Menagih Janji Pemerintah Daerah Dalam

advertisement
Menagih Janji Pemerintah Daerah Dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia
Pada bulan Ramadhan kemarin ramai perbincangan mengenai tindakan Satuan Petugas
Pamong Praja (Satpol PP) Pemkot Serang yang menyita barang dagangan salah satu
warung makan karena berjualan di siang hari. Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten
Purwakarta justru mempersilahkan pemilik rumah makan untuk beroperasi selama 24
jam. Fenomena tersebut adalah gambaran bagaimana sistem desentralisasi melahirkan
keragaman kebijakan yang dikeluarkan dari pemerintah daerah. Meskipun beragam,
kepemimpinan demokrasi mengharuskan pemerintah melindungi hak warga, termasuk
melalui produk hukum. Mirisnya, hingga kini masih banyak ditemui peraturan daerah
diskriminatif bahkan melanggar hak asasi manusia. Bagaimana norma hukum masih
dibutuhkan untuk mewujudkan hak asasi manusia dan mewujudkan keadilan sosial?
Dalam logika kepemimpinan demokrasi, pemerintah memiliki konsekuensi untuk
memenuhi kebutuhan rakyat. Pemenuhan hak asasi manusia bahkan telah menjadi
kewajiban konstitusi penyelenggaraan negara di berbagai tingkat, baik dalam lingkup
pusat dan daerah. Hal tersebut termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28
I ayat 4 dan 5 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah; dan untuk
menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian setiap penyel-enggaraan pemerintah
memiliki kewajiban konstitusi untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia
termasuk dalam upaya pemenuhannya.
Herlambang Perdana, akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya
menyebutkan pemenuhan hak asasi manusia oleh pemerintah merupakan bagian dari
kewajiban konstitusi. Sehingga konsekuensi bagi setiap pelanggaran pemenuhan hak
rakyat merupakan pelanggaran konstitusi.
“Secara tertulis kewajiban pemenuhan hak asasi manusia merupakan kewajiban
konstitusional bagi penyelanggara pemerintahan di berbagai level, nasional maupun
daerah. Hal ini disebutkan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, setiap
penyelenggara pemerintahan yang mengabaikan dan bahkan melanggar pemenuhan
hak rakyat, bukan hanya melanggar hukum, melainkan melanggar konstitusi,” jelas
Herlambang.
Meskipun memiliki legitimasi konstitusional, kenyataannya pemenuhan hak asasi bagi
warga negara belum menjadi agenda utama pemerintahan Indonesia. Hal ini juga
diakui Herlambang, seiring perkembangan waktu, hak-hak rakyat menjadi begitu
abstrak sehingga pemerintah daerah lebih menitikberatkan pemenuhan kebutuhan
investor atau lajur kapital. Alhasil pemenuhan hak warga dikesampingkan. “Ibarat
salesman atau dealer, pemerintah daerah menggadaikan hak rakyat demi kepentingan
investasi. Pemenuhan keadilan sosial kerap kali diucapkan, namun diputarbalikkan
untuk kepentingan politik lokal guna melitigimasi bisnis-bisnis yang sebenarnya
berdampak mengesampingkan hak-hak dasar rakyat,” jelas Herlambang yang
merupakan koordinator Asosiasi Dosen Hak Asasi Manusia se Indonesia (SEPAHAM).
Deretan kasus tambang di Pulau Jawa merupakan bukti bagaimana ketidakberpihakan
pemerintah daerah kepada pemenuhan hak rakyat. Sebagai contoh adalah kasus
tambang semen di Rembang dan Pati (Jawa Tengah), pertambangan emas di Tumpang
Pitu, Banyuwangi dan ekspolitasi eksesif tambang, perkebunan kelapa sawit dan
sejumlah industri yang mulai merajalela di berbagai wilayah Indonesia. Meskipun
secara analisis lingkungan pendirian industri tersebut melanggar hukum, serta banyak
penolakan dari penduduk lokal yang kelangsungan hidupnya terancam, pemerintah
daerah lokasi-lokasi industri tersebut tetap berupaya untuk melangsungkan
pembangunan. Dampaknya konflik warga tidak lagi terbendung. Pembiaran sikap
diskriminatif yang dilakukan kelompok intoleran juga memperparah situasi dan
melanggengkan abainya negara untuk memberikan keamanan bagi warga yang hidup
di tanahnya sendiri.
Situasi demikian menurut Herlambang disebabkan karena minimnya pengetahuan
pemerintah daerah terutama dalam konteks pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya. “Pemerintah daerah kerap kali belum mengenal konsep pemenuhan hak-hak
seperti hak ekonomi, sosial dan budaya. Terutama mengenai realisasi progresif dan
pemenuhannya,” jelas Herlambang. Fokus kerja pemerintah dan birokrasi hanya
berorientasi pada kebijakan khususnya mengenai penganggaran. Adapun
penganggaran tersebut belum sepenuhnya mendorong strategi pro-poor budget atau
penganggaran yang berbasis kebutuhan dasar rakyat miskin.
Karakteristik Desentralisasi dan Upaya Pemenuhan Hak Asasi
Pasca runtuhnya era otoritarianisme, sistem pemerintahan Indonesia berubah cukup
signifikan. Berdasarkan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah, urusan pemerintah di tingkat daerah dilaksanakan berdasarkan asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Sistem desentralisasi secara
langsung memberikan otoritas dari pusat ke daerah. Jakarta tidak lagi menjadi pusat
untuk menentukan proses politik dan tata kelola pemerintahan di tingkat lokal.
Beberapa daerah diberikan sistem desentralisasi asimetris dengan kewenangan khusus,
seperti Aceh dan Papua, karena peristiwa konflik yang berkepanjangan. Selain itu,
kedua daerah tersebut juga dianggap memiliki keunikan secara budaya dan politik.
Sederhananya, otonomi daerah melegitimasi kewenangan pemerintah daerah untuk
lebih leluasa dalam mengatur dan mengelola sumber daya serta anggaran guna
kepentingan kemajuan daerahnya masing-masing.
Dalam makalah Hasrul Hanif, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, berjudul ‘Daulat Rakyat atau Daulat Pasar’, yang
disampaikan dalam Konferensi “Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia dan
Tirani Modal” pada tahun 2008 lalu, menegaskan bahwa sistem desentralisasi adalah
hasil resultante dari adanya perubahan struktur ekonomi politik baik di ranah global,
nasional maupun lokal. Selain itu, arsitektur devolusi tergantung dengan dominasi
dalam pertarungan ideologis yang ada. Dengan demikian desentralisasi harus
dipandang lebih luas.
Sistem desentralisasi tidak hanya sebatas pelimpahan kewenangan, melainkan
distribusi akumulasi modal dari pusat ke daerah. Hal ini memiliki dampak yang lebih
besar karena berimplikasi pada konstelasi politik. “Persebaran model demikian telah
mengubah konstelasi politik yang tadinya sentralistik dalam setiap kebijakan menjadi
harus lebih mempertimbangkan konteks politik kepentingan di tingkat lokal,” ujar
Herlambang melalui surat elektronik pada bulan Juli 2016.
Hal senada diungkapkan Vedi R Hadiz dalam bukunya yang berjudul “Localising Power
in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective.” Ia mengunkapkan
distribusi kekuasaan ke tingkat lokal sangat terkait erat dengan ekonomi-politik di
tingkat global. Hal ini merupakan upaya dari pengintegrasian negara kepada pasar
global. Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) mendorong adanya
perubahan sifat dan fungsi negara karena kekuasaan politik tersentral di pemerintahan
pusat dianggap kurang efisien bagi beroperasinya pasar. Perubahan sifat dan fungsi
negara tersebut mendorong adanya de-statisation (upaya mereduksi fungsi negara ke
pasar) dan de-nationalisation (upaya rekonfigurasi kekuasaan negara ke tingkatan
regional dan lokal). Agenda tersebut tidak hanya dijalankan di Indonesia saja, namun
di negara-negara pasca otoritarian di kawasan Asia, seperti Thailand dan Filipina. Hadiz
mendefinisikan kerangka perubahan sifat dan fungsi negara untuk memfasilitasi
berjalannya logika pasar tersebut sebagai neo-institusionalisme. Salah satu bentuk
bentuknya adalah desentralisasi, yang merupakan manifestasi dari lokalisasi kekuasaan.
Situasi yang demikian membutuhkan kondisi kemitraan kerja sejajar antara eksekutif
dan legilatif daerah. Dalam konteks itulah dibentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 8
Tahun 2003 yang sejatinya ditujukan untuk membatasi kekuasaan legislatif sebagai
aktor politik lokal untuk meminimalisir ruang gerak ‘raja-raja kecil’ yang kerap kali
menjadikan eksekutif daerah sangat lemah. Di sisi lain, sistem desentralisasi
membutuhkan perombakan mentalitas kerja birokrat yang selama ini berorientasi
atasan dan kekuasaan sehingga tidak responsif terhadap kebutuhan publik.
Walaupun regulasi sudah dilahirkan, otonomi daerah ideal masih membutuhkan jalan
panjang. Menurut Hasrul Hanif, ide pemenuhan hak asasi manusia jangan hanya
terjebak pada implementasi ke produk hukum, melainkan pada tingkatan budaya
hukumnya. Hal ini merupakan salah satu tantangan terbesar pemerintahan demokrasi
baru, pasalnya konsep pelayanan publik dan pemenuhan hak warga belum sepenuhnya
melekat dalam birokrasi di era otonomi daerah. “Kondisi riilnya adalah konsep hak asasi
manusia belum menjadi norma sosial. Cara pandang terhadap pemenuhan HAM masih
sangat formalistik dalam bentuk produk hukum nyata, tanpa mempertimbangkan lebih
lanjut implementasi nyata,” ujar Hanif.
Padahal desentralisasi dan otonomi daerah mempunyai posisi strategis dalam
meningkatkan penghormatan serta pemenuhan hak warga negara. Menurut United
Nations Development Program (UNDP), desentralisasi seharusnya mampu
menstimulasi pencarian program dan inovasi kebijakan yang dilakukan secara
independen oleh pemerintah daerah. Meskipun variasi kebijakan sangat dimungkinkan,
tetapi ide pemenuhan belum banyak diimplementasikan di berbagai daerah. Bagi Hanif,
hal ini disebabkan karena cara pandang pemenuhan HAM masih sangat populis dan
tergantung dengan individu serta kondisi politik kepala daerah, tanpa secara
menyeluruh dimaknai sebagai sistem kerja birokrasi di Indonesia. Dampaknya
pemenuhan HAM menjadi tidak merata sekalipun sudah dimandatkan dalam RPJMN
dan RPJMD.
Hal yang lain dari kekuasaan yang makin terlokalisasi, menurut Hadiz, adalah membuat
jaringan oligarki lama yang merupakan Orde Baru memanfaatkan ruang politik lokal.
Karakter mereka tetap sama, yaitu merampok sumber daya ekonomi politik publik
melalui kekuasaan. Dalam bahasa lain, elemen-elemen itu tetap hidup dengan bentuk
jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair dan saling bersaing satu
sama lain. Kekuatan ini yang kemudian membajak agenda desentralisasi sehingga
terbentuk problem-problem lain, seperti politik uang (money politics), tumbuhnya
kekuatan koersi preman dan KKN semakin tumbuh subur.
Marajalelanya praktek korupsi di tingkat lokal akibat pembajakan elemen-elemen
tersebut dapat terlihat dari penanganan kasus korupsi di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Jika melihat data KPK tentang penanganan korupsi berdasarkan instansi
tahun 2004-2016 menunjukkan bahwa peringkat 1 masih diduduki oleh
Kementerian/Lembaga dengan 225 kasus. Namun kasus korupsi yang terjadi di
pemerintah kabupaten/pemerintah kota menempati urutan kedua dengan 109 kasus,
sementara pemerintah provinsi menempati urutan ketiga dengan 82 kasus. Sedangkan
DPR dan DPRD menempati peringkat keempat dengan 46 kasus dan BUMN/BUMD
menempat urutan kelima dengan 32 kasus.
Norma Hukum dan Partisipasi Masyarakat Masih Relevan Untuk Menagih Janji
Meskipun secara substansial dan implementasi suatu kebijakan masih semerawut,
tetapi legitimasi secara hukum jelas masih diperlukan. Terutama dalam konteks
pemenuhan hak asasi warga, hal ini tidak hanya memberikan patokan jelas terkait posisi
kekuatan di mata hukum, tetapi hal ini juga dalam rangka menciptakan suasana
demokratis bagi masyarakat untuk terus melakukan kontrol terhadap kinerja
pemerintah.
Kejelasan secara hukum ini diuraikan Herlambang sebagai sebuah penegasan posisi
klaim hukum. Mengimplementasikan setiap pemenuhan hak asasi dalam bentuk
hukum dapat mendorong akuntabilitas kinerja pemerintah. “Misalnya APBD yang
dituangkan dalam Perda, dapat diuji publik dalam proses perancangannya hingga
produk hukum tersebut disahkan. Atau Perda yang bertentangan dengan kewajiban
konstitusional dan hak asasi manusia, maka sangat potensial untuk diuji publik dan
dibatalkan,” jelas Herlambang. Dengan demikian implementasi pemenuhan hak warga
dalam bentuk norma hukum masih dibutuhkan dengan tujuan mendorong pemerintah
dalam melaksanakan kewajiban evaluasi. “Oleh sebab itu bentuk hukum untuk
pemenuhan hak warga masih diperlukan dalam rangka menegaskan kewajiban evaluasi
dan pertanggungjawaban, agar bisa ditingkatkan kemajuan di masa depan,” tambahnya
Ruang uji publik tersebut menjadi efektif dalam suasana yang demokratis.
Desentralisasi secara prinsipil tidak dapat dipisahkan dari karakteristik demokrasi
partisipatoris yang bersanding dengan akuntabilitas, edukasi, dan obligasi. Tujuannya
tidak lain adalah menerapkan sebuah strategi yang mengandung unsur keadilan sosial
bagi masyarakat. Hal ini ditegaskan kembali oleh Hasrul Hanif, pengajar di Fakultas
Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menurutnya desentralisasi
tidak dapat dilepaskan dari dari ruang publik yang besar untuk mengontrol kebijakan
pemerintahan. “Desentralisasi membutuhkan kontrol publik yang besar. Dalam artian
pemerintah harus menciptakan suasana demokratik yang kondusif yaitu membuka
aksesibilitas bagi masyarakat untuk mengontrol kinerja pemerintah,” jelas Hanif yang
dihubungi melalui telepon bulan Juni 2016 lalu.
Fungsi legislasi dan pengawasan yang dimiliki DPRD seharusnya mampu menjadi
karpet merah menampung serta menyalurkan aspirasi rakyat. Mulai dari kewenangan
menciptakan kebijakan yang melegitimasi pemenuhan hak rakyat hingga
implementasinya melalui anggaran daerah. Secara khusus, UU Pemerintahan Daerah
(UU Pemda) telah mengakui dan melegitimasi peran serta masyarakat dalam
pembuatan kebijakan. Dalam Pasal 354 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah disebutkan pemerintah daerah harus mendorong kelompok dan organisasi
masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah serta
mengembangkan pelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang
memungkinkan keterlibatan publik secara efektif. Partisipasi publik tersebut dapat
mencakup penyusunan Perda dan kebijakan daerah yang membebani masyarakat,
proses perencanaan hinga pengevaluasian daerah, hingga pengelolaan aset dan
penyelenggaraan publik.
Meskipun secara hukum sudah memiliki legalitas, partisipasi publik untuk terlibat
dalam kinerja pemerintah belum populer. Dampaknya kebijakan yang inkonstitusional
dan tidak berpihak pada rakyat terus dilahirkan. Dalam konteks itulah perspektif
pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pemenuhan hak warga menjadi
penting termasuk bagi publik. Menurut Hasrul Hanif, konsep hak asasi manusia belum
menjadi public concern. Cara pandang yang sangat populis dan parsial sebatas tokoh
kepala daerah merupakan langkah lambat untuk menjadikan hak asasi sebagai norma
sosial.
“Publik sesungguhnya punya peran untuk mendorong pemerintah. Publik harus mulai
menjadikan HAM sebagai dasar memilih wakil rakyat. Dalam artian HAM harus
menjadi indikator bagi masyarakat. Hanya saja hal ini belum menjadi kesadaran bagi
kebanyakan masyarakat,” jelas Hanif. Kesadaran warga akan haknya dapat melahirkan
suasana yang lebih demokratis dan mampu memberikan dorongan lebih besar bagi
kinerja pemerintah. Dengan demikian publik bisa melakukan kontrol dan membuka
relasi antara negara dan masyarakat.
Sementara bagi Hadiz, walaupun desentralisasi telah dibajak, namun kontestasi politik
di tingkat lokal juga memberikan peluang bagi gerakan rakyat untuk mulai
bereksperimen menjajal arena kontestasi tersebut. Selain sebagai upaya untuk
memutus kekuatan oligarki di tingkat lokal dan memastikan pemenuhan Hak Asasi
Manusia, eksperimen tersebut juga dimanfaatkan untuk belajar memahami seluk beluk
sistem pemerintahan itu sendiri.
Download