secara keseluruhan adalah 3,5km 2 dan Luas Potensi Wilayah kelurahan yaitu 227 Ha. Luas tersebut meliputi Persawahan, Tegalan, Bangunan pekarangan, dan Hutan bambu yang dapat diperinci pada table 2.1 sebagai berikut: Tabel II.1 Luas Potensi wilayah Kelurahan Ariang (diperinci berdasarkan tanah) tahun 2011 Komposisi Tanah Luas (ha) Persawahan 15,0 Tegalan 60 Bangunan pekarangan 105 Hutan bamboo 47 Jumlah 227 Sumber: data statistik Kantor Kelurahan Ariang tahun 2011 C. Mata Pencaharian Sebagaimana umumnya masyarakat lainnya di Toraja maka di Kelurahan Ariang kebanyakan atau sebagian besar berkebun dan bertani, mereka merupakan petani pemilik, atau penggarap dan petani ladang/kebun. Sedangkan mata pencaharian penduduk di sektor lainnya merupakan mata pencaharian penduduk yang jumlahnya relatif lebih sedikit dibanding dengan mata pencaharian di sektor pertanian. Mata pencaharian tersebut seperti PNS, Polri/TNI, Guru, dan Wiraswasta untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut: Tabel III Komposisi penduduk menurut mata pencaharian No 1 2 3 4 Mata pencaharian Petani Pegawai/Guru Wiraswasta Abri/Polri Jumlah Jumlah KK 950 109 304 7 1370 Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Ariang tahun2011 Tabel III diatas menggambarkan bahwa mayoritas Penduduk di Kelurahan Ariang adalah Petani, sebanyak 950 orang dari jumlah penduduk, 109 pegawai/guru, wiraswasta 304, Abri/polri 7. Dalam bidang pertanian dan perkebunan Kelurahan Ariang terdapat lahan sawah dan kebun yang cukup luas. Umumnya Padi, Kopi, Cacao dan sebagian kecil sayur mayur. D. Sistem Pendidikan Penduduk merupakan salah satu variable yang sangat menetukan tingkat kemajuan suatu wilayah. Semakin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi di suatu wilayah maka semakin tinggi pulalah kemajuan wilayah tersebut, begitu pula sebaliknya semakin banyak penduduk yang berpendidikan renda maka tingkat kemajuan wilayah tersebut semakin lambat. Pendidikan merupakan syarat mutlak untuk mencapai suatu komunitas yang maju. Karena dengan pendidikan yang tinggi maka ada harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa yang akan datang. Untuk melihat tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel IV. Tabel IV Potensi Kelurahan Ariang dalam sektor pendidikan NO. Tingkat Pendidikan Jumlah 1 Belum sekolah 202 2 SD 250 3 SLTP 386 4 SLTA 138 5 PT 94 Sumber: data statistik Kelurahan Ariang Tahun 2011 Berdasarkan tabel diatas adalah terlihat bahwa tingkat pendidkan yang dominan di Kelurahan Ariang adalah SLTP dan tingkat pendidikan yang paling kecil adalah Perguruan tinggi. Dengan mengacu pada program pemerintah mengenai wajib belajar 9 tahun maka dari data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Ariang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. E. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi suatu Kelurahan di suatu wilayah. Untuk mendukung pembangunan yang sedang berjalan, maka tersedianya sarana dan prasarana diberbagai bidang sangat dibutuhkan. Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Ariang adalah sebagai berikut: 1. Sarana Pemerintah Kelurahan Ariang memiliki sebuah kantor Kelurahan sebagai tempat untuk menjalankan pemerintahan. Kantor Kelurahan tersebut memiliki 2 buah komputer , 2 buah mesin ketik, 15 buah meja, 50 kursi. 2. Sarana kesehatan Terdapat 1 buah puskesmas, 2 buah posyandu. 3. Sarana ibadah Terdapat 5 buah gereja Kristen Protestan. 4. Sarana Transportasi Sarana perhubungan Kelurahan Ariang cukup memadai, dimana semua pemukiman dijangkau jalan yang terdiri atas: aspal,pengerasan dan rintisan. Kondisi tersebut mendukung kelancaran aktivitas masyarakat Kelurahan Ariang. 5. Sarana Air Bersih Kelurahan Ariang merupakan daerah yang kaya akan mata air sehinggah sebagian besar masyarakat Kelurahan Ariang mengkomsumsi air dari mata air yang jernih dan ada pula yang menggunakan sumur gali dan sumur pompa. 6. Sarana Olahraga Memilki 2 buah lapangan sepak bola, dan 4 buah meja pimpong. F. Sistem Kepercayaan Secara umum agama dapat didefenisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan lingkungannya. Dan aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem nilai yang lebih menekankan pada hal-hal yang normative atau yang seharusnya atau sebaliknya dan bukannya berisikan petunjuk-petunjuk yang bersifat praktis dan teknis dalam hal manusia menghadapi lingkungan dan sesamanya (Suparlan, 1981). Untuk mengetahui lebih jelas tentang penduduk Ariang, dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel V Komposisi penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan No 1 2 3 4 Agama / Kepercayaan Alukta Kristen Protestan Kristen Khatolik Islam Jumlah Jumlah 1.146 547 469 2.162 Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Ariang tahun2011 Penduduk Ariang mayoritas beragama Kristen protestan yang berjumlah 1.146 jiwa, agama Kristen Katholik berjumlah 547 jiwa, dan yang beragama Islam berjumlah 469 jiwa sedangkan yang menganut Alukta sudah tidak ada. Tabel VI Distribusi Sarana Peribadatan No Jenis Sarana Jumlah 1 Masjid - 2 Gereja Protestan 5 3 Gereja Katholik - Jumlah 5 Sumber : Data Kantor Kelurahan Ariang, 2011 Pada table 6 menunjukkan bahwa sebagai pendukung dalam beribadah di kelurahan Ariang terdapat 6 rumah ibadah, yaitu gereja Kristen Protestan sedangkan gereja khatolik dan masjid belum ada. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan temuan data di lapangan, di mana dalam bab ini diketengahkan dalam bentuk penjelasan tentang profil masing-masing informan. Dengan mendeskripsikan profil ini diharapkan akan pemahaman secara mendalam terhadap potret masyarakat dalam pemahamannya tentang pelaksanaan upacara Rambu Solo’ berdasarkan stratifikasi sosial dan seperti apa masyarakat disana memahami makna simbol status dalam upacara Rambu solo’. A. Karakteristik Informan Dalam penelitian ini peneliti menentukan informan dengan cara purposive sampling yaitu penarikan informan yang dilakukan secara sengaja oleh peneliti dengan kriteria tertentu yang ada pada informan. Jumlah informan sebanyak 12 orang, dimana informan tersebut dianggap memahami tentang adat dan pelaksanaan Rambu solo’. YM seorang pria berumur 84 tahun. Beliau adalah seorang Ambe’ Tondok. Ambe’ Tondok adalah orang yang dituakan dalam masyarakat yang merupakan dewan adat tertinggi, jabatan tersebut diperoleh karena dipilih oleh masyarakat yang diturunkan secara turun temurun YM adalah salah satu tokoh adat di kelurahan Ariang yang sangat disegani oleh masyarakat. YM memiliki tubuh yang kurus, berkulit putih, memiliki tinggi rata-rata dan seperti orang tua pada umumnya rambutnya penuh dengan uban. YM hanya tinggal dengan seorang cucunya dan ia adalah orang yang sangat dihormati oleh keluarga maupun masyarakat setempat. YM mempunyai seorang istri namun kini telah tiada, dan dalam kehidupan sehari-harinya ia hanya berada di rumah dikarenakan faktor umur dan faktor kesehatan. Ia merupakan pensiunan PNS dan Anak tertuanya berprofesi sebagai anggota militer di Tana Toraja sadangkan yang lainnya berada di perantauan. SP seorang pria berusia 75 tahun. Beliau adalah seorang budayawan Toraja sekaligus sebagai Tokoh Adat. Memiliki badan yang tinggi dan besar. Di samping mengurus keluarganya beliau menghabiskan Hariharinya untuk meneliti kebudayaan dari masyarakat toraja. Beliau pun ingin mengajak para Pemuda Toraja untuk membantu meneliti kebudayaan dari masyarakat Toraja. ET seorang wanita berusia 39 tahun. ET memiliki wajah yang sangat ramah dan murah senyum. Beliau adalah seorang pendeta muda pada sebuah gereja Toraja dan tinggal di sebuah rumah yang dikhususkan untuk Pendeta. ET memiliki tinggi badan yang sedang dan bertubuh kurus. beliau menyelesaikan studinya pada jenjang Strata satu (S1). Dalam kesehariannya, beliau menjalankan tugas untuk melayani jemaatjemaat dan mengajarkan tentang agama. JS seorang pria berusia 70 tahun. Berbadan tinggi dan agak kurus, kulit sawo matang, berambut kriting. JS seorang yang baik dan murah senyum kepada semua orang. JS menyelesaikan pendidikan terakhirnya sebagai SPG dan beliau adalah pensiunan PNS. Setiap harinya bapak JS bekerja sebagai petani. Anak dari bapak JS berjumlah 6 orang. anak yang tertua kini berada di daerah perantauan sedangkan anak bungsunya bekerja sebagai seorang Guru pada sebuah sekolah menengah atas di makale. MSB Seorang pria 58 tahun yang memiliki badan yang tinggi dan besar. beliau adalah seorang kepala lingkungan dan sangat dihormati serta disegani dalam masyarakat setempat. kesehariaanya dihabiskan dengan mengurus sawah dan kebun kopi milik pribadinya. YT Seorang pria berusia 53 tahun, memiliki postur tubuh yang tinggi besar. diangkat sebagai salah satu kepala lingkungan di kelurahan Ariang dan berprofesi sebagi seorang Guru pada salah satu sekolah menengah atas di makale, YT sekarang ini tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Baginya anak adalah titipan dari Tuhan yang harus dijaga, dibina, dilindungi dan dididik dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran agama agar mereka tidak melelikan adatnya tetap. BR Seorang pria berusia 52 tahun.Sseorang pria yang bertubuh tinggi dan besar, berkulit sawo matang dan bermata bulat. BR bekerja sebagai seorang PNS pada sebuah instansi pemerintahan. BR sangat menyayangi istri dan anak-anaknya. ia selalu membantu istrinya untuk membereskan pekerjaan rumah tangga dan mengurus kebun mereka. Anak tertuanya kini telah melanjutkan studinya pada sebuah sekolah pelayaran. FT Seorang pria berusia 46 tahun. Pria bertubuh tinggi kurus ini, Bekerja sebagai seorang PNS, dan mempunyai 3 orang anak yang masih kecil- kecil. Kegiatan seharinya selain sebagai PNS, beliau setiap sorenya sibuk mengurusi seekor kerbau belangnya. MS Seorang waniata berusia 43 tahun. Wanita berbadan besar dan berambut ombak ini, setiap harinya bekerja mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. selain itu beliau juga sibuk mengurus kerja sampingannya sebagai penjahit yang dapat digunakan untuk menambah penghasilan rumah tangganya. AS seorang perempuan berusia 24 tahun. Perempuan berambut panjang dan berbadan tinggi ini merupakan seorang mahasiswi di sebuah universitas swasta di Makale Tana Toraja. Kegiatan sehari-harinya selain sebagai seorang mahasiswi, dia sibuk membantu keluarganya, terutama membantu ibunya untuk mengurus babi mereka. YR Seorang Lelaki berusia 28 tahun. Memiliki rambut keriting, badan tinggi dan berkulit sawo matang. Seorang lelaki yang murah senyum dan sehari-harinya bekerja sebagai PNS dan mengajar disebuah sekolah menengah pertama sebagai seorang guru ekonomi. JB Seorang pemuda berusia 26 tahun. Pemuda ini bertubuh jangkung dan berambut ombak. Kesehariannya selain menjalani proses pendidikan di sebuah perguruan tinggi negeri swasta, dia juga sibuk dengan merawat dan menggembalakan ternak kerbau serta babinya. B. Status Sosial dalam Upacara Rambu solo’ Adanya sistem stratifikasi sosial (pelapisan sosial ) dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat dan ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan tertentu. Lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya misalnya lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin, kepandaian, dan harta. Sedangkan sistem lapisan dalam masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata, dan sebagainya. Soedjono Dirdjosisworo memberikan pengertian status sosial sebagai berikut: “Status sosial merupakan kedudukan seseorang (individu) dalam satu kelompok pergaulan hidupnya”. (www.docstoc.com) Secara umum stratifikasi sosial yang berlaku di masyarakat Toraja didasarkan pada garis keturunan, kekayaan, usia, dan pekerjaan. Sebelumnya, pada masa pra-kolonial, ada tiga strata sosial pada masyarakat Toraja yakni, Bangsawan (puang atau parengnge), orang biasa/awam (to buda, to sama), dan budak (kaunan). Status yang ditentukan oleh kelahiran, meski sebenarnya seseorang itu sukses secara finansial atau bahkan gagal beberapa orang diperbolehkan menerobos rintangan sosial ini Ini tentu saja berbeda dengan sistem dan struktur sosial pada masyarakat modern saat ini. Namun pada saat ini dalam masyarakat suku toraja dikenal ada empat strata sosial yang disebut Tana’, strata yang dimaksud antara lain : e. Tana’ Bulawan ; lapisan sosial golongan bangsawan tinggi. f. Tana’ Bassi ; lapisan sosial golongan bangsawan menengah. g. Tana’ Karurung ; lapisan sosial golongan rakyat biasa/rakyat merdeka. h. Tana’ Kua-kua; lapisan sosial golongan hamba/budak. Keempat strata ini sangat berpengaruh dalam pelaksanaan upacara rambu solo’. Dalam Adat toraja, lapisan paling bawah tidak bisa melakukan atau melaksanakan upacara rambu solo’ seperti yang dilakukan oleh kalangan lapisan atas. SP seorang Tokoh Adat (75) mengemukakan: “yatu tau toraya nabagi tu statusna lan pa’tondokan na yamoto tu katuanna ma’lalan maruru’ “. artinya: “Masyarakat toraja membagi status dalam masyarakat agar kehidupannya dapat berjalan dengan teratur”. (wawancara, 28 February 2012) YT (53) mengemukakan cara melihat pembagian strata dalam upacara Rambu solo’: “Strata yang paling atas acaranya yaitu sapurandanan, pestanya biasa berjalan 3 malam, strata juga dapat dilihat dari berapa jumlah kerbau yang dikurbankan, strata menengah dasar dari 12-50 kerbau, strata paling bawah biasanya tidaki ada kerbau atau dari 0-3 ekor kerbau. Strata seseorang dapat juga dilihat dari jenis peti mati, ada yang segi empat (kalangan biasa), bundar setengah (kalangan menengah), bundar utuh ditambah dengan hiasan emas (kalangan tertinggi)”. wawancara, 1 maret 2012) Dari penjelasan informan tersebut, kita dapat menegetahui strata seseorang atau keluarga yang meninggal. Dapat dilihat dari berapa lama pelaksanaan upacara itu berlangsung, proses-proses upacaranya, berapa jumlah kerbau yang dikurbankan, sampai pada alat-atau simbol-simbol apa yang dipakai dalam upacara itu yang dapat menunjukkan strata orang tersebut. Kita dapat mengetahui dari upacara Rambu solo’, dari strata apa keluarga yang melaksanakan upacara ini, dari strata bangsawan, menengah, atau budak. Proses-proses upacara harus mengikuti status dari keluarga tersebut, namun pada kenyataannya, semua proses tersebut sudah tidak berjalan sebagimana mestinya sehingga status seseorang kini dapat dilihat dari: Status Ekonomi Status Pendidikan Status Pekerjaan JS seorang PNS (75) mengemukakan bahwa: “ ya tu status na tomate bisa tatiro yo mai pirang bongi tu acarana, susinna to Puang , ba’tu to kapua biasanna si limang bongi sae lako pitung bongi situru’ tingkatan na. Apa to temo te’mo na bisa ditandai kumua tannia manna to kapua tu bisa ma’ rambu solo belanna to kalala’ duka saba’ denna duka ia sengna tu la ma’rambu solo susi to kapua”. artinya: “Status keluarga yang meninggal dapat kita lihat dari berapa malam acara tersebut berlangsung, misalnya kalangan puang atau menengah biasanya 5 malam samapai 7 malam sesuai dengan tingkatannya dalam masyarakat. Namun sekarang kita sudah tidak mengerti, dari kalangan bawah bila mereka sudah berada atau mempunyai banyak uang, mereka mengadakan upacara seperti yang dilakukan kalangan atas”. (wawancara, 1 maret 2012) Lebih lanjut MS (43) seorang Ibu Rumah Tangga menambahkan bahwa: “ yatu tau dolo bagi-bagi status lan pesta rambu solo’, apa totemo tae mo napake sa’ba Popayan kadeananna kalena tu tau. ya to dolona tae na bisa, totemo bisa mo ma pesta”. artinya: “Dulu dalam pesta rambu solo’ ada pembagian status, tapi sekarang status itu sudah tidak berlaku lagi karena orang-orang sudah mulai menunjukkan dirinya sebagai orang yang berada, yang dulunya tidak bisa berpesta menjadi bisa berpesta”. (wawancara, 5 maret 2012) Menyimak hal ini maka jelaslah bahwa dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan pendidikan yang semakin tinggi, ekonomi keluarga yang mapan serta memiliki pekerjaan yang bagus, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Sehingga saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini semeriah mungkin. C. Persepsi masyarakat menurut stratifikasi sosial yang berbeda terhadap upacara Rambu solo’. Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif. Persepsi tidak hanya tergantung pada sifat-sifat rangsangan fisik, tapi juga pada pengalaman dan sifat dari individu. Pengalaman dapat diperoleh dari semua perbuatannya di masa lampau atau dapat pula dipelajari, sebab dengan belajar seseorang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil pengalaman yang berbeda-beda akan membentuk suatu pandangan yang berbeda sehingga menciptakan proses pengamatan dalam perilaku yang berbeda pula. Mengenai dengan upacara rambu solo’ ini, dari kalangan masyarakat setempat mempunyai pandangan yang berbeda-beda, baik itu dari kalangan atas, menengah, dan bawah. YR yang bekerja sebagai PNS (28) mengemukakan sebagai berikut: “Saya melihat upacara rambu solo’ ini sebagai salah satu adat/ budaya yang memberikan makna bahwa sebagai orang toraja lewat upacara rambu solo’ akan memupuk rasa kebersamaan dan solidaritas”. (wawancara, 10 maret 2012) Begitu juga dengan yang disampaikan oleh AS seorang mahasiswi (24) : “Upacara ini hanya pemborosan saja, tetapi demi tradisi maka harus dilakukan. Namun disamping itu upacara ini juga merupakan salah satu pemersatu antara semua rumpun kelurga dan juga membangun sosial kemasyarakatan”. (wawancara 3 maret 2012) Dari penuturan Informan ini, dapat dijelaskan bahwa melalui upacara Rambu solo’ ini, masyarakat disekitar bisa menciptakan rasa kebersamaan baik itu melalui gotong-royong dan kerja sama serta mempersatukan dan mempertemukan sanak keluarga dan kerabat yang lama belum bertemu. Dalam hal pandangan masyarakat terhadap status sosial dalam upacara Rambu solo’ diantaranya yaitu: Menurut MS (43): “ Ia tu simbol ba’tu status lan acara pesta rambu solo’ biasanna den tu paksaan yo mai kaleta kalena ba’tu paksaan yo mai siulu keluarga ta sola kerabat sola nasang, den toda na biasanna ya tu to biasa susi kami te morai toda ki garage pesta marua’ susi to na pogau to kapua, susinna lan masalah tedong” artinya : “Simbol atau status dalam pelaksanaan rambu solo’ kadangkala ada pemaksaan dari dalam diri sendiri ataupun pemaksaan dari kerabat/ keluarga dan kadangkala orang biasa seperti kami juga ingin mengadakan pesta yang meriah seperti yang diadakan oleh golongan atas, misalnya dalam hal masalah pemotongan kerbau”. (wawancara, 5 maret 2012) Maksud dari Informan ini, bahwa Upacara Rambu solo’ ini merupakan salah satu budaya yang dianut oleh masyarakat toraja, yang didalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan aluk atau peraturan dari adat. Namun pada kenyataannya, upacara ini sudah tidak sesuai dengan yang semestinya, dimana keluarga yang dari golongan bawah atau menengah berlomba-lomba untuk melakukan upacara Rambu solo’ semeriah mungkin agar status mereka dalam masyarakat dapat naik, sehingga pada akhirnya yang muncul malah pemaksaan dari dalam diri atau kerabat dan akhirnya menimbulkan pemborosan. Dari hasil wawancara dengan ke -12 informan dapat disimpulkan bahwa, menurut persepsi para informan ini dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’, masyarakat Toraja melaksanakan atau mengikuti upacara Rambu solo’ dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu: 1. Tradisi kebudayaan / ada’ toraja. Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada’ (harfiah : Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang Matua – sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah. Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya. begitupun dalam upacara Rambu solo’, dimana semua proses upacaranya harus mengikuti aluk atau ada’ yang telah berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh YM seorang Ambe’ Tondok (84): “yanna ditiro yomai aluk, yatu sangsiuluran ma’din umpogau tu disanga rambu solo’ dipatu lako tomate gai’na na la umpasalai tu disanga passumpana almarhum yake tu rambu solo’ tae na dipogau’ susinna lan aluk”. artinya: “kalau dilihat dari aluk, keluarga yang bersangkutan wajib melakukan upacara kematian bagi almarhum untuk menghindari kutukan arwah almarhum apabila upacara kematian tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya”. (wawancara tgl 27 Februari 2011). Maksud dari informan ini bahwa sebenarnya latarbelakang diadakannya upacara ini karena ada hubungannya dengan kepercayaan alukta, dimana kepercayaan alukta itu menganggap bahwa kehidupan di dunia gaib mempunyai hubungan dengan kehidupan di dunia nyata. Karena itu mayat seseorang harus diupacarakan secara baik-baik supaya arwahnya itu mendapat tempat yang layak di alam gaib yang menurut kepercayaan disebut “puya” . bila sudah mendapat temapat yang layak maka arwah itu akan berubah menjadi setengah dewa atau yang biasa disebut oleh masyarakat “to mebali puang” dan akan kembali untuk memberkati keluarga yang masih hidup di dunia nyata. Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum dilaksanakannya upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya. Arwah seseorang itu harus diantar secara baik lewat upacara kematian dengan berbagai ritusnya, dan upacara ini sampai sekarang tetap dilaksanakan oleh masyarakat walaupun mereka sebagian besar sudah menganut agama modern. Menurut mereka hal itu dilaksanakan bukan lagi karena motivasi seperti pada kepercayaan alukta, namun karena mempunyai nilai tersendiri bagi hidup masyarakat yang melakukannya. Lebih lanjut dijelaskan oleh seorang informan yang bekerja sebagai PNS yaitu BR (52) “Rambu solo’ sola mintu’na apa lana pogau’ lakona to iamotu tradisi napa’bengan yomai tau dolona to toraya tu te’na bisa tau umpo ta’dei yomai ada’na to toraya”. artinya: “Rambu solo’ dan segala proses-prosesnya merupakan tradisi turun- temurun dari nenek moyang orang toraja yang tidak ada seorangpun yang bisa menghapuskan adat itu”. ( wawancara, 1 maret 2012). dan dari YT seorang Guru (53): “Sesuai dengan paham yang kita dianut sebagai orang toraja nak, pesta Rambu solo’ ini merupakan adat dan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita”. ( wawancara, 01 maret 2012). Maksud dari informan ini bahwa dengan masuknya pengaruh agama-agama modern ke dalam daerah ini, akhirnya kepercayaan alukta tergeser dan menjadi berkurang penganutnya. Karena berkurang penganut alukta ini maka sebagian masyarakat sudah menganggap upacara ini sebagai tradisi yang harus diteruskan. semua proses-proses dari upacara Rambu Solo’ merupakan adat dan tradisi yang telah lama diwariskan oleh nenek moyangnya, dan tidak ada seorangpun yang dapat menghapus tradisi tersebut. Menurut mereka yang menganggap tradisi, lebih lanjut mengatakan bahwa upacara tersebut tetap menjadi simbol-simbol bagi masingmasing pelapisan sosial. 2. Bakti dan Penghormatan Dalam kehidupan mengajarkan pada sehari-harinya, anak-nak masyarakat mereka untuk toraja selalu selalu hidup berdampingan dengan sesamanya dan saling menghormati satu sama lain baik dalam keluarga maupun diluar lingkungan keluarganya. Ajaran ini akan terus mereka bawa sampai akhir hayatnya. Seorang anak yang tahu berbakti, yang menghormati, yang tahu berterimakasih dan mengasihi serta merasa bertanggungjawab terhadap orangtuanya atau keluarganya bila ada dari anggota keluarga mereka yang meninggal, akan berusaha untuk menguburkannya dengan sebaik-baiknya dan sedapat mungkin dikuburkan di tempat yang dianggap layak dan bagus, misalnya di patane. Begitupun dalam pelaksanaan upacara Rambu solo’, bagaimanapun kehidupan sosial ekonomi orang yang meninggal, keluarganya akan berusaha untuk mengadakan upacara kematian baginya, baik itu dari keluarga yang berasal dari lapisan bawah, menengah, sampai lapisan atas. Seperti yang dikemukan oleh FT seorang PNS (46), menyatakan bahwa: “ kita sebagai anak harus senantiasa berbakti pada orang tua yang telah meninggal dengan cara membuat upacara kematian untuknya, dan merayakannya sebagai ucapan pengormatan kita dan ucapan trimakasih serta sebagai penghayatan kasih dan sayang kepada almarhum yang telah meninggal”. (wawancara, 7 maret 2012). Lebih lanjut dikemukakan oleh Ambe’ Tondok YM (84), “yanna ditiro yomai aluk sola ada’, yatu rambu solo’ dipogau’ a’ganna tanda mali’ ma’katampakanna lako to’ bosi ongi’na to tina bamba kollongna”. artinya: “bila kita lihat dari segi aluk dan adat, upacara kematian ini dilaksanakan sebagai penghormatan terakhir kepada almarhum.”(wawancara, 27 february 2012). adapula tambahan dari seorang pemuda JB (26): “keluarga saya melukan upacara rambu solo’ ini sebagai ritual untuk menghormati almarhum/ almarhuma dan ritual untuk menhormati adat kita”. (wawancara, 10 maret 2012). Dapat dikatakan bahwa tujuan dari upacara Rambu solo’ yaitu untuk menghormati dan mengantar arwah manusia yang telah meninggal menuju ke alam Roh atau kembali bersama para leluhur mereka ke tempat peristirahatan, yang disebut dengan Puya. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Manusia yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka manusia yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai manusia sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya manusia hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara. 3. Harga Diri/ Gengsi Informasi yang didapat dari informan berdasarkan pada beberapa lapisan dalam masyarakat, kebanyakan beranggapan bahwa sekarang orang melakukan upacara Rambu solo’ ini karena ingin menaikkan harga Diri mereka. Harga diri atau longko’ ini menyangkut mengenai nama baik seseorang, keluarga maupun persekutuan di dalam masyarakat Toraja. Karena itu pula tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali yang menjadi alasan orang Toraja mengadakan upacara Rambu Solo’ agar tidak dipermalukan oleh orang lain. Longko’ pun sangat berlaku bagi golongan puang dimana pelaksanaannya merupakan lambang kebesarannya dalam masyarakat. Sehingga upacara itu dianggap keharusan bagi mereka untuk tetap dilaksanakan sesuai dengan stratanya dalam masyarakat. MSB seorang Petani (58) mengemukakan: “ Lan attu totemo ya tu pesta tomate tae mo na susi pangadaranna ada’, gengsi mo iya tu ma’kada tanniamo ada’. masiri mo tu tau yake garage pesta na sidi’ ri tu tedong sola bai na tunu. sangadinna yate pesta harus na sesuaikan sola kamampuanna kalena”. artinya: “Pada saat ini, pelaksanaan upacara rambu solo’ sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran adat. gengsi yang berbicara bukan lagi ada’. orang malu bila mereka hanya memotong sedikit kerbau dan babi pada saat pestanya. Padahal pesta ini harus disesuaikan dengan kemampuan dirinya.” (wawancara 7 maret 2012) dan dari YR (28) : “ Saat ini gengsi yang berbicara bukan budaya lagi, strata sudah tidak berlaku lagi, sehingga ada unsur-unsur lain yang dimunculkan kemudian”. (wawancara, 10 maret 2012) MS (43), mengemukakan bahwa: “Dalam pesta ini, sekarang ada yang mau orang tonjolkan dari dirinya supaya mereka bisa di tau oleh tetangga atau juga keluarganya”. (wawancara, 5 maret 2012). Menurut mereka, gengsi sudah sangat mendominan dalam pelaksanaan Rambu solo. Kalangan bawah dan menengah pada saat ini berupaya untuk menaikkan status sosial mereka dalam masyarakat dengan mengadakan upacara Rambu solo’ semeriah mungkin. 4. Prestise/ Kebanggaan Prestise adalah suatu kemampuan seseorang untuk tetap berwibawa dalam lingkungannya. Seringkali pula menjadi alasan masyarakat sekarang ini untuk melaksanakan upacara Rambu Solo’ adalah sebagai tempat untuk menyatakan martabat atau status sosial untuk menunjukkan diri agar dapat dikenal banyak orang. Karena keberhasilannya dalam melaksanakan upacara juga menjadi sarana untuk mempertahankan peran dan status seseorang dalam masyarakat untuk menambah gengsi dikenal karena kekayaannya. Peran dan kesanggupannya dalam mengurbankan hewan kurban yang banyak dan memberikan jamuan kepada orang banyak selama berminggu-minggu dalam beberapa tahap menjadi kebanggaan bagi si pelaksana kegiatan. Hal ini pun sekarang sudah menjadi masalah dalam masyarakat, di antara beberapa informan, ada dari mereka yang tidak suka dengan adanya upacara ini hanya karena prestise, seperti yang dikemukakan JS (70): “Upacara ini baik, asal dilakukan dalam pola kesederhanaan dan bukan sebagai prestise”. (wawancara, 1 maret 2012). SP selaku Tokoh Adat (75) juga mengemukakan bahwa: “Prestise tidak ada tingkatannya dalam masyarakat, kita mengatakan bahwa pesta ini sudah membias dalam masyarakat, orang menjadikannya sebagai alat aktualisasi diri untuk menunjukkan bahwa orang ini juga mampu dan juga berprestasi untuk dapat melakukan pesta”. (wawancara 28 February 2012). Lebih lanjut dapat dijelaskan, dalam suatu upacara kematian ada batasan yang tegas dan jelas tentang tingkat dan jumlah kerbau yang boleh dikorbankan. Akan tetapi ketentuan itu ada yang tidak mematuhinya lagi, sehingga mengakibatkan kadang-kadang upacara kematian menjadi tak kenal batas dan upacara itu cenderung berdasarkan prestise, sehingga menimbulkan pemborosan. 5. Persoalan hutang-piutang Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil berupa barang maupun spiritual yang berupa pujian. Teori pertukaran Homans bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukum. Bagi Homans (dalam Margaret : 2007), prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” yaitu aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi: “seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya”. Semakin tinggi pengorbanan, maka semakin tinggi imbalannya dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya, semakin tinggi investasi, maka semakin tinggi keuntungan. Begitupun dalam upacara Rambu solo’ timbul sebuah pertukaran yaitu sumbangan timbal balik yang bersifat hutang-pitang, dinamakan “tangkean suru’ lulako ludomai”. Hutang yang timbul didalam peristiwa upacara kematian, akan dibayar pada peristiwa yang serupa. Tidak sama dengan hutang dalam perdagangan yang dapat dibayar setiap saat. MSB (58), baru saja selesai mengadakan pesta Rambu solo’ untuk orang tuanya, beliau mengemukakan bahwa: “Tae mo kuissan te, sa’ba’ mangkanna te acara sanda tu indanku rampo, tae pa apa-apa na buda mo indanku”. artinya: “Saya tidak habis fikir sekarang, karena sesudah acara ini masih banyak beban yang ditanggung, belum apa-apa sudah banyak hutang kerbau”. (wawancara, 7 maret 2012) dan BR (52) mengatakan bahwa: “Pesta ini pun biasa memunculkan terjadinya persaingan. Sebagian bantuan yang datang dari keluarga akan menjadi dalam bentuk utang yang harus kita lunasi pada Pesta Rambu solo’ yang suatu saat nanti dilakukan oleh keluarga yang bersangkutan”. (wawancara, 1 maret 2012) Dapat dikatakan bahwa dalam upacara ini setiap hewan yang dikurbankan atau disumbang oleh keluarga dan kerabat secara tidak sengaja menjadi hutang dari keluarga yang melaksanakan upacara Rambu solo’ ini. Hutang piutang yang timbul dalam upacara kematian yang belum terbayar sampai yang berhutang/ yang berpiutang meninggal, berahli pada anak dan cucunya yang harus dilunasi. Pada dasarnya pun upacara Rambu solo’ banyak menuai tanggapan dari masyarakat terutama di kelurahan Ariang. Ada yang setuju, bahkan ada menolak pengadaan upacara ini. YR (28) mengemukakan: “Sebagai orang toraja saya setuju dengan Rambu solo’ ini dan tetap dipertahankan/ dilestarikan dalam kerangka yang wajar dan beretika. Upacara ini bukan merupakan paksaan, tetapi ada beberapa indikator yang perlu dilihat yaitu Rambu solo’ merupakan ibadah ( proses pelayanan), merupakan jalinan silahturami, dan merupakan adat/ budaya”. (wawancara 10 maret 2012). tambahan dari FT (46): “Upacara Rambu solo’ sangat perlu dipertahankan, dilestarikan, dikembangkang, namun harus dibatasi pemotongan hewannya”. (wawancara 7 maret 2012). JB (26): “Upacara ini hanya pemborosan saja dan hanya menghamburkan uang yang belum tentu menguntungkan”. (wawancara 10 maret 2012) Menurut para Informan ini, upacara Rambu solo’ harus dilaksanakan sebagaimana mestinya bukan dengan ingin menonjolkan status diri dalam masyarakat atau karena adanya paksaan dari keluarga, namun harus dilakukan sebagai bakti dan penghormatan terakhir pada orang yang meninggal. Ada pula anggapan bahwa pelaksanaan upacara ini hanya menimbulkan pemborosan saja, padahal sebenarnya upacara ini harus dilaksanakan tergantung dengan keberadaan atau posisi keluarga dalam upacara ini. D. Makna simbol status dalam upacara Rambu solo’ Simbol adalah sesuatu yang biasanya merupakan “tanda” kelihatan yang menggantikan gagasan atau obyek. Dalam arti yang tepat simbol adalah “citra” atau imej yang menunjuk pada suatu tanda indrawi dan realitas supra indrawi, dan dalam suatu komunitas tertentu tanda-tanda indrawi langsung dapat dipahami, misalnya sebuah tongkat melambangkan wibawa tertinggi. Simbolisme dipakai sebagai alat perantara untuk menguraikan sesuatu. Simbol status juga menunjukkan nilai-nilai budaya suatu masyarakat. Misalnya, dalam komersial masyarakat, memiliki uang atau kekayaan dan hal-hal yang bisa dibeli dengan kekayaan, seperti mobil, rumah, atau pakaian halus, dianggap simbol status. Dalam suatu masyarakat yang menghargai kehormatan atau keberanian, pertempuran bekas luka akan lebih dari simbol status. Simbolisme juga sangat berperan dalam kebudayaan tana Toraja. Simbolisme dipakai sebagai alat perantara untuk menguraikan sesuatu atau mengambarkan sesuatu misalnya pada pada pesta pernikahan, perayaan kelahiran dan pada upacara kematian. Dalam adat Sulasewi Selatan khususnya tana Toraja pengunaan simbol-simbol erat sekali dengan kehidupan dan keseharian masyarakatnya. Begitupula pada saat upacara Rambu solo’ simbol ini akan muncul sebagai ajang untuk menunjukkan status seseorang. Simbol ini dapat digunakan sebagai cara untuk melihat dari tingkatan mana seseorang dalam masyarakat itu Menurut beberapa data dari informan, terdapat simbol-simbol dalam upacara Rambu solo’ yang dapat menunjukkan status keluarga yang meninggal, yaitu: 1. Lakkean. Lakkean merupakan tempat jenasah disemayamkan, sejenis pondok menara yang ditempati meletakkan mayat sebelum dikuburkan. Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkean sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. YT (53) menyatakan: “Sebelum dikubur orang yang meninggal dari golongan puang maupun golongan menengah harus dibaringkan di atas lakkean, dan di Rante sudah disiapkan dua ekor kerbau yang akan dipotong”. (wawancara, 1 maret 2012) Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Lakkean ini menandakan status seseorang yang meninggal, semakin tinggi Lakkean itu maka semakin tinggi status orang yang meninggal. 2. Bombongan (gong). Merupakan simbol atau alat komunikasi kepada seluruh kaum kerabat dan anggota masyarakat bahwa akan ada pesta kematian yang akan dilaksanakan. Sehingga ketika gong tersebut itu dibunyikan maka kerabat dan masyarakat setempat akan datang untuk mengambil bagian dalam pesta kematian itu. Dijelaskan oleh BR (52) “ ada juga disebut Bombongan yang nantinya harus dibunyikan pada pesta, tapi ada syaratnya yaitu kerbau yang dikurbankan harus berjumlah minimal 12 ekor. Kalau kurang dari itu bombongan tidak boleh dipakai meskipun yang melakukan upacara itu adalah dari kalangan puang dan untuk kalangan bawah bombongan ini tidak boleh dipakai”. (wawancara, 1 maret 2012) Maksud dari informan ini bahwa disamping sebagi simbol komunikasi, gong ini juga sebagai simbol bahwa orang meninggal itu akan dipestakan dengan meriah dengan jumlah hewan yang akan dipotong lebih banyak. Gong ini hanya diperuntukkan bagi golongan puang, namun dapat juga diperuntukkan bagi golongan menengah kaya atau yang mampu melaksanakan pesta kematian dengan jumlah pengorbanan secara besar-besaran. 3. Tompi Saratu. Tompi Saratu merupakan Hiasan yang berpasangan dengan batelepong yang dipasang di depan lakkean. Ini digunakan sebagai penambah kemeriahan dan menurut aluk, tompi ini harus ada bila ada batelepong. Tompi ini terbuat dari bambu dan kain tenun toraja panjang yang mempunyai corak warna berbeda-beda. YT (53) mengemukakan: “Dalam pesta Rambu solo’ ada juga yang namanya Tompi, ini harus kita gunakan sesuai dengan seberapa besar jumlah hewan yang akan dikurbankan, yang nantinya bila pesta dimulai, tompi ini diarak-arak bersama dengan kerbau dan di tancap disamping Lakkean” (wawancara, 01 maret 2012) Maksud dari Informan ini, Tompi harus disesuaikan dengan seberapa besar jumlah dari kerbau yang dikurbankan yang dengan tidak sengaja dapat menunjukkan status keluarga yang meninggal atau seberapa besar kemampuan keluarga yang melaksanakan upacara tersebut. Mengenai masalah ketentuan berlakunya berdasarkan Aluk, tidak ada batas untuk golongan atas maupun golongan menengah namun tidak boleh dipakai untuk golongan bawah. 4. Tau-tau Tau-tau adalah jenis patung yang terbuat dari kayu atau bambu. Kata "tau-tau" adalah kata Toraja yang berarti "manusia", dan "tautau" berarti "manusia" atau "patung". Tau-tau diyakini berasal dari abad ke-19. Mereka pernah diproduksi hanya untuk orang kaya, untuk mencerminkan status dan kekayaan yang ditinggalkan. Adanya lapisan atau golongan yang terdapat dalam masyarakat suku toraja ini sangat berpengaruh pada pengadaan Tau-tau. Lapisan yang paling rendah (golongan hamba) sama sekali tidak boleh membuat tau-tau atau sama sekali tidak boleh dibuatkan tautaunya bila kelak meninggal nanti. Hal ini disebabkan adanya pemahaman bahwa tidak semua leluhur yang dapat dipuja atau disembah. Leluhur yang dapat diangkat menjadi leluhur yang dapat dipuja dan disembah adalah bapa-bapa leluhur yang telah melindungi rakyat (urrinding tondok) dan membela rakyat, mereka dianggap memiliki suatu kuasa pengaruh yang istimewa, berdasarkan kemuliaan mereka dibumi, berdasarkan harta kekayaan dan kedudukan mereka dalam masyarakat. YM (84), mengemukakan bahwa: “Dalam upacara rambu solo khusus puang selalu dibuatkan tautau. tau-tau ini harus menyerupai dengan wajah dari orang yang meninggal. tau-tau ini dipakai untuk menunjukkan identitas kebangsawanan si pemilik patung beserta kaum keluarganya”. (wawancara, 27 february 2012) Dengan demikian bahwa makna tau-tau berdasarkan stratifikasi sosial ini tujuannya adalah untuk menunjukkan identitas keluarga yang dibuatkan simbol tau-tau sebagai keluarga yang berada atau kaya dan memilki kuasa, pengaruh serta kedudukan dalam masyarakat. Jadi tidak semua orang mati dapat diangkat menjadi nenek moyang yang dipuja/disembah. Itulah sebabnya dari empat strata sosial masyarakat yang ada dalam masyarakat suku toraja tersebut yang layak dibuatkan tau-tau adalah golongan bangsawan. 5. Kandaure. Hiasan dari manik-manik sebagai peninggalan dari nenek moyang lapisan puang. Fungsinya disamping sebagai hiasan untuk menambah kemeriahan pesta juga sebagai simbol kebesaran dari lapiasan puang. BR(52) mengemukakan: “ ada juga namanya Kandaure, dulu Kandaure ini hanya untuk golongan puang saja, tapi sekarang yah orang dari kalangan menengah atau bawah pun yang sudah memiliki kemapuan ekonomi tinggi sudah memakainya juga”. (wawancara, 1 maret 2012) Maksudnya bahwa Kandaure ini hanya diperuntukkan untuk golongan puang saja, dengan melihat penggunaan kandaure ini pada pesta yang sedang berlangsung kita sudah dapat mengetahui bahwa orang dipestakan adalah dari lapisan puang. 6. Kerbau Dalam masyarakat tana toraja kerbau juga dipakai sebagai simbol dari status orang yang meninggal. Keseharian masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tak bisa dipisahkan dengan hewan ternak kerbau. Ini berlangsung hingga sekarang. Bahkan, sebelum uang dijadikan alat penukaran transaksi modern, hewan bertanduk ini sudah kerap ditukar dengan benda lain. Selain memiliki nilai ekonomis tinggi, hewan bertubuh tambun ini juga melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingkat kekayaan dan status sosial pemiliknya di mata masyarakat. Harga seekor hewan yang masuk golongan kerbau lumpur (Bubalus bubalis) itu kira-kira Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Selain kerbau belang, kerbau biasa pun juga akan dikurbankan dalam ritual Rambu Solo`. Salah satunya bernama Bantu Pako. Kerbau berbobot 200 kilogram, harganya bisa mencapai Rp 20 jutaan. Namun, hewan tersebut nasibnya hanya untuk diadu dan dikurbankan. Kerbau sebagai simbol masyarakat Toraja memiliki nilai yang sangat tinggi di mata masyarakat toraja dan menjadi alat tukar dengan benda lain dan akhirnya satu ekor kerbau pun memiliki nilai jual yang sangat-sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh kaum strata bawah karena harga jualnya yang sangat tinggi dan daya beli kaum bawah tidak menjangkau. Dahulu kerbau ini digunakan dalam upacara-upacara adat oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal strata sosial. Namun seiring berputarnya waktu terjadi pergeseran nilai budaya dan kerbau sebagai hewan kurban yang hanya biasa-biasa saja berubah makna menjadi hewan yang sangat istimewa dan dianggap suci juga bernilai tinggi sekali bagi masyarakat Toraja, apalagi dalam upacara-upacara adat yang besar di Tana Toraja seperti salah satunya upacara adat ternama dan terbesar yaitu upacara kematian “ Rambu Solo” yang mengunakan kerbau sebagai simbol paling utama sebagai hewan kurban dalam puncak acara prosesi upacara kematian Rambu Solo ini. SP (75), mengemukakan bahwa: “Dari tedong yang dikurbankan kita bisa baca kedudukannya orang dari mana. kerbau yang dipotong ini merupakan tuntutan dari aluk dan adat. maka jumlah kerbau yang dipotong harus disesuaikan dengan strata orang dalam masyarakat itu”. (wawancara,28 february 2012) JS (70): “Ma’tumba bang susi ke kita toraya ke te’ bang apa di pantoean. susinna lan pesta rambu solo’ te, ma’din ki untunu tedong, apa ma’din di pasituru sola kamampuan ta’”. Artinya: “Seperti ada sesuatu yang kurang dan mengganjal bagi kita orang toraja ketika kita tidak memiliki pegangan dalam hal pesta Rambu solo’. seharuanya kita mempersembahkan kerbau tapi harus sesuai dengan kemampuan ekonomi” (wawancara, 1 maret 2012) Dapat dijelaskan bahwa tidak layak dilaksanakan upacara Rambu Solo’ ini jika tidak ada kerbau untuk dikurbankan. Juga di mata masyarakat tana Toraja kerbau pun menjadi hewan yang melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingakt kekayaan dan sebagai status sosial bagi pemiliknya di mata masyakarat. Jadi barang siapa yang dapat mempersembahkan banyak kerbau dalam sebuah upacara kematian maka nama keluarganya akan terangkat tinggi sekali didalam masyarakat dan akan sangat dihargai juga disegani. Selain karena adat masyarakat Toraja juga beranggapan bahwa pengurbanan kerbau-kerbau ini merupakan persaingan status sosial dalam masyarakat, Juga nama besar yang terelu-elukan akan mereka dapat. Kerbau-kerbau ini nantinya dipotong lalu dagingnya dibagi-bagikan kepada ratusan masyarakat yang datang pada upacara ini, pembagian daging ini juga sesuai dengan dengan kelas sosial si pelayat dalam masyarakat, jadi daging yang dibagi-bagikan kepada pelayat juga berbeda jumlah dan kualitasnya sesuai kelas/strata sosial seseorang, maksudnya ialah kelas orang terpandang mendapatkan daging yang banyak dengan kualitas daging terbaik dan kelas strata bawah hanya mendapat daging sedikit dan dengan kualitas biasa saja. Intinya adalah hanya orang-orang berduit banyak saja yang dapat melakukan upacara Rambu Solo yang sangat erat dengan simbol kerbau ini. E. Peran Pemerintah dan Agama dalam Upacara Rambu solo’ 1. Aparat Pemerintah Seperti yang telah dijelaskan oleh sejumlah informan, bahwa nilai-nilai pesta kematian yang seutuhnya untuk saat ini sudah mulai mengalami perubahan sebagian terutama dalam proses pelaksanaan dan jumlah hewan yang dikurbankan. Sehingga agak sulit membedakan jenis pesta kematian yang dilakukan itu. Namun melalui simbol-simbol yang ada kita dapat mengerti dan menilai mengenai jenis pesta itu. Terutama jenis pesta bagi lapisan puang yang mampu. jadi walaupun pesta-pesta itu sama meriah, dari segi jumlah hewan yang dipotong juga sama-sama dalam jumlah yang besar, semua dengan simbol-simbol yang nampak itu kita dapat membedakan jenis pesta kematian yang berlangsung. Dalam upacara Rambu solo’ Aparat pemerintahan juga berperan penting selain berfungsi sebagai pengayom, mereka juga yang mengeluarkan izin pelaksanaan upacara Rambu Solo’, dari izin tersebut mereka menarik retribusi pajak pemotongan hewan kurban yang yang merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. YM, JS, MSB, YT, BR, FT, MS, YR, masing-masing mengatakan bahwa: “Pejabat mengambil bahagian dalam upacara, penataan acara, memberi ijin, mengumpulkan pajak pemotongan hewan, dimana pajak tedong sebanyak 150 ribu/ ekor, babi 75 ribu/ekor, pa’piong sebanyak 15 ribu”. 2. Agama. Diketahui bersama bahwa untuk mengembangkan budaya masyarakat, agama atau aluk selamanya berdampingan dengan adat secara harmonis. Agama Keristen masuk ke Tana Toraja pada permulaan abad ke 20 mendompleng pada masuknya Pemerintah kolonial Belanda. Agama baru ini mengutamakan Kesalehan, semua acara yang tidak sesuai dengan isi Alkitab’ seperti penggunaan “batelepong, tombi, tau-tau dsb” dalam upacara Rambu Solo dianggap menyembah berhala dan itu dosa. Bertolak belakang dengan Aluk Todolo yang mempercayai banyak dewa. Upacara Rambu Solo’ yang yang mengutamakan keharmonisan melalui Ritus Sosial dan Religi lama kelamaan tidak harmonis lagi karena pengarahannya hanya dari dimensi Sosial saja. Upacara itu berubah menjadi tempat pamer gengsi dan kekayaan. Kearifan budaya yang diharapkan mengontrol batasbatas kewajaran dan membedakan Rambu Solo’ dengan Rambu Tuka’, hilang sudah. Menjelang seratus tahun Injil masuk Toraja, Gereja Toraja belum punya konsep yang dapat menggantikan peran “Aluk Todolo”, mengawal upacara Rambu Solo’ mengikuti perkembangan zaman. Seperti yang lihat kehadiran Gereja di acara Rambu Solo’ hanya sebatas menyampaikan khotbah, menghindar terlibat langsung untuk mengarahkan upacara, seperti yang dilakukan oleh pemuka Aluk Todolo sebelumnya. Akibatnya pergeseran nilainilai sosial yang tidak dikawal oleh nilai religi menjadi serba tanggung, menimbulkan kegamangan dalam melakukan upacara adat. ET seorang Pendeta (39), mengemukakan bahwa: “Pemaknaan upacara Rambu solo’ harus dikristenkan, sebagai ucapan syukur, dan bukan lagi untuk mengantar orang mati ke Puya. Gereja sudah berupaya agar masyarakat sederhana dalam perayaannya, namun keluargalah yang angkat bicara. gereja hanya menasehati dan meminalisasi acara itu”. (wawancara, 3 maret 2012) Dapat dijelaskan bahwa akibatnya Rambu Solo’ tidak lagi menampilkan keprihatinan dan suasana berkabung. Malah lebih menonjolkan kemewahan menggunakan asessories yang sebelumnya “pemali”, Tidak terlihat lagi keprihatinan “ampu tomate” (keluarga yang berduka), Semua berusaha tampil mewah. Mulai timbul persaingan, seperti promosi di media televisi, bahwa kebangsawanan keluarga yang berduka ditentukan oleh kemewahan acara rambu solo’, berapa jumlah kerbau dan babi yang mahal-mahal di potong dan disajikan pada masyarakat. Supaya persaingan makin seru dibuat issu baru “Siri’ Mate”. Berimbas pada keluarga yang masih hidup berusaha untuk mengorbankan banyak harta, kerbau dan babi agar bisa disebut bangsawan. Inilah yang menjadi salah satu pemicu utama upacara Rambu Solo’ menjadi ajang adu gengsi karena promosi kebangsawanan yang sering diliput dalam media massa. Gereja Toraja sebagai pengawal moral masyarakat harus menghimpun semua penganut agama Keristen, aktif mengarahkan dan membantu masyarakat lepas dari bayangan “Siri’ Mate” yang mendorong persaingan tidak sehat dalam melakukan upacara Rambu Solo’. Gereja harus mulai terjun langsung sebagai pengganti “Aluk Todolo” untuk mengawal dimensi sosial, budaya Toraja yang harus berkembang mengikuti irama kemajuan zaman . Dapat disimpulkan bahwa, Upacara Rambu Solo’ ini menghabiskan dana/biaya yang sangat banyak (ratusan juta sampai milyaran rupiah). Dana sebanyak itu untuk membangun rumah-rumah sementara dari bambu di tanah lapang yang sangat luas sekali untuk ratusan bahkan ribuan tamu yang diundang dari berbagi strata sosial, wisatawan asing maupun lokal yang akan datang melayat/menghadiri upacara kematian ini dan yang paling utama dari upacara ini adalah biaya pembelian kerbaukerbau yang harganya sangat mahal sekali karena siapa yang mampu membeli dan memotong kerbau paling banyak nama keluarganya akan terangkat tinggi sekali di mata masyaratnya, harga satu ekor kerbau bisa mencapai seratus juta rupiah dan biasanya keluarganya membeli lebih dari seratus ekor kerbau. Kebanyakan dari lapisan menengah melakukan pesta kematian semeriah mungkin dengan pengorbanan yang cukup besar karena motivasi untuk berprestise dalam masyarakat supaya terpandang sebagai orang yang mampu walaupun berasal dari lapisan menengah. Mereka betul-betul bekerja keras untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin supaya dapat melaksanakan pesta semeriah mungkin. Sementara bagi lapisan atas yang merasa dikejar prestisenya oleh kalangan menengah harus bekerja keras untuk mempertahankan prestisenya sebagai lapisan yang terpandang dalam masyarakat. Mereka tidak mau kehilangan kewibawaannya, sehingga rata-rata dari mereka akhirnya harus meninggalkan kampung halamannya untuk pergi merantau karena tuntutan pesta kematian. Walau bagaimanapun sanggupnya keluarga untuk mengadakan pesta kematian secara besar-besaran, kalau memang berasal dari lapisan menengah dan bawah, mereka dibatasi oleh simbolsimbol yang nampak pada pelaksanaan pesta tersebut. Tetapi mereka mengakui pula bahwa melalui pesta kematian itu masyarakat akan senantiasa menampakkan sifat kekerabatan dan kekeluargaan yang lebih mendalam, sehingga dalam kehidupan sehari-hari akan tetap nampak hubungan yang harmonis antar tiap lapisan yang ada. BAB VI PENUTUP Sebagai bab penutup dan saran skripsi ini, maka penulis mencoba membuat beberapa kesimpulan berdasarkan deskripsi yang disajikan dimuka. A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dalam kasus persepsi masyarakat di kelurahan Ariang, dapat kemudian ditarik beberapa point kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat terhadap upacara Rambu solo’. Dalam upacara ini sudah terjadi perubahan nilai, tidak lagi murni dilakukan oleh kalangan Bangsawan, namun dari kalangan menengah dan bawah yang punya banyak uang dapat melakukannya. Dalam Upacara melaksanakannya prestise dan kematian secara untuk ini kebanyakan berlebih-lebihan menaikkan harga masyarakat berdasarkan diri sehingga mengakibatkan pemborosan. Upacara Rambu Solo’ perlu dipertahankan, namun segi-segi negatifnya harus ditinggalkan, karena upacara kematian ini sebagai penghormatan terakhir kepada yang meninggal dan sebagai warisan leluhur. 2. Makna simbol status dalam upacara Rambu solo’ Status Orang yang meninggal dapat dilihat dari berapa lama pelaksanaan upacaranya berlangsung, proses-proses upacaranya, berapa jumlah kerbau yang dikurbankan, sampai pada alat-atau simbol-simbol apa yang dipakai dalam upacara itu yang dapat menunjukkan strata orang tersebut. Proses-proses upacara harus mengikuti status dari keluarga tersebut, namun pada kenyataannya, semua proses tersebut sudah tidak berjalan sebagimana mestinya. sehingga lapisan paling bawah kini sudah tak kelihatan lagi. Simbol-simbol dalam upacara Rambu solo’ yang dapat menunjukkan status keluarga yang meninggal, yaitu: Lakkean Bombongan Tompi Saratu Tau-Tau Kandaure Kerbau B. Saran 1. Cara berpikir kita orang Toraja harus berubah. Mengembangkan dan melestarikan kearifan budaya yang tersirat di dalamnya adalah keniscayaan. Kesedihan yang disertai dengan kesederhanaan ditampilkan kembali dalam upacara Rambu Solo’ dan dimaknai secara proporsional. 2. Masyarakat Toraja sebaiknya sadar dalam melaksanakan Upacara Rambu Solo’ bukan merupakan pesta dan untuk menaikkan Harga Diri dan Gengsi, namun merupakan ibadah unyuk menghibur keluarga yang ditinggalkan serta untuk menunjukkan rasa hormat dan cinta pada keluarga yang meninggal. 3. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan untuk masyarakat, agar memahami substansi dari persoalan kepentingan masyarakat, sehingga keputusan yang diambil tidak akan berefek negatif terhadap kaum dari golongan tertentu yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. 4. Bagi pemerintah daerah Tana Toraja untuk dapat melestarikan budaya daerah serta menjaga peninggalan-peninggalan budaya. Terutama untuk budaya Rambu solo’ agar disesuaikan kembali dengan Adat yang memang telah berlaku dalam masyarakat Toraja. DAFTAR PUSTAKA Aditjondro J George 2010. Pragmatisme Menjadi To Sugi’ dan To Kapua di Toraja. Yogyakarta: CV Gunung Sopai Press. Al-Barry, Y Dahlan. 2001. Kamus Sosiologi Antropologi. Surabaya: penerbit dan percetakan Offset Indah. Balalembang Luther. 2007. Ada’ Toraya. Toraja: BPS, 2011, Kelurahan Ariang Dalam Angka 2011, BPS Kel, Ariang. C. Salombe’. 1972. Orang Toraja dengan Ritusnya: in memorial Laso’ Rinding Puang Sangalla. Ujung Pandang Bagong - Dwi Narwoko,J. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Media Group Horton B Paul, Hunt L Chester. 1992. Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. M.Hensin James. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta : Penerbit Erlangga. M.Poloma Margaret. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Muhtamar Shaff. 2007. Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulsel. Makassar: PT Pustaka Refleksi. Palebangan B Frans. Aluk,Adat, dan Adat-Istiadat Toraja, Toraja: PT Sulo. Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi Buku 1. Jakarta: PT INDEKS Kelompok Garmedia. Ritzer George – J.Goodman Douglas. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Soekanto Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Schreiner Lothar. 1996. Adat dan Injil (perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen Di Tana Batak. Jakarta: BPK-Gunung Mulia. Suhamihardja Suhandi. 1977. Sulawesi-selatan: Adat istiadat dan Kepercayaan. Litera Suharto, Edi. 2010. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT Refrika Aditama. Sukidin, Baswori, 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya : Insan Cendekia. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tangdilintin, L.T. 1975. Upacara Pemakaman Adat Toraja. Toraja: Yayasan Lepongan Bulan. ………………1981. Toraja dan Kebudayaanya, Toraja: Yayasan Lepongan Bulan. Tana Toraja, BPS. 2010. Tana Toraja dalam Angka 2010. Toraja : UD Alfian. Tana Toraja, BPS. 2011. Tana Toraja dalam Angka 2011. Toraja : UD Alfian. Usman, Husaini dan Akbar S Purnomo 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: C.V Andi Offset Sumber Lain Dinamika Kelompok Dalam Kehidupan Masyarkat. Diakses pada tanggal 5 Januari 2012. Http://www.docstoc.com/docs/47789373/BAB-2Hendarto,Joko.2009. Rambu Solo’ Toraja dan sebuah Ironi. Diakses pada tanggal 20 maret 2012. http://sosbud.kompasiana.com/2009/12/06/rambu-solo-toraja-dansebuah-ironi/ Hunny Rizki. 2011. Konsep Dasar Peran . Diakses pada tanggal 5 januari 2012.Http://[email protected]//2011//04//30//konsep dasar peran //. Kuddi, Anto. 2011. Dibalik Upacara Rambu Solo’ Tana Toraja. Diakses pada tanggal 22 maret 2012. http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/07/di-balik-upacara-rambusolo%E2%80%99-tana-toraja/ Kumala, Gabby. 2012. Pendekatan Interaksi “Interaksi Simbolik”. Diakses pada tanggal 03 April 2012. http://gabbyks.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/18/pendekatan-interaksiinteraksionisme-simbolik/ Lambertus LP. 2010. Dampak Positif Ritual Rambu Solo’ Terhadap perkembangan pendidikan di Tana Toraja. Diakses pada tanggal 20 maret 2012. Http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/search.html Maulanusantara. 2007. Ketegangan Budaya Nenek Moyang dan Agama dalam masyarakat Toraja. Diakses pada tanggal 20 Maret 2012. http://maulanusantara.wordpress.com/2007/11/13/keteganganbudaya-nenek-moyang-dan-agama-dalam-masyarakat-toraja/ Rahmat Asep. 2009. Materialisme Kebudayaan. Diakses pada tanggal 20 januari 2012. http://rukawahistoria.blogspot.com/2009/07/materialismekebudayaan.html Tresna, Rotua. 2009. Upacara Kematian di Tana Toraja: Rambu Solo’. Diakses pada tanggal 20 maret 2012. Http:/repository.usu.ac.id/../09E01580.pdf. RIWAYAT HIDUP Data Pribadi Nama : Mishela Rayo Nama Panggilan : Ela Tempat / Tanggal Lahir : Makale, 22 Mei 1990 Alamat No. Telepon : : Aspol Tello Baru A/ 15 085239540106 Jenis Kelamin : Perempuan Status : Belum Menikah Agama : Kristen Pendidikan Formal 1996 – 2002 : SDN 04 Makale 2002 – 2005 : SMP Kristen Makale 2005 – 2008 : SMA Negeri 3 Makale 2008 – 2012 : Mahasiswa Sosiologi, Universitas Riwayat Aktifitas Pengurus Kemasos Fisip Unhas 2010 – 2011 Anggota Society Research Pengurus PMKO Fisip Unhas Hasanuddin Lampiran-Lampiran Lampiran 1. Gambar Lakkean Lampiran 2. Gambar Bombongan (Gong) Lampiran 3. Gambar Tombi Lampiran 4. Gambar Tau-Tau Lampiran 5. Gambar Kandaure Lampiran 6. Gambar Kerbau DAFTAR PERTANYAAN NAMA : UMUR: JENIS KELAMIN: STATUS: ALAMAT: PENDIDIKAN: PEKERJAAN: PERTANYAAN: 1. Pernahkah anda mengikuti atau melaksanankan upacara rambu solo’? 2. Seberapa sering anda mengikuti upacara rambu solo’ ini? 3. Bagaimana keaktifan anda dalam pelaksanaan upacara tersebut? 4. Bagaimana makna upacara rambu solo’ ini bagi anda? 5. Bagaimana pendapat anda tentang upacara ini? 6. Bagaimana pendapat anda tentang proses pelaksanaan upacara ini dilihat dari golongan atas, menengah, dan golongan bawah? 7. Bagaimana pendapat anda tentang simbol status dalam pelaksanaan upacara rambu solo’? 8. Apakah anda setuju dengan upacara rambu solo’? alasannya! 9. Hal apa yang membuat anda untuk menerima atau menolak upacara ini? 10. Apakah anda melaksanakan upacara karena terpaksa atau tuntutan budaya? Mengapa! 11. Seberapa besar biaya yang anda keluarkan untuk upacara ini? 12. Bagaiman pendapat anda, Apakah upacara ini dapat mensejahterahkan keluarga anda? 13. Bagaimana peran pejabat atau pemerintah dalam upacara ini? 14. Menurut anda, apakah upacara rambu solo’ ini akan bertahan lama