Desentralisasi pendidikan di Indonesia(resume).

advertisement
RESUME by Taruasena
DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Jiono, et al. (1998). Desentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bappenas
Pada era globalisasi, Indonesia akan menghadapi persaingan ketat perdagangan sebagai
konsekuensi pelaksanaan pasar bebas antar negara ASEAN, tuntutan yang lebih besar
pada penerapan demokrasi, penegakan hukum, desakan atas perwujudan nilai-nilai
persamaan dan keadilan, serta pemenuhan rasa ketenteraman dan keamanan masyarakat.
Di sektor pendidikan, tuntutan reformasi juga bergulir seiring dengan arus reformasi di
sektor-sektor lainnya. Salah satu isu reformasi pendidikan yang akan dibahas dalam
tulisan ini adalah isu desentralisasi pendidikan dasar dalam konteks kebijakan otonomi
daerah yang luas. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji proses desentralisasi dan
menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang penerapan desentralisasi pengelolaan
pendidikan dasar sebagai suatu jalan yang dianggap mampu untuk meningkatkan
pelayanan publik di sektor pendidikan.
Bank Dunia melaporkan beberapa kendala institutsional dalam pembangunan pendidikan
dasar di Indonesia (1998);
Pertama, institusi-institusi pemerintah yang mengelola tingkat pendidikan dasar (SD/MI)
sangat rumit dan kurang terkoordinasi, yaitu antara instansi Depdikbud, dan
Depdagri, serta Depag.
Kedua, kebijakan pendidikan jenjang SLTP sangat tersentralisasi, sementara instansi
vertikal di daerah (Kanwil dan Kandep) hanya sekedar melaksanakan petunjuk
Pusat. Di bidang keuangannya, misalnya rencana anggaran dan pembiayaan
program-program pendidikan di daerah ditentukan oleh pemerintah Pusat
(Depdikbud).
Ketiga, anggaran pendidikan nasional dikelola secara kaku dan terkotak-kotak, baik jenis
anggarannya maupun instansi yang menanganinya. Akibatnya tidak dapat
terjadi pengalihsilangan anggaran berdasarkan kebutuhannya. Sehingga
penggunaan anggarannya pun menjadi tidak ekonomis dan cenderung
dimaksimalkan agar tidak terdapat sisa di akhir tahun anggaran.
1
Keempat, manajemen sekolah tidak efektif. Pada umumnya kepala sekolah negeri di
Indonesia memiliki otonomi yang terbatas dalam mengelola sekolah dan
mengalokasikan sumber daya yang diperlukan. Selain itu, kebanyakan Kepala
Sekolah tidak dilengkapi dengan kemampuan manajerial yang memadai,
sehingga sulit untuk mengembangkan kreativitas Kepala Sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu sekolah.
Berikut ini.merupakan tinjauan pokok-pokok pikiran bagi pengembangan model
alternatif desentralisasi pendidikan, yang meliputi:
1. Aspek Konseptual Desentralisasi
2. Tinjauan Kebijakan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah: Konteks Desentralisasi
Pendidikan
3. Upaya Desentralisasi Pendidikan
4. Pengembangan Model Desentralisasi Pendidikan dalam rangka Otonomi Daerah
Berdasarkan UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, dalam
penyelenggaraan pemerintah di daerah Indonesia diberlakukan 3 (tiga) asas sekaligus,
yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi diartikan
sebagai penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah sehingga wewenang dan
tanggungjawab sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah, termasuk di dalamnya
penentuan kebijakan perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi
pembiayaan dan aparatnya.
Berkaitan dengan konsep desentralisasi, Varghese (1995) menjelaskan tiga karakteristiknya, yaitu:
1. Unit perencana yang lebih rendah mempunyai wewenang untuk memformulasikan
targetnya sendiri, termasuk penentuan strategi untuk mencapai target tersebut, dengan
mengacu pada tujuan pembangunan nasional.
2. Unit perencana yang lebih rendah diberi wewenang dan kekuasaan untuk
memobilisasi sumber-sumber lainnya, dan keleluasaan untuk melakukan realokasi
2
sumber-sumber yang telah diberikan kepada mereka sesuai dengan prioritas
kebutuhan daerah.
3. Unit perencana yang lebih rendah turut berpartisipasi dalam proses perencanaan
dengan unit yang lebih tinggi (Pusat) di mana posisi unit yang lebih rendah bukan
sebagai bawahan melainkan sebagai partner dari unit pusat.
Asas dekonsentrasi merupakan pelimpahan urusan pemerintahan pusat kepada pejabatpejabatnya di daerah, namun perencanaan dan pembiayaannya tetap menjadi tanggungan
pusat. Karena terbatasnya kemampuan pusat dan juga kurang efektif dan efisiennya bila
semua urusan pusat dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah, maka pusat dapat
memberikan tugas pembantuan kepada daerah untuk melaksanakan urusan-urusan
tersebut.
Penentuan besarnya fungsi penyelenggaraan pemerintahan kepada daerah dalam rangka
desentralisasi, menurut Maskun (1977) haruslah:
1. disesuaikan dengan potensi dan kondisi lingkungan fisik geografis daerah, dan hal-hal
lain yang merupakan karakteristik suatu daerah,
2. dilakukan melalui penilaian kepada kemampuan administrasi dan kelembagaan
daerah, dan
3. dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan daerah yang bersifat khas dan
mendesak, terutama dalam rangka memberikan pelayanan umum pemerintahan
kepada masyarakat. Salah satu di antaranya adalah pelayanan pendidikan.
Secara sektoral, pengertian desentralisasi pendidikan adalah sistem manajemen untuk
mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebhinekaan, dengan
tidak menciutkan substansi pendidikan yang menjadi bersifat lokal dan sempit, serta
berorientasi pendidikan yang bersifat primordial yang dapat menumbuhkan sentimen
kedaerahan. Dengan kata lain, desentralisasi pendidikan diartikan sebagai pelimpahan
kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan
dan pengambilan keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di
3
bidang pendidikan, namun harus tetap mengacu kepada tujuan pendidikan nasional
sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Pola hubungan pemerintah Pusat dan Daerah sesungguhnya telah diatur sejak berdirinya
Negara Kesatuan RI, dan diperkuat dengan dikeluarkannya UU No.5 tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang menyebutkan bahwa Negara Kesatuan RI
dibagi dalam daerah-daerah otonom dan wilayah-wilayah administrasi. Namun, meskipun
berbagai urusan telah diserahkan kepada Daerah, dalam pelaksanaannya masih saja
ditemukan kendala-kendala. Kendala konvensional yang ditemukan misalnya tumpang
tindihnya kewenangan antara instansi vertikal Departemen di Dati II dengan Pemda
setempat, dan “kekurangrelaan” instansi atasan (Pemerintah Pusat dan Dati I) untuk
memberikan urusan-urusan yang mudah dilaksanakan oleh masyarakat daerah.
Upaya desentralisasi pendidikan secara bertahap mulai diserahkan Pemerintah Pusat
(Depdikbud) kepada instansi vertikal di bawahnya. Sebagai contoh, persiapan dan
pelaksanaan proyek WAJARDIKDAS 9 tahun yang semula ditangani pusat kini mulai
diserahkan ke tingkat Kanwil (Proses Dekonsentrasi). Sedangkan proses desentralisasi,
terlihat pada pembentuka KANIN.
Setelah berjalan 3 tahun, masih ditemui tumpang tindih dalam pelaksanaan urusan
pendidikan dan kebudayaan yang diselenggarakan oleh Kanin Depdikbud dengan Dinas P
dan K Tk.II, sehingga melemahkan pelayanan publik di sektor tersebut. Seperti SD yang
fungsi teknis dan administrasi pendidikannya dipisahkan oleh kedua instansi tersebut
merupakan kendala utama dalam pengelolaan SD. Hal tersebut terjadi karena koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi antara dua instansi kurang berjalan dengan baik.
Semangat penerapan proses desentralisasi pendidikan tidak terlepas dari keberhasilan
perluasan akses pendidikan SD/MI di daerah-daerah, serta tekad pemerintah untuk
membelajarkan masyarakat sekurang-kurangnya sampai jenjang SLTP melalui program
Wajardikdas 9 tahun. Sayangnya, selama ini aspek manajemen pendidikan di tingkat
pusat, regional serta di satuan-satuan pendidikan belum mendapat perhatian sungguh-
4
sungguh, sehingga seluruh komponen sistem pendidikan kurang berfungsi secara
terkoordinasi dan terpadu.
Sebagai buram model desentralisasi bidang pendidikan yang diajukan adalah sebagai
berikut:
a. Kabupaten/kota sebagai basis pengelolaan Pendidikan Dasar dengan implikasi
kewenangan administrasi pendidikan yang lebih besar akan diberikan kepada
Kabupaten untuk melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan potensi dan
kebutuhan daerahnya.
b. Tugas dan Fungsi Pemerintahan dan Kelembagaan, dengan implikasi perubahan
kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan dalam meningkatkan efisiensi dan
efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah.
c. Pengelolaan keuangan, dengan implikasi kepegawaian yang menyangkut perubahan
dan pemberdayaan sumber daya manusia yang menekankan pada profesionalisme dan
implikasi perubahan penanganan anggaran pembangunan pendidikan (DIP) yang akan
dikelola langsung dari BKPN(Bappenas) ke kabupaten dalam bentuk “Block Grant”,
sehingga menghilangkan kekakuan dan pengkotakan dalam penanganan anggaran.
Untuk anggaran rutin (BOP) akan diberikan langsung ke sekolah-sekolah.
d. Tahapan implementasi yang diawali dengan disiapkannya peraturan perundangan
politik,
peraturan
pemerintah
daerah,
dan
peraturan
perundang-undangan
perimbangan keuangan. Kemudian dilanjutkan dengan tahap restrukturisasi
kelembagaan pemerintahan, tugas, dan fungsi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah
yang terendah di lingkungan Depdikbud. Sehingga sampai pada tahap tercapainya
konsolidasi menyeluruh dari manajemen sistem pendidikan nasional. Di mana
penyiapan SDM dilakukan dalam waktu bersamaan dengan dimulainya tahap pertama
sampai pada tahap terakhir yang muaranya adalah School-based management.
5
Download