Data Pribadi - Repository | UNHAS

advertisement
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UPACARA RAMBU SOLO’
BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL (STUDI KASUS KEL.
ARIANG KEC. MAKALE KAB. TANA TORAJA)
PUBLIC PERCEPTION TO WARDS RAMBU SOLO’ CEREMONIES
THAT BASED SOCIAL STRATIFICATION (CASE STUDY OF ARIANG
ON MAKALE IN TANA TORAJA)
SKRIPSI
MISELA RAYO
E 411 08 290
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UPACARA RAMBU SOLO’
BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL (STUDI KASUS KEL.ARIANG
KEC. MAKALE KAB. TANA TORAJA)
SKRIPSI
MISELA RAYO
E 411 08 290
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Derajat
Kesarjanaan Pada Jurusan Sosiologi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahakan Kepada kedua orang tua, Ibunda
Maria Salempa dan ayahanda Marten Rayo atas setiap dukungannya
kepada penulis. Terima kasih untuk segala kasih sayangnya dan
perhatian yang tak terbatas kepada anakmu dan yang terutama kepada
PAPA YESUS yang sudah memberikan apa yang penulis minta, dan
janjiNya kepada saya bahwa “saya akan menjadi Kepala bukan menjadi
ekor” serta atas segala rezeki dan berkat
yang telah Engkau berikan
kepada kedua orang tua penulis yang cintai
Kepada kakak dan adik-adik penulis yang tercinta Alfian Rayo,
Milka Rayo yang menjadi kakak-kakak terbaik, Grace Iram, Irene Rima,
Jesica Gasong, Monica Lestari telah menjadi adik yang baik meskipun
penulis bukan kakak yang terbaik dari kalian harapkan.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas segala berkat, pertolongan dan pimpinannya, sehingga penulis
dapat merampungkan skripsi ini yang berjudul “Persepsi Masyarakat
terhadap Upacara Rambu Solo’ berdasarkan Stratifikasi Sosial ( Studi
Kasus Kel. Ariang Kec. Makale Kab. Tana Toraja”.
Kepada Dr. Andi Haris M.Sc selaku pembimbing I, terima
kasih atas segala kepercayaan dan bimbingannya sehingga penulis
mampu menyelesaikan Skripsi ini dan Drs.
Hasbi
M.Si selaku
pembimbing II, terima kasih untuk setiap waktu yang diberikan kepada
penulis dan masukkannya sehingga mampu mengerjakan Skripsi ini.
Mohon maaf jika banyak salah dalam penulisan ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam memenuhi salah satu syarat
untuk meraih gelar sarjana pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin Makassar. Dalam proses penulisan skripsi ini
penulis menyadari begitu banyak dukungan, bimbingan, perhatian, dan
bantuan serta petunjuk/arahan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini
penulis dengan segala kerendahan hati
menyampaikan terimah kasih dan penghargaan kepada:
1. Bapak Prof. Dr, Idrus A. Paturusi, Sp.B.Sp.Bo selaku Rektor
Universitas Hasanuddin
2. Bapak Prof Dr. H Hamka Naping, MA.
selaku Dekan Fisip
Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Dr. H. Darwis, MA.DPS selaku ketua jurusan dan Bapak Dr.
Rahmat Muhammad M.Si selaku sekretaris Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
Makassar
4. Para Dosen dan staf Akademik jurusan sosiologi fakultas ilmu
sosial dan ilmu politik Universitas Hasanuddin. (terima kasih atas
ilmunya). Pak Yan Tandaean yang sudah banyak membantu
penulis untuk mengurus skripsi ini, terimah kasih banyak.
5. Chandra
Sosang
S.Sos selaku Lurah Ariang yang telah
memberikan keterangan serta memberikan ijin kepada penulis
untuk mengadakan penelitian dan mendapatkan data yang
dibutuhkan di Kelurahan Ariang.
6. Seluruh responden yang telah bersedia meluangkan banyak
waktunya kepada penulis, untuk memberikan informasi dan datadata sampai pada penyelesaiaan skripsi ini
7. Semua
keluargaku
tak
terkecuali
terimakasih
atas
segala
batuannya, suportnya, dan dukungan doanya selama penulis dalam
bangku kuliah.
8. Yessy Yunita yang sudah sangat membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini, trimakasi untuk motivasinya dan terimah
kasih sudah ikut pusing membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
9. Semua teman-teman ku di jurusan sosiologi angkatan 08 yang
telah banyak membantuku dena, kamal, novhy, qam2, dhaya,
angga, eca, imma, intan, cherry, oppick, itha onye, linda, ira
dan yang lainnya yang belum sempat penulis sebutkan Arigato
Gouzaimas . Spesial buat Rima Hardyanthi yang sudah susahsusah membantu penulis menyelesaikan skripsinya, terimah kasih
banyak sobat.
10. Sahabat-sahabat seperjuanganku Regilna Desyanthy cantik imut
dan manis (terpaksa) tanpa bantuanmu mungkin skripsi ini belum
selesai, indah cahyani nya Oncy, bangunlah dari mimpi burukmu
itu… Oncy kan dah punya istri, kathrien Rin Avan Fandy ingatingat pesan Mamamu (apakah?) banyak-banyak makan nasi dan
minum susu biar cepat tumbuh besar, fany asrial siapa sih
pacarmu?? kasih tau dong hehehehe cepat-cepat ya kerja
skripsinya, Dian syilfiah jangan terlalu sibuk dengan cinta-cintamu
itu.. dan terimah kasih banyak atas nasehat2mu yah, dan Putu
santhi devi yang jauh di pulau Bali sana, thanks dah bisa dengar
curhat-curhatku slama ini dan saya bangga,senang, gembira bisa
mendapat sahabat sepertimu. semuanya terima kasih sudah setia
menemaniku, membantuku dalam penyusunan skripsi ini. Maaf bila
penulis sudah sangat merepotkan kalian, dan Terima kasih atas
kerja samanya. Komawoyo..
11. Kanda-kanda yang saya hormati, k’aan yang sudah menyempatkan
dirinya untuk berdiskusi, k’mulyadi kamsut-upay, k’ ilo, k’fyant,
terimah kasih untuk supportnya, k’gile terima kasih banyak untuk
pinjaman bukunya.
12. Teman dan saudara-saudara KKNq K’asto, K’odi, cici, jajang,
Esse… miss you so much…
13. Teman-temanku warga PMKO FISIP UNHAS, terima kasih
dukungan dan doanya, selama penyusunan Skripsi ini.
14. Untuk semua yang telah berarti dalam hidupku yang tak sempat
disebut oleh penulis, makasih atas segala dukungan dan
kerjasamanya.
Makassar, 16 Mei 2012
Penulis
ABSTRAK
Misela Rayo, E411 08 290. Judul Skripsi “Persepsi Masyarakat
terhadap Upacara Rambu Solo’ Berdasarkan Stratifikasi Sosial (
Studi Kasus Kel. Ariang Kec. Makale Kab. Tana Toraja )” dibimbing
oleh Andi Haris dan Hasbi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin Makassar.
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui Persepsi masyarakat
terhadap upacara Rambu solo’ berdasarkan Stratifikasi Sosial,
mengidentifikasi
status sosial dalam upacara Rambu solo’, dan
memahami makna simbol status dalam upacara Rambu Solo’ di
Kel.Ariang Kab.Tana Toraja.
Pada dasarnya tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif
yaitu sebuah penelitian yang berusaha memberikan gambaran mengenai
objek yang diteliti yang bertujuan membuat deskriptif atau gambaran
secara sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta yang ada. Dasar
penelitian ini adalah studi kasus yaitu satu pendekatan yang melihat
objek penelitian sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi. Pemilihan
informan dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu; penarikan
informan yang dilakukan secara sengaja dengan kriteria tertentu.
Informan tersebut berjumlah 12 orang. secara khusus mereka yang
dianggap memahami betul dan dapat memberikan informasi yang benar
berkaitan dengan masalah peneliti. Sedangkan pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara berdasarkan pedoman wawancara. Hasil
wawancara dan observasi tersebut kemudian digambarkan dalam bab
pembahasan serta kajian literature yang berkenaan dengan penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari beberapa persepsi,
masyarakat toraja melaksanakan upacara Rambu solo’ sebagai bakti
penghormatan terakhir serta wujud kasih sayang pada orang-tua dan
untuk menaikkan status dengan mempertahankan prestise, harga dirin
dalam masyarakat sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah
pemborosan. Sedangkan Status sosial seseorang dalam upacara Rambu
solo’ dapat dilihat dari jenis pesta kematian, seberapa lama pelaksanaan
upacara berlangsung, berapa jumlah hewan yang dikurbankan, sampai
pada simbol-simbol yang dipakai dalam upacara yang dapat menunjukkan
strata seseorang yang meninggal.
Kata Kunci: Persepsi, Masyarakat, Rambu solo’, Stratifikasi Sosial.
ABSTRACT
Misela Rayo, E411 08 290, Title of Skripsi " Public Perception To
Wards Rambu solo’ Ceremony’s That Based on Social Stratification
(Case Study of Ariang on Makale, Tana toraja) guided by Andi Haris
and of Hasbi. Faculty Social Science and Politics University of
Hasanuddin Makassar.
The purpose of this research is to understanding the society
perception of this Rambu Solo’ ceremony, identified the signs of social
status in the Rambu Solo’ ceremony, and understand the meaning of a
symbol of status in a ceremony Signs in.Ariang, Makale Tana Toraja.
Basically the type of study is a descriptive study is an attempt to
give an idea of the object under study that aims to create a descriptive or a
systematic overview and the actual facts are. Basic research is a case
study is an approach that sees the object of research as an integrated
whole. The selection of informants is done by purposive sampling, namely:
the withdrawal of informants is done deliberately by certain criteria.
Informants totaled 12 people. especially those considered fully understand
and can provide the correct information relating to the issue of
researchers. While data collection is based on interviews conducted with
interview guidelines. Interviews and observations are then described in the
chapter discussion and review of literature pertaining to this research.
These results indicate that the perception of some, the Toraja
performing the Rambu Solo’ ceremony Signs' as a memorial service as
well as a form of compassion for the parents and to raise the status to
maintain the prestige, the price dirin in society so that in the end that there
is a waste. While a person's social status in the Rambu Solo’ ceremony
Signs' can be seen from the kind of orgy of death, how long the ceremony
lasts, how many animals are sacrificed, to the symbols used in the
ceremony to show strata someone who died.
Keywords: Perception People, Rambu solo ', Social Stratification.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN TIM EVALUASI ........................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. v
KATA PENGANTAR ......................................................................... vi
ABSTRAK .......................................................................................... x
ABSTRACK ........................................................................................ xi
DAFTAR ISI ........................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................ xv
DAFTAR SKEMA ............................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori ......................................................................................... 10
1. Pengertian Persepsi ....................................................... 10
2. Upacara Rambu Solo’ ................................................... 12
1) Aluk Todolo ......................................................... 12
2) Tradisi Upacara .................................................. 15
3) Rambu Solo’ ....................................................... 16
3. Stratifikasi Sosial ........................................................... 19
4. Teori Pertukaran Sosial ................................................. 26
5. Interaksionisme Simbolik ............................................... 32
B. Kerangka Konseptual ............................................................... 36
Skema Kerangka Konseptual ............................................. 42
C. Defenisi Operasional ................................................................ 42
BAB III METODE PENELITIAN
1. Dasar Penelitian ....................................................................... 44
2. Tipe Penelitian ......................................................................... 44
3. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 44
4. Informan ................................................................................... 45
5. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 45
6. Teknik Analisa Data ................................................................. 46
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Keadaan Geografis Tana Toraja .............................................. 47
B. Gambaran Umum Kelurahan Ariang ........................................ 49
C. Mata Pencaharian .................................................................... 51
D. Sistem Pendidikan ................................................................... 52
E. Sarana dan Prasarana ............................................................. 53
F. Sistem Kepercayaan ................................................................ 55
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Informan .............................................................. 57
B. Status Sosial dalam Upacara Rambu Solo’ .............................. 60
C. Persepsi Masyarakat menurut Stratifikasi sosial yang berbeda
terhadap upacara Rambu Solo’ ................................................ 64
D. Makna Simbol Status dalam Upacara Rambu Solo’ ................. 77
E. Peran Pemerintah dan Agama dalam upacara Rambu solo’ .... 86
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 92
B. Saran ........................................................................................ 93
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 95
LAMPIRAN - LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Daftar Tabel I ...................................................................................... 48
Daftar Tabel II ..................................................................................... 50
Daftar Tabel II. 1 ................................................................................. 51
Daftar Tabel III .................................................................................... 52
Daftar Tabel IV .................................................................................... 53
Daftar Tabel V ..................................................................................... 55
Daftar Tabel VI .................................................................................... 56
DAFTAR SKEMA
Daftar Skema I .................................................................................... 42
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Foto
Daftar pertanyaan
Surat Izin Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap masyarakat atau manusia yang ada dan pernah ada dalam
kehidupan dunia ini, menerima warisan kebudayaan itu biasanya berupa
gagasan, idea atau nilai-nilai luhur dan benda-benda budaya. Warisan
kebudayaan ini mungkin adalah bagian dari tradisi semesta yang memiliki
corak dan etnis tertentu. Budaya merupakan identitas dan komunitas
suatu daerah yang dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial dalam
kelompok
masyarakat
tertentu.
Budaya
dapat
menggambarkan
kepribadian suatu bangsa, sehingga budaya dapat menjadi ukuran bagi
majunya suatu peradaban manusia.
Konsep budaya menurut Marvin Harris (dalam Asep Rahmat: 2009)
ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan
kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup
masyarakat.
Kebudayaan
selalu
menunjukkan
adanya
derajat
menyangkut tingkatan hidup dan penghidupan manusia. Masyarakat dan
kebudayaan merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain, karena tidak ada kebudayaan yang tidak bertumbuh
kembang dari suatu masyarakat. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang
tidak memiliki kebudayaan karena tanpa kebudayaan tidak mungkin
masyarakat dapat bertahan hidup.
Kebudayaan merupakan hasil dari ide-ide dan gagasan-gagasan
yang akhirnya mengakibatkan terjadinya aktifitas dan menghasilkan suatu
karya (kebudayaan fisik) sehingga manusia pada hakikatnya disebut
mahkluk sosial. Kebudayaan juga mencakup aturan, prinsip, dan
ketentuan-ketentuan kepercayaan yang terpelihara rapi yang diwariskan
secara turun-temurun pada setiap generasi. Hal ini pun tampak dalam
masyarakat Toraja, yang sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat religius
dan memiliki integritas tinggi dalam menjunjung tinggi budayanya.
Menurut
Suhamihardja
dalam
bukunya
Adat
istiadat
dan
kepercayaan Sulawesi-selatan, (1977:29) suku bangsa Toraja terkenal
sebagai suku yang masih memegang teguh adat. Setiap pekerjaan mesti
dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu
pantangan dan masyarakat memandang rendah terhadap perlakuan yang
memandang rendah adat itu, apalagi dalam upacara kematian, upacara
adat tidak boleh ditinggalkan. Pada umumnya upacara adat itu dilakukan
dengan besar-besaran karena anggapan masyarakat Toraja apabila
upacara itu diadakan semakin meriah, semakin banyak harta dikorbankan.
Untuk itu, semakin baik dan gengsi sosial bagi orang yang bersangkutan
akan semakin tinggi, status naik, dan terpuji dalam pandangan
masyarakat. Kebanyakan yang melakukan hal itu adalah golongangolongan bangsawan dan golongan menengah.
Dalam
keseharian
setiap masyarakat senatiasa
mempunyai
penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang
bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu,
akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari
hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan
materiil daripada kehormatan misalnya, mereka yang lebih banyak
mempunyai kekayaan materiil akan menempati kedudukan yang lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut
menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi
seseorang atau kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara
vertikal.
Sistem
stratification.
lapisan
Pitirim
dalam
A.
masyarakat
Sorokin
(Narwoko
dikenal
dan
dengan
social
Bagong,
2006)
mengemukakan bahwa sistem pelapisan dalam masyarakat mencakup ciri
yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup dengan
teratur. Mereka yang memiliki barang atau sesuatu yang berharga dalam
jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka
yang memiliki dalam jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki
sama sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang rendah. Lebih
lanjut Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah
pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang
lebih rendah. Ukuran yang dipakai untuk menggolong anggota-anggota
masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah kekayaan, kekuasaan,
kehormatan, dan ilmu pengetahuan.
Pada masyarakat Toraja terdapat perbedaan status sosial yang
berbeda-beda, mulai dari yang tinggi, sedang dan rendah. Stratifikasi
tersebut dikenal dengan tingkatan berikut:
a.
Tana’ Bulaan/Toparenge yang merupakan kasta tertinggi. Pada
umumnya golongan bangsawan ini memiliki peranan yang
sangat penting dalam masyarakat karena mereka bertugas
menciptakan aturan-aturan yang kemudian menjadi ketua
pemerintahan
adat
tertinggi
dalam
masing-masing
adat/kelompok adat, misalnya raja dan kaum bangsawan.
Mereka juga menguasai tanah persawahan di Toraja.
b.
Tana’ Bassi/ Tomakaka. Tana’ bassi adalah bangsawan
menengah yang sangat erat hubungannya dengan Tana’
Bulaan. Mereka adalah golongan bebas, mereka memiliki
tanah persawahan tetapi tidak sebanyak yang dimiliki oleh
kaum bangsawan, mereka ini adalah para tokoh masyarakat,
orang-orang terpelajar, dan lain-lain.
c. Tana’ Karurung/To. Kasta ini merupakan rakyat kebanyakan
atau
sering
di
sebut
paktondokan.
Golongan
ini
tidak
mempunyai kuasa apa-apa tetapi menjadi tulang punggung bagi
masyarakat toraja.
d. Tana’
Kua-Kua/Kaunan.
Golongan
kasta
ini
merupakan
pengabdi atau hamba bagi Tana’ Bulaan dengan tugas-tugas
tertentu. Misalnya membungkus orang mati dan lain-lain,
mereka sangat dipercaya oleh atasannya karena nenek moyang
mereka telah bersumpah turun-temurun akan mengabdikan
dirinya, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban untuk
membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Golongan ini tidak
boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi, seperti Tana’
Bulaan dan Tana’ Bassi.
Sesuai dengan ruang lingkup strata sosial yang mana mencakup
seluruh aspek kehidupan masyarakat, maka pada akhirnya masalah yang
menarik untuk
dipelajari dan dibahas lebih jauh
ada hubungannya
dengan upacara Rambu Solo’. Dalam hal budaya upacara Rambu solo’,
Rambu solo’ bagi orang toraja merupakan budaya yang paling tinggi
nilainya dibandingkan dengan unsur
budaya lainnya. Upacara Rambu
solo’ diatur dalam Aluk Rampe Matampu dan mempunyai sistem serta
tahapan sendiri. Lebih banyak dinyatakan dalam upacara pemakaman
dan kedukaan. Masyarakat Toraja dalam ajaran Todolo memberikan
perhatian pada upacara pemakaman, karena upacara ini diyakini sangat
istimewa serta mengandung dimensi religi, kemampuan ekonomi, dan
dimensi sosial.
Dalam kehidupan sehari-harinya, setiap manusia mempunyai suatu
pandangan yang berbeda-beda. Begitupula dengan masyarakat Toraja
dalam melaksanakan upacara kematian. Bagi sebagian orang, tradisi ini
bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang
harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai
tertunda berbulan-bulan untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara
ini, bahkan ungkapan bahwa orang toraja mencari kekayaan hanya untuk
dihabiskan pada pesta rambu solo’. Pandangan lain pun sering muncul,
bahwa sungguh berat acara ini dilaksanakan. Sebab, orang yang
melaksanakannya harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Bagi
masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya tentang upacara,
status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri’), dan hal
inilah yang menyebabkan upacara Rambu solo’ terkait dengan tingkat
stratifikasi sosial.
Dulunya, pesta meriah hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan
dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang sudah mulai bergeser, siapa
yang kaya itulah yang pestanya meriah. Kemeriahan upacara Rambu Solo
ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah
hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin
tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah
kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga
golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi.
(George Aditjondro, 2010:40).
Secara harafiah bahwa budaya Rambu solo’ di Toraja banyak
menyinggung tentang stratifikasi sosial atau lapisan masyarakat seperti di
jelaskan di atas bahwa pelaksanaan upacara Rambu solo’ menjamin
gengsi sosial atau menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan seluruh
rumpun keturunan yang meninggal, juga terselenggaranya upacara ini
turut menentukan seberapa tinggi tingkat dan martabat keluarga dalam
masyarakat yang dapat dilihat dari tingkatan bangsawan, rakyat
menengah, dan kalangan bawah, serta menimbulkan banyak pandangan
yang berbeda dari berbagai lapisan masyarakat.
Berangkat dari realitas dan penjelasan diatas, merupakan suatu hal
menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih jauh tentang dinamika
kebudayaan daerah dengan mengangkat judul penelitian,
“ Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Rambu Solo’
Berdasarkan Stratifikasi Sosial (Studi Kasus Kel.Ariang Kec. Makale
Kab. Tana Toraja)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pentingnya penelitian ini dilakukan,
maka
penulis
mencoba
merumuskan
masalah
sebagai
acuan
pengumpulan data dalam penelitian yaitu:
1. Bagaimana persepsi masyarakat menurut stratifikasi sosial yang
berbeda terhadap upacara Rambu solo’?
2. Bagaimana makna simbol status dalam Upacara Rambu solo’ bagi
masyarakat yang melaksanakannya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Utama Penelitian Ini adalah
 Untuk mengetahui persepsi masyarakat menurut stratifikasi sosial
yang berbeda terhadap upacara Rambu solo’.
 Untuk mengetahui makna simbol status
upacara Rambu solo’
terhadap masyarakat yang melaksanakannya.
D. Manfaat Penelitian
Dari tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan memiliki
manfaat sebagai berikut :
a. Bagi ilmu pengetahuan:
1) Sebagai bahan referensi dan informasi bagi peneliti lain
yang
berminat
mengkaji
masalah-masalah
yang
berhubungan dengan persepsi masyarakat berdasarkan
Stratifikasi Sosial yang berbeda dalam upacara Rambu
solo’ yang terdapat di Toraja dalam rangka menambah
wawasan dan pengetahuan tentang budaya serta
penelitian lainnya yang berhubungan.
2) Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan yang
berguna
bagi
pengembangan
ilmu
pengetahuan
khususnya ilmu sosiologi dan juga dapat menjadi
sumbangan terutama yang berminat dan mempunyai
perhatian terhadap persepsi masyarakat terhadap
upacara Rambu solo’ berdasarkan stratifikasi sosial.
Disamping merupakan prasyarat bagi penyelesaian
studi di perguruan tinggi, sesuai dengan disiplin ilmu
yang digeluti.
b. Bagi instansi terkait dan Masyarakat:
Sebagai bahan masukan atau sumbangan pikiran bagi pihak
setempat
mengenai
bagaimana
persepsi
masyarakat
menurut
saja
tanggapan
stratifikasi
berbeda dalam upacara Rambu Solo’.
sosial
dan
yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori
1. Pengertian Persepsi
Persepsi adalah proses pengolahan informasi dari lingkungan yang
berupa stimulus, yang diterima melalui alat indera dan diteruskan ke otak
untuk diseleksi, diorganisasikan sehingga menimbulkan penafsiran atau
penginterpretasian yang berupa penilaian dari penginderaan atau
pengalaman sebelumnya. Persepsi merupakan hasil interaksi antara
dunia luar individu (lingkungan) dengan pengalaman individu yang sudah
diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera sebagai penghubung,
dan dinterpretasikan oleh sistem syaraf di otak.
Menurut Robbins, Persepsi adalah proses yang digunakan individu
mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka
memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian apa yang
dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif
(Robbins, 2003). Persepsi tidak hanya tergantung pada sifat-sifat
rangsangan fisik, tapi juga pada pengalaman dan sifat dari individu.
Pengalaman dapat diperoleh dari semua perbuatannya di masa lampau
atau dapat pula dipelajari, sebab dengan belajar seseorang akan dapat
memperoleh pengalaman. Hasil pengalaman yang berbeda-beda akan
membentuk suatu pandangan yang berbeda sehingga menciptakan
proses pengamatan dalam perilaku yang berbeda pula.
Menurut
Moskowitz
dan
Ogel
(Walgito,
2003:54)
persepsi
merupakan proses yang integrated dari individu terhadap stimulus yang
diterimanya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi itu
merupakan
proses
pengorganisasian,
penginterpretasian
terhadap
stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan
sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri
individu.
Walgito menyatakan bahwa terjadinya persepsi merupakan suatu
yang terjadi dalam tahap-tahap berikut:
1) Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama
proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu
stimulus oleh alat indera manusia.
2) Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses
fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh
reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensoris.
3) Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama
proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu
tentang stimulus yang diterima reseptor.
4) Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses
persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.
Persepsi pada umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri
individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan, Sedangkan faktor
eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi
stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik. Dijelaskan oleh Robbins
(2003) bahwa meskipun individu-individu memandang pada satu benda
yang sama, mereka dapat mempersepsikannya berbeda-beda.
2. Upacara Rambu Solo’
a) Aluk Todolo
Dalam berbagai bahasa, Aluk sama dengan agama (sansekerta),
din (arab), religare (latin, religion (inggris) dan diartikan sebagai ajaran,
ritus (upacara), atau larangan (pemali). Jadi aluk tidak berupa keyakinan
semata. Aluk juga berarti ajaran, upacara, dan larangan atau pemali.
Todolo adalah leluhur atau orang dulu. Menurut kepercayaan Aluk Todolo,
aluk dimulai di alam atas (langit) dikalangan para dewa atau “aluk
dipondok do tanggana langi” . seluruh praktik kehidupan di alam atas tidak
lepas dari kaidah aluk.
Aluk Todolo merupakan agama leluhur orang Toraja yang masih
dipraktikkan
oleh
sejumlah
besar
penduduk
Toraja
hingga
kini,
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat Toraja
walaupun sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama
agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katholik, bahkan pada tahun
1970, agama ini sudah dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam
sekte Hindu-Bali. Sehingga dapat dikatakan, Aluk Todolo adalah
keseluruhan
aturan
keagamaan
dan
kemasyarakatan
di
dalam
masyarakat Toraja dahulu, kini, dan yang akan datang.
Menurut L.T. Tangdilintin, Aluk Todolo merupakan salah satu
bentuk kepercayaan animisme yang beranggapan bahwa tiap benda atau
batu mempunyai kekuatan. Aluk Todolo diturunkan oleh Puang Matua
(sang pencipta). Aturan (Aluk) diurunkan kepada Datu Laukku yang berisi
aturan agama bahwa manusia dan segala isi bumi harus menyembah.
Peyembahan ditujukan pada Puang Matua yang memberi kekuasaan
pada
Deata-deata
(sang
pemelihara).
Aluk
dengan
segala
kelengkapannya dibawa turun ke bumi oleh manusia To Manurun atau
Pangala Tondok. Aluk ini dinamakan “aluk sanda pitunna” dan dinotasikan
“aluk 7777” karena menyangkut seluruh aspek kehidupan. Kadang
disamakan dengan aluk sanda saratu’na (wilayah Tallulembangna). Ia
mencakup ritus keagamaan berupa Rambu tuka’ (aluk rampe mataallo)
dan Rambu solo’ (keberkabungan atau aluk rampe matampu’) dan sumber
aturan dan aspek-aspek kehidupan masyarakat penganutnya secara turun
temurun (Frans,2007).
Segala kehidupan orang Toraja selalu berhubungan dengan aluk,
dimana aluk ini dilaksanakan di dalam seluruh aspek kehidupan orang
Toraja. oleh sebab itu, aluk meliputi aluk padang (aluk yang berhubungan
dengan tanah), aluk pare (aluk yang berkaitan dengan padi), aluk tananan
pasa’ (aluk yang berkaian dengan pasar), alukna rampanan kapa’ (aluk
yang berkaitan dengan perkawinan), alukna mellolo tau ( aluk yang
berhubungan dengan kelahiran manusia sampai dewasa), alukna
bangunan banua (aluk yang berkaitan dengan pembangunan rumah), aluk
rambu tuka’ (aluk yang berhubungan dengan persembahan kepada Puang
Matua), aluk rambu solo’ (aluk yang berhubungan dengan jiwa orang
mati), dan aluk bua’ (aluk yang berkaitan dengan pesta sukacita).
Masing-masing jenis aluk ini memiliki tuntutan dan larangan
(pemali). Yang melanggar tuntutan dan pemali aluk akan mendapat
pembalasan dari para dewa (nenek moyang). Oleh karena itu setiap adat
atau upacara dalam masyarakat Toraja harus tetap dijaga keselarasan
dan keharmonisannya. Seperti halnya dengan upacara Rambu Solo’,
sebelum di lepas kealam arwah, keluarga mengadakan serangkaian
upacara sakral dengan harapan dapat diterima disana nantinya (alam
puya) dan tidak mendatangkan bencana.a.
b) Tradisi upacara
Upacara merupakan rangkaian atau kegiatan yang terikat pada
aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, agama, dan kepercayaan.
Upacara
juga
dapat
diartikan
sebagai
sehubungan dengan peristiwa penting.
perayaan
yang
dilakukan
Upacara adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan
masyarakat toraja. Upacara telah menjadi bagian dari sistem kepercayaan
atau ungkapan kepercayaan yang merefleksikan ajaran Aluk Todolo.
Keseluruhan dari rangkaian upacara senantiasa bersumber dari Aluk
Todolo, sebagai agama atau religi yang mewarnai tingkah laku berpola
tiap individu. Unsur-unsur pokok ajaran Aluk Todolo terdiri atas sistem
kepercayaan, sistem upacara, dan organisasi sosial. Ketiga macam unsur
ini dalam keagamaan memancarkan ajaran-ajaran, aturan, dan nilai-nilai
yang diyakini. Agama sebagai pusatnya, kemudian berpedoman pada
sistem kepercayaan dimana sistem upacara sebagai perwujudannya dan
didukung oleh organisasi sosial.
Dalam pandangan Aluk Todolo ada klasifikasi anggapan-anggapan
tentang alam raya, yaitu pembagian timur (mataallo) dan barat (matampu).
Mataallo
adalah
tempat
terbitnya
matahari
dianggap
mewakili
kebahagiaan, terang, kesukaan, dan sumber kehidupan. Sedangkan
Matampu adalah tempat terbenamnya matahari, yang mewakili unsur
gelap,
kedukaan
dan
semua
yang
mendatangkan
kesusahan.
Konsekuensi dari pembagian ini dalam kehidupan berdampak pada
tatacara pelaksanaan upacara.
Kehidupan masyarakat Toraja tidak ada yang tidak lepas dari
upacara, sama halnya dalam kehidupan ini, tidak ada yang luput dari suka
dan duka, terang dan gelap, kebahagiaan dan kecelakaan dan
sebagainya yang kesemuanya diidentifikasikan dalam timur dan barat.
Karena itu, jenis upacara Rambu Tuka’ dan upacara Rambu Solo’,
pelaksanaannya tidak boleh dicampur-adukkan, satu jenis upacara harus
diselesaikan terlebih dahulu sebelum melakukan jenis upacara lainnya.
c) Rambu Solo’
Rambu Solo’ terdiri dari dua suku kata yakni Rambu yang berarti
Asap dan Solo’ yang berarti turun ke bawah. Upacara Rambu Solo’ adalah
upacara kedukaan yang dalam pelaksanaannya tidak kalah meriah dari
pelaksanaan upacara Rambu Tuka’. Leluhur orang Toraja mengatakan
upacara-upacara kematian yang dalam istilah orang Toraja dengan istilah
Rambu Solo’ karena penuh dengan duka, sedih dan ratapan para rumpun
keluarga.
Rambu solo’ merupakan sebuah upacara pemakaman secara adat
yang mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai
tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Adat
istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat toraja secara turun menurun
ini, mewajibkan keluarga yang ditinggal membuat sebuah pesta sebagai
tanda hormat terakhir pada mendiang yang telah pergi.
 Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu
pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:

Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan
dalam satu malam saja.

Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama
tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan
pemotongan hewan.

Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama
lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta
dilakukan pemotongan hewan.

Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama
tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan
hewan.
 Upacara tertinggi
Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang
waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk
Pia dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang
berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya
dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi
puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat
yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah),
Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti
jenazah), Ma'Popengkalo Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk
disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah
ketempat peristirahatan yang terakhir).
Rambu Solo’ bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan
arwah manusia yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali
kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat
peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan
tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara
penyempurnaan kematian. Manusia yang meninggal baru dianggap
benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika
belum, maka manusia yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai
manusia “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti
halnya manusia hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi
hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Masyarakat Toraja menganggap upacara ini sangat penting, karena
kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah manusia yang
meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah
yang mencapai tingkat dewa (to membali puang), atau menjadi dewa
pelindung (Deata). Dalam konteks ini, Upacara Rambu Solo’ menjadi
sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana
Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada
manusia tua mereka yang meninggal dunia.
Puncak dari upacara Rambu Solo’ disebut dengan Upacara Rante
yang dilaksanakan di sebuah lapangan khusus. Dalam upacara Rante ini
terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para
pengunjung,
seperti
proses
pembungkusan
jenazah
(Ma’tundan,
Mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti
jenazah (Ma‘Roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan
(Ma‘Popengkalo Alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat
peristirahatan terakhir (Ma‘Palao).
3. Stratifikasi Sosial
Sistem lapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social
stratification. Kata stratification berasal dari stratum (jamaknya: strata yang
berarti lapisan). Pitirim A.Sorokin menyatakan bahwa social stratification
adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan
kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam
masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan
kewajiban,
kewajiban
dan
tanggung
jawab
nilai-nilai
sosial
dan
pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.
Stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelaskelas secara vertical (bertingkat), yang di wujudkan dengan adanya
tingkatan masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah.
Dalam stratifikasi sosial terdapat tiga kelas sosial, yaitu: masyarakat yang
terdiri dari kelas atas (upper class), masyarakat yang terdiri dari kelas
menengah (middle class) dan kelas bawah (lower class). Orang-orang
yang berada pada kelas bawah biasanya lebih banyak daripada kelas
menengah apalagi pada kelas atas.
Adanya sistem stratifikasi sosial (pelapisan sosial ) masyarakat
dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat
dan ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan
tertentu.
Lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya
misalnya lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin, kepandaian,
dan harta. Sedangkan sistem lapisan dalam masyarakat yang sengaja
disusun untuk
mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan
pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi
formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan
bersenjata, dan sebagainya.
Sifat sistem pelapisan sosial dapat digolongkan dalam 2 jenis, yaitu:
1) Lapisan sosial yang bersifat tertutup (closed social stratification).
Sifat lapisan ini membatasi kemungkinan berpindahnya seseorang
dari lapisan satu ke lapisan yang lain, baik ke lapisan atas maupun
ke lapisan yang lebih rendah.
Contohnya sistem kasta pada
masyarakat feodal, masyarakat apartheid.
2) Lapisan sosial yang bersifat terbuka (opened social stratification).
Setiap
anggota
masyarakat
mempunyai
kesempatan
untuk
berusaha dengan kemampuannya sendiri. Apabila mampu dan
beruntung seseorang dapat untuk naik ke lapisan yang lebih atas,
atau bagi mereka yang tidak beruntung dapat turun ke lapisan
yang paling rendah.
Dalam teori sosiologi, terdapat unsur-unsur sistem pelapisan sosial
dalam masyarakat yaitu kedudukan (status) dan peran (role). Kedudukan
dan peranan merupakan unsur-unsur baku dalam sistem lapisan, dan
mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial. Sistem sosial adalah
pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam
masyarakat dan antara individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku
individu-individu tersebut. Dalam hubungan- hubungan timbal balik
tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting.
Karena
langgengnya
masyarakat
tergantung
pada
keseimbangan
kepentingan-kepentingan individu termaksud.
1) Kedudukan (Status).
Pengertian kedudukan (status) kadang dibedakan dengan
kedudukan sosial (social status). Kedudukan diartikan
sebagai
kelompok
tempat
sosial.
atau
posisi
Kedudukan
seseorang
sosial
dalam
artinya
suatu
tempat
seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan
dengan
orang-orang
lain,
dalam
arti
lingkungan
pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibankewajibannya. Untuk lebih mudah mendapatkan pengertian,
kedua istilah tersebut di atas akan dipergunakan dalam arti
yang sama dan digambarkan dengan istilah kedudukan
(status).
2) Peranan (Role).
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan
(status).
Apabila
seseorang
melaksanakan
hak
dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia
menjalankan suatu peranan. Pembedaan antara kedudukan
dengan
peranan
adalah
untuk
kepentingan
ilmu
pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena
yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Tak
ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa
peranan. Sebagaimana halnya dengan kedudukan, peranan
juga mempunyai dua arti. Setiap orang mempunyai macammacam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan
hidupnya.
Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku
seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batasbatas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan
orang lain. Orang bersangkutan akan dapat menyesuaikan
perilaku
sendiri
dengan
perilaku
orang-orang
sekelompoknya.
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar
pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut:
1) Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran
penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial
yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia
akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial,
demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan
digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut
dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda
tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya
dalam berbelanja.
2) Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling
besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan
sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan
sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya
dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain
yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat
mendatangkan kekayaan.
3) Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan
atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan
menempati
lapisan
atas
dari
sistem
pelapisan
sosial
masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada
masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati
orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang
tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
4) Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang
paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi
dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan.
Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelargelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh
seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun
gelar profesional seperti profesor.
Stratifikasi sosial akan selalu ditemukan dalam masyarakat selama
di dalam masyarakat tersebut terdapat sesuatu yang dihargai. Mungkin
berupa uang atau benda-benda bernilai ekonomis, atau tanah, kekuasaan,
ilmu pengetahuan, kesalehan agama, atau keturunan keluarga terhormat.
Seseorang yang banyak memiliki sesuatu yang dihargai akan dianggap
sebagai orang yang menduduki pelapisan atas. Sebaliknya mereka yang
hanya sedikit memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki sesuatu
yang dihargai tersebut, mereka akan dianggap oleh masyarakat sebagai
orang-orang yang menempati pelapisan bawah atau berkedudukan
rendah.
Stratifikasi sosial yang membentuk lapisan-lapisan sosial juga
merupakan subculture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan
tertentu yang
menunjukan eklusivitasnya masing-masing yang dapat
berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering
berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain. Gaya hidup dari
lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan
bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya
dapat dibedakan, sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas sosial
mana seseorang berasal. Stratifikasi sosial juga menyebabkan adanya
perbedaan sikap dari orang-orang yang berada dalam stratasosial tertentu
berdasarkan kekuasaan, privilese dan prestise. Dalam lingkungan
masyarakat dapat terlihat perbedaan antara individu, atau satu keluarga
lain, yang dapat didasarkan pada ukuran kekayaan yang dimiliki. Yang
kaya ditempatkan pada lapisan atas dan miskin pada lapisan bawah. Atau
mereka yang berpendidikan tinggi berada di lapisan atas sedangkan yang
tidak sekolah pada lapisan bawah. Dari perbedaan lapisan sosial ini
terlihat adanya kesenjangan sosial.
4. Teori Pertukaran Sosial
“pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu sosial yang menyatakan
bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan,
dan keuntungan yang saling mempengaruhi. Teori ini menjelaskan
bagaimana manusia memandang tentang hubungan kita dengan orang
lain
sesuai
dengan
anggapan
diri
manusia
tersebut
terhadap:
Keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa
yang dikeluarkan dari hubungan itu dan Jenis hubungan yang dilakukan.
Selanjutnya
untuk
terjadinya
pertukaran
sosial
harus
ada
persyaratan yang harus dipenuhi yaitu Suatu perilaku atau tindakan harus
berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat tercapai lewat interaksi
dengan orang lain dan
Suatu perilaku atau tindakan harus bertujuan
untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang dimaksud.
Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa ganjaran atau penghargaan
intrinsik yakni berupa pujian, kasih sayang, kehormatan dan lain-lainnya
atau penghargaan ekstrinsik yaitu berupa benda-benda tertentu, uang dan
jasa.
George C. Homans (1910-1989) yang merupakan pemikir teori “A
Theory of Elementary Social Behavior yang mendasari pemikirannya
mengenai pertukaran perilaku. Resiprositad (hubungan timbal balik)
adalah konsep sentral teori Homans. Homans membatasi analisisnya
pada jenjang sosiologi mikro. Teori-teori pertukaran sosial juga memiliki
beberapa asumsi yang sama mengenai hakekat interaksi sosial. Teoriteori pertukaran sosial itu dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomis
yang elementer (mendasar) dan interaksi sosial itu mirip dengan transaksi
ekonomi. (Margaret Poloma, 2007)
Dalam
teori
pertukaran
sosial
menekankan
adanya
suatu
konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil berupa
barang maupun spiritual yang berupa pujian. Teori pertukaran Homans
bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk
memperoleh ganjaran atau menghindari hukum. Bagi Homans, prinsip
dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice yaitu aturan yang
mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi.
Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi
seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan
mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan
pengorbanan yang telah dikeluarkannya. Semakin tinggi pengorbanan,
maka semakin tinggi imbalannya dan keuntungan yang diterima oleh
setiap pihak harus sebanding dengan investasinya. Semakin tinggi
investasi, maka semakin tinggi keuntungan. Inti dari teori pertukaran
sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh
sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box).
Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan
langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.
Homans menyatakan bahwa psikologi perilaku sebagaimana
diajarkan oleh B.F. Skinner dapat menjelaskan pertukaran sosial. Dalam
karya teoritisnya, Homans membatasi diri pada interaksi kehidupan seharihari. Namun, jelas ia yakin bahwa sosiologi yang dibangun berdasarkan
prinsip yang dikembangkannya akhirnya akan mampu menerangkan
semua perilaku sosial. Berdasarkan dari pemikirannya terhadap Skinner,
Homans mengambangkan beberapa proposisi antara lain adalah:
a) Proposisi Sukses
Menurut Homans, Dalam setiap tindakan, semakin sering
suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian
kerap ia akan melakukan tindakan itu (Margaret
Poloma,2007 ).
Dalam proposisi ini Homans menyatakan bahwa bilamana
seseorang berhasil memperoleh ganjaran (atau menghindari
hukuman) maka ia akan cenderung untuk mengulangi tindakan
tersebut. Di saat individu benar-benar tak dapat betindak seperti
itu sesering mungkin maka makin pendek jarak waktu antara
perilaku dan hadiah, maka makin besar kemungkinan orang
mengulangi perilaku, dan begitu pula sebaliknya
b) Proposisi Stimulus (Pendorong)
Homans: Jika dimasa lalu terjadinya stimulus yang khusus,
atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa dimana
tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin
mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu, akan
semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa
atau yang agak sama. (Margaret Poloma, 2007)
Homans
tertarik
pada
proses
generalisasi
dalam
arti
kecenderungan memperluas perilaku keadaan yang serupa.
Individu mengkin hanya akan melakukan sesuatu dalam
keadaan khusus yang terbukti sukses di masa lalu. Bila kondisi
yang menghasilkan kesuksesan itu terjadi terlalu ruwet maka
kondisi serupa mungkin tidak akan menstimulasi perilaku.
c) Proposisi Nilai
Homans: Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian
senang seseorang melakukan tindakan itu.(Margaret
Poloma,2007)
Homans memperkenalkan konsep hadiah dan hukuman. Hadiah
adalah tindakan dengan nilai positif, dimana semakin tinggi nilai
hadiah maka semakin besar kemungkinan mendatangkan
perilaku yang diinginkan. Hukuman adalah tindakan dengan
nilai negatif, dimana semakin tinggi nilai hukuman berarti
semakin kecil kemungkinan individu mewujudkan prilaku yang
tak
diinginkan.
Homans
menemukan
bahwa
hukuman
merupakan alat yang tidak efisien untuk membujuk orang
mengubah perilaku mereka karena orang dapat bereaksi
terhadap hukuman menurut cara yang tak diinginkan.
d) Proposisi Deprivasi-satiasi
Homans: Semakin sering di masa yang baru berlalu
seseorang menerima suatu ganjaran tertentu, maka semakin
kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit
ganjaran itu. (Margaret Poloma,2007).
Dalam hal ini Homans mendefinisikan dua hal penting, yaitu
biaya dan keuntungan. Biaya tiap prilaku didefinisikan sebagai
hadiah yang hilang karena tidak jadi melakukan sederetan
tindakan yang direncanakan. Keuntungan dalam pertukaran
sosial dilihat sebagai sejumlah hadiah yang lebih besar yang
diperoleh atas biaya yang dikeluarkan. Yang terakhir ini
menyebabkan Homans menyusun kembali proposisi kerugiankejemuan sebagai berikut: “Makin besar keuntungan yang
diterima seseorang sebagai hasil tindakannya, makin besar
kemungkinan ia melaksanakan tindakan itu.
e) Proposisi Persetujuan-Agresi
Konsep ini mengacu kepada keadaan mental. Homans
mengatakan “bila seseorang tak mendapatkan apa yang ia
harapkan, maka ia akan menjadi kecewa, frustasi dan
menyebabkan prilaku agresif.
Homans memiliki asumsi dasar yang penting dalam memahami
prilaku, yaitu :

Individu yang terlibat dalan interkasi akan memaksimalkan
rewards hadiah/ganjaran).

Memiliki akses untuk informasi mengenai sosial, ekonomi,
dan aspek-aspek psikologi dari interkasi yang mengizinkan
mereka untuk mempertimbangkan berbagai alternatif.

Individu
bersifat
kemungkinan
terbaik
menguntungkan.
rasional
untuk
dan
bersaing
memperhitungkan
dalam
situasi

Individu berorientasi pada tujuan dalam sistem kompetisi
bebas.

Pertukaran norma budaya.
Teori dari Homans ini analisis dasarnya ialah face-to face
pertukaran sosial antar dua individu, dengan konsep prinsip-prinsip
ekonomi. Dua orang individu yang mengadakan interaksi akan selalu
mementingkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Atau juga sering
disebut
memaksimalkan
profit
dan
meminimalkan
loss.
Homans
menyatakan bahwa masyarakat dan lembaga-lembaga sosial itu benarbenar ada disebabkan oleh pertukaran sosial.
5. Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik bercirikan sikap (attitude) dan arti
(meaning). Interaksionisme simbolik berorientasi pada diri atau pribadi
(personality). Herbert Blumer, salah seorang penganut pemikiran Mead
menjabarkan bahwa pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga, yang
pertama ialah bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing)
atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya.
(George Ritzer, 2007).
Proses interaksi muncul dalam dalam masyarakat sosial dengan
berbagai respon dan persepsi. Interaksi ini muncul dengan penggunaan
simbol-simbol, interprestasi, atau interprestasi oleh penetapan makna dari
tindakan orang lain. Blumer kemudian mengemukakan bahwa makna
yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial
antara seseorang dengan sesamanya.
Pendekatan
interaksionisme
simbolik
memberikan
banyak
penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pedekatan
teoritis lainnya. Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu
pertukaran simbol. Ketika berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara
konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok
dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterprestasikan apa
yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan
perhatian kita pada interaksi antar individu, dan bagaiman hal ini bisa
dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan
kepada kita sebagai individu.
Bagi Herbert Blumer interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga
premis yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna
yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan
orang lain”.
3. Makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial
berlangsung.
Parah ahli prespektif Interaksionisme simbolik melihat bahwa
individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisi
melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan
bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan
simbol-simbol, yang di dalamya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.
simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk
sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang
meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang
disepakati bersama menurut Meed (George Ritzer: 2007).
Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan
isyarat yang mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain
yang memiliki ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol
akan terjadi pemikiran (mind). Manusia mampu membayangkan dirinya
secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini menyebabkan
manusia dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud
menghadirkan respon tertentu dari pihak lain. Tertib masyarakat
didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbolsimbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses
pengambilan peran (role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri
merupakan suatu bentuk pemikiran (mind), yang pada hakikatnya
merupakan kemampuan khas manusia.
Prinsip-prinsip dasar teori interaksionisme simbolik ini (George
Ritzer, 2008), yaitu :
1. Tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia ditopang oleh
kemampuan berpikir.
2. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.
3. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang
memungkinkan
mereka
menggunakan
kemampuan
berpikir
tersebut.
4. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan
interaksi khas manusia.
5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol
yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan
tafsir mereka terhadap situasi tersebut.
6. Melakukan modifikasi dan perubahan ini, sebagian karena
kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan diri mereka sendiri,
yang memungkinkan mereka memikirkan tindakan yang mungkin
dilakukan, menjajaki keunggulan dan kelemahan relatife mereka,
dan selanjutnya memilih.
7. Jalinan pola tindakan dengan interaksi ini kemudian menciptakan
kelompok dan masyarakat.
B. Kerangka Konseptual
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial adalah pembedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat
(vertikal). Pelapisan sosial akan selalu ada selama dalam masyarakat
terdapat sesuatu yang dihargai. Perwujudannya adalah adanya lapisanlapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisanlapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial
Dalam teori stratifikasi sosial, senantiasa dijumpai istilah kelas
sosial. Kelas sosial adalah semua orang dan keluarga yang sadar akan
kedudukannya di dalam suatu lapisan, sedangkan mereka itu diketahui
serta diakui oleh masyarakat umum. Menurut Joseph Schumpeter
(Soerjono, 2010:207) terbentuknya kelas dalam masyarakat karena
diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan
yang nyata, akan tetapi makna kelas dan gejala-gejala kemasyarakatan
lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat
terjadinya.
Max Weber (Soerjono, 2010: 207) membuat pembedaan antara
dasar-dasar ekonomis dan dasar-dasar kedudukan sosial, dan tetap
menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya kelas yang
bersifat ekonomis dibaginya lagi dalam kelas yang berdasarkan atas
kepemilikan tanah dan benda-benda, serta kelas yang bergerak dalam
bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Kelas-kelas sosial
dalam komunitas dibedakan berdasarkan perbedaan posisinya dalam
tatanan ekonomi, yaitu pembedaan posisinya dalam penguasaan alat-alat
produksi. Kingsley Davis dan Wilbert Moore (Narwako dan Bagong: 2006)
sebagai pelopor pendekatan fungsional mengemukakan bahwa stratifikasi
dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan
pelbagai macam jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi sosial,
masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan
sulit atau pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan proses belajar yang
lama dan mahal.
Stratifikasi sosial diakui bahwa memang sejak dulu sudah ada dan
hingga
sekarang
merupakan
hal
yang
telah
membudaya
dalam
masyarakat. Dengan membudayanya dalam masyarakat, maka strata
sosial itu turut pula mempengaruhi pertumbuhan masyarakat dan
kebudayaan pada generasi sekarang.
Pada masyarakat Toraja pada umumnya dan khususnya terbagi
dalam beberapa strata sosial. Strata paling tinggi nampak tetap berusaha
mempertahankan posisinya sesuai dengan adat dan norma yang berlaku.
Karena itu perkembangan strata atau kelas-kelas sosial bawah sangat
lamban bahkan kalau ada hanya terbatas pada nilai yang sifatnya dalam
bentuk ekonomis saja. Dalam kehidupan masyarakat yang dilingkupi oleh
aliran kepercayaan aluk, adat dan kebudayaan erat kaitannya dengan
strata sosial dan upacara Rambu solo’ sehingga hal itu merupakan hal
yang sangat penting dalam kehidupan setiap individu dalam masyarakat
tersebut.
Unsur yang terpenting tentang sistem stratifikasi masyarakat adalah
kedudukan (status) dan peranan. Individu adalah sebagai orang yang
menempati status atau posisi dan sebagai pelaksana peran yang
digariskan oleh status atau posisi tersebut, (Margaret M. polama, 2007).
Kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam
masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan
pergaulan, prestisenya, hak-hak, dan kewajibannya.
Soedjono Dirdjosisworo memberikan pengertian status sosial
sebagai berikut:
“Status sosial merupakan kedudukan seseorang (individu) dalam
satu kelompok pergaulan hidupnya”. (www.docstoc.com).
Menurut Horton dan Hunt,
“Status sosial suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu
kelompok, atau posisi kelompok dalam hubungannya dengan
kelompok lainnya”. (Hanni Rizki, 2011).
Untuk mengukur status seseorang kedalam lapisan-lapisan
masyarakat dapat dilihat dari:

Ukuran kekayaan, Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat
dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam
lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan
paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem
pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai
kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah.

Ukuran kekuasaan dan wewenang, Seseorang yang mempunyai
kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan
teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang
bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran
kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya
dapat
menguasai
orang-orang
lain
yang
tidak
kaya,
atau
sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan
kekayaan.

Ukuran kehormatan, Ukuran kehormatan dapat terlepas dari
ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang
disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem
pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat
terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat
menghormati
orang-orang
yang
banyak
jasanya
kepada
masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku
dan berbudi luhur.

Ukuran ilmu pengetahuan, Ukuran ilmu pengetahuan sering
dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu
pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan
akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial
masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini
biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau
profesi yang disandang oleh seseorang.
Demikian halnya dalam masyarakat Toraja, secara umum status
sosial sangat penting. Masyarakat dibagi dalam 3 kasta yaitu :

Puang ( golongan bangsawan)

Bulo dia’pa ( rakyat kebanyakan/ rakyat merdeka)

Kaunan ( kaum budak)
Namun pada saat ini dalam masyarakat suku toraja dikenal ada
empat strata sosial yang disebut Tana’, strata yang dimaksud antara lain :
a. Tana’ Bulawan ; lapisan sosial golongan bangsawan tinggi.
b. Tana’ Bassi ; lapisan sosial golongan bangsawan menengah.
c. Tana’ Karurung ; lapisan sosial golongan rakyat biasa/rakyat
merdeka.
d. Tana’ Kua-kua ; lapisan sosial golongan hamba/budak.
Tinggi Rendahnya status sosial seseorang dapat pula dilihat dari
proses upacara Rambu solo’, misalnya dari tempat kuburan, bagi para
bangsawan dikubur di Liang atau Banua Tang Merambu, membuat tautau, memotong banyak kerbau dan simbol-simbol statusnya, sedangkan
bagi rakyat biasa (kalangan bawah) dikubur di Patane dan tidak boleh
memotong banyak kerbau. Dimana semakin banyak kerbau dan simbol-
simbol yang dipakai dalam Rambu solo’, maka semakin tinggi pula status
sosial keluarga yang melaksnakan upacara tersebut.
Satu hal yang tidak bisa dipisahkan ketika membahas kedudukan
atau status sosial dalam masyarakat yakni peran (role). Peran merupakan
aspek yang dinamis dari kedudukan. Artinya, seseorang dalam masyrakat
telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibanya sesuai dengan
kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran.
Suatu peran mencakup dua hal. Pertama, Peran meliputi norma-norma
yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat, kedua Peran dapat dikatakan sebagi perilaku individu yang
penting bagi struktur dan perilaku sosial.
Hal seperti inilah yang terjadi dalam pesta upacara Rambu Solo’
dimana orang yang dianggap lebih ditempatkan berbeda dengan orang
biasa atau dianggap rendah. Bukan hanya itu, pada perayaan tersebut
juga sangat kental terhadap pelabelan akan orang biasa (kaunan) dalam
menghelat upacara yang dilihat dari seberapa banyak hewan kurban dan
tata upacara yang dilaksanakan. Serta Kecenderungan yang dinilai dari
segi keturunan penghelat upacara Rambu Solo’, pendidikan dan kekayaan
keluarganya.
Skema Kerangka Konseptual
STATUS
EKONOMI
STATUS
PENDIDIKAN
RAMBU SOLO’
PERSEPSI
MASYARAKAT
STATUS
PEKERJAAN
C. Defenisi Operasional.
Untuk lebih mengarahkan dalam melakukan penelitian ini
maka disusun defenisi operasional sebagai berikut:
a. Persepsi.
Persepsi adalah hasil interaksi antara dunia luar individu
(lingkungan) dengan pengalaman individu yang sudah
diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera sebagai
penghubung, dan dinterpretasikan oleh sistem syaraf di otak.
b. Upacara Rambu Solo’.
Rambu: Asap, Solo’: turun ke bawah.
Upacara Rambu Solo’ adalah upacara kematian/kedukaan.
c. Stratifikasi sosial.
Stratifikasi
sosial
masyarakat
ke
(hirarkis).
adalah
dalam
pembedaan
kelas-kelas
penduduk
secara
atau
bertingkat
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Dasar dan Tipe Penelitian.
a. Dasar penelitian
Dasar penelitian adalah studi kasus yaitu tipe pendekatan dalam
penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus yang
dilakukan
secara
intensif,
mendalam,
mendetail,
dan
komperehensif. Untuk itu penelitian ini ditujukan agar dapat
mempelajari
“Persepsi
secara
mendalam
masyarakat
terhadap
dan
mendetail
upacara
mengenai
Rambu
solo’
berdasarkan Stratifikasi sosial”.
b. Tipe penelitian.
Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian
deskriptif kualitatif yaitu pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan atau melukiskan obyek penelitian yang
mencakup Persepsi masyarakat terhadap upacara Rambu solo’
berdasarkan stratifikasi sosial .
2. Lokasi dan waktu penelitian.
 Lokasi penelitian akan berlangsung di Kel. Ariang kec.
Makale kab.Tana toraja.
 Waktu penelitian yang digunakan bulan Februari 2012 –
Maret 2012.
3. Informan.
Pemilihan informan dilakukan dengan cara
purposive
sampling yaitu; penarikan informan yang dilakukan secara sengaja
dengan kriteria tertentu. Informan tersebut berjumlah 12 orang.
yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Tokoh adat suku
toraja, budayawan toraja, Tokoh agama, masyarakat setempat,
pemuda, dan mahasiswa. Keduabelas orang tersebut dipilih karena
faktor umur, memiliki starata sosial tinggi dalam masyarakat, dan
juga karena rekomendasi dari kepala kelurahan setempat karena
dianggap memahami betul tetang Rambu Solo’,
4. Teknik pengumpulan Data.
Teknik pengumpulan data untuk memperoleh data dari informan
adalah:
1) Data primer
Data ini dikumpulkan dengan menggunakan:
a. Observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung di
lapangan untuk mengetahui dan mengamati keadaan
kehidupan
dilokasi
penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
mengetahui obyaktivitas dari kenyataan yang akan ada
tentang keadaan kondisi obyek yang akan diteliti.
b. Wawancara Mendalam, yaitu mengumpulkan sejumlah data
dan informasi secara mendalam dari informan dengan
menggunakan pedoman wawancara atau peneliti melakukan
kontak langsung dengan subyek meneliti secara mendalam
utuh dan terperinci.
2) Data Sekunder.
Data ini dikumpulkan melalui penelusuran atau studi pustaka
dari berbagai arsi-arsip penelitian, artikel-artikel, dokumendokumen dan buku-buku yang berkaitan dengan kajian
penelitian ini.
5. Teknik Analisa Data.
Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder
dianalisis kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif, yaitu
menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan
permasalahan
apa
adanya
mengenai
Persepsi
masyarakat
terhadap upacara Rambu solo’ berdasarkan Stratifikasi Sosial.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Keadaan Geografis
Tana Toraja letaknya kurang lebih 300-600 meter di atas
permukaan laut. Toraja juga telah mengalami pemekaran, yang membagi
wilayah tersebut ke dalam 2 kabupaten yaitu; Kabupaten Toraja Utara
yang beribukota Rantepao dan Kabupaten Tana Toraja denga ibukota
Makale. Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale, terletak
antara 2º - 3º Lintang Selatan dan 119º - 120º Bujur Timur. Di sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Toraja Utara dan Propinsi Sulawesi
Barat, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang dan
Kabupaten Pinrang, serta pada sebelah timur dan barat masing-masing
berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Propinsi Sulawesi Barat.
Kabupaten Tana Toraja dilewati oleh salah satu sungai terpanjang
yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan yaitu sungai Sa’dan. Jarak
ibukota Kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan
mencapai 329 km yang melalui Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap,
Kota Pare-pare, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten
Maros. Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 2.054,30 km² yang
meliputi 19 kecamatan, 112 desa/lembang, dan 47 kelurahan yang
masing-masing dipimpin oleh Bupati, kepala camat, kepala lembang, dan
kepala
lurah.
Kecamatan
Malimbong
Balepe
dan
Kecamatan
Bonggakaradeng merupakan dua kecamatan terluas dengan luas masingmasing 211,47 km² dan 206,76 km², atau luas kedua kecamatan tersebut
merupakan 20,35 persen dari seluruh wilayah Tana Toraja.
Tabel I
Luas Wilayah Kecamatan Tahun 2010
No
Kecamatan
Desa/Lembang Kelurahan
010
011
012
013
020
Luas
(Km2)
Persentase
terhadap Luas
Kab. (%)
10,06
9,48
4,35
8,08
9,58
Bonggakaradeng
5
1
206,76
Simbuang
5
1
194,82
Rano
5
89,43
Mappak
5
1
166,02
Mengkendek
13
4
196,74
Gandang Batu
021
9
3
108,63
5,29
Sillanan
030 Sangalla
3
2
36,24
1,76
031 Sangalla Selatan
4
1
47,80
2,33
032 Sangalla Utara
4
2
27,96
1,36
040 Makale
1
14
39,75
1,93
041 Makale Selatan
4
4
61,70
3,00
042 Makale Utara
5
26,08
1,27
050 Saluputti
8
1
87,54
4,26
051 Bittuang
14
1
163,27
7,95
052 Rembon
11
2
134,47
6,55
053 Masanda
8
134,77
6,56
054 Malimbong Balepe
5
1
211,47
10,29
061 Rantetayo
3
3
60,35
2,94
067 Kurra
5
1
60,50
2,94
Jumlah/Total
112
47
2.054,30
100,00
Sumber : Badan Pertahanan Nasional dan BPS, Kabupaten Tana Toraja
2011
Kecamatan Makale merupakan kecamatan yang terpadat di Tana
Toraja dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 815 jiwa/Km2 dan
jumlah penduduk sebanyak 32.402 jiwa.
B. Gambaran Umum Kelurahan Ariang
Kelurahan Ariang merupakan salah satu kelurahan dari empat
lingkungan yaitu lingkungan Ariang, lingkungan Sikolong, lingkungan
To’ra’da dan lingkungan Marampa Mairi’.
a. Batas-batas Kelurahan
Kelurahan Ariang adalah salah satu dari 14 Kelurahan di
kecamatan Makale, terletak disebelah selatan Kecamatan, dengan batasbatas sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan kelurahan Burake

Sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Manggau

Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Botang

Sebelah Barat
berbatasan
dengan kelurahan Tondon
Mamullu
b. Penduduk
Penduduk juga merupakan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan suatu wilayah sebab adanya pembangunan tidak terlepas
dari keterlibatan serta partisipasi masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Dari keempat lingkungan diatas
sesuai dengan data jumlah
penduduk tahun 2011 yang dikumpulkan berjumlah sebanyak 2.644 jiwa.
Terdiri atas laki-laki 1.300 jiwa dan perempuan sebanyak 1.344 jiwa,
dengan jumlah kepala keluarga 596. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada table 2.
Tabel II
Komposisi Penduduk berdasarkan Jumlah penduduk
Kelurahan Ariang tahun 2011
Jenis Kelamin
Nama Lingkungan
Jumlah Jiwa
L
P
Ariang
420
331
751
Sikolong
202
232
434
To’ra’da
286
403
689
Marampa Mairi’
392
378
770
1300
1344
2644
Jumlah
Sumber : data statistik Kantor Kelurahan Ariang tahun 2011
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa warga lingkungan
Marampa Mairi’ lebih banyak dari Lingkungan lainnya yaitu lingkungan
Marampa Mairi’ 770 jiwa,
sedangkan lingkungan Ariang 751 jiwa,
To’ra’da’ 689 jiwa dan Sikolong sebanyak 434 jiwa.
c. Luas wilayah dan Potensi wilayah Kelurahan Ariang
Luas wilayah Kelurahan Ariang secara keseluruhan adalah 3,5km 2
dan Luas Potensi Wilayah kelurahan yaitu 227 Ha. Luas tersebut meliputi
Persawahan, Tegalan, Bangunan pekarangan, dan Hutan bambu yang
dapat diperinci pada table 2.1 sebagai berikut:
Tabel II.1
Luas Potensi wilayah Kelurahan Ariang (diperinci
berdasarkan tanah) tahun 2011
Komposisi Tanah
Luas (ha)
Persawahan
15,0
Tegalan
60
Bangunan pekarangan
105
Hutan bamboo
47
Jumlah
227
Sumber: data statistik Kantor Kelurahan Ariang tahun 2011
C. Mata Pencaharian
Sebagaimana umumnya masyarakat lainnya di Toraja maka di
Kelurahan Ariang kebanyakan atau sebagian besar berkebun dan bertani,
mereka
merupakan
petani
pemilik,
atau
penggarap
dan
petani
ladang/kebun. Sedangkan mata pencaharian penduduk di sektor lainnya
merupakan mata pencaharian penduduk yang jumlahnya relatif
lebih
sedikit dibanding dengan mata pencaharian di sektor pertanian. Mata
pencaharian tersebut seperti PNS, Polri/TNI, Guru, dan Wiraswasta untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel III
Komposisi penduduk menurut mata pencaharian
No
1
2
3
4
Mata pencaharian
Petani
Pegawai/Guru
Wiraswasta
Abri/Polri
Jumlah
Jumlah KK
950
109
304
7
1370
Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Ariang tahun2011
Tabel III diatas menggambarkan bahwa mayoritas Penduduk di
Kelurahan Ariang adalah Petani, sebanyak 950 orang dari jumlah
penduduk, 109 pegawai/guru, wiraswasta 304, Abri/polri 7. Dalam bidang
pertanian dan perkebunan Kelurahan Ariang terdapat lahan sawah dan
kebun yang cukup luas. Umumnya Padi, Kopi, Cacao dan sebagian kecil
sayur mayur.
D. Sistem Pendidikan
Penduduk merupakan salah satu variable yang sangat menetukan
tingkat kemajuan suatu wilayah. Semakin banyak penduduk yang
berpendidikan tinggi di suatu wilayah maka semakin tinggi pulalah
kemajuan wilayah tersebut, begitu pula sebaliknya semakin banyak
penduduk yang berpendidikan renda maka tingkat kemajuan wilayah
tersebut semakin lambat. Pendidikan
merupakan syarat mutlak untuk
mencapai suatu komunitas yang maju. Karena dengan pendidikan yang
tinggi maka ada harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa
yang akan datang. Untuk melihat tingkat pendidikan dapat dilihat pada
tabel IV.
Tabel IV
Potensi Kelurahan Ariang dalam sektor pendidikan
NO.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
1
Belum sekolah
202
2
SD
250
3
SLTP
386
4
SLTA
138
5
PT
94
Sumber: data statistik Kelurahan Ariang Tahun 2011
Berdasarkan tabel diatas adalah terlihat bahwa tingkat pendidkan
yang dominan di Kelurahan Ariang adalah SLTP dan tingkat pendidikan
yang paling kecil adalah Perguruan tinggi. Dengan mengacu pada
program pemerintah mengenai wajib belajar 9 tahun maka dari data diatas
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Ariang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
E. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana adalah salah satu faktor yang sangat
penting bagi suatu Kelurahan di suatu wilayah. Untuk mendukung
pembangunan yang sedang berjalan, maka tersedianya sarana dan
prasarana diberbagai bidang sangat dibutuhkan. Adapun sarana dan
prasarana yang terdapat di Kelurahan Ariang adalah sebagai berikut:
1. Sarana Pemerintah
Kelurahan Ariang memiliki sebuah kantor Kelurahan sebagai tempat
untuk menjalankan pemerintahan. Kantor Kelurahan tersebut memiliki
2 buah komputer , 2 buah mesin ketik, 15 buah meja, 50 kursi.
2. Sarana kesehatan
Terdapat 1 buah puskesmas, 2 buah posyandu.
3. Sarana ibadah
Terdapat 5 buah gereja Kristen Protestan.
4. Sarana Transportasi
Sarana perhubungan Kelurahan Ariang cukup memadai, dimana
semua pemukiman dijangkau jalan yang terdiri atas: aspal,pengerasan
dan rintisan. Kondisi tersebut mendukung kelancaran aktivitas
masyarakat Kelurahan Ariang.
5. Sarana Air Bersih
Kelurahan Ariang merupakan daerah yang kaya akan mata air
sehinggah
sebagian
besar
masyarakat
Kelurahan
Ariang
mengkomsumsi air dari mata air yang jernih dan ada pula yang
menggunakan sumur gali dan sumur pompa.
6. Sarana Olahraga
Memilki 2 buah lapangan sepak bola, dan 4 buah meja pimpong.
F. Sistem Kepercayaan
Secara umum agama dapat didefenisikan sebagai seperangkat
aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya,
manusia
dengan
manusia
lainnya,
manusia
dengan
lingkungannya. Dan aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem
nilai yang lebih menekankan pada hal-hal yang normative
atau yang
seharusnya atau sebaliknya dan bukannya berisikan petunjuk-petunjuk
yang bersifat praktis dan teknis dalam hal manusia menghadapi
lingkungan dan sesamanya (Suparlan, 1981). Untuk mengetahui lebih
jelas tentang penduduk Ariang, dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel V
Komposisi penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan
No
1
2
3
4
Agama / Kepercayaan
Alukta
Kristen Protestan
Kristen Khatolik
Islam
Jumlah
Jumlah
1.146
547
469
2.162
Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Ariang tahun2011
Penduduk Ariang
mayoritas beragama Kristen protestan yang
berjumlah 1.146 jiwa, agama Kristen Katholik berjumlah 547 jiwa, dan
yang beragama Islam berjumlah 469 jiwa sedangkan yang menganut
Alukta sudah tidak ada.
Tabel VI
Distribusi Sarana Peribadatan
No
Jenis Sarana
Jumlah
1
Masjid
-
2
Gereja Protestan
5
3
Gereja Katholik
-
Jumlah
5
Sumber : Data Kantor Kelurahan Ariang, 2011
Pada table 6 menunjukkan bahwa sebagai pendukung dalam
beribadah di kelurahan Ariang terdapat 6 rumah ibadah, yaitu gereja
Kristen Protestan sedangkan gereja khatolik dan masjid belum ada.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan temuan data di lapangan, di mana dalam bab ini
diketengahkan dalam bentuk penjelasan tentang profil masing-masing
informan. Dengan mendeskripsikan profil ini diharapkan akan pemahaman
secara mendalam terhadap potret masyarakat dalam pemahamannya
tentang pelaksanaan upacara Rambu Solo’ berdasarkan stratifikasi sosial
dan seperti apa masyarakat disana memahami makna simbol status
dalam upacara Rambu solo’.
A. Karakteristik Informan
Dalam penelitian ini peneliti menentukan informan dengan cara
purposive sampling yaitu penarikan informan yang dilakukan secara
sengaja oleh peneliti dengan kriteria tertentu yang ada pada informan.
Jumlah informan sebanyak 12 orang, dimana informan tersebut dianggap
memahami tentang adat dan pelaksanaan Rambu solo’.
YM seorang pria berumur 84 tahun. Beliau adalah seorang Ambe’ Tondok.
Ambe’ Tondok adalah orang yang dituakan dalam masyarakat yang
merupakan dewan adat tertinggi, jabatan tersebut diperoleh karena dipilih
oleh masyarakat yang diturunkan secara turun temurun YM adalah salah
satu tokoh adat di kelurahan Ariang yang sangat disegani oleh
masyarakat. YM memiliki tubuh yang kurus, berkulit putih, memiliki tinggi
rata-rata dan seperti orang tua pada umumnya rambutnya penuh dengan
uban. YM hanya tinggal dengan seorang cucunya dan ia adalah orang
yang sangat dihormati oleh keluarga maupun masyarakat setempat. YM
mempunyai seorang istri namun kini telah tiada, dan dalam kehidupan
sehari-harinya ia hanya berada di rumah dikarenakan faktor umur dan
faktor kesehatan. Ia merupakan pensiunan PNS dan
Anak tertuanya
berprofesi sebagai anggota militer di Tana Toraja sadangkan yang lainnya
berada di perantauan.
SP seorang pria berusia 75 tahun. Beliau adalah seorang budayawan
Toraja sekaligus sebagai Tokoh Adat. Memiliki badan yang tinggi dan
besar. Di samping mengurus keluarganya beliau menghabiskan Hariharinya untuk meneliti kebudayaan dari masyarakat toraja. Beliau pun
ingin
mengajak
para
Pemuda
Toraja
untuk
membantu
meneliti
kebudayaan dari masyarakat Toraja.
ET seorang wanita berusia 39 tahun. ET memiliki wajah yang sangat
ramah dan murah senyum. Beliau adalah seorang pendeta muda pada
sebuah gereja Toraja dan tinggal di sebuah rumah yang dikhususkan
untuk Pendeta. ET memiliki tinggi badan yang sedang dan bertubuh
kurus. beliau menyelesaikan studinya pada jenjang Strata satu (S1).
Dalam kesehariannya, beliau menjalankan tugas untuk melayani jemaatjemaat dan mengajarkan tentang agama.
JS seorang pria berusia 70 tahun. Berbadan tinggi dan agak kurus, kulit
sawo matang, berambut kriting. JS seorang yang baik dan murah senyum
kepada semua orang. JS menyelesaikan pendidikan terakhirnya sebagai
SPG dan beliau adalah pensiunan PNS. Setiap harinya bapak JS bekerja
sebagai petani. Anak dari bapak JS berjumlah 6 orang. anak yang tertua
kini berada di daerah perantauan sedangkan anak bungsunya bekerja
sebagai seorang Guru pada sebuah sekolah menengah atas di makale.
MSB Seorang pria 58 tahun yang memiliki badan yang tinggi dan besar.
beliau adalah seorang kepala lingkungan dan sangat dihormati serta
disegani dalam masyarakat setempat. kesehariaanya dihabiskan dengan
mengurus sawah dan kebun kopi milik pribadinya.
YT Seorang pria berusia 53 tahun, memiliki postur tubuh yang tinggi
besar. diangkat sebagai salah satu kepala lingkungan di kelurahan Ariang
dan berprofesi sebagi seorang Guru pada salah satu sekolah menengah
atas di makale, YT sekarang ini tinggal bersama istri dan anak-anaknya.
Baginya anak adalah titipan dari Tuhan yang harus dijaga, dibina,
dilindungi dan dididik dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran agama
agar mereka tidak melelikan adatnya tetap.
BR Seorang pria berusia 52 tahun.Sseorang pria yang bertubuh tinggi dan
besar, berkulit sawo matang dan bermata bulat. BR bekerja sebagai
seorang PNS pada sebuah instansi pemerintahan. BR sangat menyayangi
istri dan anak-anaknya. ia selalu membantu istrinya untuk membereskan
pekerjaan rumah tangga dan mengurus kebun mereka. Anak tertuanya
kini telah melanjutkan studinya pada sebuah sekolah pelayaran.
FT Seorang pria berusia 46 tahun. Pria bertubuh tinggi kurus ini, Bekerja
sebagai seorang PNS, dan mempunyai 3 orang anak yang masih kecil-
kecil. Kegiatan seharinya selain sebagai PNS, beliau setiap sorenya sibuk
mengurusi seekor kerbau belangnya.
MS Seorang waniata berusia 43 tahun. Wanita berbadan besar dan
berambut ombak ini, setiap harinya bekerja mengurus rumah tangga dan
anak-anaknya. selain itu beliau juga sibuk mengurus kerja sampingannya
sebagai penjahit yang dapat digunakan untuk menambah penghasilan
rumah tangganya.
AS seorang perempuan berusia 24 tahun. Perempuan berambut panjang
dan berbadan tinggi ini merupakan seorang mahasiswi di sebuah
universitas swasta di Makale Tana Toraja. Kegiatan sehari-harinya selain
sebagai seorang mahasiswi, dia sibuk membantu keluarganya, terutama
membantu ibunya untuk mengurus babi mereka.
YR Seorang Lelaki berusia 28 tahun. Memiliki rambut keriting, badan
tinggi dan berkulit sawo matang. Seorang lelaki yang murah senyum dan
sehari-harinya bekerja sebagai PNS dan mengajar disebuah sekolah
menengah pertama sebagai seorang guru ekonomi.
JB Seorang pemuda berusia 26 tahun. Pemuda ini bertubuh jangkung
dan berambut ombak. Kesehariannya selain menjalani proses pendidikan
di sebuah perguruan tinggi negeri swasta, dia juga sibuk dengan merawat
dan menggembalakan ternak kerbau serta babinya.
B. Status Sosial dalam Upacara Rambu solo’
Adanya sistem stratifikasi sosial (pelapisan sosial ) dalam
masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan
masyarakat dan ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar
suatu tujuan tertentu.
Lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan
sendirinya misalnya lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin,
kepandaian, dan harta. Sedangkan sistem lapisan dalam masyarakat
yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan
dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam
organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik,
angkatan bersenjata, dan sebagainya.
Soedjono Dirdjosisworo memberikan pengertian status sosial
sebagai berikut: “Status sosial merupakan kedudukan seseorang (individu)
dalam satu kelompok pergaulan hidupnya”. (www.docstoc.com)
Secara umum stratifikasi sosial yang berlaku di masyarakat Toraja
didasarkan pada garis keturunan, kekayaan, usia, dan pekerjaan.
Sebelumnya, pada masa pra-kolonial, ada tiga strata sosial pada
masyarakat Toraja yakni, Bangsawan (puang atau parengnge), orang
biasa/awam (to buda, to sama), dan budak (kaunan). Status yang
ditentukan oleh kelahiran, meski sebenarnya seseorang itu sukses secara
finansial atau bahkan gagal beberapa orang diperbolehkan menerobos
rintangan sosial ini Ini tentu saja berbeda dengan sistem dan struktur
sosial pada masyarakat modern saat ini.
Namun pada saat ini dalam masyarakat suku toraja dikenal ada
empat strata sosial yang disebut Tana’, strata yang dimaksud antara lain :
e. Tana’ Bulawan ; lapisan sosial golongan bangsawan tinggi.
f. Tana’ Bassi ; lapisan sosial golongan bangsawan menengah.
g. Tana’ Karurung ; lapisan sosial golongan rakyat biasa/rakyat
merdeka.
h. Tana’ Kua-kua; lapisan sosial golongan hamba/budak.
Keempat strata ini sangat berpengaruh dalam pelaksanaan
upacara rambu solo’. Dalam Adat toraja, lapisan paling bawah tidak bisa
melakukan atau melaksanakan upacara rambu solo’ seperti yang
dilakukan oleh kalangan lapisan atas. SP seorang Tokoh Adat (75)
mengemukakan:
“yatu tau toraya nabagi tu statusna lan pa’tondokan na yamoto tu
katuanna ma’lalan maruru’ “.
artinya:
“Masyarakat toraja membagi status dalam masyarakat agar
kehidupannya dapat berjalan dengan teratur”. (wawancara, 28
February 2012)
YT (53) mengemukakan cara melihat pembagian strata dalam
upacara Rambu solo’:
“Strata yang paling atas acaranya yaitu sapurandanan,
pestanya biasa berjalan 3 malam, strata juga dapat dilihat
dari berapa jumlah kerbau yang dikurbankan, strata
menengah dasar dari 12-50 kerbau, strata paling bawah
biasanya tidaki ada kerbau atau dari 0-3 ekor kerbau. Strata
seseorang dapat juga dilihat dari jenis peti mati, ada yang
segi empat (kalangan biasa), bundar setengah (kalangan
menengah), bundar utuh ditambah dengan hiasan emas
(kalangan tertinggi)”. wawancara, 1 maret 2012)
Dari penjelasan informan tersebut, kita dapat menegetahui strata
seseorang atau keluarga yang meninggal. Dapat dilihat dari berapa lama
pelaksanaan upacara itu berlangsung, proses-proses upacaranya, berapa
jumlah kerbau yang dikurbankan, sampai pada alat-atau simbol-simbol
apa yang dipakai dalam upacara itu yang dapat menunjukkan strata orang
tersebut. Kita dapat mengetahui dari upacara Rambu solo’, dari strata apa
keluarga yang melaksanakan upacara ini, dari strata bangsawan,
menengah, atau budak. Proses-proses upacara harus mengikuti status
dari keluarga tersebut, namun pada kenyataannya, semua proses tersebut
sudah tidak berjalan sebagimana mestinya sehingga status seseorang kini
dapat dilihat dari:

Status Ekonomi

Status Pendidikan

Status Pekerjaan
JS seorang PNS (75) mengemukakan bahwa:
“ ya tu status na tomate bisa tatiro yo mai pirang bongi tu acarana,
susinna to Puang , ba’tu to kapua biasanna si limang bongi sae
lako pitung bongi situru’ tingkatan na. Apa to temo te’mo na bisa
ditandai kumua tannia manna to kapua tu bisa ma’ rambu solo
belanna to kalala’ duka saba’ denna duka ia sengna tu la ma’rambu
solo susi to kapua”.
artinya:
“Status keluarga yang meninggal dapat kita lihat dari berapa malam
acara tersebut berlangsung, misalnya kalangan puang atau
menengah biasanya 5 malam samapai 7 malam sesuai dengan
tingkatannya dalam masyarakat. Namun sekarang kita sudah tidak
mengerti, dari kalangan bawah bila mereka sudah berada atau
mempunyai banyak uang, mereka mengadakan upacara seperti
yang dilakukan kalangan atas”. (wawancara, 1 maret 2012)
Lebih lanjut MS (43) seorang Ibu Rumah Tangga menambahkan bahwa:
“ yatu tau dolo bagi-bagi status lan pesta rambu solo’, apa totemo
tae mo napake sa’ba Popayan kadeananna kalena tu tau. ya to
dolona tae na bisa, totemo bisa mo ma pesta”.
artinya:
“Dulu dalam pesta rambu solo’ ada pembagian status, tapi
sekarang status itu sudah tidak berlaku lagi karena orang-orang
sudah mulai menunjukkan dirinya sebagai orang yang berada, yang
dulunya tidak bisa berpesta menjadi bisa berpesta”. (wawancara, 5
maret 2012)
Menyimak hal ini maka jelaslah bahwa dulu, upacara ini hanya
mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan
perkembangan pendidikan yang semakin tinggi, ekonomi keluarga yang
mapan serta memiliki pekerjaan yang bagus, strata sosial tidak lagi
berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan
tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Sehingga saat ini, sudah
banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi
hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini semeriah mungkin.
C. Persepsi masyarakat menurut stratifikasi sosial yang berbeda
terhadap upacara Rambu solo’.
Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan
menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna
kepada lingkungan mereka. Meski demikian apa yang dipersepsikan
seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif. Persepsi tidak
hanya tergantung pada sifat-sifat rangsangan fisik, tapi juga pada
pengalaman dan sifat dari individu. Pengalaman dapat diperoleh dari
semua perbuatannya di masa lampau atau dapat pula dipelajari, sebab
dengan belajar seseorang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil
pengalaman yang berbeda-beda akan membentuk suatu pandangan yang
berbeda sehingga menciptakan proses pengamatan dalam perilaku yang
berbeda pula.
Mengenai dengan upacara rambu solo’ ini, dari kalangan
masyarakat setempat mempunyai pandangan yang berbeda-beda, baik itu
dari kalangan atas, menengah, dan bawah.
YR yang bekerja sebagai PNS (28) mengemukakan sebagai berikut:
“Saya melihat upacara rambu solo’ ini sebagai salah satu adat/
budaya yang memberikan makna bahwa sebagai orang toraja lewat
upacara rambu solo’ akan memupuk rasa kebersamaan dan
solidaritas”. (wawancara, 10 maret 2012)
Begitu juga dengan yang disampaikan oleh AS seorang mahasiswi (24) :
“Upacara ini hanya pemborosan saja, tetapi demi tradisi maka
harus dilakukan. Namun disamping itu upacara ini juga merupakan
salah satu pemersatu antara semua rumpun kelurga dan juga
membangun sosial kemasyarakatan”. (wawancara 3 maret 2012)
Dari penuturan Informan ini, dapat dijelaskan bahwa melalui
upacara Rambu solo’ ini, masyarakat disekitar bisa menciptakan rasa
kebersamaan baik itu melalui gotong-royong dan kerja sama serta
mempersatukan dan mempertemukan sanak keluarga dan kerabat yang
lama belum bertemu.
Dalam hal pandangan masyarakat terhadap status sosial dalam
upacara Rambu solo’ diantaranya yaitu:
Menurut MS (43):
“ Ia tu simbol ba’tu status lan acara pesta rambu solo’ biasanna den
tu paksaan yo mai kaleta kalena ba’tu paksaan yo mai siulu
keluarga ta sola kerabat sola nasang, den toda na biasanna ya tu
to biasa susi kami te morai toda ki garage pesta marua’ susi to na
pogau to kapua, susinna lan masalah tedong”
artinya :
“Simbol atau status dalam pelaksanaan rambu solo’ kadangkala
ada pemaksaan dari dalam diri sendiri ataupun pemaksaan dari
kerabat/ keluarga dan kadangkala orang biasa seperti kami juga
ingin mengadakan pesta yang meriah seperti yang diadakan oleh
golongan atas, misalnya dalam hal masalah pemotongan kerbau”.
(wawancara, 5 maret 2012)
Maksud dari Informan ini, bahwa Upacara Rambu solo’ ini
merupakan salah satu budaya yang dianut oleh masyarakat toraja, yang
didalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan aluk atau peraturan
dari adat. Namun pada kenyataannya, upacara ini sudah tidak sesuai
dengan yang semestinya, dimana keluarga yang dari golongan bawah
atau menengah berlomba-lomba untuk melakukan upacara Rambu solo’
semeriah mungkin agar status mereka dalam masyarakat dapat naik,
sehingga pada akhirnya yang muncul malah pemaksaan dari dalam diri
atau kerabat dan akhirnya menimbulkan pemborosan.
Dari hasil wawancara dengan ke -12 informan dapat disimpulkan
bahwa, menurut persepsi para informan ini dalam pelaksanaan upacara
Rambu Solo’, masyarakat Toraja melaksanakan atau mengikuti upacara
Rambu solo’ dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu:
1. Tradisi kebudayaan / ada’ toraja.
Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar
belakang suatu sistem religi atau agama suku yang oleh
masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada’ (harfiah : Dasar
Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu
dewa yaitu Puang Matua – sebutan yang di kemudian hari diadopsi
oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah. Di samping itu dikenal
juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat
mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku
manusia terhadapnya. begitupun dalam upacara Rambu solo’,
dimana semua proses upacaranya harus mengikuti aluk atau ada’
yang telah berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan
oleh YM seorang Ambe’ Tondok (84):
“yanna ditiro yomai aluk, yatu sangsiuluran ma’din umpogau
tu disanga rambu solo’ dipatu lako tomate gai’na na la
umpasalai tu disanga passumpana almarhum yake tu rambu
solo’ tae na dipogau’ susinna lan aluk”.
artinya:
“kalau dilihat dari aluk, keluarga yang bersangkutan wajib
melakukan upacara kematian bagi almarhum untuk
menghindari kutukan arwah almarhum apabila upacara
kematian tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya”.
(wawancara tgl 27 Februari 2011).
Maksud dari informan ini bahwa sebenarnya latarbelakang
diadakannya upacara ini karena ada hubungannya dengan
kepercayaan alukta, dimana kepercayaan alukta itu menganggap
bahwa kehidupan di dunia gaib mempunyai hubungan dengan
kehidupan di dunia nyata. Karena itu mayat seseorang harus
diupacarakan secara baik-baik supaya arwahnya itu mendapat
tempat yang layak di alam gaib yang menurut kepercayaan disebut
“puya” . bila sudah mendapat temapat yang layak maka arwah itu
akan berubah menjadi setengah dewa atau yang biasa disebut oleh
masyarakat “to mebali puang” dan akan kembali untuk memberkati
keluarga yang masih hidup di dunia nyata.
Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak
dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka
sebelum dilaksanakannya upacara Rambu Solo’ maka orang yang
meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya
masih ‘sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat
dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti
menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau
sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus
dijalankan seperti biasanya.
Arwah seseorang itu harus diantar secara baik lewat upacara
kematian dengan berbagai ritusnya, dan upacara ini
sampai
sekarang tetap dilaksanakan oleh masyarakat walaupun mereka
sebagian besar sudah menganut agama modern. Menurut mereka
hal itu dilaksanakan bukan lagi karena motivasi seperti pada
kepercayaan alukta, namun karena mempunyai nilai tersendiri bagi
hidup masyarakat yang melakukannya.
Lebih lanjut dijelaskan oleh seorang informan yang bekerja sebagai
PNS yaitu BR (52)
“Rambu solo’ sola mintu’na apa lana pogau’ lakona to iamotu
tradisi napa’bengan yomai tau dolona to toraya tu te’na bisa
tau umpo ta’dei yomai ada’na to toraya”.
artinya:
“Rambu solo’ dan segala proses-prosesnya merupakan
tradisi turun- temurun dari nenek moyang orang toraja yang
tidak ada seorangpun yang bisa menghapuskan adat itu”. (
wawancara, 1 maret 2012).
dan dari YT seorang Guru (53):
“Sesuai dengan paham yang kita dianut sebagai orang toraja
nak, pesta Rambu solo’ ini merupakan adat dan tradisi yang
diwariskan oleh nenek moyang kita”. ( wawancara, 01 maret
2012).
Maksud dari informan ini bahwa dengan masuknya pengaruh
agama-agama modern ke dalam daerah ini, akhirnya kepercayaan
alukta tergeser dan menjadi berkurang penganutnya. Karena
berkurang penganut alukta ini maka sebagian masyarakat sudah
menganggap upacara ini sebagai tradisi yang harus diteruskan.
semua proses-proses dari upacara Rambu Solo’ merupakan adat
dan tradisi yang telah lama diwariskan oleh nenek moyangnya, dan
tidak ada seorangpun yang dapat menghapus tradisi tersebut.
Menurut mereka yang menganggap tradisi, lebih lanjut mengatakan
bahwa upacara tersebut tetap menjadi simbol-simbol bagi masingmasing pelapisan sosial.
2. Bakti dan Penghormatan
Dalam
kehidupan
mengajarkan
pada
sehari-harinya,
anak-nak
masyarakat
mereka
untuk
toraja
selalu
selalu
hidup
berdampingan dengan sesamanya dan saling menghormati satu
sama lain baik dalam keluarga maupun diluar lingkungan
keluarganya. Ajaran ini akan terus mereka bawa sampai akhir
hayatnya. Seorang anak yang tahu berbakti, yang menghormati,
yang
tahu
berterimakasih
dan
mengasihi
serta
merasa
bertanggungjawab terhadap orangtuanya atau keluarganya bila ada
dari anggota keluarga mereka yang meninggal, akan berusaha
untuk menguburkannya dengan sebaik-baiknya dan sedapat
mungkin dikuburkan di tempat yang dianggap layak dan bagus,
misalnya di patane.
Begitupun
dalam
pelaksanaan
upacara
Rambu
solo’,
bagaimanapun kehidupan sosial ekonomi orang yang meninggal,
keluarganya akan berusaha untuk mengadakan upacara kematian
baginya, baik itu dari keluarga yang berasal dari lapisan bawah,
menengah, sampai lapisan atas.
Seperti yang dikemukan oleh FT seorang PNS (46), menyatakan
bahwa:
“ kita sebagai anak harus senantiasa berbakti pada orang
tua yang telah meninggal dengan cara membuat upacara
kematian untuknya, dan merayakannya sebagai ucapan
pengormatan kita dan ucapan trimakasih serta sebagai
penghayatan kasih dan sayang kepada almarhum yang telah
meninggal”. (wawancara, 7 maret 2012).
Lebih lanjut dikemukakan oleh Ambe’ Tondok YM (84),
“yanna ditiro yomai aluk sola ada’, yatu rambu solo’ dipogau’
a’ganna tanda mali’ ma’katampakanna lako to’ bosi ongi’na
to tina bamba kollongna”.
artinya:
“bila kita lihat dari segi aluk dan adat, upacara kematian ini
dilaksanakan sebagai penghormatan terakhir kepada
almarhum.”(wawancara, 27 february 2012).
adapula tambahan dari seorang pemuda JB (26):
“keluarga saya melukan upacara rambu solo’ ini sebagai
ritual untuk menghormati almarhum/ almarhuma dan ritual
untuk menhormati adat kita”. (wawancara, 10 maret 2012).
Dapat dikatakan bahwa tujuan dari upacara Rambu solo’ yaitu
untuk menghormati dan mengantar arwah manusia yang telah
meninggal menuju ke alam Roh atau kembali bersama para leluhur
mereka ke tempat peristirahatan, yang disebut dengan Puya.
Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian.
Manusia yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal
setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka
manusia yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai
manusia sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti
halnya manusia hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi
hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
3. Harga Diri/ Gengsi
Informasi yang didapat dari informan berdasarkan pada beberapa
lapisan dalam masyarakat, kebanyakan beranggapan bahwa
sekarang orang melakukan upacara Rambu solo’ ini karena ingin
menaikkan harga Diri mereka. Harga diri atau longko’ ini
menyangkut mengenai nama baik seseorang, keluarga maupun
persekutuan di dalam masyarakat Toraja. Karena itu pula tidak
dapat dipungkiri bahwa seringkali yang menjadi alasan orang
Toraja mengadakan upacara Rambu Solo’ agar tidak dipermalukan
oleh orang lain. Longko’ pun sangat berlaku bagi golongan puang
dimana pelaksanaannya merupakan lambang kebesarannya dalam
masyarakat. Sehingga upacara itu dianggap keharusan bagi
mereka untuk tetap dilaksanakan sesuai dengan stratanya dalam
masyarakat.
MSB seorang Petani (58) mengemukakan:
“ Lan attu totemo ya tu pesta tomate tae mo na susi
pangadaranna ada’, gengsi mo iya tu ma’kada tanniamo
ada’. masiri mo tu tau yake garage pesta na sidi’ ri tu tedong
sola bai na tunu. sangadinna yate pesta harus na sesuaikan
sola kamampuanna kalena”.
artinya:
“Pada saat ini, pelaksanaan upacara rambu solo’ sudah tidak
sesuai lagi dengan ajaran adat. gengsi yang berbicara bukan
lagi ada’. orang malu bila mereka hanya memotong sedikit
kerbau dan babi pada saat pestanya. Padahal pesta ini
harus disesuaikan dengan kemampuan dirinya.” (wawancara
7 maret 2012)
dan dari YR (28) :
“ Saat ini gengsi yang berbicara bukan budaya lagi, strata
sudah tidak berlaku lagi, sehingga ada unsur-unsur lain yang
dimunculkan kemudian”. (wawancara, 10 maret 2012)
MS (43), mengemukakan bahwa:
“Dalam pesta ini, sekarang ada yang mau orang tonjolkan
dari dirinya supaya mereka bisa di tau oleh tetangga atau
juga keluarganya”. (wawancara, 5 maret 2012).
Menurut mereka, gengsi sudah sangat mendominan dalam
pelaksanaan Rambu solo. Kalangan bawah dan menengah pada
saat ini berupaya
untuk menaikkan status sosial mereka dalam
masyarakat dengan mengadakan upacara Rambu solo’ semeriah
mungkin.
4. Prestise/ Kebanggaan
Prestise
adalah
suatu
kemampuan
seseorang
untuk
tetap
berwibawa dalam lingkungannya. Seringkali pula menjadi alasan
masyarakat sekarang ini untuk melaksanakan upacara Rambu
Solo’ adalah sebagai tempat untuk menyatakan martabat atau
status sosial untuk menunjukkan diri agar dapat dikenal banyak
orang. Karena keberhasilannya dalam melaksanakan upacara juga
menjadi
sarana
untuk
mempertahankan
peran
dan
status
seseorang dalam masyarakat untuk menambah gengsi dikenal
karena kekayaannya.
Peran dan kesanggupannya dalam mengurbankan hewan kurban
yang banyak dan memberikan jamuan kepada orang banyak
selama
berminggu-minggu
dalam
beberapa
tahap
menjadi
kebanggaan bagi si pelaksana kegiatan. Hal ini pun sekarang
sudah menjadi masalah dalam masyarakat, di antara beberapa
informan, ada dari mereka yang tidak suka dengan adanya upacara
ini hanya karena prestise, seperti yang dikemukakan JS (70):
“Upacara ini baik, asal dilakukan dalam pola kesederhanaan
dan bukan sebagai prestise”. (wawancara, 1 maret 2012).
SP selaku Tokoh Adat (75) juga mengemukakan bahwa:
“Prestise tidak ada tingkatannya dalam masyarakat, kita
mengatakan bahwa pesta ini sudah membias dalam
masyarakat, orang menjadikannya sebagai alat aktualisasi
diri untuk menunjukkan bahwa orang ini juga mampu dan
juga berprestasi untuk dapat melakukan pesta”. (wawancara
28 February 2012).
Lebih lanjut dapat dijelaskan, dalam suatu upacara kematian ada
batasan yang tegas dan jelas tentang tingkat dan jumlah kerbau
yang boleh dikorbankan. Akan tetapi ketentuan itu ada yang tidak
mematuhinya
lagi,
sehingga
mengakibatkan
kadang-kadang
upacara kematian menjadi tak kenal batas dan upacara itu
cenderung
berdasarkan
prestise,
sehingga
menimbulkan
pemborosan.
5. Persoalan hutang-piutang
Dalam
teori
pertukaran
sosial
menekankan
adanya
suatu
konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil
berupa barang maupun spiritual yang berupa pujian. Teori
pertukaran Homans bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat
dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari
hukum. Bagi Homans (dalam Margaret : 2007), prinsip dasar
pertukaran sosial adalah “distributive justice” yaitu aturan yang
mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan
investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip
tersebut berbunyi:
“seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain
akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak
sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya”.
Semakin tinggi pengorbanan, maka semakin tinggi imbalannya dan
keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding
dengan investasinya, semakin tinggi investasi, maka semakin tinggi
keuntungan.
Begitupun dalam upacara Rambu solo’ timbul sebuah pertukaran
yaitu
sumbangan
timbal
balik
yang
bersifat
hutang-pitang,
dinamakan “tangkean suru’ lulako ludomai”. Hutang yang timbul
didalam peristiwa upacara kematian, akan dibayar pada peristiwa
yang serupa. Tidak sama dengan hutang dalam perdagangan yang
dapat dibayar setiap saat.
MSB (58), baru saja selesai mengadakan pesta Rambu solo’ untuk
orang tuanya, beliau mengemukakan bahwa:
“Tae mo kuissan te, sa’ba’ mangkanna te acara sanda tu
indanku rampo, tae pa apa-apa na buda mo indanku”.
artinya:
“Saya tidak habis fikir sekarang, karena sesudah acara ini
masih banyak beban yang ditanggung, belum apa-apa
sudah banyak hutang kerbau”. (wawancara, 7 maret 2012)
dan BR (52) mengatakan bahwa:
“Pesta ini pun biasa memunculkan terjadinya persaingan.
Sebagian bantuan yang datang dari keluarga akan menjadi
dalam bentuk utang yang harus kita lunasi pada Pesta
Rambu solo’ yang suatu saat nanti dilakukan oleh keluarga
yang bersangkutan”. (wawancara, 1 maret 2012)
Dapat dikatakan bahwa dalam upacara ini setiap hewan yang
dikurbankan atau disumbang oleh keluarga dan kerabat secara
tidak sengaja menjadi hutang dari keluarga yang melaksanakan
upacara Rambu solo’ ini. Hutang piutang yang timbul dalam
upacara kematian yang belum terbayar sampai yang berhutang/
yang berpiutang meninggal, berahli pada anak dan cucunya yang
harus dilunasi.
Pada dasarnya pun upacara Rambu solo’ banyak menuai
tanggapan dari masyarakat terutama di kelurahan Ariang. Ada yang
setuju,
bahkan
ada
menolak
pengadaan
upacara
ini.
YR
(28)
mengemukakan:
“Sebagai orang toraja saya setuju dengan Rambu solo’ ini dan
tetap dipertahankan/ dilestarikan dalam kerangka yang wajar dan
beretika. Upacara ini bukan merupakan paksaan, tetapi ada
beberapa indikator yang perlu dilihat yaitu Rambu solo’ merupakan
ibadah ( proses pelayanan), merupakan jalinan silahturami, dan
merupakan adat/ budaya”. (wawancara 10 maret 2012).
tambahan dari FT (46):
“Upacara Rambu solo’ sangat perlu dipertahankan, dilestarikan,
dikembangkang, namun harus dibatasi pemotongan hewannya”.
(wawancara 7 maret 2012).
JB (26):
“Upacara ini hanya pemborosan saja dan hanya menghamburkan
uang yang belum tentu menguntungkan”. (wawancara 10 maret
2012)
Menurut
para
Informan
ini,
upacara
Rambu
solo’
harus
dilaksanakan sebagaimana mestinya bukan dengan ingin menonjolkan
status diri dalam masyarakat atau karena adanya paksaan dari keluarga,
namun harus dilakukan sebagai bakti dan penghormatan terakhir pada
orang yang meninggal. Ada pula anggapan bahwa pelaksanaan upacara
ini hanya menimbulkan pemborosan saja, padahal sebenarnya upacara ini
harus dilaksanakan tergantung dengan keberadaan atau posisi keluarga
dalam upacara ini.
D. Makna simbol status dalam upacara Rambu solo’
Simbol adalah sesuatu yang biasanya merupakan “tanda” kelihatan
yang menggantikan gagasan atau obyek. Dalam arti yang tepat simbol
adalah “citra” atau imej yang menunjuk pada suatu tanda indrawi dan
realitas supra indrawi, dan dalam suatu komunitas tertentu tanda-tanda
indrawi
langsung
dapat
dipahami,
misalnya
sebuah
tongkat
melambangkan wibawa tertinggi. Simbolisme dipakai sebagai alat
perantara untuk menguraikan sesuatu.
Simbol
status
juga
menunjukkan
nilai-nilai
budaya
suatu
masyarakat. Misalnya, dalam komersial masyarakat, memiliki uang atau
kekayaan dan hal-hal yang bisa dibeli dengan kekayaan, seperti mobil,
rumah, atau pakaian halus, dianggap simbol status. Dalam suatu
masyarakat yang menghargai kehormatan atau keberanian, pertempuran
bekas luka akan lebih dari simbol status.
Simbolisme juga sangat berperan dalam kebudayaan tana Toraja.
Simbolisme dipakai sebagai alat perantara untuk menguraikan sesuatu
atau mengambarkan sesuatu misalnya pada pada pesta pernikahan,
perayaan kelahiran dan pada upacara kematian. Dalam adat Sulasewi
Selatan khususnya tana Toraja pengunaan simbol-simbol erat sekali
dengan kehidupan dan keseharian masyarakatnya. Begitupula pada saat
upacara Rambu solo’ simbol ini akan muncul sebagai ajang untuk
menunjukkan status seseorang. Simbol ini dapat digunakan sebagai cara
untuk melihat dari tingkatan mana seseorang dalam masyarakat itu
Menurut beberapa data dari informan, terdapat simbol-simbol
dalam upacara Rambu solo’ yang dapat menunjukkan status keluarga
yang meninggal, yaitu:
1. Lakkean.
Lakkean merupakan tempat jenasah disemayamkan, sejenis
pondok menara yang ditempati meletakkan mayat sebelum
dikuburkan. Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di
antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkean sendiri terbuat
dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. YT (53)
menyatakan:
“Sebelum dikubur orang yang meninggal dari golongan
puang maupun golongan menengah harus dibaringkan di
atas lakkean, dan di Rante sudah disiapkan dua ekor kerbau
yang akan dipotong”. (wawancara, 1 maret 2012)
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah
penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru
tanah air. Lakkean ini menandakan status seseorang yang
meninggal, semakin tinggi Lakkean itu maka semakin tinggi status
orang yang meninggal.
2. Bombongan (gong).
Merupakan simbol atau alat komunikasi kepada seluruh kaum
kerabat dan anggota masyarakat bahwa akan ada pesta kematian
yang akan dilaksanakan. Sehingga ketika gong tersebut itu
dibunyikan maka kerabat dan masyarakat setempat akan datang
untuk mengambil bagian dalam pesta kematian itu. Dijelaskan oleh
BR (52)
“ ada juga disebut Bombongan yang nantinya harus
dibunyikan pada pesta, tapi ada syaratnya yaitu kerbau yang
dikurbankan harus berjumlah minimal 12 ekor. Kalau kurang
dari itu bombongan tidak boleh dipakai meskipun yang
melakukan upacara itu adalah dari kalangan puang dan
untuk kalangan bawah bombongan ini tidak boleh dipakai”.
(wawancara, 1 maret 2012)
Maksud dari informan ini bahwa disamping sebagi simbol
komunikasi, gong ini juga sebagai simbol bahwa orang meninggal
itu akan dipestakan dengan meriah dengan jumlah hewan yang
akan dipotong lebih banyak. Gong ini hanya diperuntukkan bagi
golongan puang, namun dapat juga diperuntukkan bagi golongan
menengah kaya atau yang mampu melaksanakan pesta kematian
dengan jumlah pengorbanan secara besar-besaran.
3. Tompi Saratu.
Tompi Saratu merupakan Hiasan yang berpasangan dengan
batelepong yang dipasang di depan lakkean. Ini digunakan sebagai
penambah kemeriahan dan menurut aluk, tompi ini harus ada bila
ada batelepong. Tompi ini terbuat dari bambu dan kain tenun toraja
panjang yang mempunyai corak warna berbeda-beda.
YT (53) mengemukakan:
“Dalam pesta Rambu solo’ ada juga yang namanya Tompi,
ini harus kita gunakan sesuai dengan seberapa besar jumlah
hewan yang akan dikurbankan, yang nantinya bila pesta
dimulai, tompi ini diarak-arak bersama dengan kerbau dan di
tancap disamping Lakkean” (wawancara, 01 maret 2012)
Maksud dari Informan ini, Tompi harus disesuaikan dengan
seberapa besar jumlah dari kerbau yang dikurbankan yang dengan
tidak sengaja dapat menunjukkan status keluarga yang meninggal
atau seberapa besar kemampuan keluarga yang melaksanakan
upacara
tersebut.
Mengenai
masalah
ketentuan
berlakunya
berdasarkan Aluk, tidak ada batas untuk golongan atas maupun
golongan menengah namun tidak boleh dipakai untuk golongan
bawah.
4. Tau-tau
Tau-tau adalah jenis patung yang terbuat dari kayu atau bambu.
Kata "tau-tau" adalah kata Toraja yang berarti "manusia", dan "tautau" berarti "manusia" atau "patung". Tau-tau diyakini berasal dari
abad ke-19. Mereka pernah diproduksi hanya untuk orang kaya,
untuk mencerminkan status dan kekayaan yang ditinggalkan.
Adanya lapisan atau golongan yang terdapat dalam masyarakat
suku toraja ini sangat berpengaruh pada pengadaan Tau-tau.
Lapisan yang paling rendah (golongan hamba) sama sekali tidak
boleh membuat tau-tau atau sama sekali tidak boleh dibuatkan tautaunya bila kelak meninggal nanti. Hal ini disebabkan adanya
pemahaman bahwa tidak semua leluhur yang dapat dipuja atau
disembah.
Leluhur yang dapat diangkat menjadi leluhur yang dapat dipuja dan
disembah adalah bapa-bapa leluhur yang telah melindungi rakyat
(urrinding tondok) dan membela rakyat, mereka dianggap memiliki
suatu kuasa pengaruh yang istimewa, berdasarkan kemuliaan
mereka dibumi, berdasarkan harta kekayaan dan kedudukan
mereka dalam masyarakat.
YM (84), mengemukakan bahwa:
“Dalam upacara rambu solo khusus puang selalu dibuatkan tautau. tau-tau ini harus menyerupai dengan wajah dari orang yang
meninggal. tau-tau ini dipakai untuk menunjukkan identitas
kebangsawanan si pemilik patung beserta kaum keluarganya”.
(wawancara, 27 february 2012)
Dengan demikian bahwa makna tau-tau berdasarkan stratifikasi
sosial ini tujuannya adalah untuk menunjukkan identitas keluarga
yang dibuatkan simbol tau-tau sebagai keluarga yang berada atau
kaya dan memilki kuasa, pengaruh serta kedudukan dalam
masyarakat. Jadi tidak semua orang mati dapat diangkat menjadi
nenek moyang yang dipuja/disembah. Itulah sebabnya dari empat
strata sosial masyarakat yang ada dalam masyarakat suku toraja
tersebut yang layak dibuatkan tau-tau adalah golongan bangsawan.
5. Kandaure.
Hiasan dari manik-manik sebagai peninggalan dari nenek moyang
lapisan puang. Fungsinya disamping sebagai hiasan untuk
menambah kemeriahan pesta juga sebagai simbol kebesaran dari
lapiasan puang.
BR(52) mengemukakan:
“ ada juga namanya Kandaure, dulu Kandaure ini hanya
untuk golongan puang saja, tapi sekarang yah orang dari
kalangan menengah atau bawah pun yang sudah memiliki
kemapuan ekonomi tinggi sudah memakainya juga”.
(wawancara, 1 maret 2012)
Maksudnya bahwa Kandaure ini hanya diperuntukkan untuk
golongan puang saja, dengan melihat penggunaan kandaure ini
pada pesta yang sedang berlangsung kita sudah dapat mengetahui
bahwa orang dipestakan adalah dari lapisan puang.
6. Kerbau
Dalam masyarakat tana toraja kerbau juga dipakai sebagai simbol
dari status orang yang meninggal. Keseharian masyarakat Tana
Toraja, Sulawesi Selatan, tak bisa dipisahkan dengan hewan ternak
kerbau. Ini berlangsung hingga sekarang. Bahkan, sebelum uang
dijadikan alat penukaran transaksi modern, hewan bertanduk ini
sudah kerap ditukar dengan benda lain. Selain memiliki nilai
ekonomis tinggi, hewan bertubuh tambun ini juga melambangkan
kesejahteraan sekaligus menandakan tingkat kekayaan dan status
sosial pemiliknya di mata masyarakat.
Harga seekor hewan yang masuk golongan kerbau lumpur
(Bubalus bubalis) itu kira-kira Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Selain
kerbau belang, kerbau biasa pun juga akan dikurbankan dalam
ritual Rambu Solo`. Salah satunya bernama Bantu Pako. Kerbau
berbobot 200 kilogram, harganya bisa mencapai Rp 20 jutaan.
Namun, hewan tersebut nasibnya hanya untuk diadu dan
dikurbankan.
Kerbau sebagai simbol masyarakat Toraja memiliki nilai yang
sangat tinggi di mata masyarakat toraja dan menjadi alat tukar
dengan benda lain dan akhirnya satu ekor kerbau pun memiliki nilai
jual yang sangat-sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh kaum
strata bawah karena harga jualnya yang sangat tinggi dan daya beli
kaum bawah tidak menjangkau.
Dahulu kerbau ini digunakan dalam upacara-upacara adat oleh
seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal strata sosial. Namun
seiring berputarnya waktu terjadi pergeseran nilai budaya dan
kerbau sebagai hewan kurban yang hanya biasa-biasa saja
berubah makna menjadi hewan yang sangat istimewa dan
dianggap suci juga bernilai tinggi sekali bagi masyarakat Toraja,
apalagi dalam upacara-upacara adat yang besar di Tana Toraja
seperti salah satunya upacara adat ternama dan terbesar yaitu
upacara kematian “ Rambu Solo”
yang mengunakan kerbau
sebagai simbol paling utama sebagai hewan kurban dalam puncak
acara prosesi upacara kematian Rambu Solo ini.
SP (75), mengemukakan bahwa:
“Dari tedong yang dikurbankan kita bisa baca kedudukannya
orang dari mana. kerbau yang dipotong ini merupakan
tuntutan dari aluk dan adat. maka jumlah kerbau yang
dipotong harus disesuaikan dengan strata orang dalam
masyarakat itu”. (wawancara,28 february 2012)
JS (70):
“Ma’tumba bang susi ke kita toraya ke te’ bang apa di
pantoean. susinna lan pesta rambu solo’ te, ma’din ki untunu
tedong, apa ma’din di pasituru sola kamampuan ta’”.
Artinya:
“Seperti ada sesuatu yang kurang dan mengganjal bagi kita
orang toraja ketika kita tidak memiliki pegangan dalam hal
pesta Rambu solo’. seharuanya kita mempersembahkan
kerbau tapi harus sesuai dengan kemampuan ekonomi”
(wawancara, 1 maret 2012)
Dapat dijelaskan bahwa tidak layak dilaksanakan upacara Rambu
Solo’ ini jika tidak ada kerbau untuk dikurbankan. Juga di mata
masyarakat tana Toraja kerbau pun menjadi hewan yang
melambangkan
kesejahteraan
sekaligus
menandakan
tingakt
kekayaan dan sebagai status sosial bagi pemiliknya di mata
masyakarat. Jadi barang siapa yang dapat mempersembahkan
banyak kerbau dalam sebuah upacara kematian maka nama
keluarganya akan terangkat tinggi sekali didalam masyarakat dan
akan sangat dihargai juga disegani.
Selain karena adat masyarakat Toraja juga beranggapan bahwa
pengurbanan kerbau-kerbau ini merupakan persaingan status
sosial dalam masyarakat, Juga nama besar yang terelu-elukan
akan mereka dapat.
Kerbau-kerbau ini nantinya dipotong lalu dagingnya dibagi-bagikan
kepada ratusan masyarakat yang datang pada upacara ini,
pembagian daging ini juga sesuai dengan dengan kelas sosial si
pelayat dalam masyarakat, jadi daging yang dibagi-bagikan kepada
pelayat juga berbeda jumlah dan kualitasnya sesuai kelas/strata
sosial seseorang, maksudnya ialah kelas orang terpandang
mendapatkan daging yang banyak dengan kualitas daging terbaik
dan kelas strata bawah hanya mendapat daging sedikit dan dengan
kualitas biasa saja. Intinya adalah hanya orang-orang berduit
banyak saja yang dapat melakukan upacara Rambu Solo yang
sangat erat dengan simbol kerbau ini.
E. Peran Pemerintah dan Agama dalam Upacara Rambu solo’
1. Aparat Pemerintah
Seperti yang telah dijelaskan oleh sejumlah informan, bahwa
nilai-nilai pesta kematian yang seutuhnya untuk saat ini sudah
mulai mengalami perubahan sebagian terutama dalam proses
pelaksanaan dan jumlah hewan yang dikurbankan. Sehingga
agak sulit membedakan jenis pesta kematian yang dilakukan itu.
Namun melalui simbol-simbol yang ada kita dapat mengerti dan
menilai mengenai jenis pesta itu. Terutama jenis pesta bagi
lapisan puang yang mampu. jadi walaupun pesta-pesta itu sama
meriah, dari segi jumlah hewan yang dipotong juga sama-sama
dalam jumlah yang besar, semua dengan simbol-simbol yang
nampak itu kita dapat membedakan jenis pesta kematian yang
berlangsung.
Dalam upacara Rambu solo’ Aparat pemerintahan juga
berperan penting selain berfungsi sebagai pengayom, mereka
juga yang mengeluarkan izin pelaksanaan upacara Rambu
Solo’, dari izin tersebut mereka menarik retribusi pajak
pemotongan hewan kurban yang yang merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah.
YM,
JS,
MSB, YT, BR, FT, MS,
YR, masing-masing
mengatakan bahwa:
“Pejabat mengambil bahagian dalam upacara, penataan
acara, memberi ijin, mengumpulkan pajak pemotongan
hewan, dimana pajak tedong sebanyak 150 ribu/ ekor, babi
75 ribu/ekor, pa’piong sebanyak 15 ribu”.
2. Agama.
Diketahui bersama bahwa untuk mengembangkan budaya
masyarakat, agama atau aluk selamanya berdampingan dengan
adat secara harmonis. Agama Keristen masuk ke Tana Toraja
pada permulaan abad ke 20 mendompleng pada masuknya
Pemerintah kolonial Belanda. Agama baru ini mengutamakan
Kesalehan, semua acara yang tidak sesuai dengan isi Alkitab’
seperti penggunaan “batelepong, tombi, tau-tau dsb” dalam
upacara Rambu Solo dianggap menyembah berhala dan itu
dosa.
Bertolak
belakang
dengan
Aluk
Todolo
yang
mempercayai banyak dewa.
Upacara Rambu Solo’ yang yang mengutamakan keharmonisan
melalui Ritus Sosial dan Religi lama kelamaan tidak harmonis
lagi karena pengarahannya hanya dari dimensi Sosial saja.
Upacara itu berubah menjadi tempat pamer gengsi dan
kekayaan. Kearifan budaya yang diharapkan mengontrol batasbatas kewajaran dan membedakan Rambu Solo’ dengan
Rambu Tuka’, hilang sudah. Menjelang seratus tahun Injil
masuk Toraja, Gereja Toraja belum punya konsep yang dapat
menggantikan peran “Aluk Todolo”, mengawal upacara Rambu
Solo’ mengikuti perkembangan zaman.
Seperti yang lihat kehadiran Gereja di acara Rambu Solo’ hanya
sebatas menyampaikan khotbah, menghindar terlibat langsung
untuk mengarahkan upacara, seperti yang dilakukan oleh
pemuka Aluk Todolo sebelumnya. Akibatnya pergeseran nilainilai sosial yang tidak dikawal oleh nilai religi menjadi serba
tanggung,
menimbulkan
kegamangan
dalam
melakukan
upacara adat.
ET seorang Pendeta (39), mengemukakan bahwa:
“Pemaknaan upacara Rambu solo’ harus dikristenkan,
sebagai ucapan syukur, dan bukan lagi untuk mengantar
orang mati ke Puya. Gereja sudah berupaya agar
masyarakat sederhana dalam perayaannya, namun
keluargalah yang angkat bicara. gereja hanya menasehati
dan meminalisasi acara itu”. (wawancara, 3 maret 2012)
Dapat dijelaskan bahwa akibatnya Rambu Solo’ tidak lagi
menampilkan keprihatinan dan suasana berkabung. Malah lebih
menonjolkan
kemewahan
menggunakan
asessories
yang
sebelumnya “pemali”, Tidak terlihat lagi keprihatinan “ampu
tomate” (keluarga yang berduka), Semua berusaha tampil
mewah. Mulai timbul persaingan, seperti promosi di media
televisi,
bahwa
kebangsawanan
keluarga
yang
berduka
ditentukan oleh kemewahan acara rambu solo’, berapa jumlah
kerbau dan babi yang mahal-mahal di potong dan disajikan
pada masyarakat. Supaya persaingan makin seru dibuat
issu baru “Siri’ Mate”.
Berimbas pada keluarga yang masih hidup berusaha untuk
mengorbankan banyak harta, kerbau dan babi agar bisa disebut
bangsawan. Inilah yang menjadi salah satu pemicu utama
upacara Rambu Solo’ menjadi ajang adu gengsi karena promosi
kebangsawanan yang sering diliput dalam media massa.
Gereja Toraja sebagai pengawal moral masyarakat harus
menghimpun
semua
penganut
agama
Keristen,
aktif
mengarahkan dan membantu masyarakat lepas dari bayangan
“Siri’ Mate” yang mendorong persaingan tidak sehat dalam
melakukan upacara Rambu Solo’. Gereja harus mulai terjun
langsung sebagai pengganti “Aluk Todolo” untuk mengawal
dimensi sosial, budaya Toraja yang harus berkembang
mengikuti irama kemajuan zaman .
Dapat disimpulkan bahwa, Upacara Rambu Solo’ ini menghabiskan
dana/biaya yang sangat banyak (ratusan juta sampai milyaran rupiah).
Dana sebanyak itu untuk membangun rumah-rumah sementara dari
bambu di tanah lapang yang sangat luas sekali untuk ratusan bahkan
ribuan tamu yang diundang dari berbagi strata sosial, wisatawan asing
maupun lokal yang akan datang melayat/menghadiri upacara kematian ini
dan yang paling utama dari upacara ini adalah biaya pembelian kerbaukerbau yang harganya sangat mahal sekali karena siapa yang mampu
membeli dan memotong kerbau paling banyak nama keluarganya akan
terangkat tinggi sekali di mata masyaratnya, harga satu ekor kerbau bisa
mencapai seratus juta rupiah dan biasanya keluarganya membeli lebih
dari seratus ekor kerbau.
Kebanyakan dari lapisan menengah melakukan pesta kematian
semeriah mungkin dengan pengorbanan yang cukup besar karena
motivasi untuk berprestise dalam masyarakat supaya terpandang sebagai
orang yang mampu walaupun berasal dari lapisan menengah. Mereka
betul-betul bekerja keras untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin
supaya dapat melaksanakan pesta semeriah mungkin. Sementara bagi
lapisan atas yang merasa dikejar prestisenya oleh kalangan menengah
harus bekerja keras untuk mempertahankan prestisenya sebagai lapisan
yang terpandang dalam masyarakat. Mereka tidak mau kehilangan
kewibawaannya,
sehingga
rata-rata
dari
mereka
akhirnya
harus
meninggalkan kampung halamannya untuk pergi merantau karena
tuntutan pesta kematian. Walau bagaimanapun sanggupnya keluarga
untuk mengadakan pesta kematian secara besar-besaran, kalau memang
berasal dari lapisan menengah dan bawah, mereka dibatasi oleh simbolsimbol yang nampak pada pelaksanaan pesta tersebut. Tetapi mereka
mengakui pula bahwa melalui pesta kematian itu masyarakat akan
senantiasa menampakkan sifat kekerabatan dan kekeluargaan yang lebih
mendalam, sehingga dalam kehidupan sehari-hari akan tetap nampak
hubungan yang harmonis antar tiap lapisan yang ada.
BAB VI
PENUTUP
Sebagai bab penutup dan saran skripsi ini, maka penulis mencoba
membuat beberapa kesimpulan berdasarkan deskripsi yang disajikan
dimuka.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dalam kasus persepsi masyarakat di
kelurahan Ariang, dapat kemudian ditarik beberapa point kesimpulan
sebagai berikut:
1. Persepsi masyarakat terhadap upacara Rambu solo’.

Dalam upacara ini sudah terjadi perubahan nilai, tidak lagi
murni dilakukan oleh kalangan Bangsawan, namun dari
kalangan menengah dan bawah yang punya banyak uang
dapat melakukannya.

Dalam
Upacara
melaksanakannya
prestise
dan
kematian
secara
untuk
ini
kebanyakan
berlebih-lebihan
menaikkan
harga
masyarakat
berdasarkan
diri
sehingga
mengakibatkan pemborosan.

Upacara Rambu Solo’ perlu dipertahankan, namun segi-segi
negatifnya harus ditinggalkan, karena upacara kematian ini
sebagai penghormatan terakhir kepada yang meninggal dan
sebagai warisan leluhur.
2. Makna simbol status dalam upacara Rambu solo’
Status Orang yang meninggal dapat dilihat dari berapa lama
pelaksanaan upacaranya berlangsung, proses-proses upacaranya,
berapa jumlah kerbau yang dikurbankan, sampai pada alat-atau
simbol-simbol apa yang dipakai dalam upacara itu yang dapat
menunjukkan strata orang tersebut. Proses-proses upacara harus
mengikuti status dari keluarga tersebut, namun pada kenyataannya,
semua proses tersebut sudah tidak berjalan sebagimana mestinya.
sehingga lapisan paling bawah kini sudah tak kelihatan lagi.
Simbol-simbol dalam upacara Rambu solo’ yang dapat
menunjukkan status keluarga yang meninggal, yaitu:

Lakkean

Bombongan

Tompi Saratu

Tau-Tau

Kandaure

Kerbau
B. Saran
1. Cara berpikir kita orang Toraja harus berubah. Mengembangkan
dan melestarikan kearifan budaya yang tersirat di dalamnya
adalah
keniscayaan.
Kesedihan
yang
disertai
dengan
kesederhanaan ditampilkan kembali dalam upacara Rambu Solo’
dan dimaknai secara proporsional.
2. Masyarakat Toraja sebaiknya sadar dalam melaksanakan Upacara
Rambu Solo’ bukan merupakan pesta dan untuk menaikkan Harga
Diri dan Gengsi, namun merupakan ibadah unyuk menghibur
keluarga yang ditinggalkan serta untuk menunjukkan rasa hormat
dan cinta pada keluarga yang meninggal.
3. Bagi
pihak-pihak
yang
berkepentingan
dalam
mengambil
keputusan untuk masyarakat, agar memahami substansi dari
persoalan kepentingan masyarakat, sehingga keputusan yang
diambil tidak akan berefek negatif terhadap kaum dari golongan
tertentu yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
4. Bagi pemerintah daerah Tana Toraja untuk dapat melestarikan
budaya daerah serta menjaga peninggalan-peninggalan budaya.
Terutama untuk budaya Rambu solo’ agar disesuaikan kembali
dengan Adat yang memang telah berlaku dalam masyarakat
Toraja.
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro J George 2010. Pragmatisme Menjadi To Sugi’ dan To
Kapua di Toraja. Yogyakarta: CV Gunung Sopai Press.
Al-Barry, Y Dahlan. 2001. Kamus Sosiologi Antropologi. Surabaya:
penerbit dan percetakan Offset Indah.
Balalembang Luther. 2007. Ada’ Toraya. Toraja:
BPS, 2011, Kelurahan Ariang Dalam Angka 2011, BPS Kel, Ariang.
C. Salombe’. 1972. Orang Toraja dengan Ritusnya: in memorial Laso’
Rinding Puang Sangalla. Ujung Pandang
Bagong - Dwi Narwoko,J. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Kencana Media Group
Horton B Paul, Hunt L Chester. 1992. Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
M.Hensin James. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi.
Jakarta : Penerbit Erlangga.
M.Poloma Margaret. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Muhtamar Shaff. 2007. Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan
Sulsel. Makassar: PT Pustaka Refleksi.
Palebangan B Frans. Aluk,Adat, dan Adat-Istiadat Toraja, Toraja: PT
Sulo.
Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi Buku 1. Jakarta: PT
INDEKS Kelompok Garmedia.
Ritzer George – J.Goodman Douglas. 2008. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana.
Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. 2010. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Soekanto Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Schreiner Lothar. 1996. Adat dan Injil (perjumpaan Adat Dengan Iman
Kristen Di Tana Batak. Jakarta: BPK-Gunung Mulia.
Suhamihardja Suhandi. 1977. Sulawesi-selatan: Adat istiadat dan
Kepercayaan. Litera
Suharto, Edi. 2010. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat.
Bandung: PT Refrika Aditama.
Sukidin, Baswori, 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya : Insan
Cendekia.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Tangdilintin, L.T. 1975. Upacara Pemakaman Adat Toraja. Toraja:
Yayasan
Lepongan Bulan.
………………1981. Toraja dan Kebudayaanya, Toraja: Yayasan
Lepongan Bulan.
Tana Toraja, BPS. 2010. Tana Toraja dalam Angka 2010. Toraja : UD
Alfian.
Tana Toraja, BPS. 2011. Tana Toraja dalam Angka 2011. Toraja : UD
Alfian.
Usman, Husaini dan Akbar S Purnomo 2009. Metode Penelitian Sosial.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: C.V Andi Offset
Sumber Lain
Dinamika Kelompok Dalam Kehidupan Masyarkat. Diakses pada tanggal 5
Januari 2012.
Http://www.docstoc.com/docs/47789373/BAB-2Hendarto,Joko.2009. Rambu Solo’ Toraja dan sebuah Ironi. Diakses pada
tanggal 20 maret 2012.
http://sosbud.kompasiana.com/2009/12/06/rambu-solo-toraja-dansebuah-ironi/
Hunny Rizki. 2011. Konsep Dasar Peran . Diakses pada tanggal 5 januari
2012.Http://[email protected]//2011//04//30//konsep
dasar peran //.
Kuddi, Anto. 2011. Dibalik Upacara Rambu Solo’ Tana Toraja. Diakses
pada tanggal 22 maret 2012.
http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/07/di-balik-upacara-rambusolo%E2%80%99-tana-toraja/
Kumala, Gabby. 2012. Pendekatan Interaksi “Interaksi Simbolik”. Diakses
pada tanggal 03 April 2012.
http://gabbyks.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/18/pendekatan-interaksiinteraksionisme-simbolik/
Lambertus LP. 2010. Dampak Positif Ritual Rambu Solo’ Terhadap
perkembangan pendidikan di Tana Toraja. Diakses pada tanggal 20
maret 2012.
Http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/search.html
Maulanusantara. 2007. Ketegangan Budaya Nenek Moyang dan Agama
dalam masyarakat Toraja. Diakses pada tanggal 20 Maret 2012.
http://maulanusantara.wordpress.com/2007/11/13/keteganganbudaya-nenek-moyang-dan-agama-dalam-masyarakat-toraja/
Rahmat Asep. 2009. Materialisme Kebudayaan. Diakses pada tanggal 20
januari 2012.
http://rukawahistoria.blogspot.com/2009/07/materialismekebudayaan.html
Tresna, Rotua. 2009. Upacara Kematian di Tana Toraja: Rambu Solo’.
Diakses pada tanggal 20 maret 2012.
Http:/repository.usu.ac.id/../09E01580.pdf.
RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama
:
Mishela Rayo
Nama Panggilan
:
Ela
Tempat / Tanggal Lahir
:
Makale, 22 Mei 1990
Alamat
No. Telepon
:
:
Aspol Tello Baru A/ 15
085239540106
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Status
:
Belum Menikah
Agama
:
Kristen
Pendidikan Formal
1996 – 2002
:
SDN 04 Makale
2002 – 2005
:
SMP Kristen Makale
2005 – 2008
:
SMA Negeri 3 Makale
2008 – 2012
:
Mahasiswa Sosiologi, Universitas
Riwayat Aktifitas



Pengurus Kemasos Fisip Unhas 2010 – 2011
Anggota Society Research
Pengurus PMKO Fisip Unhas
Hasanuddin
Lampiran-Lampiran
Lampiran 1. Gambar Lakkean
Lampiran 2. Gambar Bombongan (Gong)
Lampiran 3. Gambar Tombi
Lampiran 4. Gambar Tau-Tau
Lampiran 5. Gambar Kandaure
Lampiran 6. Gambar Kerbau
DAFTAR PERTANYAAN
NAMA :
UMUR:
JENIS KELAMIN:
STATUS:
ALAMAT:
PENDIDIKAN:
PEKERJAAN:
PERTANYAAN:
1. Pernahkah anda mengikuti atau melaksanankan upacara rambu solo’?
2. Seberapa sering anda mengikuti upacara rambu solo’ ini?
3. Bagaimana keaktifan anda dalam pelaksanaan upacara tersebut?
4. Bagaimana makna upacara rambu solo’ ini bagi anda?
5. Bagaimana pendapat anda tentang upacara ini?
6. Bagaimana pendapat anda tentang proses pelaksanaan upacara ini dilihat
dari golongan atas, menengah, dan golongan bawah?
7. Bagaimana pendapat anda tentang simbol status dalam pelaksanaan
upacara rambu solo’?
8. Apakah anda setuju dengan upacara rambu solo’? alasannya!
9. Hal apa yang membuat anda untuk menerima atau menolak upacara ini?
10. Apakah anda melaksanakan upacara karena terpaksa atau tuntutan
budaya? Mengapa!
11. Seberapa besar biaya yang anda keluarkan untuk upacara ini?
12. Bagaiman pendapat anda, Apakah upacara ini dapat mensejahterahkan
keluarga anda?
13. Bagaimana peran pejabat atau pemerintah dalam upacara ini?
14. Menurut anda, apakah upacara rambu solo’ ini akan bertahan lama
Download