ISSN 0215-8250 PENGEMBANGAN MODEL KONSTRUKTIVIS DENGAN PENDEKATAN K-W-L DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR (STUDI PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN MATERI BAHASA INDONESIA DAN KETERAMPILAN BERPIKIR SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BULELENG PROVINSI BALI) oleh Ida Bagus Putrayasa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Negeri Singaraja ABSTRAK Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menguji keunggulan komparatif model konstruktivis yang berpendekatan K-W-L dengan model konvensional dalam meningkatkan pemahaman materi dan keterampilan berpikir peserta didik dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Untuk mencapai tujuab tersebut, dalam penelitian ini dilibatkan dua sekolah, yakni satu sekolah sebagai kelompok eksperimen dan satu sekolah sebagai kelompok kontrol. Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji-t, dapat dikemukakan hasil penelitian sebagai berikut. Pada tes pertama diperoleh koefisien t prates dan pasca tes masing-masing sebesar 14,604 dan 33,732; sedangkan pada tes kedua diperoleh koefisien t prates dan pasca tes masing-masing sebesar 21,137 dan 38,766. Kedua koefisien t tersebut ternyata lebih besar daripada nilai t-tabel dengan df 23 sebesar 3,767. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara koefisien t prates dan pasca tes (α ≤ .0001). Berkenaan dengan temuan tersebut, disarankan kepada guru bahasa Indonesia agar menerapkan model konstruktivis sebagai salah satu alternatif model pembelajaran dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran bahasa Indonesia. Kata kunci: konstruktivis, pendekatakn K-W-L ABSTRACT This research basically aims at testing the comparative significance between constructivism model, making use of K-W-L approach and convensional model in improving the students’ understanding of the naterials and thinking skills in teaching and learning Indonesian. In order to achieve the objectives, there were two schools involved in this study, that is, one school served as the experimental _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 group and the other school served as the control group. Based on the analysis using t-test, the results of the study can be stated as follows: in the first test, the tcoefficient of the pre-test was 14,604 and the t-coefficient of the posttest was 33,732; while in the second test, the t-coefficient of pre-test was 21,137 and the tcoefficient of the posttest was 38,766. The two coefficient were in fact bigger than the mark of t-table with the level of freedom 23, and the degree of the freedom have was 3,767. It can thus be stated that there is a significant defference between the t-coefficient of pre-test and posttes (α ≤ .0001). In relation to the findings, the teachers of Indonesian are suggested to put into practice the constructivism model as one of the alternative teaching and learning models in improving the quality of the process and the outcome of teaching and learning Indonesian. Key words: constructivism, K-W-L approach 1. Pendahuluan Sekolah Dasar sebagai salah satu institusi pendidikan formal dihadapkan pada tantangan yang cukup krusial menyangkut pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang mampu dan siap bersaing di tengah-tengah tataran masyarakat global. Masalah ini semakin diperkuat dengan banyaknya praktekpraktek pendidikan yang menempatkan kegiatan pendidikan terbatas pada proses belajar-mengajar yang terjadi di dalam kelas dengan fasilitas dan pendekatan konvensional. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru banyak dilandasi oleh pengaplikasian pendekatan ekspositoris dengan terpaku pada unsur metodologis, sehingga berimplikasi pada gersangnya proses belajar-mengajar dari dialog kreatif dan pelibatan peserta didik. Akibat dari pola pembelajaran yang seperti itu adalah terabaikannya entry behavior dan prior knowledge peserta didik. Di samping itu, kondisi tersebut juga berdampak pada rendahnya kualitas proses dan hasil pembelajaran. Rendahnya mutu pendidikan dan prestasi belajar yang dicapai peserta didik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia ditengarai banyak dikontribusi oleh model pembelajaran konvensional yang dianut dan diaplikasikan guru, serta didasari oleh asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari kepala guru ke kepala peserta didik. Beranjak dari asumsi tersebut, akibatnya guru merasa sudah melakukan pembelajaran dengan baik, namun ternyata di satu sisi peserta didik tidak belajar. Artinya, tidak terjadinya perubahan dan perkembangan stratifikasi _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 kognitif pada diri peserta didik itu sendiri. Hal ini terjadi karena potensi peserta didik cenderung diabaikan selama berlangsungnya pembelajaran. Guru hanya berpikir bagaimana menghabiskan materi yang telah dicandrakan dalam kurikulum dalam limit waktu yang tersedia. Hal ini dipertegas lagi dengan seringnya guru menggunakan metode ceramah dalam pembelajarannya, sehingga peserta didik lebih banyak berposisi dan diposisikan sebagai objek pembelajaran. Pendekatan dan asumsi pembelajaran sebagaimana yang diuraikan di atas sudah saatnya untuk ditinggalkan khususnya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, mengingat pembelajaran Bahasa Indonesia senantiasa melibatkan aspek nilai dan keterampilan yang secara pedagogis tidak mungkin bisa dibelajarkan secara bermakna melalui metode ceramah dan pendekatan transfering sebagaimana selama ini dikembangkan oleh guru. Di samping itu, dalam pembelajaran Bahasa Indonesia guru hendaknya mengoptimalkan tumbuh dan berkembangnya potensi peserta didik secara holistik (Wahab, 2000:9) yang tidak bisa dipindahkan secara utuh dari kepala guru ke kepala peserta didik. Pada hakikatnya, belajar dan mengajar memiliki esensi yang sangat berbeda, kita bisa mengajar dengan baik namun di sisi lain peserta didik tidak belajar (Bodner, 1986:873). Dengan demikian, pembelajaran yang dikembangkan oleh guru hendaknya mampu memfasilitasi berkembangnya potensi peserta didik secara optimal, sehingga perolehan belajar mereka menjadi bermakna (Hasan, 1996:91). Beranjak dari analisis masalah dan kegagalan lembaga pendidikan (terutama di sekolah dasar) dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik, khususnya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada jenjang sekolah dasar, tampaknya kita harus beralih pandangan dari pendangan konvensional yang lebih memposisikan pendekatan pembelajaran pada upaya pemindahan pengetahuan secara utuh dari kepala guru ke kepala peserta didik menuju ke pandangan inovatif yaitu model konstruktivis dengan pendekatan K-WL yang lebih memposisikan pembelajaran pada upaya merekonstruksi sendiri (selfreconstruction) pengetahuan itu di dalam pikiran pembelajar dan oleh pembelajar itu sendiri dengan fasilitasi guru. Pendekatan K-W-L (Knowing, What to know, and what to Learn) merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran social studies untuk mengatasi kejenuhan dan keluasan materi yang harus dipahami oleh peserta didik. Pendekatan ini dikembangkan sebagai _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 alternatif bagi kalangan guru dalam membelajarkan materi Bahasa Indonesia dengan cara memilah-milah pengetahuan dan keterampilan peserta didik menjadi tiga bagian, yaitu: (1) apa yang telah diketahui oleh peserta didik tentang materi yang akan dibelajarkan, (2) apa yang ingin diketahui oleh peserta didik berkaitan dengan materi yang akan dibelajarkan, dan (3) apa yang akan dipelajari dan bagaimana membelajarkan materi tersebut. Kalangan konstruktivis memandang bahwa pengetahuan itu pada dasarnya dibangun sendiri oleh peserta didik yang didasari oleh struktur kognitif yang telah ada dan dimiliki sebelum pembelajaran itu dilakukan. Jadi, pada hakikatnya, dalam pembelajaran yang dikembangkan oleh guru, peserta didik itu sendirilah yang secara aktif membangun pengetahuannya dengan dilandasi oleh pengetahuan awal yang telah mereka miliki sebelum pembelajaran itu sendiri dilakukan (Fosnot, 1989:16). Sementara itu, guru lebih banyak berposisi sebagai mediator dan fasilitator kreatif selama berlangsungnya pembelajaran (Shymasky, 1992:761). Berdasarkan uraian di atas, permasalah yang muncul adalah “sejauh manakah keunggulan model konstruktivis yang berpendekatan K-W-L dibandingkan dengan model konvensional?” 2. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan desain Pretest-Posttest Control Group Design dengan melibatkan kelompok kontrol dan disertai dengan pemberian tes awal dan tes akhir. Dalam penelitian ini dilibatkan variabel perlakuan (treatment) yaitu model konstruktivis dengan pendekatan K-W-L (X1) yang dikenakan pada kelas eksperimen dan yang akan diuji efektivitasnya, model konvensional (X2) yang dikenakan pada kelas kontrol. Desain penelitian ini dapat dibagankan sebagai berikut. Kelompok Eksperimen Kontrol Bagan 1: Pretest-Posttest Control Group Design Pretest Treatment Posttest (R) (R) T1 T1 X1 X2 T2 T2 (Diadaptasi dari: Frankel & Wallen, 1993). _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 Selanjutnya, untuk menjawab permasalahan di atas, dilakukan suatu penelitian dengan prosedur seperti yang tertera di bawah ini. (a) melakukan penelitian prasurvei, pada tahap ini dilakukan penentuan subjek penelitian dengan teknik random sampling. Pada setiap kecamatan diambil secara acak 3 sekolah untuk dijadikan sebagai sampel penelitian. Jadi, pada tahap ini jumlah sekolah dasar yang dijadikan sampel sebanyak 27 (karena ada 9 kecamatan). Adapun rasional dilakukannya randomisasi dalam penentuan sekolah ini adalah, karena tidak ada sistem ranking pada sekolah-sekolah dasar negeri di Kabupaten Buleleng sebagaimana data yang diperoleh dari Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Dati II Buleleng Seksi Pendidikan Dasar. Dengan demikian, semua sekolah dasar yang ada diposisikan sama dalam penentuan sampel penelitian. (b) melakukan uji coba model (pengembangan model), dari 27 sekolah dasar yang dilibatkan dalam penelitian prasurvei, dipilih satu sekolah untuk dijadikan tempat pengembangan model. Pemilihan dan penentuan sekolah ini lebih dilandasi oleh kemauan dan kemungkinan dilakukannya pengembangan, dengan melihat kesiapan dan kemauan guru mitra, kesediaan dan ijin kepala sekolah, serta ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang dibutuhkan selama proses uji coba. (c) melakukan validasi model, pada tahap ini dilakukan penetapan sekolah yang dijadikan sebagai sampel, baik untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Hal ini dilakukan secara random (acak). Untuk keperluan validasi model tersebut, diambil dua sekolah, yakni: Sekolah Dasar No.1 Banyuasri sebagai kelompok eksperimen dan Sekolah Dasar No.4 Kaliuntu sebagai kelompok kontrol. 3. Hasil dan Pembahasan Data penelitian dikumpulkan dengan lembar observasi, pedoman wawancara, angket, dan tes. Selanjutnya, data yang diperoleh dari observasi, wawancara, dan angket dianalisis dengan teknik analisis kualitatif. Sementara itu, data yang diperoleh melalui tes untuk melihat keunggulan kedua pendekatan yang digunakan, dianalisis dengan teknik analisis kuantitatif (uji-t). Berdasarkan analisis yang dilakukan, diperoleh hasil seperti yang tertera di bawah ini. _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 1) Efektivitas Model Konstruktivis Pengembangan model konstruktivis dalam penelitian ini meliputi: (1) pengkajian terhadap kurikulum Bahasa Indonesia SD tahun 1994 dilihat dari perspektif model konstruktivis, (2) menetapkan alokasi waktu pelajaran yang disesuaikan dengan pokok bahasan dan jam efektif belajar di sekolah sasaran, dan (3) eksperimentasi model konstruktivis dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Penerapan model konstruktivis pada tahap pengembangan model ini telah berimplikasi positif terhadap pemahaman materi pembelajaran oleh peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari perolehan skor pascates yang dilakukan pada setiap akhir pembelajaran. Dilihat dari perbedaan rata-rata skor dua kali prates dan pascates yang dilakukan selama pengembangan model, tampak bahwa ada perbedaan yang signifikan antara perolehan skor prates dan pascates yang diperoleh peserta didik. Implikasi dari pengembangan model terhadap pemahaman materi oleh peserta didik setelah dilakukan dua kali tes dapat dijabarkan sebagai berikut. Tabel 1: Perrbandingan Rerata Tes 1 dan Tes 2 dalam Pengembangan Model Tes Skor Skor Skor RePrates Pascates Rata Tes 1 Min Maks Min Maks Min Maks I Tes Skor Skor Skor RePrates Pascates rata Tes 2 Min Maks Min Maks Min Maks II 1 6 6,0 10,0 4,5 7,12 2 6,5 6 10,0 4,7 7,65 Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa hasil prates yang dilakukan pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, baik pada tes 1 maupun pada tes 2 menunjukkan perolehan yang tidak jauh berbeda. Skor yang diperoleh siswa bergerak dalam interval 1,0 sampai dengan 6,0. Realitas ini dapat dimengerti, mengingat prates ini diberikan sebelum peserta didik menerima pembelajaran mengenai materi yang dievaluasi. Guna menhetahui implikasi dari pengembangan model terhadap pemahaman materi peserta didik, maka data yang diperoleh dari hasil evaluasi, baik untuk tes 1 maupun tes 2 diolah dengan melakukan uji statistik, yaitu uji-t untuk mengetahui signifikansi perbedaan skor prates dan pascates terhadap pemahaman materi peserta didik. Dalam konteks ini akan dicari perbedaan mean _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 antara prates dan pascates dari dua kali evaluasi yang telah dilakukan. Berdasarkan pengujian secara statistik, maka diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 2 : Perbedaan Mean Antara Tes 1 dan Tes 2 dalam Pengembangan Model Variabel N Mean Std. Nilai t Df Signifikansi * Prates 1 * Pascates 1 24 24 3,229 7,250 1,083 1,052 14,604 33,732 23 23 .0001 .0001 * Prates 2 * Pascates 2 24 24 3,937 8,250 0,912 1,042 21,137 38,766 23 23 .0001 .0001 Berdasarkan tabel di atas, dapat kita lihat bahwa nilai t-hitung untuk kedua kali tes yang telah dilakukan pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yaitu: 33,732 dan 38,766, ternyata lebih besar dari nilai t-tabel, dengan derajat kebebasan (df) 23 yaitu 3,767. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor prates dengan skor pascates ( .0001). Hal ini berarti bahwa perolehan skor pascates peserta didik lebih tinggi daripada perolehan skor prates, sehingga perbedaan tersebut merupakan implikasi dari kegiatan pembelajaran yang lebih dikembangkan oleh guru dengan menggunakan model konstruktivis yang berpendekatan K-W-L. Kebermaknaan dari perolehan skor pascates terhadap peningkatan pemahaman materi peserta didik, banyak dikontribusi oleh kinerja guru selama berlangsungnya pengembangan model. Guru praktisi yang sebelumnya telah diperkenalkan dan dilatih mengenai penggunaan model konstruktivis telah menunjukkan kinerja yang sangat baik, khususnya dalam mengimplementasikan model selama berlangsungnya pengembangan. Di samping itu, berdasarkan pengamatan, guru tampak sudah cukup paham dan terampil dalam menerapkan model, walaupun saat dilakukan pengembangan masih terjadi beberapa modifikasi terhadap model teoretis. Kondisi ini semakin diperkuat dengan penggunaan modul pembelajaran yang telah dipersiapkan sebelumnya, termasuk lembar kerja siswa yang merupakan satu rangkaian dengan modul. Dilihat dari pemahaman peserta didik terhadap materi yang dibelajarkan, tampaknya tahap pengembangan model ini telah sesuai dengan tujuan dari dikembangkannya model ini dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada jenjang sekolah dasar. _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 2) Aktivitas Belajar Peserta Didik Penerapan model konstruktivis dengan pendekatan K-W-L dalam tahap pengembangan ini telah berimplikasi secara positif terhadap aktivitas belajar peserta didik selama berlangsungnya pembelajaran. Peserta didik tampak termotivasi dan antusias untuk terlibat selama berlangsungnya pembelajaran, mulai dari tahap inisiasi sampai tahap tindakan, mereka dengan antusias bertanya dan menjawab pertanyaan guru berkaitan dengan materi yang dibelajarkan. Dalam prosedur pembelajaran dengan model konstruktivis yang berpendekatan K-W-L, peserta didik dapat membangun pengertian dan pemahamannya sendiri dengan fasilitasi guru merupakan daya tarik tersendiri bagi peserta didik selama berlangsungnya pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari perhatian mereka terhadap pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Penggunaan media pembelajaran ternyata telah merangsang peserta didik untuk mengajukan pertanyaan seputar materi yang disajikan oleh guru. Pembentukan tim kerja dan pola diskusi kelas yang dikembangkan oleh guru selama berlangsungnya pembelajaran, khususnya pada tahap analisis isu-masalah dan pengambilan keputusan, telah mendorong dan memberi kesempatan yang optimal bagi peserta didik untuk mengaktualisasikan kemampuan belajarnya secara optimal. Jawaban dan pertanyaan yang dikemukakan oleh peserta didik bukan sekadar klarifikasi konsep atau pemahaman, melainkan telah mengarah kepada pertanyaan generatif berkenaan dengan materi yang dibelajarkan. Berdasarkan hasil pengamatan, tampak bahwa selama berlangsungnya pengembangan model, telah berkembang iklim pembelajaran yang aktif-kreatif, khususnya berkenaan dengan aktualisasi diri peserta didik dalam mengikuti pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Terjadinya kondisi seperti ini juga dipengaruhi oleh latar sosial sekolah tempat dilakukannya pengembangan model. Sekolah ini termasuk kategori sekolah yang berada di atas rerata menurut opini masyarakat dan kemampuan awal peserta didik yang masuk ke sekolah ini. Dilihat dari sarana dan prasarana pembelajaran yang ada di sekolah ini cukup memadai. Di samping itu, kemampuan dan keterampilan guru dalam menerapkan model konstruktivis yang berpendekatan K-W-L, juga berkontribusi secara langsung dan signifikan terhadap kinerja peserta didik selama berlangsungnya pembelajaran. _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 3) Kinerja Guru Selama berlangsungnya pengembangan model, tampak adanya peningkatan kinerja guru. Implementasi model konstruktivis menuntut kemampuan dan keterampilan guru mulai dari penyusunan rencana pembelajaran sampai pada pelaksanaan evaluasi pembelajaran. Artinya, bahwa guru harus mampu memformulasikan rencana pembelajaran dengan baik dan aplikatif, melaksanakan pembelajaran, dan melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dibelajarkannya sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah diformulasikan. Untuk mampu memformulasikan rencana pembelajaran yang baik, guru dituntut untuk dapat memahami kurikulum, GBPP, dan karakteristik materi yang akan dibelajarkan. Di sisi lain, guru juga dituntut untuk memiliki kemampuan dan keterampilan dalam memilih metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran. Untuk mampu melakukan pembelajaran dengan baik, guru dituntut untuk memahami dan terampil mengaplikasikan keseluruhan komponen rencana pembelajaran yang telah diformulasikan. Adapun komponen-komponen tersebut meliputi: (1) tujuan pembelajaran, artinya guru dituntut untuk mampu memahami dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran yang telah diformulasikan dengan baik, sehingga dapat dimengerti oleh peserta didik, (2) materi pembelajaran, artinya guru dituntut untuk mampu memahami tingkat keluasan dan kedalaman materi yang akan dibelajarkan, sehingga dapat menyajikan materi pembelajaran dengan baik dan dapat dimengerti secara optimal oleh peserta didik, (3) metodemedia pembelajaran, artinya guru dituntut untuk mampu dan terampil dalam memilih dan menggunakan metode dan media pembelajaran, sehingga dapat menunjang proses pembelajaran yang dilakukan secara efektif, dan (4) evaluasi pembelajaran, artinya guru dituntut untuk mampu melakukan evaluasi pembelajaran (evaluasi proses), baik melalui pertanyaan-pertanyaan secara langsung maupun melakukan observasi terhadap aktivitas peserta didik selama pembelajaran, termasuk melakukan evaluasi di akhir pembelajaran dengan menggunakan tes sebagaimana yang telah dirancang sebelumnya. Untuk mampu melakukan semua kompetensi di atas, maka guru dituntut untuk memiliki wawasan dan pemahaman yang memadai mengenai berbagai kompetensi profesionalnya selaku pengembang dan pelaksana kurikulum di sekolah. Melalui _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 penguasaan dan keterampilan yang memadai terhadap berbagai komponen rencana pembelajaran, termasuk kemampuan melakukan layanan belajar, baik layanan individual maupun klasikal, maka pembelajaran yang dilakukan akan mendorong tumbuh dan berkembangnya iklim yang kondusif, sehingga berimplikasi langsung terhadap perolehan belajar peserta didik. Selama berlangsungnya pengembangan model, mulai dari uji coba pertama, guru sudah terbiasa dalam mengaplikasikan model konstruktivis. Hal ini banyak dikonstribusi oleh pelatihan yang dilakukan sebelumnya, sehingga selama pengembangan model, fokus utamanya lebih diarahkan pada upaya memaksimalkan implikasi model bagi peserta didik, khususnya mengenai pemahaman materi dari peserta didik itu sendiri. Dilihat dari kemampuan guru dalam menerapkan model pembelajaran, dapat dikatakan bahwa model konstruktivis yang berpendekatan K-W-L sudah dapat dipahami dan diaplikasikan dengan baik oleh guru, termasuk penggunaan media pembelajaran selama berlangsungnya pembelajaran. Berdasarkan kinerja yang ditampilkan oleh guru selama berlangsungnya pengembangan model, dapat dikatakan bahwa telah terjadi peningkatan kinerja guru yang signifikan, sehingga berimplikasi secara langsung terhadap pemahaman materi dan literasi sosialteknologi peserta didik. Di samping itu, dilihat dari keterampilan guru dalam mengaplikasikan model, dapat dikatakan bahwa model konstruktivis ini dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh guru. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa selama pengembangan model, kinerja yang ditampilkan oleh guru menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan dilihat dari iklim dan aktivitas pembelajaran yang terjadi selama berlangsungnya proses pengembangan model konstruktivis. 4. Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model konstruktivis dengan pendekatan K-W-L ternyata sangat efektif digunakan untuk membelajarkan Bahasa Indonesia pada jenjang sekolah dasar. Hal ini dapat dilihat dari perolehan belajar peserta didik, aktivitas belajar peserta didik, dan kinerja guru. Indikator ini dapat dilihat dari perbedaan rerata skor tes perolehan belajar peserta didik antara prates dengan pascates. Untuk aktivitas belajar peserta didik _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003 ISSN 0215-8250 dan kinerja guru dapat dilihat dari hasil observasi yang dilakukan pada saat penelitian prasurvei, pengembangan model, dan validasi model. Berkenaan dengan kesimpulan di atas, disarankan kepada guru bahasa Indonesia agar menerapkan model konstruktivis yang berpendekatan K-W-L sebagai salah satu alternatif model pembelajaran dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran bahasa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Bodner. (1986). Learning Konstructivism. USA: McMillan. Co. Fosnot. (1989). Thinking Learning Skill: Introduction to Practice. USA: Bacon Publisher. Frankel, J.R. & N.E. Wallen. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. Toronto: McGraw – Hill Inc. Hasan, A. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Proyek Ditjen Dikbud. Shymasky. (1992). Elementary Social Studies: Introduction and Practice. USA: NCSS/National Curricullum. Wahab, A.A. (2000). Otonomi Pendidikan dan Masalahnya dalam Praktek Pendidikan Sekolah dan LPTK. Bandung: LP UPI Bandung. _________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXVI Oktober 2003