[5] Ibid. Hal 4.

advertisement
JURNAL
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA REMAJA ETNIS KETURUNAN ARAB
DENGAN REMAJA ETNIS JAWA DI SURAKARTA
(Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya pada Remaja Etnis
Keturunan Arab dengan Remaja Etnis Jawa di Pasar Kliwon Solo)
Disusun oleh :
PAULINA SISKA SARI
D 1210057
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan
Guna Meraih Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA REMAJA ETNIS KETURUNAN ARAB
DENGAN REMAJA ETNIS JAWA DI SURAKARTA
(Study Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Pada Remaja Etnis
Keturunan Arab dengan Remaja Etnis Jawa di Pasar Kliwon Solo)
Paulina Siska Sari
Adolfo Eko Setyanto
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Some areas in Indonesia, in Solo location in Pasar Kliwon, settled other
etnic outside the native, this is Arabian. According to reserch result in Pasar
Kliwon Solo, Arabian still less blended with the native communities. That is can
be observed from the youth association, they’re prefer to hang out with they’re
same etnic, and less able to interact with Javanese. They’re feel more
comfortable, more acceptable, more suitable, talk, joking with same etnic.
The purpose of this research are : (a) to understand how intercultural
communication formed in association youth Arabian in Solo, in establishing
effective communication, in combating potential intercultural communication
problems, to interpretation and understand the culture of their ethnic and cultural
identity of the Javanese (b) To find out what the factors that support and resistor
intercultural communication between youth Arabian and Javanese in Pasar
Kliwon Solo.
This research method is a qualitative method. The sampling technique
used in this study is snowball sampling or chain sampling. To analyze the data,
this study uses data analysis model of Miles and Huberman. To ensure the validity
of the data, the researcher used triangulation of data.
This study resulted in the conclusion, there are several factors inhibiting
adolescent Arabs in communicating with Javanese, for examples: stereotipe,
strangershood, uncertainty / anxiety. Role of Intercultural Communication in
effectiveness among adolescents with juvenile ethnic Arabs Javanese is very
important especially in the background of cultural differences that exist.
However, the effectiveness of the interaction and communication between
cultures is not easily achieved due to the presence of inhibiting factors such as :
stereotipe, strangershood, uncertainty / anxiety.
Key words : Intercultural Communication, Youth Arabian, Pasar Kliwon Solo.
1
Pendahuluan
Etnis Arab yang berkembang di Indonesia juga tak luput dari
permasalahan interaksi budaya dan komunikasi antarbudaya. Pada masa
penjajahan Belanda etnis asing seperti Arab, Cina, India, Jepang digolongkan
dalam golongan Timur Asing tidak masuk dalam golongan pribumi, tetapi tidak
sedikit dari mereka yang ikut berjuang mencapai kemerdekaan. Meskipun dalam
kenyataannya kelompok etnis ini masih terikat dengan budaya mereka secara kuat,
tetapi bisa dibilang etnis Arab mampu hidup berdampingan dengan bangsa
pribumi tanpa konflik antar etnis yang berarti.
Proses interaksi antara penduduk etnis Arab dengan etnis Jawa di wilayah
Pasar Kliwon Surakarta, lebih menekankan integrasi bersama, yang dapat dilihat
dari beberapa jaringan integrasi, yaitu aspek agama, politik, pendidikan, ekonomi,
organisasi sosial dan perkawinan. Di samping menunjukan pluralitas masyarakat
kota, pola pemukiman di Surakarta juga menunjukkan stratifikasi sosial
masyarakat.
Peneliti tertarik meneliti komunikasi antarbudaya remaja etnis keturunan
Arab di Pasar Kliwon solo, karena menurut peneliti fenomena pergaulan remaja
etnis keturunan Arab selama ini hanya sekedar diketahui saja, bahwa dalam
bergaul mereka cenderung mengelompok dengan teman mereka yang sesama
etnis, dan belum ada penelitian mengenai itu.
Dengan adanya penelitian ini, dapat turut menyumbang wacana baru
dalam Komunikasi Antarbudaya. Sebagai contoh selama ini belum banyak yang
mengetahui jika dalam bergaul mereka mengalami stereotipe dan keterasingan.
Kemudian dari pendidikan formal, Yayasan Diponegoro adalah sekolah dimana
mayoritas siswa siswinya etnis keturunan Arab, yang sangat menjunjung tingi
niai-nilai Islami, seperti aturan tidak mencampurkan siswanya antar putra dan
putri pada satu kelas. Remaja etnis Arab yang menjadi responden dalam penelitian
ini bersekolah di Yayasan Diponegoro dari SD hingga SMP. Setelah mulai
memasuki jenjang SMA, mereka memilih bersekolah di sekolah negeri ataupun
swasta pada umumnya, karena mereka ingin mencoba keluar dari lingkungan
Arab-nya yang sudah saat melekat dan untuk mencari pengalaman baru.
2
Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah bentuk komunikasi antarbudaya ketika remaja etnis keturunan
Arab melakukan komunikasi dengan remaja etnis Jawa di Pasar Kliwon Solo?
b. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat terjadinya
komunikasi antarbudaya diantara remaja keturunan Arab dengan remaja etnis
Jawa?
Tujuan
a. Untuk mengetahui bentuk komunikasi antarbudaya yang muncul ketika remaja
etnis keturunan Arab di Solo melakukan komunikasi dengan remaja etnis Jawa.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat
terjadinya komunikasi antarbudaya diantara remaja etnis keturunan Arab
dengan remaja etnis Jawa.
Tinjauan Pustaka
a. Masyarakat Majemuk
Kemajemukan budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia, selain
memiliki sisi positif, juga memiliki sisi yang negatif. Kemajemukan masyarakat
sangat potensial sekali bagi terjadinya konflik sebagai akibat dari perbedaan
budaya.Untuk menghindari terjadinya konflik tersebut diperlukan adanya suatu
interaksi antarbudaya sehingga tercapai suatu pemahaman mengenai budaya yang
berbeda dan pada akhirnya bisa menciptakan kenyamanan dan saling menghargai.
Lebih
jelas
lagi
Koentjaraningrat
memberikan
penjelasan
tentang
masyarakat, bahwa masyarakat memang sekumpulan manusia yang saling
“bergaul” atau istilah ilmiahnya saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia
dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling
berinteraksi, tidak semua kesatuan manusia yang berinteraksi itu disebut
masyarakat karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan yang khusus.
3
Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia yaitu pola tingkah laku yang
khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu.1 Dalam
definisi tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa masyarakat adalah
kesatuan hidup manusia atau bisa disebut dengan sekelompok manusia yang
mendiami suatu daerah tertentu yang tidak dapat hidup sendiri-sendiri dengan kata
lain mereka hidup bersama dan saling membutuhkan di mana mereka mempunyai
hubungan baik antar sesama secara terus menerus dengan diikat oleh normanorma dan adat istiadat yang diakui ditaati dan dianut oleh warganya demi
keberlangsungan hidup bersama.
b. Remaja Etnis Keturunan Arab di Pasar Kliwon Solo
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi
yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Pasa masa
ini sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk
golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.2
Berdasarkan hasil observasi penulis di lapangan, yakni di Pasar Kliwon
Solo, remaja etnis Arab masih kurang membaur dengan masyarakat pribumi
setempat ataupun sebaliknya. Hal ini bila kita amati dari pergaulan kaum muda,
masing-masing masih suka bergaul dengan sesamanya kurang mampu berinteraksi
dengan etnis Jawa. Mereka merasa lebih nyaman, lebih nyambung apabila
bergaul, mengobrol, bercanda dengan sesama etnis mereka.
Sebagian kecil dari perilaku etnis Arab yang cenderung mengelompok dan
memisahkan diri dari lingkungan masyarakat pribumi di Solo. Penulis mempunyai
anggapan etnis Arab lebih memilih bergaul dengan teman mereka yang sesama
etnis, karena penulis sering kali melihat fenomena tersebut seperti di mall atau
tempat-tempat umum lainnya.
Dalam pergaulan sehari-hari, mereka mengakui apabila bergaul dengan
orang yang berbeda etnis, mereka merasa lebih nyaman dengan etnis Jawa
dibanding dengan etnis lain, seperti Tionghoa, hal ini terjadi karena adanya
1
2
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Hal 144.
Elizabeth Hurlock. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. 1998. Hal 4.
4
persamaan agama yang mereka peluk, yaitu muslim. Kebersamaan untuk menjalin
keharmonisan khususnya antar Muslim di Pasar
Kliwon, banyak kegiatan
keagamaan yang diselenggarakan bersama. Misalnya untuk menyelenggarakan
sholat Jum’at bagi bagi masyarakat di Pasar Kliwon baik etnis Arab-Jawa
digabung menjadi satu tempat, baik etnis Arab maupun Jawa digabung menjadi
satu yaitu di Masjid Assegaf Wiropaten. Jadi tidak ada pemisahan tempat sholat,
antara etnis Arab-Jawa.3
c. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya di samping memang tidak mungkin lagi dapat
dihindari, juga sesungguhnya sangat penting bagi penduduk semua negeri diera
globalisasi dewasa ini. Kemunculannya sangat mendesak karena interdependensi
antarbangsa semakin nyata, apakah itu di bidang ekonomi, iptek, politik,
kebudayaan dan lain-lain. Di samping tentu saja karena mobilitas penduduk dunia
ini semakin tinggi dan luas, kemajuan teknologi komunikasi yang luar biasa pesat.
Suatu hal yang juga perlu disadari adalah di dalam proses komunikasi
antarbudaya itu antar sumber dan komunikan (yaitu mereka yang terlibat di dalam
komunikasi) berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Dari sinilah
kadang-kadang muncul sifat-sifat keunikan dari komunikasi antarbudaya
tersebut.4
Beberapa pengertian komunikasi antarbudaya :
1. Samovar dan Porter : komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser
pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. 5
2. Charley H. Dood : komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang
melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan
kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan
yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.6
3
Elizabeth Hurlock. Op. Cit. Hal 4.
Marhaeni Fajar. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009. Hal 297.
5
Ibid. Hal 4.
6
Carley H. Dood. Dynamics of Intercultural communication, Edition, 3. Publisher, Wm. C. Brown.
1998. Hal 5.
4
5
3. Lustig dan Koester, komunikasi antarbudaya adalah suatu proses
komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual, yang
dilakukan oleh sejumlah orang - yang karena memiliki perbedaan
derajat kepentingan tertentu – memberikan interpretasi dan harapan
secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk prilaku
tertentu sebagai makna yang dipertukarkan.7
4. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta : komunikasi antarbudaya
adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang
membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam
menjalankan fungsinya sebagai kelompok.8
Komunikasi antarbudaya terjadi apabila produsen pesan adalah anggota
suatu budaya dan penerimanya adalah anggota budaya yang lainnya. Jadi,
interaksi berkisar pada orang-orang yang berbeda budaya sehingga antara orang
yang memiliki budaya dominan sama tetapi subkultur atau subkelompok yang
berbeda.
Metodologi
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi, dengan menetukan kasus yang
diteliti, terarah pada satu karakteristik, dilakukan pada satu sasaran atau lokasi
atau subyek, yaitu remaja etnis keturunan Arab dan remaja etnis Jawa di Pasar
Kliwon Solo. Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu
wawancara mendalam (indepth interview), observasi, dan studi pustaka.
Teknik sampling yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu snowball
sampling atau chain sampling, yaitu pengambilan sample dengan bantuan key
informan, dari key informan inilah peneliti dapat menentukan informan lain dan
berkembang sesuai petunjuk dari key informan. Demikian seterusnya sampai
peneliti dapat mengumpulkan sejumlah informan.
7
Lustig, Myron.W. & Jolene Koester. Intercultural Competence:Interpersonal Communication
across Cultures. Boston : Allyn & Bacon. 2003. Hal 30
8
Alo Liliweri. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003. Hal 11.
6
Sumber data diperoleh dari wawancara, buku-buku, penelitian yang
sejenis, internet, surat kabar, data dari kecamatan, dll.
Guna menjamin validitas data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
maka teknik yang digunakan adalah teknik Triangulasi Data. Dalam penelitian ini
digunakan teknik analisis data yang berasal dari Miles dan Huberman (1994) yaitu
model interaktif. Teknik analisis ini terdiri dari tiga komponen reduksi data,
sajian data, dan penarikan serta pengujian kesimpulan9.
Sajian dan Analisis Data
A. Komunikasi Antarbudaya Remaja Etnis Keturunan Arab dengan Remaja
Etnis Jawa di Pasar Kliwon Solo
Sejak dilahirkan manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu yang
menjadi wadah kehidupannya. Manusia tidak dapat hidup sendiri, mereka
memerlukan bantuan dari orang lain disekitarnya. Untuk itu manusia melakukan
komunikasi. Sebagai makhluk sosial manusia selalu berkeinginan untuk bicara,
saling tukar gagasan, menerima dan mengirim informasi, membagi pengalaman,
bekerja sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, menjalin hubungan
baik dengan rekan mereka, dan sebagainya.10
Dengan kata lain, komunikasi merupakan inti dari hubungan manusia.
Akibat yang ditimbulkan ketika mengirimkan pesan mungkin berbeda, namun
alasan orang untuk melakukan komunikasi cenderung sama, yaitu mejnalin
hubungan yang baik dengan sesama.11
Begitu juga bagi remaja etnis Arab yang tinggal di Solo. Mereka selalu
berkomunikasi dan berhubungan dengan teman-teman mereka yang berbeda etnis
baik di lingkungan sekolahnya, maupun di luar sekolah. Berikut dituturkan
responden etnis keturunan Arab, Fairuz :
9
Aman Nasution. Penelitian Multisenter. Medan : Program Studi S-1 Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, 1988. Hal 129.
10
Suranto Aw. Op. Cit. Hal 1.
11
Larry A. Samovar. Communication Beetween Cultures. Belmont: Wadsworth Publishing. 1998.
Hal 16.
7
“Hubungannya ya berteman baik, saling menghormati. Kalau ada
berantem-berantemnya dikit ya wajar kali ya anak muda. Kalau sama
yang berbeda etnis malah jarang bertengkar kak, soalnya aku akrabnya
sama temen-temen Arab kebanyakan kalau di luar sekolah. Kalau sama
temen yang Jawa masih agak sungkan gitu kalau mau marah atau
menunjukkan sifat asli, soalnya kan juga masih kelas 1 SMA.”
(wawancara Fairuz Naila Badres)
Demikian juga dikatakan responden etnis Jawa, Intan. Dia menilai
temannya yang berbeda etnis dengannya tidak ada kesulitan dalam bergaul, dan
selalu menjalin hubungan baik :
“Dia baik dalam pertemanan, engga ada kesulitan juga dalam bergaul.
Dan aku engga pernah pilih-pilih temen, begitu juga dengan teman-teman
yang lain. Di kelas aku memang cuma ada satu orang siswa Arabnya, tapi
kita semua welcome sama dia dari awal. Dan dia juga bergaul seperti
biasa, nyaman sepertinya sejauh ini.” (wawancara Intan Nindar Ayu)
Kehidupan yang harmonis masih bisa terwujud dan dijalin, jika keduannya
mempertahankan apa yang mereka yakini sebagai pedoman hidup.
B. Bentuk Pergaulan Remaja Etnis Keturunan Arab di Surakarta
Dalam usia remaja biasanya seorang sangat labil, mudah terpengaruh
terhadap bujukan dan bahkan dia ingin mencoba sesuatu yang baru yang mungkin
dia belum tahu apakah itu baik atau tidak. Mereka sedang mencari pola hidup
yang paling sesuai baginya dan ini pun sering dilakukan melalui metode cobacoba walaupun melalui banyak kesalahan.
Di dalam keluarga peran komunikasi sangatlah penting sebagai wahana
untuk mentransfer nilai-nilai dan sebagai agen transformasi kebudayaan,
komunikasi tersebut dapat terjadi secara vertikal dan horizontal. Kedua model
interaksi ini berjalan secara bergantian, bisa dari orang tua ke anak atau anak ke
orang tua, dari anak ke anak serta interaksi dengan lingkungan yang lebih luas.
Seperti dikatakan Naufal, ia berusaha teguh selalu memegang normanorma yang diajarkan agamanya melalui keluarganya. Budaya yang sudah
diterapkan dalam keluarganya selalu ia jadikan acuan dalam bergaul, sehingga
tidak mudah terpengaruh dengan ajaran yang bertentangan dengan budaya di
dalam keluarganya.
“Engga usah ikut-ikutan bergaul yang jelek dan merugikan diri sendiri.
Toh nantinya kita sendiri yang menyesal, terus di cap jelek juga. Kaya
8
pacaran-pacaran gitu, biarin aja mereka pacaran, aku sama sekali engga
terpengaruh. Terus mau minum-minum juga biarin lah.” (wawancara
Naufal Hanafi Alatas)
Menurut salah satu responden etnis Jawa, remaja etnis keturunan arab
sangat taat dalam hal beragama. Selalu menerapkan ajaran agamanya dalam
kehidupan sehari-hari. Berikut dikatakan Denny, salah satu responden etnis Jawa :
“Temenku Arab itu, cenderung alim orangnya, taat beragama. Misalnya
kalau kita ajakin nakal dikit dia menolaknya, ikut ngumpul aja tapi engga
ikut-ikutan yang aneh-aneh gitu. Dia agamanya kuat sekali, selalu sholat
kalau pas jam istirahat.” (wawancara Denny Kusumanegara)
Komunikasi
menyebabkan berbagai
konsekuensi
hubungan sosial
masyarakat yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling berhubungan,
sehingga terjadi interaksi di masyarakat. Maka kewajiban semua pihak untuk
bertanggungjawab menjaga dan membentengi remaja dari berbagai tindakan yang
sifatnya menghancurkan, seperti narkoba, miras atau tindakan – tindakan kriminal
lainnya.
C. Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya Remaja Etnis Arab dengan
Etnis Jawa di Surakarta
Beberapa hal yang ditemukan peneliti dilapangan saat melakukan wawancara
dengan remaja etnis Arab :
1. Stereotip
Stereotip biasa terjadi, karena kita bertemu dengan banyak orang asing dan
kadang dihadapkan dengan lazim. Stereotip merupakan bentuk kompleks dari
pengelompokan yang secara mental mengatur pengalaman seseorang dan
mengarahkan seseorang dalam menghadapi orang-orang tertentu. Dalam lingkup
komunikasi antarbudaya di kalangan remaja etnis Arab yang tinggal di Solo pun
demikian, mayoritas remaja etnis keturunan Arab pernah mengalami stereotip.
Berikut dikatakan responden etnis keturunan Arab, Inayah :
“Aku pernah dibercandain temen-temenku karena suatu kejadian, terus
aku dikatain, katanya etnis Arab itu ‘mbahnya’ pelit. Wah langsung
tersinggung aku kak, aku diem aja, singkat cerita temenku itu minta maaf
dan kami baikan lagi.” (wawancara Inayah Tamara Al-Jufrie)
9
Hal yang sama juga diungkapkan responden etnis Jawa, Bramantyo. Ia
mempunyai teman sekolah etnis keturunan Arab dan menurutnya stereotipe pelit
itu sangat identik dengan etnis Arab :
“Kalau temenku Arab itu pernah dianggap pelit, karena pernah ada
temenku yang mau beli hp di toko dia, di kasih harga normal gitu engga
dikorting mbak. Tapi kalau kesehariannya, bisa dikatakan dia agak
perhitungan ya.” (wawancara Bramantyo Agung Nugroho)
Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai pendapat mengenai etnis Arab. Etnis
Arab dianggap pelit, dikarenakan menurut penulis hal ini mungkin terjadi karena
orang keturunan Arab yang bermukim di Pasar Kliwon, Solo, rata-rata mata
pencahariannya adalah berdagang. Orang berdagang identik dengan mencari
keuntungan dan perhitungan. Maka orang non etnis Arab melakukan generalisasi
dan menganggap mereka itu semuanya pelit.
2. Keterasingan (strangershood)
Pada mulanya ketika remaja etnis Arab tersebut dihadapkan pada posisi
demikian, ia akan beranggapan bahwa ia merasa dikucilkan oleh orang-orang
yang tinggal dilingkungannya. Seperti yang diungkapkan oleh mengenai
pengalamannya ketika menghadapi situasi keterasingan yang diakibatkan oleh
gegar budaya (culture shock) :
Sama halnya dengan Umar Ali, responden etnis keturunan Arab, dia
merasakan terkejut ketika memasuki hari-hari di SMA Batik 1 Solo. Karena
sebelumnya pada saat SD dan SMP, kesehariannya di sekolah berkumpul dan
bertemu dengan teman laki-laki saja.
“Dulu awal-awal kan apa namanya, aku kaget waktu SMA. Kan itu
kelasnya campur cewek-cowok, kan SD sama SMP nggak pernah di
campur tuh cewek-cowok. Kaget aja awal-awalnya, nggak nyaman gitu.
Mau ngajak ngomong tuh pekewuh, dan malah aku dikira sombong. Aku
sih pokoknya berbaur aja, friendly, ya paling ngecrohi sana-sini biar
nggak tegang gitu. Yaa... kadang aku nggrapyaki duluan, kadang di
grapyaki duluan, pokoknya ya berbaur.” (wawancara Umar Ali
Basalamah)
Berikut diungkapkan Denny, responden etnis Jawa, ia melihat temannya
etnis keturunan Arab sangat merasa terasing pada saat awal-awal memasuki SMA:
10
“Waktu awal kelas satu dulu, aku melihat Umar itu pendiem banget,
belum akrab sama banyak temen. Ternyata setelah dia cerita-cerita gitu,
dia merasa kurang nyaman karena dalam satu kelas itu cewek cowoknya
jadi satu. Tapi lama kelamaan sudah terbiasa dia.” (wawancara Denny
Kusumanegara)
Menurut Binswanger keterasingan identik dengan isitilah keterlemparan
diri sendiri. Binswanger menggunakan isitilah keterlemparan untuk menunjuk
pada kondisi keterasingan, yakni kondisi individu yang merasa asing dengan diri
sendiri dan tunduk atau menyerah pada kekuatan-kekuatan di luar dirnya.12
3.
Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance)
Dalam berkomunikasi dengan teman mereka yang berbeda etnis, dia lebih
menunjukkan sikap kehati-hatiannya karena tidak bisa menduga respon yang
mungkin mereka dapatkan saat berkomunikasi dengan temannya yang berbeda
etnis.
“Kata temen-temen Jawa juga bicara saya yang ceplas-ceplos gitu,
padahal belum kulino sama orangnya, hihi. Ya lebih berhati-hati aja, kan
beda orang beda karakter, beda respon.” (wawancara Weldan Taufiq AlDhafari)
Saat berkomunikasi dengan etnis Jawa, etnik Arab terkesan lebih berhatihati dalam bersikap. Ada kecemasan yang peneliti lihat ketika berbincang-bincang
dengan remaja etnis Arab saat melakukan komunikasi antarbudaya dengan remaja
etnis Arab, dimana mereka takut membuat temannya etnis Jawa yang diajak
berbicara tersinggung atau menjadi salah sangka dengan cara berbicara mereka
yang cenderung ceplas-ceplos daripada orang Jawa. Seperti dikatakan responden
etnis Jawa bernama Pambudi :
“Pernah dia ditegur teman cewek saya, katanya kalau bicara itu jangan
asal bunyi, terlalu ceplas ceplos sih dia. Setelah itu dia jadi agak pendiem,
intropeksi diri kali ya. Setelah itu menurutku udah lumayan tidak waton
kalau ngomong.” (wawancara Pambudi Komardiputro)
Ekspresi dari perilaku yang tidak fungsional tersebut antara lain tidak
memiliki kepedulian terhadap eksistensi orang lain, ketidaktulusan dalam
12
Samovar, Larry A. & Richard E. Porter.Op.Cit. Hal. 179
11
berkomunikasi dengan orang lain, melakukan penghindaran komunikasi dan
cenderung menciptakan permusuhan dengan orang lain.13
D. Efektivitas Komunikasi Antarbudaya di antara Remaja Keturunan Etnis
Arab dengan Etnis Jawa di Surakarta
Salah satu peran komunikasi antarbudaya adalah menciptakan efektivitas
komunikasi, hal ini sangat ditentukan oleh sejauh mana komunikator dan
komunikan memberikan makna pesan dari proses komunikasi yang berbeda latar
belakang budayanya.
“pengaruhnya itu seperti pamitan, kalau maen ke tempat temen Jawa,
kalau datang sama pulang tuh harus pamit. Sebelumnya nggak pernah
pamitan kalau sama temen-temen Arab, iya saking udah terbiasanya.”
(wawancara Umar Ali Basalamah)
“jadi lebih mengenal budaya, anu.. unggah-ungguh etnis Jawa. Jadi lebih
tau kalau ngomong sama orang tua itu engga boleh kenceng-kenceng
suaranya kecuali kalau orangmya budeg, hehe. Terus harus apa itu
namanya.. munduk-munduk.” (wawancara Weldan Taufiq Al-Dhafari)
Responden remaja etnis Jawa, Intan, dia sering bertukar cerita dengan
temannya etnis keturunan Arab. Saling menceritakan budaya masing-masing
berguna untuk menambah pengetahuan dan pemahaman budaya :
“Temenku Arab pernah nanya juga, kalau orang Jawa itu apa wajib
melakukan selamatan orang meninggal, terus selamatan bayi, nikah dan
lain-lain gitu. Ya sekedar nanya aja dia cuma kepengen tau, engga ada
unsur mengejek atau merendahkan.” (wawancara Intan Nindar Ayu)
Interracial communication, yakni komunikasi antara dua atau lebih orang
dari latar belakang ras yang berbeda. Dalam hal ini ras diartikan sebagai ciri-ciri
penampilan fisik yang diturunkan dan diwariskan secara genetik. Pokok perhatian
yang penting disini adalah bahwa perbedaan-perbedaan ras menyebabkan
perbedaan perceptual yang menghambat berlangsungnya komunikasi, bahkan
sebelum ada sama sekali usaha untuk berkomunukasi.14
13
14
Carley H. Dood. Op.Cit. Hal 9.
Ibid. Hal 56.
12
E. Adaptasi Remaja Etnis Keturuan Arab dengan Remaja Etnis Jawa
Dalam beradaptasi dengan teman-temannya yang berbeda etnis, remaja
keturunan etnis Arab cenderung memakai Bahasa Jawa daripada Bahasa
Indonesia. Bahasan topik pembicaraan yang ia pakai dalam beradaptasi dengan
temannya, salah satu contohnya adalah bertukar cerita tentang adat istiadat
masing-masing. Berikut diungkapkan Fairuz Badres :
“Ya pakai bahasa mereka, kalau aku ya pakai bahasa Jawa aja. Pakai
bahasa Indonesia sama Arab non bakunya seperlunya atau kalau sama
yang mengerti aja. Ntar malah dikira orang dari planet, haha. Pendekatan
apapun lah yang masih dalam kategori wajar. Supaya bisa diterima
mereka. (wawancara Fairuz Naila Badres)
Remaja etnis keturunan Arab seperti Fairuz Badres menggunakan bahasa
daerah atau bahasa Jawa supaya dia dapat lebih diterima dan membaur bersama
etnis Jawa. Demikina juga dikatakan remaja etnis Jawa, Bayu, dia mempunyai
teman etnis keturunan Arab yang mulai mencoba menggunakan bahasa Jawa jka
berkomunikasi dengannya dan dengan teman-temannya etnis Jawa :
“Ia mencoba menggunakan bahasa Jawa kalau berbicara sama saya,
sama teman-teman yang lain juga. Sebelumnya pakai bahasa Indonesia
terus, sekarang dia pakai bahasa Jawa kadang campur kata-kata Arab
kalau buat bercandaan, misalnya “ane lagi tidak berpulus. (saya lagi
tidak punya uang)” (wawancara Bayu Pradana)
Seorang peneliti lain, yakni Halliday (1978), berpendapat bahwa bahasa
merupakan satu alat yang terbaik untuk mengkonseptualisasikan semua ikhwal
tentang dunia secara objektif. Halliday melakukan penelitian tentang fungsi
bahasa yang kemudian sampai pada kesimpulan bahwa fungsi utama bahasa
berkaitan dengan pilihan strategi tindakan manusia. Menurutnya ada beberapa
fungsi utama bahasa yang dapat dipakai sebagai pedoman di dalam tindakan
manusia, di antaranya adalah fungsi: pribadi, kontrol, referensial imajinatif, dan
manajemen identitas.15
15
Halliday, M.A.K. Language as social semiotic, The social interpretation of language and
meaning. London: Edward Arnold (Published). 1978.
13
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisa data, maka dapat disimpulkan
komunikasi antarbudaya remaja etnis keturunan Arab dengan remaja etnis Jawa di
Pasar Kliwon Solo, sejauh ini telah berjalan baik, mereka saling menghormati
walaupun berbeda etnis. Tidak pernah terjadi konflik serius diantara mereka,
walaupun batasan kerap kali menjadi penghambat berlangsungnya komunikasi,
seperti adat yang telah diyakini etnis Arab di Surakarta yaitu melarang laki-laki
datang ke rumah anak perempuannya, kemudian larangan berpacaran.
Di dalam lingkungan sekolah mereka berkumpul membaur bersama
teman-temannya yang berbeda etnis, kebanyakan dari mereka sejak SD hingga
SMP bersekolah di Yayasan Diponegoro, dimana mayoritas siswanya keturunan
etnis Arab, yang sangat menerapkan nilai-nilai keagamannya seperti memisahkan
gedung sekolah untuk laki-laki dan perempuan.
Pada waktu memasuki jenjang SMA, mereka merasa cukup kaget dan
perlu beradaptasi dengan lingkungan barunya, karena sebagian besar SMA di
Surakarta mencampurkan siswa-siswanya baik laki-laki maupun perempuan
dalam satu kelas. Mereka juga beradaptasi karena memasuki lingkungan sekolah
yang mayoritas siswanya beretnis Jawa atau pribumi. Dalam beradaptasi, biasa
dikatakan mereka telah berhasil membaur dengan teman-teman mereka yang
berbeda etnis.
Beberapa faktor penghambat Komunikasi yang peneliti jumpai antara lain
:
stereotipe,
keterasingan
(strangershood),
ketidakpastian
(Uncertainty
Avoidance).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran yang ingin diberikan peneliti,
antara lain:
1. Bagi remaja etnis keturunan Arab baiknya lebih mempelajari bahasa
daerah setempat, misalnya untuk berkomunikasi dengan orang Jawa yang
lebih tua, hendaknya menggunakan Bahasa Jawa Kromo Inggil. Karena
komunikasi yang efektif menggunakan bahasa yang baik dan sesuai
14
dengan situasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa harus dapat efektif
menyampaikan maksud kepada lawan bicara.
2. Dalam bergaul, remaja etnis keturunan Arab hendaknya lebih menjalin
interaksi kepada teman-teman mereka yang berbeda etnis. Karena jika
lebih banyak bergaul dengan teman mereka yang sesama etnis saja, akan
menimbulkan kesan stereotip dan dianggap mengunggulkan budaya
sendiri (etnosentrisme).
3. Masyarakat pribumi diharapkan dapat mempertahankan sikap toleransi
dan penerimaan perbedan dari etnis lain tersebut tanpa memaksakan
kebudayaan asli kepada mereka sehingga kebudayaan ketiga akan
terbentuk dan keharmonisan dapat tercapai.
Daftar Pustaka
Aman Nasution. (1988). Penelitian Multisenter. Medan: Laporan Penelitian FK.
Kesehatan Masyarakat-USU
AW, Suranto. 2010. Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dood, Carley H. (1998). Dynamics of Intercultural Communication, Edition, 3.
Publisher, Wm. C. Brown.
Fajar, Marhaeni. (2009). Ilmu Komunikasi Teori dasn Praktek. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Hurlock, Elizabeth. (1998). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. (1999). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Liliweri, Alo. (2004). Dasar – Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
M.A.K, Halliday. (1978). Language as social semiotic, The social interpretation
of language and meaning. London: Edward Arnold (Published).
Myron.W, Lustig & Jolene Koester. (2003). Intercultural Competence:
Interpersonal Communication across Cultures. Boston: Allyn & Bacon.
Samovar, Larry A, Richard E. Porter. (1998). Communication Beetween Cultures.
Belmont: Wadsworth Publishing.
15
Download